Jenis Media: Kesehatan

  • Video: Sederet Cara Penanganan Trauma Pascabencana untuk Orang Dewasa

    Video: Sederet Cara Penanganan Trauma Pascabencana untuk Orang Dewasa

    Video: Sederet Cara Penanganan Trauma Pascabencana untuk Orang Dewasa

  • Dilema Pelari Rekreasional, Ingin ‘Push the Limit’ Tapi Kok Ngeri Jantung Kolaps

    Dilema Pelari Rekreasional, Ingin ‘Push the Limit’ Tapi Kok Ngeri Jantung Kolaps

    Jakarta

    Banyak pelari mungkin berada di posisi serba salah saat ikut event lari. Di satu sisi, mereka ingin push the limit demi catatan waktu terbaik. Tapi, di sisi lain muncul rasa takut kolaps di tengah lomba, apalagi setelah beberapa insiden peserta meninggal di berbagai ajang lari.

    Spesialis olahraga, dr Andhika Raspati SpKO mengatakan konsep semangat atau jargon ‘push the limit’ yang akrab di dunia lari, memiliki aturan main yang seharusnya diikuti oleh para pelari. Terlebih, saat hal ini membicarakan keselamatan peserta.

    Banyak yang menggunakan jargon ini untuk memotivasi diri saat sedang mengikuti event lari. Tujuannya untuk memecahkan rekor pribadi alias Personal Best (PB) atau mencoba lari jarak jauh yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

    “Kalau kita bicara safety ya, push the limit ada aturan mainnya. Artinya nggak boleh terlalu mendadak. Kalau kita biasa di pace 7, ya jangan nge-push pace 5, tapi ke pace 6.30 dulu atau pace 6.45,” kata dr Dhika kepada detikcom saat dihubungi, Senin (8/12/2025).

    Aturan main selanjutnya, lanjut dr Dhika yakni tentang bagaimana seseorang mampu meredam ego dalam olahraga ini. Tujuan haruslah disesuikan dengan kemampuan tubuh masing-masing orang.

    “Kedua, mau cepet-cepet ngebut, mau ngapain sih? Mau ikutan Sea Games? Itu kan ego saja sebenarnya,” katanya.

    “Pingin lebih baik? Nggak ada ujungnya lebih baik mah. Jadi memang bisa dibilang kalau kita rekreasional, pingin sehat, nggak perlu sampek push-push amat,” sambungnya.

    (dpy/up)

  • Dokter Soroti Risiko Serangan Jantung saat Lari, Jangan Lupa Batas Diri!

    Dokter Soroti Risiko Serangan Jantung saat Lari, Jangan Lupa Batas Diri!

    Jakarta

    Mengenali batas tubuh dengan baik adalah salah satu langkah penting mencegah masalah kesehatan ketika berolahraga. Tak sedikit muncul kasus yang berkaitan dengan masalah jantung ketika olahraga, bahkan hingga meninggal dunia, karena mereka tidak mengenali tubuhnya dengan baik.

    Spesialis kedokteran olahraga Siloam Hospitals TB Simatupang dr Bernadette Laura, SpKO menyebut penyakit jantung memang masih menjadi menjadi kasus masalah kesehatan yang paling sering muncul ketika olahraga. Kondisi ini paling banyak dialami oleh atlet rekreasional yang tidak menjalani latihan terpola dan terstruktur.

    “Jadi gimana cara kita tahu untuk limit kita itu gimana? Dengan latihan. Dengan latihan dulu pertama, kemudian screening, screening kesehatan, dan lain-lain. Itu kita bisa mengetahui kapasitas tubuh kita itu sejauh mana. Itu yang terlupakan kadang-kadang,” ungkap dr Laura ketika ditemui detikcom beberapa waktu lalu.

    “Dan ketika mereka udah nggak tahu limit mereka di mana, kemudian mereka langsung melakukan olahraga tersebut. Kemudian belum lagi ditambah dorongan-dorongan dari teman-teman, dengan lingkungan sekitar. Mereka push terus, ya itu bisa berbahaya,” sambungnya.

    Salah satu alasan mengapa penyakit jantung menjadi kasus yang paling sering ditemukan saat event olahraga adalah karena gejalanya yang cenderung tak terlihat. Karena merasa sehat, orang-orang akhirnya tak melakukan cek kesehatan dulu sebelum melakukan olahraga berat.

    Jika ternyata mereka memiliki penyakit jantung yang tidak terdeteksi, olahraga yang terlalu berat dapat menjadi pencetus serangan jantung, hingga berisiko berdampak pada kematian.

    “Terutama memang untuk orang-orang yang punya penyakit jantung bawaan, atau memang dari histori keluarganya ada penyakit jantung, dan lain-lain. Itu kadang-kadang memang nggak terdeteksi dan tidak terasa ada gejalanya juga oleh atlet-atlet tersebut,” ungkap dr Laura.

    Meski begitu, perlu diingat olahraga tetap menjadi salah faktor penting dalam menjaga kesehatan jantung. Yang perlu diperhatikan adalah menyesuaikan olahraga yang dilakukan dengan kemampuan tubuh.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • Kemenkes Pasang Starlink untuk Faskes di Daerah yang Terdampak Bencana Sumatera

    Kemenkes Pasang Starlink untuk Faskes di Daerah yang Terdampak Bencana Sumatera

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI memperkuat jaringan komunikasi darurat di tiga provinsi terdampak bencana di Sumatera dengan menyiapkan pemasangan perangkat Starlink pada fasilitas kesehatan, posko darurat, serta pusat koordinasi penanganan krisis.

    Langkah ini dinilai penting mengingat kerusakan infrastruktur telekomunikasi yang menghambat distribusi logistik, rujukan pasien, dan pelaporan situasi di lapangan.

    Di Provinsi Aceh, total 9 unit Starlink telah dipasang di Aceh Tamiang (3 unit), Aceh Timur (2 unit), Kota Langsa (1 unit), Pidie Jaya (1 unit), dan Bener Meriah (1 unit). Satu unit tambahan juga ditempatkan di HEOC Provinsi Aceh. Seluruh perangkat kini beroperasi penuh, memperlancar layanan kesehatan, pelaporan situasi, dan distribusi bantuan.

    Di Provinsi Sumatera Utara, sebanyak 5 unit Starlink telah dipasang di Tapanuli Selatan (1 unit), Tapanuli Tengah (1 unit), Mandailing Natal (1 unit), dan Langkat (1 unit). Satu unit lainnya ditempatkan di HEOC Provinsi Sumatera Utara untuk memperkuat koordinasi tingkat provinsi. Penguatan jaringan ini mempercepat arus informasi, pemetaan kebutuhan, dan proses rujukan medis.

    Sementara itu, di Provinsi Sumatera Barat, 1 unit Starlink terpasang di Kabupaten Agam sebagai lokasi prioritas terdampak bencana. Perangkat ini memastikan komunikasi antara tim kesehatan, posko lapangan, dan pusat koordinasi tetap berjalan, sehingga pelaporan dan penyaluran logistik lebih cepat dan terkoordinasi.

    Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes RI, Agus Jamaludin, menegaskan pemasangan Starlink merupakan langkah cepat pemerintah untuk memastikan komunikasi penanganan krisis tetap berjalan meski infrastruktur dasar terdampak bencana.

    “Komunikasi adalah kunci dalam setiap respon kedaruratan. Dengan Starlink, kita memastikan koordinasi, pengiriman bantuan, dan rujukan medis tetap berjalan dengan cepat dan akurat,” tegasnya.

    Kemenkes akan terus memantau kondisi lapangan dan siap menambah perangkat apabila diperlukan untuk mendukung percepatan penanganan bencana.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/kna)

  • 2 Pelari Siksorogo Lawu Ultra Meninggal, Kenapa Bisa Jantung Kolaps saat Olahraga?

    2 Pelari Siksorogo Lawu Ultra Meninggal, Kenapa Bisa Jantung Kolaps saat Olahraga?

    Jakarta

    Dua pelari Siksorogo Lawu Ultra meninggal dunia saat mengikuti race. Korban diduga mengalami serangan jantung saat mengikuti ajang lari tersebut.

    Terlepas dari kasus yang menimpa keduanya, kolaps dan meninggal saat olahraga akibat penyakit jantung beberapa kali dijumpai, bahkan pada atlet. Penyebab utama kematian mendadak saat berolahraga biasanya berkaitan dengan kondisi jantung yang tidak terdiagnosis.

    “Penting untuk diperhatikan bahwa olahraga dengan intensitas fisik yang berat dan berlangsung lama dapat berdampak negatif terhadap jantung,” terang dr Andrianto, SpJP(K) FIHA, pakar ilmu penyakit jantung dan pembuluh darah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, dikutip dari Unair News.

    dr Andrianto menjelaskan kolaps karena henti jantung saat olahraga terkadang dapat terjadi akibat kelainan genetik yang meliputi kelainan struktural, aritmia, penyakit jantung koroner prematur atau anomali koroner kongenital.

    “Dalam kasus kelainan genetik ini, olahraga dengan intensitas berat dapat memicu terjadinya serangan aritmia jantung fatal yang mengakibatkan henti jantung mendadak,” jelas dia.

    Dikutip dari laman INAHeart, olahraga yang intens dan berlebihan dapat memiliki dampak negatif terhadap jantung, terutama dalam meningkatkan risiko aritmia berbahaya dan serangan jantung. Ketika berolahraga, tubuh melepaskan hormon adrenalin yang dapat meningkatkan detak jantung dan tekanan darah.

    Pada individu dengan kelainan jantung tersembunyi, peningkatan adrenalin ini dapat memicu aritmia, seperti ventrikular takikardia atau fibrilasi, yang bisa fatal.

    Selain itu, hormon endorfin yang dilepaskan selama aktivitas fisik intens dapat menutupi rasa sakit, membuat seseorang tidak menyadari bahwa mereka telah melewati batas kemampuan fisik mereka, yang juga dapat meningkatkan risiko kerusakan jantung.

    “Oleh karena itu, penting untuk berolahraga dengan bijaksana, memahami batasan tubuh, dan berkonsultasi dengan profesional medis sebelum memulai program latihan yang intens,” tandasnya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video Nyeri di Ulu Hati? Waspada Gejala Penyakit Jantung Koroner”
    [Gambas:Video 20detik]
    (kna/up)

  • Awal Mula 2 Pelari Siksorogo Lawu Ultra Meninggal Kena Serangan Jantung

    Awal Mula 2 Pelari Siksorogo Lawu Ultra Meninggal Kena Serangan Jantung

    Jakarta

    Dua peserta lari Siksorogo Lawu Ultra, Pujo Buntoro (55) dan Sigit Joko Purnomo (45), meninggal dunia saat mengikuti race kategori 15 kilometer pada Minggu (7/12/2025). Dua pelari tersebut meninggal dunia di Bukit Mitis kilometer 12 dan Bukit Cemoro Wayang kilometer 8.

    Kasi Humas Polres Karanganyar, Iptu Mulyadi mengatakan, pihaknya mendapat laporan adanya peserta lari yang tidak sadarkan diri. Peserta tersebut yakni Sigit Joko Purnomo.

    “Waktu kejadian dilaporkan tadi pagi pukul 10.44 WIB dan dilaporkan pukul 11.30 WIB, di dua tempat berbeda yang satu di Bukit Wilis dan satu di Bukit Cemoro Wayang,” katanya melalui keterangan tertulis yang diterima detikJateng, Minggu (7/12/2025).

    Mulyadi mengatakan korban Sigit ditemukan pingsan di Bukit Mitis atau di kilometer 12 rute Siksorogo 15 kilometer. Saat kejadian, lokasi tersebut sedang hujan lebat. Tak berselang lama, pihak penyelenggara mendapat info ada pelari pingsan di Bukit Cemoro Wayang atau di kilometer 8 rute Siksorogo kategori 15 kilometer. Korban tersebut bernama Pujo Buntoro (55).

    Sementara itu, Dewan Pembina Siksorogo Lawu Ultra 2025, Tony Harmoko, mengatakan dua pelari itu meninggal dunia karena terkena serangan jantung. Ia mengatakan, kedua pelari tersebut terkena serangan jantung di lokasi yang berbeda.

    “Iya leres, dua orang meninggal terkena serangan jantung. Pak Pujo tadi pagi pukul 10.11 WIB di kilometer 8,” kata Tony dihubungi awak media, Minggu (7/12/2025).

    “Kondisi kami evakuasi di RSUD Karanganyar semua. Orang Karanganyar semua,” tuturnya.

    Di luar kasus tersebut, spesialis jantung dan pembuluh darah dari BraveHeart – Brawijaya Hospital Saharjo Dr dr M Yamin, SpJP (K), SpPD, FACC, FSCAI, FAPHRS, FHRS beberapa waktu lalu mengungkapkan risiko kematian mendadak akibat henti jantung saat berolahraga dapat dialami siapa saja, termasuk atlet yang rajin berolahraga.

    Namun, ia menegaskan ini umumnya terjadi ketika seseorang sudah memiliki masalah jantung sebelumnya.

    “Pada atlet sudden death itu bisa. Memang karena serangan jantung, bisa juga kalau dia tidak ada sumbatan atau serangan jantung, tapi karena kelainan listrik jantung,” ucap dr Yamin ketika berbincang dengan detikcom di kawasan Gedung Trans Media Jakarta Selatan, Kamis (23/10/2025).

    dr Yamin mengungkapkan kelainan listrik jantung dapat dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya hipertropi kardiomiopati. Kondisi ini membuat otot jantung secara genetik tebal secara berlebihan.

    Ketika orang dengan kondisi ini olahraga secara berlebihan, maka otot jantung dapat bertambah tebal. Menurut dr, Yamin ini yang membuat muncul risiko ‘korslet’ listrik jantung sehingga memicu meninggal mendadak saat olahraga.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video Nyeri di Ulu Hati? Waspada Gejala Penyakit Jantung Koroner”
    [Gambas:Video 20detik]
    (suc/up)

  • Kasus Henti Jantung Bisa Terjadi Pada Saat Olahraga, Inikah Pemicunya?

    Kasus Henti Jantung Bisa Terjadi Pada Saat Olahraga, Inikah Pemicunya?

    Jakarta

    Henti jantung atau sudden cardiac death bisa terjadi pada orang yang tengah berolahraga. Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Siloam Hospitals TB Simatupang, dr Budi Ario Tejo, SpJP-FIHA, menyebut gangguan irama jantung atau aritmia sebagai pemicu tersering kematian mendadak saat berolahraga.

    “Henti jantung mendadak atau sudden cardiac death sebagian besar terjadi akibat gangguan irama jantung. Ini bisa terjadi orang yang kelihatannya sehat,” kata dr Budi, saat ditemui detikcom, di Jakarta Barat, Sabtu (6/12/2025).

    dr Budi menambahkan, pasien aritmia bisa berasal dari berbagai rentang usia, termasuk remaja. “Ada pasien usia 18 tahun, ada yang usia produktif, gangguan irama jantung ini tidak mengenal dengan usia,” lanjutnya.

    Selain aritmia, penyakit jantung dapat dipicu oleh kelainan bawaan. Begitu juga dengan faktor gaya hidup, seperti kurang gerak, stres, dan lainnya.

    Untuk deteksi dini aritmia, dr Budi menyarankan pemeriksaan berkala. Perangkat seperti smartwatch, smartring, atau smartband dapat membantu memantau irama jantung sehari-hari.

    “Smartwatch boleh banget, itu bisa memantau irama jantung kita normal atau tidak,” katanya.

    Di sisi lain, dr Budi mengatakan aritmia dapat ditangani apabila ‘sumber’ gangguannya berhasil ditemukan dan diatasi. Meski begitu, ia menekankan upaya pencegahan tetap penting, khususnya pada usia muda yang sering merasa sehat dan tidak menyadari gejalanya.

    Menurut dr Budi, kebiasaan sederhana ini dapat membantu menjaga irama jantung tetap stabil dan mengurangi risiko terjadinya aritmia maupun henti jantung mendadak yang kerap muncul tanpa peringatan.

    “Penting bagi generasi muda, yaitu jangan mager, rutin olahraga, kelola stress. hindari rokok atau vape, istirahat cukup,” ujarnya.

    Halaman 2 dari 2

    (dgh/suc)

  • Bukan Blue Light, Ini yang Sebenarnya Bikin Susah Tidur kalau Pegang Ponsel

    Bukan Blue Light, Ini yang Sebenarnya Bikin Susah Tidur kalau Pegang Ponsel

    Jakarta

    Banyak orang punya kebiasaan scroll TikTok atau Netflix-an sebelum tidur. Alasannya sederhana yakni agar tubuh menjadi rileks dan lebih cepat terlelap.

    Bagi sebagian orang, mungkin ini cara jitu untuk mendapatkan tidur. Namun, bagi sebagian lain, kebiasaan ini justru bikin mata melek sampai larut malam dan berakhir begadang.

    Umumnya, kambing hitam pada kondisi ini adalah paparan blue light (sinar biru) dari gadget. Lalu, benarkah screen time atau paparan blue light di malam hari memang bisa bikin susah tidur?

    Seorang certified sleep coach atau ‘pelatih tidur’, Vishal Dasani mengatakan paparan blue light sebenarnya tidak terlalu berdampak kepada jam tidur seseorang.

    “Ada benarnya, tapi sudah banyak studi juga yang menyebutkan blue light dari device itu sebetulnya tidak terlalu terang untuk bisa mengganggu atau menunda jadwal tidur kita,” kata Coach Vishal di Jakarta Barat, Minggu (7/12/2025).

    “Jadi memang ada benarnya blue light itu bisa menunda, tapi blue light-nya ini harus cukup terang dan dalam waktu yang lama,” sambungnya.

    Kalaupun paparan blue light ini mengganggu jam tidur seseorang, Vishal mengatakan bahwa menurut studi, keterlambatan tidur hanya 10-15 menit dari jam tidur normal.

    Menurut Coach Vishal, yang membuat banyak orang tertunda tidurnya bukan paparan blue light dari aktivitas scrolling TikTok, reels Instagram, atau Netflix, namun kemampuan mereka untuk berhenti.

    “Yang membuat screen ini menjadi masalah untuk tidur, itu adalah keputusan kita untuk doom scrolling, binge watching atau one more episode,” katanya.

    Bagaimana Agar Cepat Terlelap?

    Sebagai seorang sleep coach yang telah menangani banyak pasien, salah satu kunci utama untuk bisa cepat terlelap dan mendapatkan tidur berkualitas adalah membuat tubuh menjadi rileks.

    “Bisa stretching, itu bisa. Terus bisa jalan santai, itu nge-rileksin juga, bisa dengerin musik, dengerin podcast, baca buku, ngobrol sama pasangan,” kata Coach Vishal.

    “Terus bisa mandi air hangat, terus bisa berdoa, bisa regulasi napas, bebas. Selama ini bukan alkohol sama obat yang bikin Anda rileks, you’re good to go,” lanjutnya.

    Aktivitas relaksasi yang dilakukan berulang, akan memberikan instruksi khusus ke otak bahwa saat seseorang melakukan hal tersebut, maka akan mengubah mode tubuh menjadi lebih rileks dan bersiap untuk tidur.

    Halaman 2 dari 2

    (dpy/up)

  • Ilmuwan Temukan Senyawa Penyebab Kanker di Makanan Sehari-hari

    Ilmuwan Temukan Senyawa Penyebab Kanker di Makanan Sehari-hari

    Jakarta

    Seiring meningkatnya perhatian masyarakat terhadap kesehatan, banyak orang mulai rutin berolahraga dan memantau asupan kalori. Tren ini juga mendorong lebih banyak orang memilih makanan bernutrisi seperti buah dan sayur.

    Namun, meski dikenal sehat, bahan pangan ini ternyata dapat terkontaminasi polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs), senyawa organik hidrofobik yang terdiri dari cincin aromatik berfusi dan diketahui bersifat karsinogenik. Hal ini terungkap dari studi yang dilakukan oleh ilmuwan dari Department of Food Science and Biotechnology, Seoul National University of Science and Technology, yang dipimpin Prof Joon-Goo Lee.

    Pada pangan nabati seperti buah dan sayuran, PAHs bisa muncul akibat paparan polusi udara (misalnya dari emisi kendaraan atau industri), penggunaan air irigasi yang tercemar, hingga penyerapan dari tanah yang terkontaminasi. Senyawa ini dapat menempel pada permukaan atau terserap ke jaringan yang dapat dimakan.

    Pada pangan hewani seperti daging dan ikan, PAHs umumnya terbentuk selama proses pengolahan dan memasak, terutama ketika makanan bersentuhan langsung dengan api, asap, atau suhu yang sangat tinggi.

    Bagaimana PAHs bisa terbentuk selama memasak?

    Menurut laporan studi tersebut, selama proses memanggang, barbeque, atau menggoreng, PAHs terbentuk akibat pembakaran tidak sempurna dari lemak dan komponen organik lainnya.

    Senyawa ini cenderung terkonsentrasi pada bagian makanan yang gosong atau sangat kecokelatan. Produk asap dan sangrai, seperti daging asap, ikan asap, keju asap, serta kopi sangrai. sering menunjukkan kadar PAHs yang terukur. Beberapa makanan olahan yang dipanggang lama juga dapat mengandung PAHs, terutama jika permukaannya menggelap.

    Karena beberapa PAHs diketahui bersifat karsinogenik, kehadirannya dalam banyak jenis makanan menimbulkan kekhawatiran publik dan menegaskan pentingnya pengawasan serta upaya mitigasi di seluruh rantai pasok pangan.

    Untuk melindungi konsumen, ekstraksi, identifikasi, dan pengukuran PAHs secara efisien menjadi sangat penting. Metode konvensional seperti solid-phase, liquid-liquid, atau accelerated solvent extraction umumnya terjangkau, tetapi cenderung lambat, rumit, dan kurang ramah lingkungan.

    Metode QuEChERS (Quick, Easy, Cheap, Effective, Rugged, and Safe) muncul sebagai alternatif menjanjikan karena mampu mempercepat analisis, meningkatkan akurasi, serta mempermudah persiapan sampel, menjadikannya opsi yang lebih aman dan andal dalam pengujian PAHs.

    Lebih lanjut, peneliti menerapkan metode QuEChERS untuk mengukur delapan jenis PAHs, yakni Benzo[a]anthracene, Chrysene, Benzo[b]fluoranthene, Benzo[k]fluoranthene, Benzo[a]pyrene, Indeno[1,2,3-cd]pyrene, Dibenz[a,h]anthracene, dan Benzo[g,h,i]perylene. Hasil studi dipublikasikan dalam jurnal Food Science and Biotechnology.

    Dalam penelitiannya, tim menggunakan cairan khusus bernama asetonitril untuk ‘mengambil’ senyawa PAHs dari makanan. Setelah itu, sampel disaring kembali dengan bahan penyerap tertentu agar hasilnya benar-benar bersih dan siap dianalisis. Metode ini diuji pada berbagai jenis makanan, dan hasilnya tetap stabil. Para peneliti juga menemukan bahwa alat pengujinya memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi.

    Saat diuji dengan teknik gas chromatography-mass spectrometry, metode ini mampu mendeteksi PAHs dalam jumlah yang sangat kecil, bahkan di kisaran mikrogram per kilogram makanan.

    Pengujian menggunakan gas chromatography-mass spectrometry menghasilkan batas deteksi 0,006-0,035 µg/kg dan batas kuantifikasi 0,019-0.133 µg/kg. Tingkat pemulihan juga tinggi, yakni 86,3-109,6 persen pada konsentrasi 5 µg/kg, 87,7-100,1 persen pada 10 µg/kg, dan 89,6-102,9 persen pada 20 µg/kg. Presisi pengukuran berkisar 0,4-6,9 persen pada seluruh matriks makanan.

    “Metode ini tidak hanya menyederhanakan proses analisis, tetapi juga menunjukkan efisiensi deteksi yang tinggi dibandingkan metode konvensional. Teknik ini dapat diaplikasikan pada berbagai jenis makanan,” kata Prof Lee, dikutip dari Science Daily.

    Di industri pangan, penerapan teknik ini berpotensi meningkatkan efektivitas pengujian keamanan makanan, mengurangi biaya operasional, dan memperbaiki keselamatan kerja di laboratorium.

    “Penelitian kami dapat meningkatkan kesehatan masyarakat dengan memastikan keamanan pangan. Selain itu, metode ini juga mengurangi penggunaan dan emisi bahan kimia berbahaya selama proses pengujian,” kata Prof Lee.

    Secara keseluruhan, studi ini menunjukkan bahwa teknik analisis PAHs berbasis QuEChERS merupakan metode yang cepat, akurat, dan lebih ramah lingkungan dibandingkan pendekatan tradisional.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • Kemenkes Kaji Terapi GLP-1 untuk Obesitas Susul Panduan Resmi WHO

    Kemenkes Kaji Terapi GLP-1 untuk Obesitas Susul Panduan Resmi WHO

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bakal mengkaji penggunaan dan pembiayaan terapi Glucagon-Like Peptide-1 (GLP-1) untuk penanganan obesitas di Indonesia. Langkah ini diambil menyusul terbitnya rekomendasi terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait pengobatan tersebut.

    Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan obesitas kini masuk dalam lima besar temuan masalah kesehatan terbanyak berdasarkan program cek kesehatan gratis (CKG). Kondisi ini banyak ditemukan pada kelompok dewasa hingga lanjut usia.

    “Pemerintah sedang memperbarui Pedoman Nasional Praktek Klinis (PNPK) untuk obesitas, termasuk tata laksana pengobatannya. Selama ini obat diberikan pada pasien obesitas yang sudah memiliki gejala penyakit lain, seperti gangguan jantung atau sulit bergerak,” beber Nadia dalam keterangan tertulis, diterima detikcom Minggu (7/12/2025).

    Terkait kemungkinan memasukkan terapi GLP-1 sebagai layanan yang ditanggung BPJS Kesehatan, Nadia menegaskan keputusan tersebut membutuhkan proses penilaian Health Technology Assessment (HTA). Selain itu, pemerintah perlu memastikan ketersediaan obat GLP-1 di Indonesia.

    Ia menambahkan, Kemenkes juga akan melibatkan pakar untuk mendapatkan masukan terkait penggunaan obat-obatan bagi penderita obesitas.

    GLP-1 sendiri merupakan hormon yang berperan dalam mengatur metabolisme. Adapun GLP-1 Receptor Agonist adalah kelompok obat yang umum digunakan untuk menurunkan kadar gula darah, membantu penurunan berat badan, menurunkan risiko komplikasi jantung dan ginjal, serta menurunkan risiko kematian dini pada pasien diabetes tipe 2.

    Sebelumnya diberitakan, WHO menerbitkan pedoman penggunaan terapi GLP-1 untuk menangani obesitas. Dokumen itu disusun sebagai respons atas meningkatnya permintaan dari berbagai negara yang menghadapi tantangan obesitas.

    Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan pedoman tersebut menekankan pentingnya akses terhadap terapi GLP-1 dan perlunya sistem kesehatan mempersiapkan fasilitas pendukungnya.

    “Obesitas berdampak pada semua negara dan dikaitkan dengan 3,7 juta kematian di seluruh dunia pada 2024. Tanpa tindakan tegas, jumlah orang dengan obesitas diperkirakan meningkat dua kali lipat pada 2030,” ujar Tedros dalam laman resmi WHO.

    Ia menilai obesitas menjadi awal munculnya berbagai penyakit tidak menular seperti penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2, kanker, hingga memperburuk penyakit infeksi.

    Pedoman tersebut juga menegaskan obesitas merupakan penyakit kronis yang membutuhkan penanganan komprehensif dan berkelanjutan. Tedros menekankan penggunaan obat saja tidak cukup untuk menyelesaikan krisis obesitas global.

    “Terapi GLP-1 bisa membantu jutaan orang mengatasi obesitas dan mengurangi risikonya. Namun terapi ini tetap harus disertai pendekatan lain,” ujarnya.

    Dalam pedoman tersebut, WHO memberikan dua rekomendasi utama yang bersifat kondisional:

    Terapi GLP-1 dapat digunakan untuk pengobatan obesitas jangka panjang pada orang dewasa, kecuali ibu hamil.

    Rekomendasi ini bersifat kondisional karena keterbatasan data mengenai efektivitas dan keamanan jangka panjang, biaya yang tinggi, serta kesiapan sistem kesehatan.

    Perubahan pola hidup intensif, seperti konsumsi makanan sehat dan peningkatan aktivitas fisik, wajib menjadi bagian dari terapi GLP-1.

    “Obesitas bukan hanya masalah individu, tetapi tantangan masyarakat yang memerlukan aksi multisektor,” kata Tedros.

    Kemenkes memastikan kajian penggunaan GLP-1 di Indonesia akan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut, mulai dari efektivitas, keamanan, hingga kesiapan sistem pembiayaan kesehatan nasional.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: WHO Keluarkan Pedoman Baru Syarat Terapi GLP-1 untuk Obesitas”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)