Jenis Media: Kesehatan

  • Banyak Warga +62 Tak Nyaman Lihat Ibu Menyusui di Tempat Umum, Termasuk KRL

    Banyak Warga +62 Tak Nyaman Lihat Ibu Menyusui di Tempat Umum, Termasuk KRL

    Jakarta

    Survei Health Collaborative Center (HCC) dengan pendekatan social experience yang melibatkan lebih dari 700 responden warga Indonesia menemukan 1 dari 3 orang merasa tidak nyaman melihat ibu menyusui di tempat umum. Sampling random HCC di periode 4 hingga 5 Agustus berhasil mengumpulkan 731 responden yang dinilai cukup representatif lantaran tersebar merata hampir di seluruh wilayah.

    Riset social experience yang dilakukan HCC menunjukkan tujuh gambar pada setiap responden sebagai stimulus untuk melihat persepsi mereka. Ada 24 indikator persepsi yang dibagi dua menjadi persepsi negatif dan positif, setelah melihat gambar-gambar tersebut.

    Sederet gambar yang ditunjukkan memperlihatkan bagaimana aktivitas menyusui dilakukan di tempat umum, termasuk transportasi seperti commuterline (KRL).

    Hasilnya, ditemukan empat persepsi negatif. Pertama, 29,7 persen responden tidak nyaman melihat ibu menyusui di tempat umum. Kedua, 30 persen responden merasa gelisah saat melihat ibu menyusui di tempat umum.

    Ketiga, responden memiliki persepsi negatif pada ibu menyusui untuk seharusnya mencari tempat lain alih-alih di depan umum. Terakhir, kebanyakan responden menyesalkan ibu yang tidak menggunakan ‘tools’ atau alat bantu untuk menutup bagian payudara saat menyusui.

    Apa Pemicunya?

    Pendiri dan Ketua HCC Dr dr Ray Wagiu, MKK, FRSPH menyebut ibu menyusui seharusnya bisa diterima di mana saja untuk melakukan aktivitas alamiah. Sayangnya, masih banyak warga Indonesia yang tidak memiliki persepsi tersebut.

    “1 dari 3 orang indonesia yang diwakili responden penelitian ini memiliki persepsi kontra atau cenderung menolak, punya persepsi kontra, mereka secara dominan melihat ibu menyusui di tempat umum itu, merasa nggak nyaman,” terangnya dalam temu media Jumat (8/8/2025).

    “Harusnya itu bisa diterima di mana saja dan kapan saja, termasuk saat di tempat umum. Karena nggak semua tempat punya laktasi dan anak tentu layaknya kebutuhan primer, mereka hanya mendapatkan sumber makanan dari ASI, anak harus segera disusui,” lanjutnya.

    Menurut dr Ray, pemicu di balik ketidaknyamanan seseorang melihat ibu menyusui di tempat umum. Pertama, karena visual. Dominan responden mengatakan hal demikian dengan alasan ingin memproteksi si ibu untuk mencari tempat menyusui lebih privat dan nyaman.

    Sayangnya, dalih ini tidak didukung dengan kenyataan adanya inisiatif mengajak si ibu ke ruang laktasi.

    “Stimulus paling ekstrem perasaan tidak nyaman ketika melihat si ibu menyusui di transportasi umum, ini yang bikin orang paling nggak nyaman melihatnya, bahkan sekitar 1 dari 4 orang ini tuh cenderung mengganggu secara visual, karena tidak sesuai tempat, tidak sesuai dengan norma sosial, dan budaya,” sesalnya.

    HCC mendorong adanya edukasi terutama di kalangan muda melalui pendidikan dengan meningkatkan kesadaran aktivitas menyusui adalah alamiah dan tidak perlu mendapatkan stigma maupun diskriminatif sekalipun dilakukan di ruang terbuka.

    Ada lima area yang dianggap kebanyakan responden tidak menjadi tempat ideal ibu menyusui:

    29,8 persen tidak setuju menyusui dilakukan di tempat makan34,6 persen tidak setuju menyusui dilakukan di taman atau ruang terbuka33,8 persen tidak setuju menyusui dilakukan di transportasi umum32,9 persen tidak setuju menyusui dilakukan di kafe30,6 persen tidak setuju menyusui dilakukan di tempat umum lain

    Cakupan ASI eksklusif di Indonesia, yaitu pemberian ASI saja tanpa makanan atau minuman lain selama 6 bulan pertama kehidupan bayi, masih tergolong rendah. Data dari Riskesdas 2021 menunjukkan hanya sekitar 52,5 persen bayi di bawah 6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif.

    Angka ini menurun sekitar 12 persen dibandingkan dengan tahun 2019. Meskipun demikian, pemerintah telah menetapkan target cakupan ASI eksklusif sebesar 80 persen berdasarkan laporan Kemenkes pada 2023.

    Halaman 2 dari 3

    (naf/kna)

  • Puluhan Orang Dirawat di RS gegara Botox Abal-abal, Kondisinya Memprihatinkan

    Puluhan Orang Dirawat di RS gegara Botox Abal-abal, Kondisinya Memprihatinkan

    Jakarta

    Sebanyak 44 orang di Inggris dilarikan ke rumah sakit setelah menjalani prosedur suntik dengan produk serupa Botox yang tidak berizin. Menurut UK Health Security Agency (UKHSA), para korban mengalami infeksi botulisme yang melumpuhkan, dengan gejala serius yang bisa mengancam nyawa.

    Kasus-kasus ini, yang dilaporkan antara 4 Juni hingga 6 Agustus, menunjukkan pasien mengalami reaksi parah seperti kesulitan menelan, bicara cadel, dan kesulitan bernapas yang memerlukan bantuan pernapasan. Kondisi ini bisa berakibat fatal jika kelumpuhan menyebar ke otot-otot pernapasan tanpa pengobatan yang tepat.

    UKHSA menjelaskan bahwa kasus ini terkait dengan botulisme iatrogenik, sebuah penyakit langka dan serius yang disebabkan oleh paparan toksin botulinum yang terkandung dalam produk seperti Botox. Infeksi ini bisa terjadi jika terlalu banyak zat disuntikkan atau jika produk terkontaminasi bakteri.

    Risiko menjadi jauh lebih tinggi jika prosedur ini dilakukan oleh praktisi yang tidak berlisensi atau tidak terlatih.

    “Toksin ini menyerang sistem saraf, termasuk saraf, otak, dan sumsum tulang belakang, bahkan dapat menyebabkan kelumpuhan,” jelas Dr Gauri Godbole, konsultan mikrobiologi medis di UKHSA.

    Ia menambahkan, gejala dapat muncul hingga empat minggu setelah prosedur dilakukan.

    Merespons insiden ini, pemerintah Inggris mengumumkan tindakan keras terhadap prosedur kosmetik berisiko tinggi. Berdasarkan proposal yang ada, hanya tenaga kesehatan profesional yang berkualitas yang diizinkan untuk melakukan prosedur berisiko, dan klinik harus memenuhi aturan ketat untuk mendapatkan lisensi.

    Masyarakat juga diimbau untuk sangat berhati-hati. Dr. Alison Cave, kepala petugas keamanan di Badan Pengatur Obat dan Produk Kesehatan (MHRA), menegaskan bahwa toksin botulinum adalah obat resep dan hanya boleh diperoleh melalui praktisi berwenang.

    “Membeli toksin botulinum dari situs web secara signifikan meningkatkan risiko mendapatkan produk palsu atau tidak berizin. Ini berarti tidak ada jaminan produk memenuhi standar kualitas dan keamanan MHRA,” tegas Dr. Cave.

    Hingga saat ini, kasus-kasus tersebut dilaporkan berasal dari berbagai wilayah di Inggris, termasuk North East, East Midlands, East of England, North West, serta Yorkshire dan Humber. UKHSA mengimbau petugas medis untuk mewaspadai gejala botulisme pada pasien yang baru menjalani prosedur kosmetik, agar dapat segera diberikan penanganan.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/kna)

  • 6 Tanda Penyakit Ginjal Stadium Awal yang Terlihat di Kaki dan Tangan, Segera Cek!

    6 Tanda Penyakit Ginjal Stadium Awal yang Terlihat di Kaki dan Tangan, Segera Cek!

    Jakarta

    Penyakit ginjal stadium awal terkadang sulit didiagnosis karena pengidap sering kali tidak merasakan gejala yang jelas, bahkan mungkin tidak ada gejala sama sekali. Namun, tangan dan kaki dapat menunjukkan beberapa tanda peringatan yang mengindikasikan adanya masalah pada ginjal.

    Dengan mengenali tanda-tanda awal ini, penanganan medis yang tepat dapat dilakukan lebih cepat, sehingga pasien bisa mendapatkan perawatan sebelum kondisi berkembang lebih parah. Dikutip dari Times of India, berikut 6 tanda penting penyakit ginjal stadium awal yang dapat terlihat melalui perubahan pada tangan dan kaki.

    1. Pembengkakan pada Tangan dan Kaki

    Ketika fungsi ginjal tidak bekerja dengan baik, tubuh tidak mampu membuang kelebihan cairan secara efisien. Akibatnya, cairan tersebut tertahan di dalam tubuh dan memicu pembengkakan yang secara medis disebut edema.

    Pembengkakan ini dapat terlihat sebagai rasa bengkak atau berisi di area tangan, kaki, pergelangan kaki, dan bagian bawah tungkai. Pada beberapa kasus, kulit yang bengkak akan terasa tidak nyaman dan kencang, bahkan dapat meninggalkan lekukan (finger indentation) ketika ditekan.

    Masalah ginjal pada tahap awal sering kali diawali dengan gejala umum ini. Jika tidak ditangani, pembengkakan dapat bertambah parah dan menyebar ke area mata serta wajah. Penanganan medis sejak dini dapat membantu mengurangi penumpukan cairan dan meningkatkan kenyamanan tubuh.

    2. Perubahan Tekstur dan Warna Kulit

    Ginjal berperan membuang limbah dari tubuh, dan gangguan pada fungsi ginjal dapat memicu perubahan pada kulit tangan dan kaki. Kulit dapat menjadi kering, gatal, serta muncul ruam.

    Masalah ginjal juga dapat menyebabkan sirkulasi darah yang buruk dan penumpukan mineral, sehingga kulit terlihat pucat atau memiliki bercak berwarna tidak merata. Pengidap penyakit ginjal kronis umumnya mengalami perubahan warna kulit menjadi kuning kecokelatan.

    Perubahan ini sering membuat kulit terasa kasar atau bersisik. Penanganan medis yang tepat, disertai perawatan kulit yang benar, dapat membantu meredakan gejala tersebut.

    3. Kram Otot atau Kelemahan pada Kaki

    Ginjal berperan menjaga keseimbangan mineral tubuh dengan mengatur kadar kalium, kalsium, dan natrium. Kerusakan pada ginjal dapat memicu ketidakseimbangan mineral, yang kemudian menyebabkan kram otot, kejang, serta kelemahan.

    Kram otot yang menyakitkan biasanya lebih sering terjadi pada area kaki. Kondisi ini juga kerap disertai mati rasa atau sensasi kesemutan pada tangan dan kaki.

    Rasa nyeri akibat kram otot sering kali muncul pada malam hari saat tidur. Gejala otot ini umumnya berkaitan dengan ketidakseimbangan elektrolit yang disebabkan oleh gangguan fungsi ginjal.

    4. Perubahan pada Kuku Tangan dan Kaki

    Penyakit ginjal dapat memunculkan perubahan yang terlihat jelas pada kuku tangan maupun kaki. Salah satunya adalah kuku setengah-setengah (half-and-half nails), yaitu kondisi ketika bagian atas kuku tampak berwarna putih, sedangkan bagian bawahnya tetap memiliki warna alami kemerahan atau cokelat.

    Selain itu, pengidap juga bisa mengalami perubahan seperti garis putih melintang atau warna kuku yang tampak pucat. Kondisi ini terjadi karena kesehatan ginjal yang buruk dapat memengaruhi sirkulasi darah serta kadar nutrisi dalam tubuh.

    Kelainan pada kuku juga bisa menjadi tanda anemia, yang merupakan masalah umum pada pengidap penyakit ginjal.

    5. Jari Tangan dan Kaki Dingin atau Mati Rasa

    Penurunan fungsi ginjal dapat menyebabkan berkurangnya sirkulasi darah. Akibatnya, jari tangan dan kaki bisa terasa dingin disertai sensasi mati rasa atau kesemutan.

    Jika sensasi ini terjadi terus-menerus atau tanpa sebab yang jelas, pemeriksaan medis diperlukan karena bisa menjadi tanda kerusakan saraf yang berkaitan dengan masalah ginjal.

    Aliran darah yang menurun tidak hanya memicu rasa nyeri, tetapi juga dapat membatasi kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

    6. Gatal Berkepanjangan pada Tangan dan Kaki

    Kulit gatal dapat menjadi salah satu gejala penyakit ginjal. Kondisi ini terjadi akibat penumpukan zat sisa dalam darah karena fungsi penyaringan ginjal yang terganggu.

    Jika rasa gatal pada tangan dan kaki berlangsung terus-menerus hingga mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari, hal ini merupakan tanda serius yang memerlukan penanganan medis segera.

    Halaman 2 dari 3

    (suc/suc)

  • Pentingnya Nutrisi saat Hamil dan Menyusui, Cegah Stunting Sejak Dini

    Pentingnya Nutrisi saat Hamil dan Menyusui, Cegah Stunting Sejak Dini

    Jakarta

    Stunting masih menjadi tantangan kesehatan serius di Indonesia. Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi stunting berada di angka 21,5 persen. Tahun 2024, Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, menunjukkan adanya penurunan prevalensi stunting menjadi 19,8 persen.

    Meski turun dibanding tahun sebelumnya, stunting di beberapa provinsi masih menjadi persoalan. Berikut 10 provinsi dengan prevalensi stunting di atas angka nasional:

    Nusa Tenggara Timur: 37 persenSulawesi Barat: 35,4 persenPapua Barat Daya: 30,5 persenNusa Tenggara Barat: 29,8 persenAceh: 28,6 persenMaluku: 28,4 persenKalimantan barat: 26,8 persenSulawesi Tengah: 26,1 persenSulawesi Tenggara: 26,1 persenPapua Selatan: 25,7 persen

    Kondisi ini tidak hanya berdampak pada pertumbuhan fisik anak, tetapi juga berpengaruh terhadap perkembangan otak, daya tahan tubuh, hingga kualitas hidup jangka panjang.

    Studi tahun 2021 yang dipublikasikan di jurnal Gaceta Sanitaria berjudul ‘Role of Maternal in Preventing Stunting: A Systematic Review’ menekankan, upaya pencegahan dan penanganan stunting harus terus dioptimalkan. Hal ini tidak terlepas dari berbagai konsekuensi jangka pendek maupun jangka panjang yang ditimbulkan oleh stunting.

    Dalam jangka pendek, stunting dapat menyebabkan gangguan perkembangan otak, keterlambatan perkembangan kognitif, gangguan pertumbuhan fisik, serta gangguan metabolisme dalam tubuh. Sementara dalam jangka panjang, dampaknya meliputi penurunan kemampuan kognitif dan prestasi belajar, rendahnya sistem kekebalan tubuh yang membuat anak lebih rentan terhadap penyakit, serta peningkatan risiko penyakit kronis seperti diabetes, obesitas, gangguan kardiovaskular, kanker, stroke, hingga disabilitas pada usia lanjut.

    “Konsekuensi ini sejalan dengan stunting yang terjadi pada masa bayi dan anak usia dini, yang berdampak pada peningkatan angka morbiditas, rendahnya fungsi kognitif dan prestasi akademik di masa anak-anak, peningkatan risiko kematian perinatal dan kematian dini pada perempuan, hingga menurunnya produktivitas dan pendapatan saat dewasa,” demikian tulis para peneliti.

    Kebutuhan Nutrisi Selama Hamil-Menyusui

    Adapun salah satu fondasi utama untuk mencegah stunting adalah pemenuhan kebutuhan gizi sejak masa kehamilan dan menyusui.

    Studi tahun 2017 berjudul ‘Assessment of the Nutrient Intake and Micronutrient Status in the First Trimester of Pregnant Women in Jakarta’ yang dipublikasikan di Medical Journal of Indonesia mengungkapkan sebagian besar Ibu hamil di Jakarta memiliki asupan energi dan nutrisi maternal yang rendah. Studi ini juga menyebut, gizi Ibu sebelum dan selama kehamilan sangat penting untuk hasil kehamilan yang sehat.

    Trimester pertama merupakan periode yang paling krusial karena pada 13 minggu pertama ini terjadi proses konsepsi, implantasi, dan organogenesis. Kekurangan makro dan mikronutrien berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan Ibu maupun janin.

    Status gizi yang kurang optimal telah terbukti dapat menyebabkan keguguran, gangguan pertumbuhan janin dalam kandungan (intrauterine growth restriction), preeklampsia, infeksi, persalinan prematur, berat badan lahir rendah, dan anemia. Selain itu, kondisi ini juga meningkatkan risiko kematian Ibu dan bayi baru lahir.

    Gizi Ibu juga berdampak besar terhadap kesehatan jangka panjang anak, termasuk dalam proses ‘pemrograman’ penyakit tidak menular. Berbagai studi telah membuktikan, 1.000 hari pertama kehidupan (selama kehamilan dan dua tahun pertama setelah lahir) merupakan periode krusial untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak.

    “Asupan gizi yang baik dan pertumbuhan yang sehat pada periode ini akan memberikan manfaat jangka panjang sepanjang hidup,” tulis para peneliti.

    Pentingnya Nutrisi saat Hamil dan Menyusui, Cegah Stunting Sejak Dini Foto: infografis detikHealth

    Pentingnya Protein

    Senada, Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Prof Dr dr Yudi Mulyana Hidayat, SpOG(K)-Onk, menegaskan kebutuhan gizi, khususnya protein, meningkat signifikan selama masa kehamilan.

    Protein berperan penting dalam menunjang pertumbuhan janin, termasuk perkembangan otak dan tubuh bayi. Kekurangan asupan protein dapat menghambat tumbuh kembang janin, bahkan berdampak jangka panjang terhadap kualitas hidup anak di masa mendatang.

    Sayangnya, sebagian besar Ibu hamil di Indonesia masih menghadapi tantangan gizi. Menurut Prof Yudi, sekitar 80 persen Ibu hamil mengalami anemia. Kondisi ini mengindikasikan kekurangan sel darah merah yang seharusnya membawa oksigen dan nutrisi penting dari Ibu ke janin. Ketika suplai darah terganggu, pertumbuhan janin pun ikut terhambat, yang dapat berujung pada kelahiran bayi dengan berat badan rendah atau kondisi stunting.

    “Kalau asupan ini (protein) kurang ya tentu tapi pertumbuhan bayinya jadi terhambat. Perkembangan otaknya juga terhambat,” ucapnya saat berbincang dengan detikcom, Senin (21/7/2025).

    “Jadi artinya apa? Kita harus sadar Ibu hamil banyak yang kekurangan darah, kekurangan protein, dan sebagainya. Ditambah lagi dia harus berbadan dua. Berbadan dua berarti apa? Harus lebih banyak. Itu yang harus kita sadari bersama. Sehingga betul-betul memperhatikan apa yang dimakan oleh bayi kita supaya bayi bisa lebih baik,” ucapnya lagi.

    Oleh karena itu, Ibu hamil dianjurkan untuk mengonsumsi makanan bergizi seimbang, termasuk sumber protein. Menurut laporan dari Food and Agriculture Organization (FAO), jenis makanan protein seperti daging, telur, dan susu menawarkan sumber penting nutrisi yang sangat dIbutuhkan yang tidak dapat dengan mudah diperoleh dari makanan nabati.
    Ini sangat penting selama tahap-tahap kehidupan utama seperti kehamilan dan menyusui, masa kanak-kanak, remaja dan usia yang lebih tua.

    Meski begitu, asupan protein yang cukup didefinisikan sebagai kemampuan protein dalam makanan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh, yang tidak hanya bergantung pada jumlah protein yang disediakan, tetapi juga pada kualitas protein dalam hal keseimbangan asam amino esensial dan tingkat kecernaannya.

    Menurut studi 2016 yang dipublikasikan di jurnal Animal yang berjudul ‘An Approach to Including Protein Quality When Assessing the Net ContrIbution of Livestock to Human Food Supply’, FAO mengusulkan skor asam amino esensial tercerna Digestible Indispensable Amino Acid Score (DIAAS) sebagai metode yang disukai untuk menggambarkan kualitas protein makanan. Metode ini akan menggantikan PDCAAS (Protein Digestibility-Corrected Amino Acid Score) yang telah digunakan selama lebih dari 20 tahun untuk menilai kualitas protein.

    Skor asam amino didefinisikan sebagai rasio antara kandungan asam amino esensial terbatas dalam protein uji terhadap kandungan asam amino yang sama dalam protein acuan. Dalam metode PDCAAS, skor asam amino dikoreksi menggunakan kecernaan nitrogen berdasarkan feses (true fecal nitrogen digestibility), sedangkan dalam DIAAS, digunakan kecernaan asam amino di ileum (bagian akhir usus halus) untuk setiap asam amino esensial (true ileal digestibility).

    Dari segi mutu, protein hewani secara umum memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan protein nabati. Protein hewani juga berkontrIbusi besar terhadap pasokan protein bagi manusia di seluruh dunia.

    Mengacu pada tabel dalam studi tersebut, whole milk powder atau susu bubuk utuh memiliki nilai DIAAS (Digestible Indispensable Amino Acid Score) tertinggi, yaitu 115,9, disusul oleh daging dengan nilai 111,6. Nilai DIAAS yang tinggi menandakan protein tersebut mengandung asam amino esensial dalam jumlah memadai dan mudah dicerna serta dimanfaatkan oleh tubuh.

    Hal ini menjadi penting terutama pada masa kehamilan, ketika kebutuhan protein Ibu meningkat seiring dengan perkembangan janin dan perubahan metabolisme tubuh. Protein berkualitas tinggi sangat dIbutuhkan untuk mendukung pembentukan otak, otot, dan jaringan tubuh janin, serta menjaga kesehatan Ibu selama kehamilan.

    Sementara itu, sebuah studi di jurnal Advances in Nutrition yang berjudul ‘Effects of Milk and Dairy Product Consumption on Pregnancy and Lactation Outcomes: A Systematic Review’, mengatakan susu dan produk olahan susu paling efektif untuk meningkatkan pertumbuhan janin dan ukuran bayi baru lahir karena mengandung berbagai zat gizi seperti protein, kalsium, fosfor, kalium, yodium, vitamin B12, dan riboflavin.

    Kelompok makanan ini secara konsisten menunjukkan kepadatan zat gizi yang tinggi, yang penting selama keadaan fisiologis seperti kehamilan dan menyusui.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Video CISDI: PMT Bisa Jadi Alternatif Beri Pangan Bergizi untuk Anak “
    [Gambas:Video 20detik]
    (suc/up)

  • Dokter Harvard Beberkan Tips Menjaga Kesehatan Hati Lewat 5 Makanan Ini

    Dokter Harvard Beberkan Tips Menjaga Kesehatan Hati Lewat 5 Makanan Ini

    Jakarta

    Liver atau hati merupakan salah satu organ dengan tugas yang cukup vital. Secara diam-diam, hati menangani 500 fungsi penting, termasuk detoksifikasi darah, memecah lemak, dan memproses nutrisi.

    Dikutip dari Times of India, saat ini pola makan manusia modern tanpa disadari dapat membebani kerja dari liver. Ini karena makanan-makanan tersebut penuh dengan gula, hingga lemak.

    Salah satu masalah yang bisa muncul, saat seseorang tidak menjaga pola makannya adalah fatty liver atau perlemakan hati. Penyakit ini muncul karena adanya penumpukan berlebih di organ hati.

    Seseorang dinyatakan mengalami kondisi ini saat berat organ hati melebihi ukuran normal, yaitu hingga 5-10 persen lebih berat. Penumpukan lemak yang terjadi menyebabkan pengidap fatty liver mengalami gangguan fungsi hati.

    Berikut makanan-makanan yang direkomendasikan oleh spesialis gastroenterologi dr Saurabh Sethi, MD, MPH di Harvard dan Stanford untuk mencegah fatty liver.

    1. Kopi Hitam

    Kopi hitam tanpa gula telah menunjukkan manfaat perlindungan hati dalam berbagai penelitian. Kopi dapat mengurangi risiko fibrosis hati dan meningkatkan kadar enzim.

    dr Sethi mengatakan kopi hitam adalah makanan terbaik di antara yang lainnya untuk mengatasi kondisi fatty liver.

    2. Alpukat

    Alpukat kaya akan lemak tak jenuh tunggal dan gluthatione, yang keduanya mendukung kesehatan hati. Menurut dr Sethi, alpukat berperan dalam menurunkan peradangan dan meningkatkan kolesterol baik atau high-density lipoprotein (HDL).

    3. Chia Seed

    Biji chia merupakan biji-bijian kecil dari tanaman Salvia hispanica, yang termasuk dalam keluarga tanaman mint. Biji ini kaya akan serat, protein, omega-3, omega-6, vitamin B, kalsium, fosfor, selenium, kalium, zat besi, dan magnesium.

    Menurut dr Sethu, biji chia membantu memperlambat penyerapan gula dan menurunkan kadar kolesterol.

    4. Buah Beri

    Buah-buahan seperti blueberry, raspberry, dan stroberi kaya akan polifenol dan antosianin, yakni senyawa yang telah dikaitkan dengan peningkatan fungsi hati dan pengurangan peradangan.

    5. Buah Bit

    Buah ini kaya akan betaine, senyawa yang mendukung jalur detoksifikasi hati mengurangi stres oksidatif. dr Sethi mendukung konsumsi buah bit untuk mereka yang memiliki kondisi fatty liver. Bit dapat dikonsumsi baik secara mentah, dijus, atau dipanggang.

    Halaman 2 dari 2

    (dpy/kna)

  • IDAI Soroti Cek Kesehatan Gratis, Anak Putus Sekolah Juga Perlu Dapat

    IDAI Soroti Cek Kesehatan Gratis, Anak Putus Sekolah Juga Perlu Dapat

    Jakarta

    Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyambut baik salah satu program quick win Presiden Prabowo Subianto. Program itu adalah Cek Kesehatan Gratis (CKG) bagi anak sekolah di Indonesia.

    Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, dr Hikari Ambara Sjakti, SpA, Subsp Hema-Onk(K), mengungkapkan cek kesehatan rutin ini dapat menjadi salah satu deteksi dini berbagai masalah kesehatan pada anak. Mulai dari malnutrisi, anemia, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, infeksi, atau penyakit kronis lainnya.

    “IDAI berharap program Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG) untuk anak usia sekolah yang sangat baik ini dapat dilakukan secara menyeluruh dan merata pada semua anak Indonesia dan bukan hanya di sekolah-sekolah perkotaan atau daerah dengan fasilitas kesehatan memadai,” tutur dr Hikari dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Jumat (8/8/2025).

    “Karena Program PKG dilakukan melalui sekolah, maka perlu juga dipikirkan bagaimana untuk menjangkau anak putus sekolah,” sambungnya.

    dr Hikari juga mendorong agar hasil pemeriksaan dari program ini dapat disertai dengan rujukan ke fasilitas kesehatan lain. Misalnya seperti ke puskesmas atau rumah sakit, terutama bagi anak yang kurang mampu untuk membantu terkait biaya dan aksesnya.

    Selain itu, kesiapan infrastruktur harus diperhatikan. Sebab, masih banyak daerah yang memiliki keterbatasan dari alat pemeriksaan dasar, seperti timbangan, stadiometer, atau alat ukur hemoglobin.

    Menurut dr Hikari, hal ini yang membuat cek kesehatan sering terbatas pada pengukuran tinggi badan, berat badan, dan tekanan darah, tanpa pemeriksaan lanjutan seperti tes hemoglobin (untuk anemia), pemeriksaan kesehatan gigi-mulut, atau skrining gangguan mental.

    “Tentunya ini akan mengurangi efektifitas program tersebut. Dalam jangka panjang, beberapa penyakit penting juga diharapkan menjadi bagian dari Pemeriksaan Kesehatan Gratis seperti skrining thalasemia yang pembiayaannya sangat besar. Skrining thalasemia sangat penting untuk mencegah terjadinya sakit thalasemia sehingga akan sangat mengurangi pembiayaan kesehatan,” tuturnya.

    Tantangan lainnya adalah bagaimana menyadarkan orang tua dan pihak sekolah soal pentingnya cek kesehatan pada anak-anak. IDAI berharap program ini dapat berjalan beriringan dengan edukasi masyarakat terkait upaya pencegahan penyakit.

    Selain itu, IDAI berharap program ini tidak hanya menjadi formalitas, tetapi dapat berjalan secara berkelanjutan.

    Ketua Pengurus Pusat IDAI, dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA, Subs Kardio(K), program ini dapat melibatkan dokter spesialis anak yang jumlahnya lebih dari 5.600 dokter.

    “IDAI juga telah mengembangkan panduan protokol pemeriksaan kesehatan anak sekolah yang terstandarisasi,” tambah dr Piprim.

    dr Hikari berharap semua pihak, termasuk masyarakat, untuk bersama-sama memastikan program ini berjalan efektif dan berkelanjutan.

    “Dengan kolaborasi semua pihak, program ini dapat memberi dampak yang lebih besar bagi kesehatan anak Indonesia,” tutup dr Hikari.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/naf)

  • Ini Loh Alasan Telinga Nggak Boleh Dikorek Pakai Cotton Bud, Efeknya Serius

    Ini Loh Alasan Telinga Nggak Boleh Dikorek Pakai Cotton Bud, Efeknya Serius

    Jakarta

    Ajeng Dian Anggi Pertiwi (34) di Malang, Jawa Timur menceritakan pengalamannya operasi telinga akibat kupingnya terlalu bersih. Ini diduga disebabkan oleh kebiasaan membersihkan telinga dengan cotton bud.

    Ketika diperiksa oleh dokter, awalnya didiagnosis terinfeksi jamur akibat telinga bersih. Lalu, ketika sudah sembuh, dokter justru menemukan kondisi lain di telinganya yaitu kolesteatoma, yang membuatnya terpaksa harus dioperasi.

    “Akhirnya sama dokternya, aku disarankan untuk CT scan dan hasil nya ada penumpukkan cairan di telinga tengah. Dokter bilang harus diambil karena kalau menyebar bisa kena otak atau meningitis, muka penceng dan lain-lain. Pikiran sudah kacau nggak karuan, dokter menyarankan harus operasi penambalan sama pengangkatan kolesteatoma tersebut,” cerita Anggi pada detikcom, Kamis (7/8/2025).

    Terlepas dari kondisi yang dialami Anggi, spesialis telinga hidung tenggorokan (THT) dr Ahmad Wahyudin THT-KL menjelaskan terlalu sering membersihkan telinga dengan cotton bud, memang dapat meningkatkan risiko infeksi jamur.

    Secara umum, liang telinga dilindungi oleh asam yang menghambat perkembangan patogen. Ini membuat telinga sebenarnya tidak perlu dibersihkan setiap hari.

    Ketika terlalu sering dibersihkan, maka ini akan merusak lapisan asam yang ada di dalam liang telinga.

    “(Lapisan asam) ini menjadi tergerus dan lama kelamaan habis sehingga pH (tingkat asam-basa) liang telinga menjadi basa. Hal ini yang mengakibatkan bakteri mudah berkembang,” ujar dr Ahmad ketika dihubungi detikcom, Jumat (8/8/2025).

    dr Ahmad menyarankan pembersihan telinga dengan cotton bud sebaiknya dilakukan pada 1/3 luar liang telinga atau sekitar 1 cm. Untuk pembersihan telinga sebaiknya cukup dilakukan 6-12 bulan.

    Sedangkan, untuk kolesteatoma sendiri merupakan kondisi yang terjadi ketika sel-sel kulit mati menumpuk di belakang gendang dan membentuk benjolan atau kista.

    “Dalam bahasa awam berarti peradangan pada telinga akibat penumpukan lapisan sel kulit yang menggumpal serta dapat menembus tulang. Penyebabnya adalah infeksi pada telinga yang terus menerus sehingga membentuk kolesteatoma,” ujar dr Ahmad.

    Meski kondisi ini juga berkaitan dapat berkaitan dengan infeksi, menurut dr Ahmad kondisi ini tidak disebabkan oleh kebiasaan membersihkan telinga. dr Ahmad mengatakan 80 persen masalah pada telinga tengah, termasuk kolesteatoma, disebabkan oleh gangguan fungsi tuba eustachius, saluran penghubung telinga dan rongga hidung bagian belakang.

    Meski begitu, ada kemungkinan cotton bud juga dapat memicu peradangan pada area liang telinga, yang disebut otitis eksterna. Ini meningkatkan risiko kolesteatoma jenis lain, yaitu kolesteatoma eksternal, yang terjadi pada liang telinga.

    Meski begitu, ia mengingatkan kondisi ini juga dipengaruhi faktor risiko lain seperti seperti diabetes dan usia lanjut.

    “Pertanyaannya, apakah semua infeksi telinga adalah kolesteatoma, jawabannya tidak,” tutupnya.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/kna)

  • Situasi China yang Dilanda Wabah Chikungunya, Kasusnya Tembus 7 Ribu

    Situasi China yang Dilanda Wabah Chikungunya, Kasusnya Tembus 7 Ribu

    Foto Health

    Rafida Fauzia – detikHealth

    Jumat, 08 Agu 2025 14:23 WIB

    China – China mencatat lebih dari 7.000 kasus chikungunya. Pemerintah menindak tegas warga yang membiarkan genangan air untuk cegah penyebaran.

  • Awal Mula Wanita Malang Jalani Operasi gegara Telinganya Terlalu Bersih

    Awal Mula Wanita Malang Jalani Operasi gegara Telinganya Terlalu Bersih

    Jakarta

    Viral di media sosial curhatan seorang wanita di Malang bernama Ajeng Dian Anggi Pertiwi (34) yang terpaksa dioperasi usai keseringan bersihkan telinga dengan cotton bud. Ia harus menjalani perawatan serius setelah dokter menemukan infeksi jamur dan penyakit kolesteatoma, pertumbuhan abnormal jaringan kulit di telinga tengah yang menyebabkan kerusakan pada tulang telinga dan gangguan pendengaran.

    Kepada detikcom, Anggi menceritakan ini semua berawal dari kebiasaannya suka membersihkan telinga empat tahun lalu. Sampai suatu waktu, ia mulai merasakan gejala nyeri tiap selesai membersihkan telinga.

    Rasa nyeri biasanya muncul selama 2-3 hari sebelum akhirnya mereda. Tapi pada suatu waktu, rasa nyerinya tidak hilang selama beberapa minggu.

    “Akhirnya aku ke dokter umum, karena takut dokter THT (telinga hidung tenggorokan), terus dokter bilang di dalam bengkak, nggak ada kotor, akhirnya aku cuma dikasi obat anti-nyeri, sembuhlah 3 harian, tapi obat habis brerasa lagi nyerinya, aku belikan lagi obat yang sama gitu terus kurang lebih 2-3 bulanan,” cerita Anggi, Kamis (7/8/2025).

    Setelah berulang kali menggunakan obat tersebut, salah satu temannya yang juga dokter memberikan obat tetes telinga khusus. Semenjak saat itu, nyerinya hilang sama sekali.

    Ia mengaku sempat merasakan gejala ‘kuping bocor’ selama satu bulan. Meski gejala itu sudah hilang, pendengaran di telinga kanannya menurun.

    Pada pertengahan tahun 2024, ia akhirnya memberanikan diri ke dokter THT dan dokter saat itu menemukan ada infeksi jamur di telinga Anggi. Infeksi tersebut diduga disebabkan oleh kondisi yang telinga yang terlalu bersih akibat sering menggunakan cotton bud.

    Beberapa bulan perawatan, Anggi sembuh dari infeksi jamur. Namun, dokter justru juga menemukan kolesteatoma yang membuatnya harus dioperasi.

    Meski takut, Anggi tetap memberanikan diri untuk operasi. Dokter yang memeriksanya saat itu mengatakan kondisinya akan semakin parah jika tidak segera dioperasi. Bahkan bisa berdampak fatal pada keselamatan Anggi.

    “Di saat aku tunggu jadwal operasi makin kesini sepertinya makin memburuk, makin sering tiba-tiba keluar darah segar seperti mimisan tapi lewat telinga, 3-4 kalian itu terjadi. Aku juga disuruh untuk tes pendengaran yang hasilnya pendengaran aku menurun 65 persen untuk telinga kanan dan yang kiri masih normal,” ceritanya.

    Anggi akhirnya dioperasi pada April 2025. Operasi berjalan lancar dan kini dirinya sedang proses pemulihan.

    Ia berharap apa yang dialaminya bisa menjadi pelajaran berharga bagi banyak orang. Salah satunya, untuk tidak terlalu sering membersihkan telinga dengan cotton bud, apalagi terlalu dalam.

    “Intinya jangan mengorek telinga terlalu dalam, jangan menyepelekan penyakit apapun itu. Segera ke dokter jika merasakan sakit biar segera tertolong dan nggak fatal,” ujar Anggi.

    “Lebih ke cara menggunakan cotton bud yg benar aja si kak, boleh di bersihkan pake cotton bud itu hanya di liang telinga tidak boleh sampai masuk,” tandasnya menyampaikan pesan dokter padanya.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/kna)

  • Pentingnya Kesehatan Mental pada Ibu Hamil dan Menyusui

    Pentingnya Kesehatan Mental pada Ibu Hamil dan Menyusui

    Jakarta

    Kelahiran seorang bayi bisa memunculkan beragam emosi yang kuat, mulai dari kebahagiaan dan antusiasme, hingga rasa takut dan cemas. Namun, di balik momen penuh haru ini, tak jarang muncul kondisi yang tak terduga: depresi.

    Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 10 persen Ibu hamil dan 13 persen Ibu yang baru melahirkan mengalami gangguan mental, terutama depresi. Di negara berkembang, angka ini bahkan lebih tinggi, yakni 15,6 persen selama kehamilan dan 19,8 persen setelah melahirkan.

    Sebagian besar Ibu baru akan mengalami kondisi yang dikenal sebagai baby blues setelah melahirkan. Gejalanya mencakup perubahan suasana hati, mudah menangis, rasa cemas, hingga gangguan tidur. Baby blues biasanya muncul dalam 2 hingga 3 hari pertama setelah persalinan dan dapat berlangsung hingga dua minggu.

    Namun, pada beberapa Ibu, gejala tersebut berkembang menjadi kondisi yang lebih serius dan berlangsung lebih lama, yaitu depresi pascapersalinan atau disebut postpartum depression, karena bisa muncul sejak masa kehamilan dan berlanjut setelah melahirkan. Dalam kasus yang sangat jarang, Ibu dapat mengalami gangguan suasana hati yang ekstrem yang dikenal sebagai postpartum psychosis atau psikosis pascapersalinan.

    Perlu dipahami bahwa depresi pascapersalinan bukanlah tanda kelemahan atau kekurangan pribadi. Ini adalah salah satu bentuk komplikasi medis yang dapat terjadi setelah melahirkan. Dengan penanganan yang cepat dan tepat, gejala dapat dikelola, dan hubungan emosional antara Ibu dan bayi tetap dapat terjalin dengan kuat.

    Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga/BKKBN) melaporkan 57 persen Ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues. Persentase ini disebut menjadikan angka Ibu yang mengalami baby blues di Indonesia tertinggi se-Asia.

    “Lima puluh tujuh persen Ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues, angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara peringkat tertinggi di Asia dengan risiko baby blues,” kata Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga Kemendukbangga/BKKBN Nopian Andusti dalam sebuah sesi diskusi daring.

    Sementara itu menurut data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, sekitar 9,1 persen Ibu mengalami keluhan saat masa nifas, 1,1 persen di antaranya mengalami baby blues.

    Guru Besar Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Endang Retno Surjaningrum, S.Psi, M.Appa, Psych, PhD, mengatakan pada 2019 tercatat prevalensi depresi postpartum pada rentang 20,5 hingga 25,4 persen, menjadikan satu dari lima perempuan mengalami kondisi kesehatan mental yang buruk.

    Ada berbagai faktor yang membuat seorang Ibu mengalami depresi dan gangguan mental, misalnya, perubahan hormon, stres fisik dan emosional, komplikasi kehamilan, hingga kurangnya dukungan sosial.

    “Ibu dengan masalah kesehatan mental berisiko mengalami komplikasi selama kehamilan dan persalinan. Menyebabkan kunjungan ke perawatan antenatal dan postnatal terganggu, cakupan gizi yang tidak memadai, peningkatan risiko preeklamsia, melahirkan prematur, dan kesulitan menyusui,” papar Prof Endang, dikutip dari laman Universitas Airlangga (Unair).

    Ibu yang mengalami depresi setelah melahirkan dapat mengalami penderitaan yang mendalam, hingga kesulitan untuk menjalani aktivitas dasar seperti makan, mandi, atau merawat diri sendiri. Kondisi ini meningkatkan risiko gangguan kesehatan, baik fisik maupun mental.

    Menurut WHO, bayi baru lahir sangat sensitif terhadap lingkungan sekitarnya dan kualitas pengasuhan yang diterima. Karena itu, bayi sangat mungkin terdampak jika diasuh oleh Ibu yang mengalami gangguan kesehatan mental.

    Depresi atau gangguan mental yang berat dan berkepanjangan dapat menghambat ikatan emosional antara Ibu dan bayi, termasuk mengganggu proses menyusui dan pemberian Air Susu Ibu (ASI).

    Hubungan Kesehatan Mental Ibu dengan Kelancaran ASI

    Pemberian Air Susu Ibu (ASI) pada dasarnya dimulai dalam satu jam pertama setelah kelahiran dan dilanjutkan dengan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan. Artinya, bayi hanya diberikan ASI tanpa tambahan makanan atau minuman lain, termasuk air putih.

    Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Kementerian Kesehatan RI, dr Lovely Daisy, MKM, menjelaskan, ASI eksklusif sejak usia 0 hingga 6 bulan merupakan sumber gizi utama yang mengandung zat gizi terlengkap dan terbaik bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi.

    “ASI mengandung zat antibodi yang penting untuk kekebalan tubuh bayi dalam mencegah ataupun melawan penyakit infeksi,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Senin (21/7/2025).

    “Di dalam ASI terdapat kandungan Asam Lemak (DHA dan ARA) yang penting untuk perkembangan otak sehingga pemberian ASI Eksklusif sangat disarankan pada bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan. Menghemat pengeluaran keluarga dan negara jika dibandingkan dengan minuman selain ASI,” lanjutnya.

    Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, cakupan ASI eksklusif di Indonesia mencapai 68,6 persen. Provinsi dengan cakupan tertinggi antara lain Nusa Tenggara Barat (87,9 persen), Jambi (81,3 persen), dan Nusa Tenggara Timur (79,7 persen). Sementara itu, provinsi dengan cakupan terendah adalah Gorontalo (47,4 persen), Papua Barat Daya (47,7 persen), dan Sulawesi Utara (52 persen).

    Pentingnya Kesehatan Mental pada Ibu Hamil dan Menyusui Foto: infografis detikHealth

    Sementara itu, menurut data terbaru dari Profil Kesehatan Ibu dan Anak 2024 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 74,73 persen anak usia 0-5 bulan mendapatkan ASI eksklusif.

    Meski angkanya cukup tinggi, masih ada bayi yang mungkin tak mendapatkan ASI eksklusif. Kondisi ini bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah gangguan kesehatan mental yang dialami Ibu pasca melahirkan.

    Gangguan seperti baby blues maupun depresi pascapersalinan dapat menghambat proses menyusui. Ibu yang mengalami kondisi ini sering kali merasa cemas, sedih, atau kelelahan secara emosional, sehingga kesulitan memberikan ASI secara optimal.

    Menurut studi yang dipublikasikan di jurnal Clinical Nutrition yang berjudul ‘Maternal stress in the Postpartum Period is Associated with Altered Human Milk Fatty Acid Composition’, stres yang dialami Ibu pada bulan pertama setelah melahirkan berhubungan dengan penurunan kadar total asam lemak (fatty acid) dalam ASI. Temuan ini mengindikasikan perubahan dalam komposisi ASI bisa menjadi salah satu jalur penularan dampak stres dari Ibu ke bayi.

    “Asam lemak dalam ASI sangat krusial untuk perkembangan anak, termasuk neurologis,” tulis para ilmuwan dalam jurnal tersebut.

    Meski begitu, penelitian lanjutan diperlukan untuk menentukan apakah perubahan ini berdampak terhadap perkembangan anak di masa depan.

    Studi lainnya yang dipublikasikan di International Breastfeeding Journal dengan judul ‘Association Between Postpartum Anxiety and Depression and Exclusive and Continued Breastfeeding Practices: a Cross-Sectional Study in Nevada, USA,’ juga mengatakan gejala kecemasan dan depresi pasca-persalinan Ibu sebagai faktor yang terkait dengan praktik menyusui yang lebih rendah di antara anak-anak di bawah usia dua tahun (0-23 bulan).

    “Adanya depresi serta adanya komorbiditas gejala kecemasan dan depresi pascapersalinan dikaitkan dengan Exclusive Breastfeeding (EBF) yang lebih rendah. Selain itu, gejala kecemasan pascapersalinan dikaitkan dengan (Continuous Breastfeeding) yang lebih rendah,” demikian laporan jurnal tersebut.

    Senada, Ketua Satgas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr dr Naomi Esthernita, SpA, SubspNeo(K) menjelaskan kesehatan mental Ibu sangat memengaruhi kelancaran menyusui, baik dari segi kuantitas maupun kualitas ASI yang dihasilkan.

    “Literatur banyak sekali yang membahas terutama mental. Itu ada anxiety, stress, dan depresi postpartum. Ibu-Ibu yang mengalami stress postpartum itu akan berbeda dalam hal ASI-nya berbeda kualitas dari efek fatty acid-nya. Jadi asam lemaknya beda. Dan setelah diteliti banyak hal, beberapa case juga kan skor stresnya tingginya si Ibu nih,” ucapnya kepada detikcom, Senin (21/7).

    Tak hanya itu, stres emosional juga menyebabkan peningkatan kadar hormon kortisol, yang pada gilirannya dapat menurunkan kadar prolaktin, hormon utama untuk produksi ASI. Bahkan, stres yang berkelanjutan juga bisa mengubah komposisi mikrobiota dalam ASI, yang penting untuk membentuk kekebalan tubuh bayi.

    “Berarti memang masalah kesehatan mental ini baik baby blues atau postpartum depression ini sangat mempengaruhi kualitas dan produksi ASI itu sendiri. Jadi komposisi ASI juga menurut literatur akan berbeda. Terus juga dengan stress volume asinnya juga bisa berkurang karena stres, cortisol nya naik, hormon prolaktinnya jadi turun,” lanjutnya.

    Karena itu, menurut dr Naomi, isu kesehatan mental seperti baby blues dan depresi pascapersalinan perlu mendapat perhatian serius karena sangat berpengaruh terhadap keberhasilan menyusui. Tanpa dukungan yang tepat, gangguan mental pada Ibu dapat menghambat keterikatan Ibu dan bayi, serta menurunkan keberhasilan pemberian ASI eksklusif.

    Terlebih, anak yang tak mendapatkan ASI dikaitkan dengan risiko kesehatan, termasuk stunting. Menurut studi yang dipublikasikan di Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia dengan judul ‘Tinjauan Sistematis: Faktor Pelindung dari Risiko Stunting pada Masa Menyusui’, ASI mengandung berbagai nutrisi penting, mulai dari makronutrien seperti protein, karbohidrat, lemak, dan karnitin, hingga mikronutrien seperti vitamin, mineral, serta zat bioaktif yang dIbutuhkan oleh bayi dan anak di bawah lima tahun.

    “Pemberian ASI eksklusif dapat menurunkan risiko stunting, karena bayi dan anak di bawah lima tahun sangat membutuhkan nutrisi yang terkandung dalam ASI,” demikian bunyi studi tersebut.

    Sebaliknya, rendahnya cakupan pemberian ASI dapat berdampak buruk terhadap kualitas hidup anak di masa depan dan bahkan memengaruhi kondisi ekonomi suatu negara.
    “Upaya penurunan stunting di mana satu di antaranya adalah pemberian ASI eksklusif,” ucap dr Daisy.

    dr Daisy juga mengatakan penting pula menekankan proses menyusui secara langsung atau Direct Breastfeeding (DBF), karena dapat membangun ikatan emosional (bonding) antara Ibu dan bayi. Jika ASI diberikan tidak secara langsung, maka perlu menggunakan perantara seperti botol dan dot yang berisiko terkontaminasi jika tidak dicuci dan disterilkan dengan benar.

    Selain manfaat dari sisi psikologis, menyusui secara langsung juga memberikan stimulasi pada otak Ibu melalui isapan bayi. Proses ini merangsang pelepasan hormon prolaktin yang berfungsi memproduksi ASI, serta hormon oksitosin yang membantu mengalirkan ASI. Dengan demikian, produksi ASI cenderung lebih optimal ketika bayi menyusu langsung dari payudara.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Video: Jangan Panik Moms Jika ASI Tak Langsung Keluar Setelah Melahirkan”
    [Gambas:Video 20detik]
    (suc/up)