Jenis Media: Kesehatan

  • Kondisi Terkini Jessie J usai Jalani Mastektomi Lawan Kanker Payudara

    Kondisi Terkini Jessie J usai Jalani Mastektomi Lawan Kanker Payudara

    Jakarta

    Penyanyi Jessie J mengungkapkan kondisinya terkini setelah didiagnosis kanker payudara. Ia masih perlu menjalani operasi terkait kanker payudara yang diidapnya. Saat ini, ia sedang dalam masa pemulihan pascaoperasi sebelumnya.

    “Operasi lagi dibutuhkan tahun ini. Aku bisa melakukannya. Membesarkan balita, aku bisa melakukannya. Merilis musik baru, aku bisa melakukannya,” tulisnya melalui Instagram pribadinya.

    Dalam unggahan itu, Jessie J terlihat gemetar dan menarik napas sebelum mengungkapkan perasaannya. Ia masih tetap bisa berkarya dan mengurus anak, meski sedang beristirahat.

    Sampai saat ini, sudah sekitar tujuh minggu pascaoperasi kanker payudara stadium awal. Jessie mengaku telah menjalani mastektomi pada Juni 2025 karena penyakit tersebut.

    Mastektomi merupakan prosedur pengangkatan sebagian atau seluruh payudara, yang dilakukan untuk mengobati kanker payudara.

    “Saya masih dalam masa pemulihan dan tubuh saya masih mencari jalannya. Tapi saya mencintai musik dan saya mencintai hidup saya dan ingin hidup di masa sekarang,” tulis Jessie J, dikutip dari People, Senin (11/8/2025).

    Sekitar seminggu yang lalu, Jessie sempat dilarikan ke rumah sakit karena dugaan komplikasi pascaoperasi. Ia mengalami pembekuan darah setelah merasakan nyeri dada yang sangat menyiksa.

    Setelah menjalani banyak tes menunjukkan Jessie mengalami infeksi. Tetapi, tim medis masih mencari tahu penyebab pastinya.

    Ditemukan juga cairan di paru-parunya. Jessie mengaku sulit bernapas saat itu. Untungnya, ia masih diperbolehkan pulang dan melanjutkan pemeriksaan rawat jalan.

    Meski belum mengetahui penyebab pasti komplikasi atau infeksi yang terjadi, Jessie merasa kondisinya masih terkendali. Ia berusaha istirahat total di rumah.

    (sao/suc)

  • Orang yang Hidup Sampai Usia 100 Ternyata Punya ‘Kekuatan Super’, Ini Studinya

    Orang yang Hidup Sampai Usia 100 Ternyata Punya ‘Kekuatan Super’, Ini Studinya

    Jakarta

    Manusia yang bisa hidup 100 tahun atau lebih hanyalah menjadi bagian kecil populasi dunia. Penelitian terbaru menemukan satu faktor yang mungkin menjadi kunci panjang umur para centenarian (orang yang hidup lebih dari 100 tahun). Salah satunya adalah ‘kekuatan super’ tubuh mereka yang mampu menghindari penyakit.

    “Tim riset kami menemukan bahwa orang yang hidup hingga 100 tahun tampaknya memiliki kemampuan luar biasa untuk menghindari penyakit,” kata associate professor epidemiologi dari Karolinska Institute Swedia, Karin Modig, dikutip dari Science Alert, Senin (11/8/2025).

    Dalam dua studi terbaru, mereka menganalisis dan membandingkan orang-orang berumur panjang dan berumur pendek yang lahir di tahun sama. Dua studi itu menunjukkan centenarian mengidap penyakit lebih sedikit dan mengembangkan penyakit lebih lambat.

    Studi pertama melibatkan 170.787 orang yang lahir di Stockholm County, Swedia antara 1912 dan 1922. Menggunakan data historis, peneliti mengikuti riwayat hidup mereka selama 40, mulai dari usia 60 hingga kematian atau sampai usia 100 tahun.

    “Misalnya, pada usia 85, hanya 4 persen dari mereka yang menjadi centenarian yang pernah mengalami stroke. Sebagai perbandingan, sekitar 10 persen dari mereka yang hampir menjadi centenarian (hidup sampai usia 90-99), pernah mengalami stroke sampai usia 85,” jelas Modig.

    “Pada usia 100 tahun, 12,5 persen centenarian pernah mengalami serangan jantung, dibandingkan dengan lebih dari 24 persen di antara orang yang hidup antara usia 80 dan 89,” sambungnya.

    Pada studi kedua, ahli melakukan eksplorasi penelitian untuk melihat kemampuan centenarian menghindari proses berkembangnya penyakit serius. Peneliti mengamati 40 kondisi medis berbeda yang lebih bervariasi dari ringan sampai berat, seperti hipertensi, gagal jantung, diabetes, dan serangan jantung.

    Pada studi kedua, Modig dan timnya mengamati 274.108 orang yang lahir antara 1920-1922 di Swedia. Mereka mengikuti data historisnya hingga 30 tahun, mulai dari usia 70 tahun hingga meninggal atau sampai berusia 100 tahun. Dari keseluruhannya, ‘hanya’ 1,5 persen atau 4.330 orang yang akhirnya menjadi centenarian.

    Menurut peneliti hasilnya serupa dengan studi pertama, centenarian mengembangkan penyakit lebih lebih sedikit dan kecepatan akumulasi penyakit juga lebih lambat sepanjang hidup.

    “Kami juga menemukan bahwa centenarian lebih mungkin memiliki kondisi yang terbatas pada satu sistem organ saja. Ini merupakan tanda kesehatan dan ketahanan kelompok ini, karena penyakit yang memengaruhi satu sistem organ lebih mudah diobati dan dikelola dalam jangka panjang,” ujar Modig.

    Sebagai contoh, meskipun penyakit kardiovaskular merupakan diagnosis paling umum di semua kelompok usia, centenarian secara keseluruhan lebih jarang didiagnosis dibandingkan orang yang berumur lebih pendek.

    Centenarian juga menunjukkan ketahanan yang lebih besar terhadap kondisi neuropsikiatri, seperti depresi dan demensia. Meski sebagian besar centenarian akhirnya mengalami masalah kesehatan, biasanya ini terjadi jauh lebih lambat dibandingkan non-centenarian.

    “Hal ini disebabkan oleh jumlah penyakit yang lebih sedikit dan laju akumulasi penyakit yang lebih lambat,” tandasnya.

    Halaman 2 dari 3

    (avk/kna)

  • Wanita Usia 20 Tahun Tak Berhenti Orgasme, Ternyata Punya Kondisi Ini

    Wanita Usia 20 Tahun Tak Berhenti Orgasme, Ternyata Punya Kondisi Ini

    Jakarta

    Seorang wanita berusia 20 tahun di China mengalami kondisi langka yang membuatnya mengalami orgasme terus-menerus. Wanita yang tak disebutkan namanya mengalami gejala yang tidak berhubungan dengan hasrat seksual, namun sangat mengganggu kehidupan sehari-hari.

    Awalnya, pada usia 12 tahun, wanita tersebut memiliki riwayat epilepsi yang ditandai dengan hilangnya kesadaran episodik tanpa kejang, jatuh, atau inkontinensia. Pada fase terparah, ia mengalami 2-3 kali kejang per hari, masing-masing berlangsung kurang lebih 10 menit.

    Pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) menunjukkan gelombang epilepsi, sehingga diagnosis epilepsi ditegakkan, dan pasien menjalani terapi rutin selama 6 tahun. Atas saran dokter, pengobatan dihentikan, dan sejak itu tidak ada kekambuhan gejala.

    Kemudian pada usia 14 tahun, mulai muncul gejala kecurigaan berlebihan, seperti merasa orang lain memiliki kemampuan melihat pikiran dan mengetahui isi pikirannya, disertai perasaan tertekan hingga mengganggu kelanjutan studi.

    Pada usia 15 tahun, pasien tersebut dirawat di departemen psikiatri untuk pertama kalinya dan mendapat pengobatan. Tidak lama kemudian, ia mulai merasakan sensasi seperti aliran listrik dari perut bawah ke perut atas, disertai kontraksi rahim atau otot panggul, mirip dengan orgasme. Gejala ini muncul beberapa kali sehari, berlangsung beberapa detik, dan terjadi secara berkala.

    Wanita tersebut kemudian mencari pertolongan medis di salah satu rumah sakit di China. Kondisinya saat itu sudah begitu parah hingga episode orgasme muncul bahkan saat wawancara medis berlangsung.

    Hasil pemeriksaan, termasuk pemantauan EEG dan tes lain, menyingkirkan kemungkinan epilepsi dan gangguan neurologis lainnya. Para ahli saraf sempat buntu, hingga ia diberi obat antipsikotik untuk meredakan gejalanya.

    Wanita tersebut kemudian didiagnosis mengidap persistent genital arousal disorder (PGAD), kondisi yang masih jarang dipahami dan belum memiliki standar pengobatan baku.

    Setelah beberapa minggu menjalani pengobatan, gejala pasien menjadi lebih jarang dan tidak separah sebelumnya. Ia kembali mampu bekerja dan bersosialisasi. Namun, saat menghentikan obat, gejalanya kambuh. Selama ia melanjutkan terapi antipsikotik, kondisinya tetap stabil.

    Kasus ini dipublikasikan di AME Case Reports. Para penulis menyimpulkan sistem dopamin mungkin berperan penting dalam kelainan sensorik yang melibatkan sistem saraf pusat, dan pengobatan dengan obat antipsikotik dapat menjadi salah satu pendekatan terapi untuk Persistent Genital Arousal Disorder (PGAD).

    Apa Itu PGAD?

    Dikutip dari WebMD, PGAD adalah kondisi langka saat pengidapnya mengalami rangsangan genital yang tidak diinginkan dan tidak hilang meski sudah mengalami orgasme.

    Jika tidak ditangani, kondisi ini dapat membahayakan kesehatan mental, menurunkan kualitas hidup, dan mengganggu kemampuan untuk menjalin hubungan seksual yang sehat. Kondisi ini lebih sering terjadi pada wanita, namun diperkirakan hanya memengaruhi sekitar 1 persen dari mereka.

    PGAD tergolong kondisi medis yang relatif baru, pertama kali diberi nama pada tahun 2001. Berbeda dengan hiperseksualitas atau kecanduan seksual, PGAD tidak melibatkan adanya hasrat seksual.

    Gejala PGAD

    Pengidap PGAD dapat mengalami peningkatan aliran darah dan rasa tegang di area klitoris, labia, perineum, atau anus. Gejala bisa berlangsung selama berjam-jam bahkan berhari-hari, dan meliputi:

    Nyeri pada alat kelaminPelumasan vaginaKontraksi vaginaSensasi kesemutan pada klitorisOrgasme

    Orgasme mungkin memberikan sedikit kelegaan, namun tidak selalu menghilangkan gejala sepenuhnya. Bahkan, gejala dapat kembali dengan cepat.

    PGAD tidak memberikan rasa nyaman seperti gairah seksual normal. Sensasi yang dirasakan bisa meliputi:

    DenyutanGatalRasa panas atau terbakarGetaran atau ketukanKesemutan

    Penyebab PGAD

    Penyebab pasti PGAD belum diketahui. Para ahli menduga kondisi ini disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, di antaranya:

    Stres, kecemasan, dan depresiKista Tarlov (kista pada pangkal tulang belakang)Penggunaan obat selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI)Massa periklitoris (abses di atau sekitar klitoris)Varises panggul (pelebaran pembuluh darah di area panggul)

    Halaman 2 dari 3

    (suc/kna)

  • Menurut Studi, Konsumsi Kopi di Waktu Ini Bisa Cegah Mati Muda

    Menurut Studi, Konsumsi Kopi di Waktu Ini Bisa Cegah Mati Muda

    Jakarta

    Studi baru mengungkapkan minum kopi telah berulang kali dikaitkan dengan kesehatan jantung yang lebih baik dan umur panjang. Namun, manfaat konsumsi kopi dapat bergantung pada waktu meminumnya.

    Membatasi konsumsi kopi hanya di pagi hari mungkin menjadi pilihan terbaik, terlepas dari jumlah yang diminum maupun faktor lain yang dapat memengaruhi, menurut studi yang diterbitkan di European Heart Journal.

    “Ini adalah studi pertama yang meneliti pola waktu minum kopi dan dampaknya terhadap kesehatan,” ujar penulis utama Dr Lu Qi, Ketua Terhormat HCA Regents sekaligus profesor di Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Tropis Celia Scott Weatherhead, Tulane University, New Orleans, dalam siaran pers, dikutip dari CNN.

    “Kami biasanya tidak memberikan saran tentang waktu minum kopi dalam panduan diet, tetapi mungkin perlu mempertimbangkannya di masa mendatang.”

    Sebagian besar penelitian sebelumnya yang meneliti konsumsi kopi dari waktu ke waktu menemukan, minum kopi dalam jumlah sedang dapat dikaitkan dengan risiko lebih rendah terhadap diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular, dan kematian dini.

    Namun, bukti ilmiah mengenai apakah faktor seperti genetika, jumlah yang diminum, atau tambahan pemanis memengaruhi hubungan ini masih belum konsisten, bahkan terkadang kontroversial.

    Dalam studi ini, peneliti menganalisis data pola makan dan kesehatan 40.725 orang dewasa berusia 18 tahun ke atas dari National Health and Nutrition Examination Survey yang dilakukan pada 1999 hingga 2018.

    Selama 10 siklus survei, peserta melaporkan rincian asupan makanan mereka dari hari sebelumnya. Peneliti juga memasukkan subkelompok yang terdiri dari 1.463 orang dewasa, baik dari Lifestyle Validation Study untuk perempuan maupun laki-laki, yang telah mencatat pola makan mereka setidaknya selama satu minggu.

    Baik kopi berkafein maupun tanpa kafein dimasukkan dalam analisis, dengan waktu konsumsi dikategorikan menjadi tiga periode, yaitu pagi pukul 04.00-11.59, siang pukul 12.00-16.59, dan malam pukul 17.00-03.59.

    Para peneliti mengidentifikasi dua pola konsumsi utama, yakni hanya di pagi hari dan sepanjang hari. Pada akhir periode tindak lanjut median hampir 10 tahun, tercatat 4.295 kematian akibat semua penyebab, 1.268 kematian akibat penyakit kardiovaskular, dan 934 kematian akibat kanker.

    Dibandingkan dengan orang yang tidak minum kopi, konsumsi kopi hanya di pagi hari dikaitkan dengan risiko kematian dini akibat semua penyebab yang 16 persen lebih rendah, serta risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular yang 31 persen lebih rendah.

    Sementara itu, mereka yang cenderung minum kopi sepanjang hari tidak menunjukkan penurunan risiko.

    Temuan ini tetap konsisten bahkan setelah peneliti mempertimbangkan berbagai faktor pembaur, seperti durasi tidur, usia, ras, etnis, jenis kelamin, pendapatan keluarga, tingkat pendidikan, aktivitas fisik, skor pola makan, serta kondisi kesehatan seperti diabetes, hipertensi, dan kolesterol tinggi.

    Bagi peminum kopi di pagi hari, jumlah kopi berkafein maupun tanpa kafein yang diminum tidak berpengaruh, baik kurang dari satu cangkir maupun lebih dari tiga cangkir per hari. Mengonsumsi kopi di pagi hari tetap memberikan hasil yang lebih baik dibanding pola minum kopi lainnya dalam hal risiko kematian.

    “Studi ini bersifat observasional, artinya tidak dilakukan dalam pengaturan eksperimen, yang merupakan standar emas,” kata Vanessa King, ahli gizi terdaftar sekaligus juru bicara Academy of Nutrition and Dietetics yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

    Sifat studi ini juga berarti bahwa hasilnya hanya menunjukkan adanya keterkaitan, bukan hubungan sebab-akibat antara kebiasaan minum kopi di pagi hari dan risiko kematian dini. Namun menurut King, temuan ini tetap bermakna karena penyebab utama kematian di Amerika adalah penyakit kardiovaskular.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • Peneliti Temukan Cara Baca Pikiran Manusia, Bisa Jadi ‘Obat’ Pikun Masa Depan?

    Peneliti Temukan Cara Baca Pikiran Manusia, Bisa Jadi ‘Obat’ Pikun Masa Depan?

    Jakarta

    Peneliti mengungkapkan otak bekerja seperti ‘lemari arsip’ untuk menyimpan memori visual dari berbagai objek. Ini berkaitan erat dengan bagian hipokampus otak yang memiliki kemampuan mengingat ‘di mana’ dan ‘kapan’ suatu peristiwa terjadi.

    Tapi bagi ahli, tidaklah masuk akal hipokampus juga harus menyimpan satu per satu memori dari setiap objek yang ditemui. Oleh karena itu, mereka berpendapat hipokampus pasti menggunakan sistem kategorisasi, seperti lemari arsip.

    Peneliti dari University of Southern California (USC) bernama Dong Song bersama timnya merekrut 24 pasien epilepsi yang sudah memiliki elektroda tertanam di otak. Elektroda tersebut digunakan untuk mendeteksi lokasi kejang.

    Banyak pasien epilepsi mengalami gangguan memori, sehingga penelitian ini sangat cocok menurut ahli. Ketika peserta menyelesaikan tugas pengingatan kembali, peneliti berhasil merekam lonjakan aktivitas dari dua kelompok neuron di hipokampus menggunakan elektroda yang terpasang.

    “Kami memperlihatkan lima kategori gambar kepada para pasien seperti ‘hewan’, ‘tumbuhan’, ‘bangunan’, ‘kendaraan’, dan ‘alat kecil’. Lalu kami merekam sinyal dari hipokampus,” ujar Song dikutip dari IFL Science, Kamis (31/7/2025).

    Mereka menggunakan teknologi machine learning untuk menganalisis pola sinyal otak yang terekam. Tujuannya untuk mengetahui apakah sinyal otak bisa dibaca sedemikian rupa sehingga peneliti bisa menguraikan kategori gambar yang sedang pasien ingat.

    Dengan kata lain, apakah peneliti bisa ‘membaca pikiran’ hanya dari rekaman otak untuk mengetahui jenis gambar saat itu? Dan jawabannya, ternyata bisa.

    “Kami bisa cukup akurat menguraikan kategori gambar apa yang sedang pasien coba ingat,” kata Song.

    Menurut Song, ini mengonfirmasi otak memang menyortir objek-objek ke dalam kategori tertentu. Ini sudah dicurigai sejak lama oleh ilmuwan.

    Peneliti menambahkan temuan ini bisa menjadi langkah awal pengembangan alat klinis untuk berbagai masalah memori seperti pikun di masa depan. Ini bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

    “Dengan pengetahuan ini, kita bisa mulai mengembangkan alat klinis untuk memulihkan kehilangan ingatan dan meningkatkan kualitas hidup, termasuk prostetik memori dan strategi neurorestoratif lainnya,” kata peneliti pendamping Charles Liu.

    Penelitian lanjutan akan diperluas ke luar lima kategori yang sudah digunakan. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering menemukan objek yang dalam beberapa kategori sekaligus.

    Tim juga menyarankan agar penelitian di masa depan mencoba meniru kondisi yang lebih realistis di dunia nyata, serta menjelajahi penyimpanan memori jangka panjang. Setelah objek-objek itu ‘diarsipkan’, apakah mereka tetap berada di sana atau sistemnya berkembang seiring waktu.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/naf)

  • Pengakuan Mereka yang Alami Kasus Aneh, Orgasme Tak Berhenti-50 Kali Sehari

    Pengakuan Mereka yang Alami Kasus Aneh, Orgasme Tak Berhenti-50 Kali Sehari

    Jakarta

    Bagi sebagian orang, orgasme mungkin identik dengan kenikmatan. Namun, bagi para perempuan yang mengalami Persistent Genital Arousal Disorder/PGAD, orgasme justru bisa menjadi mimpi buruk yang melemahkan fisik dan mental. Kondisi langka ini membuat mereka mengalami sensasi rangsangan dan orgasme secara terus-menerus, tanpa adanya rangsangan seksual atau keinginan.

    Meski terdengar seperti fantasi, kenyataannya PGAD sering disertai rasa sakit, rasa malu, dan stigma sosial. Berikut kisah tiga wanita dari berbagai negara yang berbagi pengalaman mereka.

    50 Kali Orgasme dalam Sehari

    Dikutip dari NYPost, seorang perempuan berusia 29 tahun berbagi kisahnya di forum Reddit ‘Ask Me Anything’ tentang bagaimana PGAD mengubah hidupnya. Ia menjelaskan bahwa sensasi gairah datang secara spontan, bahkan bisa memicu hingga 50 orgasme dalam sehari.

    “Ini bukan sesuatu yang diinginkan, ini sangat mengganggu,” ujarnya.

    Sensasi terkuat biasanya ia rasakan di leher rahim, disertai tanda-tanda peringatan seperti rasa panik, disosiasi, atau geli di area genital. Gelombang rangsangan kemudian menyebar dari klitoris, ke rektum, hingga leher rahim. Akibatnya, ia hampir tidak pernah keluar rumah dan kesulitan untuk bekerja.

    Mengganggu dan Menyakitkan

    Di China, seorang wanita berusia 20 tahun telah mengalami orgasme spontan sejak usia 14 tahun. Sensasinya seperti sengatan listrik di selangkangan, diikuti kontraksi panggul mirip orgasme.

    Yang mengejutkan, gejala ini muncul tanpa hasrat seksual dan bisa muncul kapan saja, bahkan saat ia sedang diwawancarai dokter. Pemeriksaan medis menunjukkan ia tidak memiliki epilepsi atau gangguan saraf lainnya.

    Akhirnya, pengobatan menggunakan obat antipsikotik seperti risperidone dan olanzapine membantu meredakan gejalanya. Namun, PGAD tetap menjadi misteri medis, jarang terjadi, sulit diobati, dan dapat menyerang tanpa peringatan.

    Sulit Beraktivitas

    Diberitakan The Sun, Emily McMahon, 36 tahun, asal Melbourne, Australia, menggambarkan kondisinya sebagai ‘gairah 24/7’ yang sama sekali tidak menyenangkan. Ia bisa mengalami lima orgasme menyakitkan dalam sehari, yang membuatnya kesulitan beraktivitas di ruang publik.

    Getaran di transportasi umum bisa memicu reaksi, dan banyak orang salah paham mengira ia menikmati sensasi tersebut. Bahkan keluarganya pernah menyarankan untuk menikmatinya”atau masturbasi agar gejala reda, padahal kenyataannya setiap orgasme disertai nyeri tajam di selangkangan dan sensasi terbakar.

    Kondisi Emily diduga disebabkan kerusakan saraf. Tidak ada obatnya, dan operasi hanya tersedia di Amerika Serikat dengan biaya yang tidak terjangkau. Meski begitu, pasangannya tetap setia mendukung, walau hubungan intim sering kali menyakitkan.

    PGAD diperkirakan memengaruhi sekitar 1 persen perempuan, tetapi angka pastinya sulit ditentukan karena banyak dari mereka merasa malu untuk mencari pertolongan. Penyebabnya bisa meliputi kerusakan saraf, kelainan tulang belakang, efek samping obat, atau bahkan kombinasi faktor fisik dan psikologis.

    Bagi para pasien, tantangan terbesar bukan hanya rasa sakit, tetapi juga stigma sosial dan kurangnya pemahaman medis.

    “Saya tidak menginginkan ini. Saya hanya ingin sembuh, dan agar perundungan serta penghakiman berhenti.”

    Halaman 2 dari 2

    (naf/naf)

  • Jumlah Tentara Korsel Anjlok 20 Persen gegara Penyusutan Populasi, Ini yang Terjadi

    Jumlah Tentara Korsel Anjlok 20 Persen gegara Penyusutan Populasi, Ini yang Terjadi

    Jakarta

    Tentara Korea Selatan mengalami penyusutan sebesar 20 persen dalam enam tahun terakhir, menjadi hanya 450.000 personel. Penyusutan ini terutama disebabkan oleh penurunan tajam jumlah pria berusia wajib militer di negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia.

    Kementerian Pertahanan setempat menyatakan berkurangnya jumlah pria yang memenuhi syarat untuk dinas militer juga menyebabkan kekurangan perwira, dan jika tren ini berlanjut, bisa memicu kesulitan operasional.

    Laporan ini disampaikan kepada anggota parlemen dari Partai Demokrat yang berkuasa, Choo Mi-ae, yang kemudian merilisnya ke publik.

    Jumlah personel militer Korea Selatan telah menurun secara bertahap sejak awal 2000-an, ketika angkanya mencapai sekitar 690.000 tentara. Penurunan semakin cepat pada akhir 2010-an, dengan jumlah personel aktif termasuk tentara dan perwira menjadi sekitar 563.000 pada 2019.

    Sebagai perbandingan, Korea Utara diperkirakan memiliki sekitar 1,2 juta personel aktif pada 2022, menurut estimasi terbaru Kementerian Pertahanan.

    Antara 2019 dan 2025, jumlah pria berusia 20 tahun di Korea Selatan, usia ketika kebanyakan laki-laki yang lulus tes fisik akan mengikuti wajib militer, menurun 30 persen menjadi hanya 230.000 orang. Saat ini, masa dinas militer adalah 18 bulan.

    Pemendekan masa dinas ini, menurut pihak militer, dimungkinkan berkat peningkatan kemampuan pertahanan, kerja sama militer dengan Amerika Serikat, serta perkembangan industri pertahanan dalam negeri yang kini menjadi salah satu eksportir senjata besar dunia.

    Sebagai perbandingan, pada 1953, ketika Perang Korea berakhir dengan gencatan senjata, pria sehat di Korea Selatan harus menjalani dinas militer selama 36 bulan.

    Anggaran pertahanan Korea Selatan untuk 2025 diperkirakan lebih dari 61 triliun won (US$43,9 miliar), lebih besar daripada estimasi ukuran seluruh perekonomian Korea Utara.

    Namun demikian, Kementerian Pertahanan menyebut jumlah personel militer saat ini masih kurang sekitar 50.000 orang dari kebutuhan minimal untuk menjaga kesiapan pertahanan. Dari kekurangan tersebut, sekitar 21.000 di antaranya adalah pangkat bintara.

    Korea Selatan kini menjadi salah satu negara dengan populasi menua paling cepat di dunia, serta memiliki tingkat fertilitas terendah, hanya 0,75 pada 2024 yang berarti rata-rata seorang perempuan diperkirakan melahirkan kurang dari satu anak selama masa suburnya.

    Populasi negara tersebut, yang mencapai puncaknya di 51,8 juta pada 2020, diperkirakan akan menyusut menjadi hanya 36,2 juta pada 2072, menurut proyeksi pemerintah.

    (naf/naf)

  • Video: POV Main Padel untuk Pertama Kalinya

    Video: POV Main Padel untuk Pertama Kalinya

    Video: POV Main Padel untuk Pertama Kalinya

  • Viral Dokter Salah Beri Resep Obat, Pasien Alami Gangguan Sumsum Tulang

    Viral Dokter Salah Beri Resep Obat, Pasien Alami Gangguan Sumsum Tulang

    Jakarta

    Seorang dokter di Singapura diskors selama 14 bulan karena kesalahannya dalam merawat pasien. Awalnya, pasien itu mengunjungi Naaman Skin and Laser Centre di Novena untuk mengobati ruam di tubuhnya.

    Namun, pasien pria itu berakhir dirawat di rumah sakit selama 10 hari. Ia mengalami supresi sumsum tulang atau kondisi saat sumsum tulang tidak menghasilkan sel darah dalam jumlah normal, setelah dokter kulitnya mengubah resep obat.

    Menurut dasar keputusan pengadilan disiplin Dewan Medis Singapura (SMC), konsultan dermatologis pusat bernama Khoo Boo Peng itu mengaku bersalah atas dua tuduhan pelanggaran profesional, berdasarkan Undang-Undang Registrasi Medis 1997. Sejak itu, Khoo diskors dari praktik selama 14 bulan.

    Awal Mula Kejadian

    Insiden ini berawal saat pasien pria itu berkonsultasi dengan Khoo pada 13 April 2020 soal ruam di tubuhnya. Ia mengaku kondisi itu sudah dialaminya sejak Agustus 2019.

    Saat itu, Khoo mendiagnosisnya dengan nodul prurigo, suatu kondisi kulit yang menyebabkan benjolan gatal pada kulit. Dokter juga memberikan suntikan steroid pada pasien.

    Pada 27 April 2020, Khoo meresepkan Siklosporin dan Metotreksat kepada pasien. Siklosporin adalah agen imunosupresif, sementara Metotreksat adalah agen kemoterapi dan penekan sistem kekebalan tubuh.

    Kondisi pasien mulai membaik pada 15 Mei 2020. Karena obat-obatan tersebut mahal untuk dilanjutkan dalam jangka panjang, pengobatan akhirnya dihentikan.

    Dokter Mengganti Obat

    Pada 12 Juni 2020, pasien mengalami kekambuhan dan kembali berkonsultasi pada Khoo. Kali ini, Khoo mengganti obat dan meresepkan Azatioprin dan Prednisolon kepada pasien.

    Dikutip dari Mothership, Azathioprine adalah obat imunosupresif. Prednisolon adalah obat yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah kulit.

    Pada 27 Juni 2020, pasien mengirimkan e-mail kepada Khoo berisi dua foto bagian bawah wajahnya. Pasien mengungkapkan kekhawatirannya bahwa wajah di bawah bibir sedikit bengkak dan warna kulitnya menjadi lebih gelap dari biasanya.

    Khoo membalasnya di hari yang sama dengan mengatakan bahwa ini tampaknya merupakan retensi cairan sementara akibat obat Prednisolon dan memintanya untuk melanjutkan pengobatan.

    Pasien mengirimkan e-mail kepada Khoo beberapa hari kemudian, pada 1 Juli 2020. Ia mengungkapkan bahwa obat steroid itu telah menyebabkan lepuh di dekat bibir dan sariawan, dan mungkin juga memengaruhi lidah dan tenggorokan.

    “Rasanya sakit saat saya makan dan menelan. Penggelapan kulit juga cukup parah,” tulis pasien.

    Pada 2 Juli 2020, pasien mengirimkan e-mail lanjutan dengan melampirkan foto rambut rontoknya.

    “Ini adalah jumlah rambut yang saya rontokkan pagi ini. Belum pernah terjadi sebelumnya. Mohon beritahu saya apa yang harus dilakukan dengan steroid ini. Steroid ini sangat menyiksa saya. Saya ingin berhenti, tetapi juga takut dengan gejala putus obat,” terang pasien.

    Khoo setuju dan memintanya untuk berhenti mengonsumsi Prednisolon.

    Diagnosis Serius

    Pada 2 Juli 2020, setelah berkonsultasi dengan Khoo melalui e-mail, pasien tersebut berkonsultasi langsung dengan Khoo untuk keperluan mendesak. Saat itulah Khoo baru memberi tahunya, gejala-gejala tersebut kemungkinan merupakan reaksi obat yang merugikan terhadap Azathioprine.

    Ia kemudian berobat ke departemen Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit Mount Elizabeth Novena pada 4 Juli 2020. Di sana, ia didiagnosis mengalami supresi sumsum tulang yang mengakibatkan pansitopenia.

    Supresi sumsum tulang adalah suatu kondisi di mana sumsum tulang tidak memproduksi cukup sel darah atau trombosit. Dokumen pengadilan menyatakan bahwa pansitopenia berpotensi mengancam jiwa.

    Hal ini menyebabkan pasien dirawat di rumah sakit dari 4 Juli hingga 13 Juli 2020.

    Alasan Dakwaan

    Dakwaan pertama Khoo adalah meresepkan Azathioprine kepada pasien tanpa menjamin keselamatan pasien. Dakwaan kedua yang dijatuhkan kepadanya adalah kegagalan melakukan pemantauan ketat terhadap pasien, dan manajemen efek samping yang tepat setelah memulai pengobatan Azathioprine.

    Dokumen tribunal menyatakan bahwa Khoo seharusnya memeriksa pasien untuk melihat apakah ia memiliki metabolisme Azathioprine yang normal, sedang, atau buruk.

    Jika pasien memilih untuk tidak menjalani salah satu tes tersebut, Khoo seharusnya berhati-hati untuk memulai pasien dengan dosis Azathioprine terendah untuk menguji seberapa sensitif pasien terhadap Azathioprine.

    Khoo juga tidak mengambil kedua tindakan pencegahan tersebut. Hal itu mengakibatkan pasien dirawat di rumah sakit karena dapat terjadi efek samping yang serius jika dosis tinggi Azathioprine, yang diresepkan kepada pasien yang memiliki metabolisme Azathioprine yang buruk.

    Hasil tes tertanggal 9 Juli 2020 menetapkan bahwa pasien memiliki metabolisme Azathioprine yang buruk.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “BPJS Kesehatan Tanggung Biaya Perawatan Pasien Covid-19”
    [Gambas:Video 20detik]
    (sao/naf)

  • Petinju Jepang Shigetoshi Kotari Meninggal Pasca Bertanding gegara Trauma Otak

    Petinju Jepang Shigetoshi Kotari Meninggal Pasca Bertanding gegara Trauma Otak

    Jakarta

    Dunia tinju berduka atas kematian tragis yang dialami petinju papan atas Jepang, Shigetoshi Kotari. Ia meninggal dunia di usia yang masih muda, yakni 28 tahun.

    Kematiannya terjadi hanya enam hari setelah ia meninggalkan ring, pasca bertarung memperebutkan gelar juara. Dikutip dari Marca, Kotari kehilangan kesadaran setelah pertarungannya dengan Yamato Hata pada 2 Agustus 2025.

    Ia langsung dilarikan ke rumah sakit dan menjalani operasi otak darurat untuk hematoma subdural. Meskipun telah diupayakan oleh tim medis, Kotari meninggal akibat luka-lukanya.

    “Beristirahatlah dalam damai, Shigetoshi Kotari. Dunia tinju berduka atas kematian tragis petarung Jepang, Shigetoshi Kotari, yang meninggal dunia akibat cedera yang dideritanya saat pertarungan perebutan gelar pada 2 Agustus,” tulis The World Boxing Organisation (WBO) atau organisasi tinju dunia.

    Dikutip dari Times of India, hematoma terjadi saat darah terkumpul di antara otak dan lapisan luarnya (dura mater). Dalam kasus Kotari, pukulan berulang kali ke kepala kemungkinan menyebabkan robeknya pembuluh darah kecil, yang memungkinkan darah mengumpul dan menekan otak.

    Bahayanya terletak pada kenyataan bahwa otak tidak memiliki tempat untuk berkembang di dalam tengkoran yang kaku. Bahkan, perdarahan kecil dapat menyebabkan pembengkakan, yang memutus suplai oksigen ke area kritis.

    Jika tidak segera ditangani, tekanan ini dapat menyebabkan kerusakan otak permanen, atau seperti dalam kasus Kotari bisa berakibat fatal sampai meninggal dunia.

    Salah satu fakta paling mengkhawatirkan tentang trauma kepala adalah bahwa gejalanya dapat tertunda. Dalam pertarungan Kotari, tidak ada knockdown dramatis atau tekanan yang terlihat selama pertandingan.

    Para petarung seringkali terus berjuang melawan rasa sakit, yang membuat adrenalin menutupi tanda-tanda awal, seperti pusing atau penglihatan kabur. Saat gejala yang jelas, seperti sakit kepala parah, muntah, atau pingsan muncul, kerusakan mungkin sudah parah.

    Inilah sebabnya para ahli menekankan evaluasi pasca-pertandingan segera dan pemantauan lanjutan di sisi ring, bahkan saat seorang petinju tampak baik-baik saja.

    Apa yang harus dilakukan?

    Setelah meninggalnya Kotari, Komisi Tinju Jepang mengurangi durasi pertarungan perebutan gelar OPBF di masa mendatang, dari 12 ronde menjadi 10 ronde. Meskipun ini merupakan langkah maju, para ahli percaya masih banyak yang harus dilakukan, seperti:

    Pemindaian MRI wajib sebelum dan sesudah pertandingan intensitas tinggi untuk mendeteksi perubahan halus pada jaringan otak.Periode pemulihan yang lebih lama di antara pertandingan, terutama setelah trauma kepala.Peralatan medis canggih di sisi ring untuk diagnosis perdarahan yang cepat.

    Langkah-langkah ini mungkin tidak sepenuhnya menghilangkan risiko. Tetapi, dapat meningkatkan peluang bertahan hidup dengan memungkinkan perawatan yang lebih cepat.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Tanda-tanda yang Perlu Diwaspadai Bila Seseorang Alami Cedera Kepala”
    [Gambas:Video 20detik]
    (sao/naf)