Jenis Media: Kesehatan

  • Penampakan Pangan Ilegal yang Diamankan BPOM, Ada Kopi yang Bisa Rusak Ginjal

    Penampakan Pangan Ilegal yang Diamankan BPOM, Ada Kopi yang Bisa Rusak Ginjal

    Foto Health

    Averus Kautsar – detikHealth

    Jumat, 19 Des 2025 09:03 WIB

    Jakarta – BPOM mengungkap temuan produk pangan ilegal jelang Nataru dengan total nilai lebih dari Rp 42 miliar. Kebanyakan merupakan produk impor tanpa nomor izin edar.

  • Riset Ungkap Keju Bisa Lindungi Otak dari Demensia, Pendapat Pakar Terbelah

    Riset Ungkap Keju Bisa Lindungi Otak dari Demensia, Pendapat Pakar Terbelah

    Jakarta

    Keju dan krim tinggi lemak sedikit melindungi otak dari demensia, menurut studi observasional terbaru yang mengikuti hampir 28.000 orang di Malmö, Swedia, selama hampir 25 tahun.

    Keju tinggi lemak seperti cheddar, Brie, dan Gouda mengandung lebih dari 20 persen lemak jenuh, menurut penelitian tersebut. Namun, para pakar independen yang diwawancarai CNN menilai laporan ini belum cukup kuat untuk merekomendasikan peningkatan konsumsi produk susu full-fat.

    “Temuan mereka terkait keju berada di batas signifikansi statistik dan mereka menganalisis banyak jenis makanan, sehingga hasil ini bisa saja terjadi secara kebetulan,” kata peneliti gizi terkemuka Dr. Walter Willett, profesor epidemiologi dan nutrisi di Harvard T.H. Chan School of Public Health serta profesor kedokteran di Harvard Medical School, Boston.

    “Saya tidak akan buru-buru langsung membeli keju, setelah ada temuan tersebut,” ujar Willett dalam surel.

    Salah satu keterbatasan utama studi ini adalah pola makan peserta hanya dicatat pada satu waktu, yakni saat awal penelitian pada 1991, tanpa pemantauan rutin selama 25 tahun berikutnya. Peneliti hanya melakukan analisis lanjutan pada sebagian kecil peserta setelah lima tahun untuk melihat apakah pola makan mereka berubah.

    “Namun dengan pendekatan ini, hubungan antara konsumsi keju dan krim tinggi lemak menjadi tidak signifikan, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang kekuatan kesimpulan mereka,” tulis Dr Tian-Shin Yeh dalam editorial yang diterbitkan bersamaan dengan studi tersebut.Yeh adalah profesor madya sekaligus dokter di Fakultas Kedokteran Taipei Medical University, Taiwan.

    Yeh juga menuliskan manfaat keju tinggi lemak paling terlihat ketika keju menggantikan makanan dengan kualitas gizi yang jelas lebih rendah, seperti daging merah olahan atau berlemak tinggi. “Bukan berarti keju tinggi lemak itu sendiri bersifat melindungi saraf, melainkan karena keju merupakan pilihan yang relatif kurang berbahaya dibandingkan daging merah dan olahan,” ujarnya.

    Berbagai studi sebelumnya telah menunjukkan makanan tinggi lemak jenuh berkontribusi terhadap penyakit jantung dan kematian dini.

    Manfaat kecil bagi otak

    Studi yang dipublikasikan Rabu di jurnal Neurology ini menemukan orang yang mengonsumsi 50 gram (sekitar 2 ons) atau lebih keju tinggi lemak per hari memiliki risiko demensia 13 persen lebih rendah dibandingkan mereka yang mengonsumsi kurang dari 15 gram (0,5 ons).

    Sementara itu, mereka yang mengonsumsi 20 gram (0,7 ons) atau lebih krim tinggi lemak per hari memiliki risiko demensia 16 persen lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak mengonsumsi krim sama sekali. Jumlah tersebut setara dengan sekitar 1,4 sendok makan krim kental, menurut studi.

    “Penelitian kami menunjukkan orang yang mengonsumsi lebih banyak keju tinggi lemak memiliki risiko sedikit lebih rendah mengalami demensia di kemudian hari,” kata penulis utama studi Emily Sonestedt, dosen senior dan profesor madya nutrisi di Lund University, Swedia.

    “Ini tidak membuktikan bahwa keju mencegah demensia, tetapi menantang anggapan bahwa semua produk susu tinggi lemak buruk bagi otak,” ujarnya melalui surel.

    Temuan ini mungkin disambut oleh sebagian kelompok Make America Healthy Again (MAHA) yang meyakini lemak jenuh baik bagi kesehatan.

    Menteri Kesehatan AS Robert F Kennedy Jr. diketahui mempromosikan mentega dan lemak sapi, meski banyak studi menunjukkan keduanya berdampak buruk bagi kesehatan. Namun, penelitian ini tidak menemukan manfaat otak dari mentega, susu, produk susu fermentasi seperti kefir, buttermilk, dan yogurt, maupun produk susu rendah lemak.

    Bahkan, data terkait produk susu rendah lemak cukup mencolok, kata Dr. David Katz, pakar kedokteran preventif dan gaya hidup serta pendiri organisasi nirlaba True Health Initiative. Katz tidak terlibat dalam studi tersebut.

    “Kelompok yang mengonsumsi produk susu rendah lemak memiliki beban gangguan kesehatan awal yang jauh lebih tinggi, termasuk diabetes, dislipidemia, dan penyakit jantung koroner,” kata Katz melalui surel.

    “Ini menunjukkan faktor risiko utama demensia adalah kesehatan yang buruk atau penyakit kronis, dan beralih ke produk susu rendah lemak mungkin merupakan strategi ‘pertahanan diri’ bagi mereka yang menyadari risikonya.”

    Peran asam lemak omega-3

    Alasan lain mengapa hasil studi ini tidak sepenuhnya representatif adalah sapi perah di Swedia lebih banyak diberi pakan rumput dibandingkan sapi di Amerika Serikat, kata ahli saraf Dr. Richard Isaacson, direktur riset Alzheimer di Institute for Neurodegenerative Diseases, Florida.

    Sapi yang diberi pakan rumput cenderung menghasilkan susu, krim, dan keju dengan kandungan asam lemak omega-3 lebih tinggi.

    “Asam lemak omega-3, menurut saya, baik untuk kesehatan otak,” ujar Isaacson.

    “Namun manfaatnya terutama terlihat pada orang dengan varian gen APOE4, yang meningkatkan risiko Alzheimer.”

    “Yang menarik, studi ini justru menemukan perlindungan lebih besar pada orang tanpa gen APOE4. Temuan ini membingungkan, dan meski menarik, saya tentu tidak akan menyarankan orang makan keju tinggi lemak untuk mencegah Alzheimer.”

    Sonestedt juga mengakui hasil penelitian ini mungkin tidak bisa digeneralisasi ke populasi di Amerika Serikat dan negara Barat lainnya.

    “Orang Swedia dan Amerika mengonsumsi jumlah keju yang kurang lebih sama per kapita, tetapi jenisnya berbeda,” kata Sonestedt.

    “Di Swedia, kebanyakan adalah keju keras hasil fermentasi, sedangkan di AS lebih banyak keju olahan atau keju yang dikonsumsi dalam konteks makanan cepat saji. Kami ingin temuan ini direplikasi di lebih banyak negara dan populasi sebelum menarik kesimpulan yang pasti,” pungkasnya.

  • Kemenkes Beberkan Kondisi 2 WNI di Rumania yang Tertular Kusta dari Ibunya di Bali

    Kemenkes Beberkan Kondisi 2 WNI di Rumania yang Tertular Kusta dari Ibunya di Bali

    Jakarta

    Dua warga negara indonesia (WNI) yang menjadi kasus pertama di Rumania setelah 44 tahun, rupanya tertular dari ibu mereka di Bali. Kementerian Kesehatan RI sudah melakukan penelusuran awal dan mengonfirmasi penularan tersebut dari hasil epidemiologis.

    “Kasus awal positif berasal dari ibu mereka yang berdomisili di Bali,” beber Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Aji Muhawarman saat dihubungi detikcom Kamis (18/12/2025).

    Meski begitu, pihaknya memastikan kondisi yang bersangkutan relatif baik dan sudah mendapatkan perawatan lebih lanjut.

    “Kementerian Kesehatan RI melalui International Health Regulation National Focal Point (IHR NFP) di Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menerima notifikasi kasus kusta dari IHR NFP Rumania pada awal Desember 2025. Saat ini yang bersangkutan sudah dalam perawatan dan kondisinya baik,” lanjut Aji.

    Bakal Dipulangkan ke RI

    Kemenkes menegaskan, langkah penanganan dilakukan secara lintas negara untuk memastikan pengobatan berjalan optimal serta mencegah potensi penularan lanjutan. Direktorat Penyakit Menular Kemenkes telah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Bali untuk melakukan penelusuran kasus lebih lanjut, baik di Indonesia maupun Rumania.

    “Kedua WNI tersebut direncanakan akan segera dipulangkan ke Indonesia untuk mendapatkan pengobatan sesuai standar nasional,” jelas Aji.

    Selain itu, koordinasi antara IHR NFP Indonesia dan Rumania terus dilakukan guna memastikan penanganan kasus berjalan sesuai protokol kesehatan internasional.

    Aji juga menyebut bahwa secara nasional, Indonesia masih menghadapi beban kasus kusta yang cukup tinggi. Hingga 12 November 2025, tercatat 10.450 kasus baru kusta di Indonesia, dengan jumlah terbanyak ditemukan di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

    Meski demikian, Kemenkes menegaskan kusta merupakan penyakit yang dapat disembuhkan dan risiko penularan akan menurun drastis setelah pengobatan dimulai.

    “Kami memastikan seluruh pasien mendapatkan penanganan yang tepat, serta upaya surveilans dan pengendalian penyakit terus diperkuat,” pungkas Aji.

    (naf/naf)

  • Dokter Ungkap Tanda Tubuh Kelebihan Gula yang Perlu Diperhatikan

    Dokter Ungkap Tanda Tubuh Kelebihan Gula yang Perlu Diperhatikan

    Jakarta

    Banyak orang kini menyadari bahwa konsumsi gula berlebihan tidak baik bagi kesehatan. Karena itu, tak sedikit yang mulai berupaya mengurangi asupan gula dalam keseharian.

    Pasalnya, terlalu banyak mengonsumsi gula telah dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan, mulai dari obesitas, diabetes, tekanan darah tinggi, kerusakan gigi, hingga kolesterol tinggi. Oleh karena itu, penting untuk mengenali tanda-tanda peringatan yang bisa muncul akibat konsumsi gula berlebihan.

    Tanda Tubuh Kebanyakan Gula

    Spesialis di bidang dermatologi, flebologi, proktologi, dan pengobatan gizi, dr Lela Ahleman membagikan lima gejala yang perlu diperhatikan dari terlalu banyak mengonsumsi gula. Dikutip dari laman Express UK, berikut daftarnya.

    1. Penambahan Berat Badan dan Rasa Lapar yang Terus Menerus

    Gula memiliki kepadatan kalori yang tinggi. Artinya, terlalu banyak mengonsmsinya bisa meyebabkan kenaikan berat badan dengan cepat. Tapi, ini bukan satu-satunya alasan kenapa gula bisa menyebabkan penambahan berat badan.

    Menurut dr Ahlemann, terlalu banyak makan gula bisa membuat seseorang terus-menerus merasa lapar. Hal ini karena gula meningkatkan kadar glukosa darah dalam jangka pendek, tapi tidak mengenyangangkan karena kurangnya serat.

    “Ketika Anda selalu lapar, Anda akhirnya makan lebih banyak daripada yang Anda butuhkan, yang pada akhirnya menyebabkan kenaikan berat badan,” kata dr Ahlemann.

    2. Munculnya Jerawat

    Menurut dr Ahlemann, konsumsi gula bisa menyebabkan kadar hormon yang disebut insulin-like growth factor 1 atau IGF-1 meningkat.

    “Bersama dengan insulin, IGF-1 merangsang kelenjar sebaceous dan keratinisas berlebihan di area sebaceois, yang menyebabkan kelenjar tersebut tersumbat, sehingga menimbulkan jerawat dan peradangan,” ungkapnya.

    3. Perubahan Suasana Hati

    Mengonsumsi gula menyebabkan kadar glukosa meningkat dengan cepat yang memicu pelepasan insulin. Akan tetapi, lonjakan ini sering kali sangat kuat, sehingga kadar gula darah tidak kembali ke tingkat normal dan malah anjlok di bawah kadar normal.

    “Ini disebut hipoglikmia, yang kemudian menyebabkan keinginan makan yang kuat. Pada beberapa orang, hal ini juga menyebabkan perubahan suasana hati dan mudah marah,” tambahnya.

    4. Sistem Kekebalan Tubuh yang Lemah

    Kondisi tubuh yang lebih sering sakit dari biasanya bisa disebabkan oleh pola makan, khususnya gula yang dikonsumsi.

    “Biasanya, gula diserap oleh tubuh melalui usus kecil. Namun, jika jumlah gula sederhana, seperti glukosa dan fruktosa, yang kita konsumsi melebihi kapasitas usus kecil kita, maka gula tersebut akan berakhir di usus besar,” kata dr Ahlemann.

    Bakteri yang hidup di usus besar kemudian memakan gula tersebut. “Pemberian makanan secara selektif menyebabkan perkembangbikan bakteri ini,” tambahnya.

    “Masalahnya adalah sayangnya bakteri tersebut membawa endotoksin pada permukaan bakterinya, yang kemudian bisa meninggalkan usus dan masuk ke aliran darah, menyebabkan peradagan tanpa gejala, yang mempercepat penuaan dan melemahkan sistem kekebalan tubuh,” katanya.

    5. Penuaan yang Cepat

    dr Ahlemann mengatakan bahwa secara asupan gula yang tinggi secara ilmiah terbukti menyebabkan pembentukan produk akhir glikasi lanjut atau Advanced Glycation End Products (AGEs), yang merusak serat kolagen.

    “Ketika terlalu banyak AGEs, serat kolagen kita menjadi kaku, rapuh, dan mengalami degenerasi. Tubuh juga kurang mampu memperbaiki dirinya sendiri, yang berarti kualitas kolagen kita semakin memburuk,” tambahnya.

    Ditinjau oleh: Mhd. Aldrian, S.Gz, lulusan Ilmu Gizi Universitas Andalas, saat ini menjadi penulis lepas di detikcom.

    (elk/suc)

  • Terungkap Sumber Penularan Kusta WNI Kasus Pertama di Rumania setelah 44 Tahun

    Terungkap Sumber Penularan Kusta WNI Kasus Pertama di Rumania setelah 44 Tahun

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI mengungkap kronologi laporan dua warga negara Indonesia (WNI) yang terindentifikasi positif kusta saat bekerja di Rumania. Informasi tersebut diterima melalui mekanisme kerja sama kesehatan internasional antarnegara.

    Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan, Aji Muhawarman, menjelaskan laporan diterima pada awal Desember 2025 melalui International Health Regulation National Focal Point (IHR NFP) Indonesia di bawah Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2).

    “Pada awal Desember 2025, IHR NFP Indonesia menerima notifikasi resmi dari IHR NFP Rumania terkait dugaan kasus kusta pada dua WNI yang bekerja di sana,” beber Aji dalam keterangannya kepada detikcom Kamis (18/12/2025).

    Dari notifikasi tersebut, diketahui kedua WNI berstatus suspek infeksi Mycobacterium leprae atau kusta dan saat ini tengah dalam pemantauan medis otoritas kesehatan setempat.

    Sumber Penularan Awal

    Berdasarkan hasil penelusuran awal, Kemenkes menyebut kasus indeks atau sumber awal penularan berasal dari ibu kedua WNI tersebut yang berdomisili di Bali.

    “Kasus awal positif berasal dari ibu kedua WNI tersebut yang tinggal di Bali. Saat ini yang bersangkutan sudah dalam perawatan dan kondisinya baik,” jelas Aji.

    Kemenkes memastikan penanganan terhadap kasus indeks telah dilakukan sesuai standar pengobatan kusta, serta dilakukan pengawasan kesehatan lanjutan untuk mencegah penularan lebih luas.

    Untuk memastikan penanganan komprehensif, Direktorat Penyakit Menular Kemenkes telah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Bali guna melakukan penelusuran kasus baik di dalam negeri maupun yang terkait dengan aktivitas kedua WNI di Rumania.

    Selain itu, Kemenkes menyebut kedua WNI direncanakan segera kembali ke Indonesia untuk menjalani pengobatan lanjutan di fasilitas kesehatan dalam negeri.

    “IHR NFP Indonesia dan Rumania terus melakukan koordinasi intensif agar penanganan kasus ini berjalan optimal, termasuk dalam proses pemulangan dan pengobatan pasien,” kata Aji.

    Situasi Kusta di Indonesia

    Secara nasional, Kemenkes mencatat hingga 12 November 2025 terdapat 10.450 kasus baru kusta di Indonesia. Kasus terbanyak ditemukan di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

    Meski begitu, Kemenkes menegaskan kusta merupakan penyakit yang dapat disembuhkan, dan dengan pengobatan yang tepat, risiko penularan dapat ditekan secara signifikan.

    “Kami mengimbau masyarakat untuk tidak memberikan stigma, serta segera memeriksakan diri jika menemukan gejala yang mencurigakan. Deteksi dini dan pengobatan teratur adalah kunci,” pungkas Aji.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/naf)

  • Berencana Ngetrip saat Liburan Akhir Tahun? Ini Tips Bawa Bekal Agar Tak Mudah Basi

    Berencana Ngetrip saat Liburan Akhir Tahun? Ini Tips Bawa Bekal Agar Tak Mudah Basi

    Jakarta

    Menjelang liburan panjang, banyak orang bersiap melakukan perjalanan jauh, baik untuk mudik ke kampung halaman maupun berlibur. Membawa bekal sendiri saat perjalanan jauh seringkali menjadi solusi praktis sekaligus hemat. Namun, tidak sedikit kasus makanan cepat basi, berbau, bahkan memicu gangguan pencernaan selama perjalanan.

    Dalam standar keamanan pangan internasional, makanan yang dibawa untuk perjalanan jauh tidak diperlakukan sama dengan makanan rumahan. Codex Alimentarius, standar pengolahan pangan yang disusun oleh Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) maupun sistem Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) menempatkan transportasi sebagai tahapan kritis dalam rantai pangan karena melibatkan kontrol suhu dan waktu yang lebih sulit.

    Selama perjalanan, makanan berisiko lebih lama berada di zona bahaya suhu 5-60 derajat Celsius, kondisi yang mempercepat pertumbuhan bakteri patogen (penyebab penyakit) dan bakteri pembusuk. Oleh karena itu, jenis makanan dan cara penyimpanannya perlu disesuaikan, terutama untuk perjalanan panjang tanpa pendingin.

    Lantas, bagaimana cara mengolah dan menyimpan makanan agar tidak cepat basi? Untuk menjawabnya, penting memahami terlebih dahulu faktor-faktor yang memengaruhi kerusakan makanan selama perjalanan jauh.

    Mengapa Makanan Mudah Basi Saat Dibawa Bepergian?

    Selama perjalanan jauh, makanan lebih rentan basi karena disimpan dalam kondisi yang kurang ideal, terutama tanpa pendingin dan terpapar suhu ruang dalam waktu lama. Tinjauan ilmiah dalam jurnal Food Bioscience oleh Mafe dan rekan-rekan (2024) menjelaskan bahwa mikroorganisme seperti bakteri, ragi, dan jamur memanfaatkan zat gizi dalam makanan sebagai sumber energi, lalu menghasilkan senyawa sisa metabolisme yang memicu bau tidak sedap, rasa berubah, hingga tekstur berlendir.

    Risiko pembusukan makin besar jika makanan disimpan dalam kemasan yang tidak kedap udara. Paparan oksigen bukan hanya mempercepat pertumbuhan mikroba, tetapi juga memicu oksidasi lemak yang menyebabkan aroma tengik, sementara enzim alami dalam bahan pangan tetap aktif merusak struktur makanan. Tak heran, kombinasi suhu hangat, waktu simpan panjang, dan kadar air tinggi menjadi alasan utama mengapa bekal perjalanan lebih mudah basi dan mengapa memilih jenis makanan yang lebih tahan simpan jadi langkah penting sebelum bepergian.

    Jenis Makanan yang Lebih Tahan Lama Dibawa Berpergian

    Tidak semua makanan mudah basi saat dibawa bepergian. Makanan yang relatif lebih tahan simpan umumnya memiliki kadar air rendah, dimasak hingga matang sempurna, serta disimpan dalam kemasan yang rapat. Contohnya antara lain ayam serundeng, abon, kering tempe, dendeng, hingga lauk berbumbu kering lainnya.
    Proses memasak yang lama, ditambah penggunaan garam, gula, serta rempah-rempah, memang dapat membantu menekan pertumbuhan mikroba dengan menurunkan water activity. Namun, efek ini baru optimal jika digunakan dalam kadar yang cukup dan dikombinasikan dengan teknik lain seperti pengeringan serta penyimpanan yang tepat-bukan sekadar membuat makanan terasa asin atau pedas.

    Sebaliknya, beberapa jenis makanan sebaiknya dihindari sebagai bekal perjalanan jauh. Makanan berkuah atau bersantan seperti opor ayam, gulai, dan sayur lodeh cenderung cepat basi karena kandungan air dan lemaknya tinggi.

    Hal serupa berlaku pada tumisan basah, olahan telur setengah matang, makanan laut, serta sambal segar yang tidak dimasak lama. Jenis makanan ini lebih mudah terkontaminasi bakteri, seperti Salmonella dan Escherichia coli, yang berisiko memicu gangguan pencernaan berupa diare, mual, muntah, hingga nyeri perut jika dikonsumsi selama perjalanan jauh.

    Oleh karena itu, selain memilih jenis makanan yang tepat, cara penyimpanan bekal juga memegang peran penting untuk menjaga makanan tetap aman hingga waktu makan.

    Dendeng vs Abon vs Serundeng: Mana yang Paling Awet?

    Berbagai teknik pengawetan makanan, baik tradisional maupun modern, pada dasarnya bekerja dengan menurunkan water activity yakni jumlah air bebas yang dibutuhkan mikroba untuk tumbuh sehingga makanan menjadi lebih tahan lama dan tidak cepat rusak.

    Ketiga lauk ini sama-sama dikenal awet karena diolah dengan teknik yang menurunkan water activity, yakni jumlah air bebas yang dibutuhkan mikroba untuk tumbuh. Namun, daya simpannya berbeda karena proses pengolahan yang tidak sama. Dendeng dibuat dari irisan daging tipis yang diasinkan, dibumbui, lalu dikeringkan dan digoreng, sehingga kadar airnya rendah, meski tetap perlu disimpan rapat agar tidak lembap. Abon menjadi yang paling tahan lama karena daging dimasak, disuwir, lalu dimasak kembali hingga sangat kering dan berserat, membuat ketersediaan air bebas sangat minim dan mikroba sulit berkembang. Sementara itu, serundeng berada di posisi tengah. Parutan kelapa dan daging dimasak lama hingga kering, tetapi kandungan minyak dari kelapa membuatnya lebih rentan tengik jika terpapar udara. Karena itu, dibandingkan dendeng dan serundeng, abon umumnya paling awet untuk bekal perjalanan jauh, asalkan disimpan dalam kemasan kedap udara.

    Selain dendeng, abon, dan serundeng, beberapa contoh makanan lain yang relatif awet untuk dibawa bepergian antara lain kering tempe, kentang mustofa, ikan asin, telur asin, sambal kering, serta lauk kemasan vakum atau kaleng. Jenis makanan ini umumnya memiliki kadar air rendah atau diolah dengan proses pengawetan tertentu sehingga lebih tahan disimpan di suhu ruang, asalkan dikemas rapat, tidak sering dibuka, serta dijauhkan dari paparan udara dan panas berlebih yang dapat mempercepat pembusukan dan ketengikan.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Video: Menkes Imbau Sopir Bus Cek Kesehatan Jelang Libur Nataru 2025”
    [Gambas:Video 20detik]
    (fti/up)

  • Dokter Harvard Beberkan Alasan Main Ponsel di Toilet Bisa Picu Ambeien

    Dokter Harvard Beberkan Alasan Main Ponsel di Toilet Bisa Picu Ambeien

    Jakarta

    Bagi banyak orang, toilet kini tidak lagi sekadar tempat buang air. Aktivitas scroll media sosial, membaca berita, atau membalas pesan sering ikut terbawa ke toilet.

    Meski terlihat sepele, para dokter mengingatkan kebiasaan membawa ponsel ke toilet bisa berdampak buruk bagi kesehatan, terutama meningkatkan risiko ambeien atau wasir. Masalahnya bukan hanya soal kebersihan, tetapi durasi duduk yang lebih lama serta tekanan berlebih pada area rektum.

    Dokter dari Harvard spesialis gastroenterologi, Dr Saurabh Sethi, menyoroti bahwa penggunaan ponsel di toilet dapat mempengaruhi kesehatan rektum. Duduk terlalu lama, minimnya penopang dasar panggul, serta aplikasi yang membuat orang lupa waktu menjadi kombinasi yang berisiko.

    Kenapa Bawa Ponsel ke Toilet Bisa Picu Ambeien?

    Dikutip dari Times of India, penggunaan ponsel mengubah kebiasaan duduk di toilet, baik dari sisi durasi maupun posisi tubuh. Hal ini berdampak langsung pada kesehatan area panggul dan rektum.

    Beberapa studi menunjukkan orang yang menggunakan ponsel saat di toilet memiliki risiko wasir yang lebih tinggi, dibandingkan mereka yang tidak. Bahkan, setelah memperhitungkan faktor usia, pola makan, berat badan, olahraga, dan kebiasaan mengejan.

    Risiko ini terutama dipicu oleh lamanya waktu duduk, bukan sekadar proses buang air itu sendiri.

    1. Ponsel Membuat Waktu Duduk Lebih Lama

    Saat membawa ponsel, waktu di toilet sering molor tanpa disadari. Banyak orang yang menghabiskan lebih dari lima menit sekali duduk, jauh lebih lama dibanding mereka yang tidak bermain ponsel.

    Aktivitas scroll ponsel membuat waktu terasa cepat berlalu.

    2. Tekanan pada Jaringan Sensitif Meningkat

    Duduk lebih dari lima menit di toilet terbukti meningkatkan risiko wasir, bahkan dalam beberapa kasus lebih berisiko dibanding mengejan. Semakin lama duduk, maka semakin besar tekanan pada pembuluh darah dan jaringan di area anus.

    3. Dudukan Toilet Tak Menopang Dasar Panggul

    Berbeda dengan kursi atau sofa, dudukan toilet tidak dirancang untuk menopang dasar panggul dalam waktu lama. Duduk berkepanjangan, apalagi sambil bermain ponsel, menambah beban pada jaringan wasir.

    4. Aplikasi Dirancang Bikin Lupa Waktu

    Media sosial dan aplikasi berita dibuat agar pengguna terus bertahan lama. Fitur scroll tanpa akhir dan video otomatis membuat orang tidak sadar sudah duduk terlalu lama di toilet, yang akhirnya memicu tekanan fisik tanpa disadari.

    Wasir Umum Terjadi dan Membebani Sistem Kesehatan

    Sekitar setengah orang dewasa pernah mengalami wasir, setidaknya sekali seumur hidup. Kondisi ini menyumbang jutaan kunjungan medis setiap tahun dan menjadi beban tersendiri bagi layanan kesehatan.

    Kebiasaan kecil sehari-hari, termasuk lamanya duduk di toilet, ikut berperan. Lantas, bagaimana cara mencegahnya?

    Caranya dengan membatasi waktu di toilet untuk mengurangi risiko. Aturan sederhana yang disarankan dokter adalah membatasi waktu kurang dari lima menit.

    Cara paling efektif adalah meninggalkan ponsel di luar kamar mandi. Waktu duduk yang lebih singkat membantu mengurangi tekanan pada jaringan sensitif dan menjaga kesehatan rektum dalam jangka panjang.

    Meski terlihat sepele, kebiasaan membawa ponsel ke toilet dapat diam-diam meningkatkan risiko wasir. Mengurangi distraksi dan mempercepat waktu di toilet bisa menjadi langkah kecil dengan dampak besar bagi kesehatan.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Mitos atau Fakta: Kebanyakan Duduk Saat Mudik Bisa Bikin Ambeien”
    [Gambas:Video 20detik]
    (sao/kna)

  • 4 Kebiasaan yang Bisa Merusak Otak, Sebaiknya Dihindari!

    4 Kebiasaan yang Bisa Merusak Otak, Sebaiknya Dihindari!

    Jakarta

    Tanpa disadari, ada kebiasaan sehari-hari yang mungkin dianggap sepele justru bisa berdampak serius pada kesehatan otak. Empat di antaranya memilki pengaruh yang paling besar.

    “Kabar baiknya adalah kebiasaan-kebiasaan ini adalah yang paling mudah diubah,” kata direktur unit penelitian genetika dan penuaan serta wakil direktur Pusat Kesehatan Otak McCance di Rumah Sakit Umum Massachusettes yang berafiliasi dengan Harvard, Rudolph Tanzi.

    Lantas, apa saja kebiasaan-kebiasaan yang bisa merusak otak tersebut?

    Kebiasaan yang Bisa Merusak Otak

    Terlalu banyak duduk, kurang bersosialisasi, kurang tidur, dan stres kronis memiliki peran besar pada kesehatan otak yang buruk. Sebaiknya hindari kebiasaan ini untuk menjaga otak tetap sehat.

    1. Terlalu Banyak Duduk

    Dikutip dari laman Harvard Health, rata-rata orang dewasa duduk selama enam setengah jam per hari. Waktu duduk ini berdampak buruk pada kesehatan otak.

    Dalam sebuah studi tahun 2018 di PLOS One, terlalu banyak duduk dikaitkan dengan perubahan pada bagian otak yang penting untuk memori. Para peneliti menggunakan pemindaian MRI untuk melihat lobus temporal medial atau medial temporal lobe (MTL), wilayah otak yang membentuk ingatan baru pada orang berusia 45-75 tahun.

    Mereka membandingkan hasil pemindaian rata-rata jumlah jam per hari dari orang-orang tersebut duduk. Peserta yang duduk paling lama memiliki wilayah MTL yang tipis. Menurut para peneliti, penipisan MTL dapat menjadi prekursor penurunan kognitif dan demensia.

    Untuk itu, Tanzi menyarankan untuk melakukan gerakan setelah duduk selama 15 menit. Gerakan bisa dengan berjalan-jalan di sekitar rumah, beberapa squat atau lunge, atau jalan cepat.

    “Atur pengatur waktu di ponsel Anda sebagai pengingat, katanya.

    2. Kurang Bersosialisasi

    Perlu diketahui bahwa kesepian dikaitkan dengan depresi dan risiko Alzheimer yang lebih tinggi. Sebuah studi di Journal of Gerontology: Series B menunjukkan bahwa orang yang kurang aktif secara sosial kehilangan materi abu-abu otak, yaitu lapisan terluar yang memproses informasi.

    Tak perlu berinteraksi dengan banyak orang untuk mendapat manfaat ini. Jadikan paling tidak dua atau tiga orang sebagai lingkaran sosial.

    “Temukan dua atau tiga orang yang pada dasarnya dapat Anda ajak berbagi apa pun,” katanya.

    “Anda menginginkan interaksi yang bermakna dan merangsang pikiran, jadi pilihlah orang-orang yang Anda sayangi dan yang menyayangi Anda,” kata Tanzi.

    3. Kurang Tidur

    Menurut CDC, sebanyak seperempat orang dewasa tidak mendapatkan lebih banyak tidur yang direkomendasikan, yaitu 7-8 jam.Penelitian dalam jurnal Sleep pada tahun 2018 menunjukkan bahwa kemampuan kognitif, seperti memori, penalaran, dan pemecahan masalah menurun saat seseorang tidur kurang dari tujuh jam.

    “Pastikan Anda tidur satu jam lebih awal dari biasanya, Ini akan membantu mengurangi begadang dan memberi otak dan tubuh Anda waktu ekstra untuk mendapatkan tidur yang cukup.” kata Tanzi.

    Saat terbangun, beri otak waktu untuk rileks. Coba lakukan aktivitas seperti membaca dan hindari menonton TV atau laptop.

    “Meskipun Anda terjaga untuk sementara waktu, Anda masih memiliki waktu ekstra satu jam untuk menggantinya,” ungkapnya.

    4. Stres Kronis

    Stres yang berkepanjangan bisa membunuh sel-sel otak dan mengecilkan korteks prefrontal, area yang bertanggung jawab untuk memori dan pembelajaran. Bersikaplah fleksibel dalam bereaksi.

    Ketika merasa akan marah, tarik napas dalam-dalam dan ingatkan diri bahwa kamu tidak selalu tahu apa yang terbaik. Terima bahwa cara atau sudut pandang lain sama baiknya. Tenangkan diri dengan mengulangi mantra, “Saya baik-baik saja, saat ini.”

    “Mengendalikan ego Anda dapat mencegah stres sebelum menjadi tidak terkendali,” kata Tanzi.

    (elk/suc)

  • Terungkap Lewat Studi, Kebiasaan Malam Hari Ini Bisa Bantu Turunkan Tekanan Darah

    Terungkap Lewat Studi, Kebiasaan Malam Hari Ini Bisa Bantu Turunkan Tekanan Darah

    Jakarta

    Kebiasaan seperti tidur pada jam yang sama setiap malam ternyata dapat membantu menurunkan tekanan darah. Hal ini terungkap dalam sebuah studi terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Sleep Advances.

    Peneliti melaporkan, peserta dalam studi berskala kecil mengalami penurunan signifikan pada tekanan darah secara keseluruhan, termasuk tekanan darah malam hari, setelah menyesuaikan jadwal tidur agar konsisten setiap malam.

    “Tidur pada waktu yang teratur bisa menjadi strategi tambahan yang sederhana dan berisiko rendah untuk membantu mengontrol tekanan darah pada banyak penderita hipertensi,” tulis para peneliti, dikutip Healthline.

    Namun, peneliti menekankan bahwa studi ini hanya melibatkan 11 orang, berlangsung selama dua minggu, dan tidak memiliki kelompok pembanding. Karena itu, hipotesis tersebut masih perlu diuji melalui uji klinis acak dengan jumlah peserta yang lebih besar.

    Meski demikian, para ahli yang tidak terlibat dalam penelitian ini menilai hasilnya cukup menarik untuk diperhatikan.

    “Ini studi yang bermanfaat karena menunjukkan bahwa intervensi yang sangat sederhana bisa memberikan dampak yang cukup signifikan,” ujar Cheng-Han Chen, MD, dokter spesialis jantung intervensi sekaligus direktur medis Program Jantung Struktural di MemorialCare Saddleback Medical Center, Laguna Hills, California.

    Senada, Brian Brady, MD, seorang nefrolog sekaligus profesor klinis kedokteran di Stanford University, mengatakan meski penelitiannya masih terbatas, hasil studi ini menyoroti potensi perbaikan kontrol hipertensi melalui intervensi murah dan mudah diterapkan, serta layak diteliti lebih lanjut lewat uji klinis acak.

    Tidur Berkualitas dan Tekanan Darah

    Untuk mencapai kesimpulan tersebut, peneliti merekrut 11 orang dengan hipertensi. Tujuh peserta adalah perempuan dan empat laki-laki, dengan rentang usia 45-62 tahun dan usia rata-rata 53 tahun.

    Seluruh peserta memiliki indeks massa tubuh (BMI) yang masuk kategori obesitas dan tidak memiliki penyakit kronis lain.

    Sebelum studi dimulai, waktu tidur peserta bervariasi rata-rata hingga 30 menit setiap malam. Selama dua minggu penelitian, variasi ini berkurang drastis menjadi sekitar tujuh menit.

    Peserta diminta menjaga jadwal tidur yang konsisten, dengan durasi tidur yang relatif sama setiap malam, serta tidak tidur siang. Tekanan darah mereka dipantau secara terus-menerus selama 48 jam menggunakan metode ambulatory blood pressure monitoring.

    Hasilnya, jadwal tidur yang konsisten menurunkan tekanan darah sistolik 24 jam (angka atas) rata-rata sebesar 4 poin, serta tekanan darah diastolik (angka bawah) sekitar 3 poin.

    Penurunan ini terutama disebabkan oleh turunnya tekanan darah sistolik pada malam hari dan penurunan tekanan darah diastolik secara keseluruhan. Lebih dari setengah peserta juga mengalami penurunan tekanan darah yang signifikan.

    Peneliti mencatat, penurunan tekanan darah malam hari sebesar 5 poin saja dapat menurunkan risiko kejadian kardiovaskular lebih dari 10 persen.

    Menurut peneliti, jadwal tidur yang tidak teratur dapat mengganggu ritme sirkadian tubuh, yang berperan mengatur siklus tidur-bangun dan fungsi kardiovaskular. Secara normal, tekanan darah akan menurun saat tidur malam. Orang yang tekanan darahnya tidak turun secara optimal saat malam hari diketahui memiliki risiko kardiovaskular yang lebih tinggi.

    Meski demikian, para ahli mengingatkan agar hasil studi ini ditafsirkan dengan hati-hati.

    “Ini studi proof of concept yang baik, tetapi masih perlu diuji pada penelitian acak berskala besar dan dengan durasi lebih panjang untuk benar-benar menilai dampaknya terhadap penurunan tekanan darah,” kata Nissi Suppogu, MD, ahli jantung sekaligus direktur medis Women’s Heart Center di MemorialCare Heart & Vascular Institute, California.

    Sementara itu, Kin Yuen, MD, dokter spesialis gangguan tidur dari University of California San Francisco, juga mengingatkan tekanan darah dipengaruhi banyak faktor.

    “Ini konsep yang menarik, tetapi tekanan darah sangat dipengaruhi oleh aktivitas malam hari, tanggung jawab merawat keluarga, konsumsi obat, hingga ritme biologis individu, sehingga sulit untuk digeneralisasi,” ujarnya.

    Ia menambahkan, pada orang dengan kecenderungan insomnia, fokus berlebihan pada jadwal tidur justru dapat memicu kecemasan saat hendak tidur, yang berpotensi meningkatkan tekanan darah.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • Terungkap Lewat Studi, Kebiasaan Malam Hari Ini Bisa Bantu Turunkan Tekanan Darah

    Terungkap Lewat Studi, Kebiasaan Malam Hari Ini Bisa Bantu Turunkan Tekanan Darah

    Jakarta

    Kebiasaan seperti tidur pada jam yang sama setiap malam ternyata dapat membantu menurunkan tekanan darah. Hal ini terungkap dalam sebuah studi terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Sleep Advances.

    Peneliti melaporkan, peserta dalam studi berskala kecil mengalami penurunan signifikan pada tekanan darah secara keseluruhan, termasuk tekanan darah malam hari, setelah menyesuaikan jadwal tidur agar konsisten setiap malam.

    “Tidur pada waktu yang teratur bisa menjadi strategi tambahan yang sederhana dan berisiko rendah untuk membantu mengontrol tekanan darah pada banyak penderita hipertensi,” tulis para peneliti, dikutip Healthline.

    Namun, peneliti menekankan bahwa studi ini hanya melibatkan 11 orang, berlangsung selama dua minggu, dan tidak memiliki kelompok pembanding. Karena itu, hipotesis tersebut masih perlu diuji melalui uji klinis acak dengan jumlah peserta yang lebih besar.

    Meski demikian, para ahli yang tidak terlibat dalam penelitian ini menilai hasilnya cukup menarik untuk diperhatikan.

    “Ini studi yang bermanfaat karena menunjukkan bahwa intervensi yang sangat sederhana bisa memberikan dampak yang cukup signifikan,” ujar Cheng-Han Chen, MD, dokter spesialis jantung intervensi sekaligus direktur medis Program Jantung Struktural di MemorialCare Saddleback Medical Center, Laguna Hills, California.

    Senada, Brian Brady, MD, seorang nefrolog sekaligus profesor klinis kedokteran di Stanford University, mengatakan meski penelitiannya masih terbatas, hasil studi ini menyoroti potensi perbaikan kontrol hipertensi melalui intervensi murah dan mudah diterapkan, serta layak diteliti lebih lanjut lewat uji klinis acak.

    Tidur Berkualitas dan Tekanan Darah

    Untuk mencapai kesimpulan tersebut, peneliti merekrut 11 orang dengan hipertensi. Tujuh peserta adalah perempuan dan empat laki-laki, dengan rentang usia 45-62 tahun dan usia rata-rata 53 tahun.

    Seluruh peserta memiliki indeks massa tubuh (BMI) yang masuk kategori obesitas dan tidak memiliki penyakit kronis lain.

    Sebelum studi dimulai, waktu tidur peserta bervariasi rata-rata hingga 30 menit setiap malam. Selama dua minggu penelitian, variasi ini berkurang drastis menjadi sekitar tujuh menit.

    Peserta diminta menjaga jadwal tidur yang konsisten, dengan durasi tidur yang relatif sama setiap malam, serta tidak tidur siang. Tekanan darah mereka dipantau secara terus-menerus selama 48 jam menggunakan metode ambulatory blood pressure monitoring.

    Hasilnya, jadwal tidur yang konsisten menurunkan tekanan darah sistolik 24 jam (angka atas) rata-rata sebesar 4 poin, serta tekanan darah diastolik (angka bawah) sekitar 3 poin.

    Penurunan ini terutama disebabkan oleh turunnya tekanan darah sistolik pada malam hari dan penurunan tekanan darah diastolik secara keseluruhan. Lebih dari setengah peserta juga mengalami penurunan tekanan darah yang signifikan.

    Peneliti mencatat, penurunan tekanan darah malam hari sebesar 5 poin saja dapat menurunkan risiko kejadian kardiovaskular lebih dari 10 persen.

    Menurut peneliti, jadwal tidur yang tidak teratur dapat mengganggu ritme sirkadian tubuh, yang berperan mengatur siklus tidur-bangun dan fungsi kardiovaskular. Secara normal, tekanan darah akan menurun saat tidur malam. Orang yang tekanan darahnya tidak turun secara optimal saat malam hari diketahui memiliki risiko kardiovaskular yang lebih tinggi.

    Meski demikian, para ahli mengingatkan agar hasil studi ini ditafsirkan dengan hati-hati.

    “Ini studi proof of concept yang baik, tetapi masih perlu diuji pada penelitian acak berskala besar dan dengan durasi lebih panjang untuk benar-benar menilai dampaknya terhadap penurunan tekanan darah,” kata Nissi Suppogu, MD, ahli jantung sekaligus direktur medis Women’s Heart Center di MemorialCare Heart & Vascular Institute, California.

    Sementara itu, Kin Yuen, MD, dokter spesialis gangguan tidur dari University of California San Francisco, juga mengingatkan tekanan darah dipengaruhi banyak faktor.

    “Ini konsep yang menarik, tetapi tekanan darah sangat dipengaruhi oleh aktivitas malam hari, tanggung jawab merawat keluarga, konsumsi obat, hingga ritme biologis individu, sehingga sulit untuk digeneralisasi,” ujarnya.

    Ia menambahkan, pada orang dengan kecenderungan insomnia, fokus berlebihan pada jadwal tidur justru dapat memicu kecemasan saat hendak tidur, yang berpotensi meningkatkan tekanan darah.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)