Jenis Media: Kesehatan

  • Video: Menkes Budi Sebut Raya Meninggal Bukan karena Cacing

    Video: Menkes Budi Sebut Raya Meninggal Bukan karena Cacing

    JakartaMenteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin turut menanggapi kasus meninggalnya Raya, balita 4 tahun di Sukabumi yang meninggal setelah ditemukan 1 kilogram cacing gelang di tubuhnya.

    Saat ditemui di Bandung, Jawa Barat pada Jumat (22/8), Menkes Budi mengutarakan poin-poin yang menjadi perhatiannya. Pertama, kasus ini menjadi alarm bagi dunia medis di Indonesia. Kedua, soal penyebab meninggalnya Raya. Menkes mengatakan Raya meninggal bukan karena cacing, tapi karena infeksi. Berikut pernyataannya…

    Klik di sini untuk melihat video lainnya!

    (/)

    menkes budi gunadi sadikin kesehatan raya sukabumi cacingan

  • Berkaca dari Kasus di Sukabumi, Mengapa Cacingan Picu Kematian? Ini Kata IDAI

    Berkaca dari Kasus di Sukabumi, Mengapa Cacingan Picu Kematian? Ini Kata IDAI

    Jakarta

    Kecacingan termasuk sebagai penyakit tropis yang terabaikan karena gejalanya yang tidak spesifik dan butuh waktu lama untuk muncul. Penyakit ini jarang menimbulkan gejala berat, sehingga sering kali luput dari perhatian.

    Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik IDAI dr Riyadi, SpA, Subs IPT(K), MKes mengingatkan untuk tidak mengabaikan penyakit kecacingan.

    “Kecacingan jangan kita lupakan, karena perjalanannya lama. Kalau kita obatinya dengan cepat, kita lakukan tindakan pencegahan tidak akan sampai dalam kondisi yang berat,” kata dr Riyadi dalam agenda temu media IDAI, Jumat (22/8/2025).

    Ada tiga jenis kelompok besar cacing, yaitu cacing pita, cacing gelang, dan cacing hisap. Kendati demikian cacing gelang yang paling banyak menginfeksi. Cacing dikatakan tidak menyebabkan kematian tinggi, tapi secara signifikan bisa memengaruhi anak.

    “Efeknya kalau dia (anak) terkena kecacingan karena dia penyakit yang berlangsung lama akan memengaruhi tumbuh kembangnya efeknya ya tadi bisa memengaruhi generasi kita di kemudian hari ya,” tambah dr Riyadi.

    Kecacingan bisa mempengaruhi asupan pencernaan dan penyerapan. Semua aspek makanan yang masuk akan diganggu cacing, sebab makanan yang dikonsumsi dimakan juga oleh cacing, sehingga tidak optimal.

    Ada juga cacing tambang yang suka menghisap darah yang membuat anak hilang darah dan menyebabkan sering pucat. Hal ini membuat perkembangan fisik dan kecerdasan produktivitas kerjanya terganggu sebab kurangnya nutrisi.

    “Sehingga selain dia cacingan sendiri, bisa mudah kena penyakit lain,” tuturnya.

    Jika ada anak sampai meninggal, bisa jadi kecacingan menjadi faktor yang memperberat. Kemudian ada faktor lain yang membuat anak terkena penyakit dan menyebabkan hal fatal.

    “Kalau anak sampai meninggal, ada faktor lain, misalnya terkena penyakit lain yang menyebabkan hal fatal. Karena berlangsung kronis, bisa menjadi stunting. Stunting selain penyebabnya gizi kurang, tapi juga penyakit kronis salah satunya kecacingan,” tandas dr Riyadi.

    (elk/elk)

  • Video Relawan Sebut Kasus Raya Satu di Antara Ribuan Kasus Lainnya

    Video Relawan Sebut Kasus Raya Satu di Antara Ribuan Kasus Lainnya

    Video Relawan Sebut Kasus Raya Satu di Antara Ribuan Kasus Lainnya

  • 10 Teka-teki Logika untuk Mengasah Otak dan Pikiran Kreatif

    10 Teka-teki Logika untuk Mengasah Otak dan Pikiran Kreatif

    Jakarta

    Pernah merasa otak jenuh dan butuh tantangan baru? Salah satu cara sederhana untuk melatih kecerdasan otak dan mengasah kreativitas adalah bermain teka-teki.

    Tak hanya seru, permainan ini juga merangsang daya pikir kritis dan melatih konsentrasi. Ingin coba menjawab?

    Teka-teki untuk Mengasah Pikiran Kreatif

    Siap mengasah otak dengan teka-teki? Berikut beberapa soal yang harus dijawab.

    1. Ada sebuah bathtub berisi air penuh di depanmu. Di sampingnya ada sendok, cangkir, dan ember. Cara tercepat untuk mengosongkan bathub tersebut adalah…

    2. Perhatikan percakapan berikut:

    Budi: Kemarin saya berbohong
    Ayu: Saya juga kemarin bohong

    Budi selalu berbohong pada hari Senin, Selasa, dan Rabu. Ayu selalu berbohong pada hari Kamis, Jumat, dan Sabtu. Pada hari apa percakapan ini berlangsung?

    3. Anjing, kucing, kuda, singa, sapi. Tentukan satu kata yang tidak seharusnya berada di sana?

    4. Seorang kakek, seorang nenek, 2 orang ayah, 2 orang ibu, 3 anak laki-laki, dan 2 anak perempuan pergi ke restoran. Berapa jumlah makanan yang harus dibeli agar setiap orang mendapat tepat 1 jatah?

    5. Perhatikan pola berikut

    1+4=5
    2+5=12
    3+6=21
    8+11=?

    6. Berapa hasilnya?

    A+B= 76
    A-B= 38
    A:B= ?

    7. Gunakan angka dan simbol di bawah ini dan buat operasi hitung yang benar

    2, 3, 4, 5, +, dan =

    8. Di rumah ada 7 orang. Dara sedang memotong wortel, Gina sedang makan siang, Dela sedang minum ASI, dan Roy sedang membersihkan jendela. Koko sedang menonton televisi dan Cika sedang tidur. Lalu, Risa sedang apa?
    9. Apabila seekor kuda menghadapkan wajahnya ke selatan. Maka ekornya menghadap kemana?

    10. Susun 9 angka ini hingga bisa menghasilkan angka 100

    9, 9, 9, 9, 9, 9

    Jawaban Teka Teki

    Cek jawabanmu di bawah ini. Jika benar semua tandanya kamu pintar.

    1. Bukan dengan ember. Cara tercepat dan tidak ribet adalah dengan menarik plug pada bathub.
    2. Kamis. Sebab hari Kamis Budi jujur, yang berarti benar jika dia berbohong. Sementara pada hari Kamis, Ayu pasti berbohong. Hari rabu dia jujur, tidak berbohong.
    3. Kucing. Ada anjing laut, singa laut, kuda laut, dan sapi laut. Tapi, tidak ada sapi laut.
    4. 7 porsi

    2 ayah: 1 kakek dan 1 ayah
    2 ibu: 1 nenek dan 1 ibu
    3 anak laki-laki: 1 ayah, 2 anak laki-laki
    2 anak perempuan: 1 ibu dan 1 anak perempuan

    Jadi ada 7 porsi

    5. Jawabannya yaitu:

    1+4=5
    5+2+5=12
    12+3+6=21
    21+8+11=?

    Setiap hasil hitungan langsung ditambahkan ke perhitungan yang bawah.

    6. Jawaban:

    A+B= 76
    A-B= 38
    A:B= 3

    A bernilai 57 dan B bernilai 19

    7. 4+5=3 (kuadrat)
    8. Risa sedang memberi ASI kepada Dela
    9. Ekor kuda tetap menghadap ke bawah
    10. 99+99/99

    Halaman 2 dari 6

    (elk/up)

  • Ethel Caterham Manusia Tertua di Dunia Ultah ke-116

    Ethel Caterham Manusia Tertua di Dunia Ultah ke-116

    Ethel Caterham, manusia tertua di dunia merayakan ulang tahunnya yang ke-116 pada Kamis (21/8). Perayaan ulang tahun tersebut dirayakan secara sederhana bersama keluarganya di Surrey, Inggris.

    Menurut Guinness World Records, Ethel Caterham lahir di Shipton Bellinger, Hampshire, pada 21 Agustus 1909 sebagai anak bungsu kedua dari delapan bersaudara. Ia memiliki tiga cucu perempuan dan lima cicit.

    Klik di sini untuk melihat video lainnya!

  • Pemeriksaan Kesehatan Gratis untuk Anak Berkebutuhan Khusus di Karanganyar

    Pemeriksaan Kesehatan Gratis untuk Anak Berkebutuhan Khusus di Karanganyar

    Foto Health

    Agung Pambudhy – detikHealth

    Jumat, 22 Agu 2025 19:00 WIB

    Jakarta – Pemerintah gelar cek kesehatan gratis di SLB Karanganyar, memastikan anak berkebutuhan khusus mendapat layanan kesehatan merata dan deteksi dini penyakit.

  • Lemahnya Pendampingan Pasien TBC Anak Berkaca Kasus Kematian Balita Sukabumi

    Lemahnya Pendampingan Pasien TBC Anak Berkaca Kasus Kematian Balita Sukabumi

    Jakarta

    Stop TB Partnership Indonesia (STPI) mengaku prihatin dengan laporan kasus balita di Sukabumi yang meninggal pasca cacing keluar dari hidung hingga bagian anus. Si anak juga diketahui memiliki riwayat tuberkulosis (TBC), saat ayahnya juga positif terpapar.

    STPI menilai masih minimnya penanganan TBC di sejumlah daerah. TBC tidak hanya selesai dengan pemberian obat, tetapi dibutuhkan pendampingan khusus yang juga berkaitan dengan aspek medis, sosial, gizi, hingga administrasi.

    “Kami sangat menyayangkan tragedi ini. Kasus ini adalah alarm keras bahwa pasien TBC, terlebih anak-anak, memerlukan perhatian khusus. Mereka tidak hanya membutuhkan obat, tetapi juga gizi yang cukup, akses identitas dan jaminan kesehatan, serta lingkungan yang mendukung proses penyembuhan,” kata Direktur Eksekutif STPI, dr Henry Diatmo, dalam keterangan tertulis, Jumat (22/8/2025).

    “Tanpa pendampingan komprehensif, risiko gagal sembuh atau bahkan kehilangan nyawa akan tetap tinggi.”

    Kasus kematian balita di Sukabumi juga dinilai mencerminkan gagalnya pemerintah memastikan layanan kesehatan dasar hingga edukasi gizi juga sanitasi ke masyarakat.

    STPI menyoroti momen si anak kesulitan berobat lantaran terkendala administrasi kependudukan. Karenanya, tidak bisa langsung memanfaatkan layanan jaminan kesehatan.

    Pihaknya meminta pemerintah pusat maupun daerah untuk bisa memastikan akses masyarakat untuk layanan pengobatan tidak lagi terkendala administrasi di masa mendatang.

    “Menguatkan program kesehatan masyarakat, seperti pemberian obat cacing massal, edukasi sanitasi dasar, dan pemantauan gizi anak di wilayah rawan,” sorot dia.

    “Mengintegrasikan data kependudukan dengan layanan kesehatan agar tidak ada pasien yang terhalang mendapatkan hak pengobatan,” pintanya.

    Mereka berharap tidak ada lagi anak yang kehilangan nyawa akibat lemahnya sistem pendukung.

    (naf/kna)

  • Gen-Z FOMO Minum Obat Cacing gegara Kasus Sukabumi? Ini Anjuran Ahli Farmasi UGM

    Gen-Z FOMO Minum Obat Cacing gegara Kasus Sukabumi? Ini Anjuran Ahli Farmasi UGM

    Jakarta

    Viral di media sosial para Generasi Z atau Gen Z memborong obat cacing untuk dikonsumsi. Bukan tanpa alasan, ini setelah penyakit kecacingan yang merenggut nyawa balita di Sukabumi, Jawa Barat.

    Menanggap hal ini, Pakar Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Zullies Ikawati membenarkan bahwa konsumsi obat cacing memang sebaiknya dilakukan rutin 6 bulan sekali. Terutama bagi mereka yang hidup di daerah dengan prevalensi kecacingan yang tinggi.

    “Mengapa perlu 6 bulan sekali? Telur cacing bisa bertahan lama di tanah dan lingkungan, sehingga mudah terjadi reinfeksi. Siklus hidup cacing memungkinkan seseorang kembali terinfeksi dalam beberapa minggu sampai bulan setelah pengobatan,” kata Prof Zullies kepada wartawan, Jumat (22/8/2025).

    “Dosis tunggal obat cacing (albendazol 400 mg atau mebendazol 500 mg) efektif membunuh cacing dewasa, tetapi tidak mencegah telur atau larva baru masuk,” sambungnya.

    Siapa yang Diprioritaskan Minum Obat Cacing?

    Prof Zullies menambahkan bahwa ada kelompok-kelompok yang memiliki prioritas untuk mengonsumsi obat cacing secara rutin, setidaknya enam bulan sekali. Ini disesuaikan dengan risiko yang dimiliki oleh tiap kelompok.

    Berikut kelompok-kelompok yang harus mengonsumsi obat cacing.

    ⁠Anak-anak usia prasekolah (1-5 tahun), rentan karena sering bermain di tanah tanpa alas kaki.Anak usia sekolah (6-14 tahun), termasuk target utama program pemberian obat cacing di sekolah dasarWanita usia subur, termasuk ibu hamil trimester kedua dan ketiga untuk mencegah anemia akibat infeksi cacing.Orang dewasa yang tinggal di daerah endemis dengan sanitasi buruk (misalnya bekerja di sawah, perkebunan, tambang, atau pekerjaan yang sering kontak dengan tanah).Populasi dengan status gizi rendah karena kecacingan memperburuk malnutrisi dan anemia.

    Namun, ada juga kelompok yang tidak diwajibkan untuk mengonsumsi obat cacing tiap 6 bulan sekali. Menurut Prof Zullies, ini bisa terjadi karena dukungan lingkungan dan kebersihan pribadi yang baik.

    “Orang dewasa di daerah perkotaan dengan sanitasi baik, air bersih, serta kebersihan pribadi terjaga, biasanya tidak perlu minum obat cacing rutin tiap 6 bulan,” kata Prof Zullies.

    “Namun tetap dianjurkan bila ada risiko tinggi atau gejala,” tutupnya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Mengenal Performative Male yang Lagi Ramai Dibahas”
    [Gambas:Video 20detik]
    (dpy/up)

    Tren Gen Z Beli Obat Cacing

    4 Konten

    Kasus meninggalnya seorang bocah di Sukabumi karena kecacingan yang tidak tertangani menuai sorotan banyak pihak. Bahkan memunculkan tren baru di kalangan Gen Z, yakni ramai-ramai beli dan minum obat cacing sendiri.

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Godrej Ajak 20.000 Siswa SD Jadi ‘Pahlawan’ Pencegah DBD

    Godrej Ajak 20.000 Siswa SD Jadi ‘Pahlawan’ Pencegah DBD

    Jakarta

    Godrej Consumer Products Indonesia (GCPI) melalui brand HIT melanjutkan gerakan ‘Merdeka dari DBD’ dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dan Hari Nyamuk Sedunia.

    ‘Merdeka dari DBD’merupakan kampanye edukasi interaktif yang membekali siswa sekolah dasar dengan pengetahuan dan kebiasaan hidup bersih untuk mencegah penyebaran demam berdarah dengue (DBD).

    GCPI berkomitmen menghapus penyakit yang ditularkan melalui vektor yang sejalan dengan visi keberlanjutan Good & Green. Di India, program EMBED telah berhasil melawan malaria; sementara di Indonesia, inisiatif ini fokus memberantas DBD.

    Corporate Communication & Sustainability Head, GCPI, Wahyu Radita, menegaskan bahwa peringatan Hari Kemerdekaan tidak hanya dimaknai sebagai perjuangan di medan perang, tetapi juga sebagai upaya melawan berbagai ancaman kesehatan, termasuk demam berdarah.

    “Momentum Hari Kemerdekaan mengingatkan kita bahwa perjuangan tidak hanya di medan perang, tetapi juga melawan ancaman kesehatan. Dengan edukasi yang tepat, kita membekali generasi muda untuk menjadi pahlawan di lingkungannya, melindungi diri, keluarga, dan bangsa dari DBD,” ujar Wahyu dalam keterangan tertulis, Jumat (22/8/2025).

    Melalui tokoh Super HITO, pahlawan pembasmi nyamuk, para siswa diajak belajar siklus hidup nyamuk, mengenali habitat berkembangbiaknya, dan mempraktikkan langkah pencegahan DBD seperti 3M Plus dan menjaga kebersihan rumah serta lingkungan.

    Godrej Ajak 20.000 Siswa SD Edukasi Pencegahan DBD. Foto: dok. Godrej

    Direktur Penyakit Menular Kemenkes RI, dr. Ina Agustina Isturini, M.K.M, menyoroti tingginya kasus demam berdarah di Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa kelompok usia anak 5-14 tahun menjadi yang paling rentan mengalami kematian akibat penyakit ini.

    “Kasus demam berdarah di Indonesia masih sangat tinggi. Yang memprihatinkan, angka kematian banyak terjadi pada anak usia 5-14 tahun. Pencegahan DBD harus dimulai dari kesadaran masyarakat, terutama anak-anak,” ujar dr. Ina.

    Hingga pertengahan 2025, tercatat lebih dari 67.000 kasus di seluruh Indonesia. Jawa Barat menjadi provinsi dengan kasus terbanyak, yaitu lebih dari 10.000 kasus. Jumlah ini mengingatkan bahwa ancaman DBD belum reda, dan pencegahan perlu dilakukan sejak dini.

    Adapun Dokter Spesialis Anak, dr. Miza Afrizal, p.A, Bmedsci.Mkes, menekankan pentingnya memahami fase kritis dalam demam berdarah. Ia menjelaskan bahwa tanda bahaya biasanya muncul sekitar 72 jam setelah demam, sehingga pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terlalu dini bisa memberikan hasil yang tampak normal dan menimbulkan rasa aman palsu bagi orang tua.

    “Di DBD, tanda bahaya justru muncul saat masuk fase kritis, sekitar 72 jam setelah demam mulai. Kalau lab dilakukan terlalu dini, hasilnya bisa kelihatan aman padahal bahayanya belum muncul. Kalau dicek terlalu cepat, risikonya adalah rasa aman palsu. Kemarin lab ‘bagus’, hari ini anak drop, tapi orang tua tenang karena percaya hasil kemarin. Maka, ingat 72 jam itu bukan 3 hari. Dan dalam DBD, timing bisa menyelamatkan nyawa,” jelasnya.

    Untuk itu, edukasi bukan hanya pencegahan,namun juga menekankan pentingnya deteksi dini yang tepat waktu. Banyak orang tua ingin cepat memeriksa lab saat anak demam, namun dalam kasus DBD, waktu pengecekan menjadi sangat krusial.

    Kepala Seksi SD Sudin Pendidikan Wilayah 1 Kota Adm. Jakarta Timur, Riswan Desri, Plt. memberikan apresiasi terhadap inisiatif GCPI yang mengajarkan pencegahan DBD dengan metode interaktif. Ia menilai keterlibatan siswa SD dalam program tersebut penting karena dapat membentuk generasi yang peduli terhadap kesehatan lingkungan.

    “Kami sangat mengapresiasi inisiatif GCPI yang mengajarkan pencegahan DBD secara interaktif. Dengan melibatkan siswa SD, kita mencetak generasi yang peduli kesehatan lingkungan dan mampu menularkan kebiasaan hidup bersih ke keluarga serta masyarakat,” katanya.

    Sebagai informasi, kegiatan edukasi diikuti oleh 500 siswa dan 25 relawan, dengan target ambisius untuk menjangkau 50.000 siswa SD di seluruh Indonesia pada tahun 2027. Hingga kini, lebih dari 20.000 siswa telah mendapatkan edukasi ini.

    Kegiatan ini terselenggara berkat dukungan dari Kementerian Kesehatan RI (P2P), Dinas Pendidikan DKI Jakarta, dan Puskesmas setempat. Beberapa siswa yang telah mengikuti program ini ditunjuk sebagai Sahabat Super HITO, agen perubahan di lingkungannya, menyebarkan ilmu pencegahan DBD kepada teman-teman dan keluarga di rumah.

    (prf/ega)

  • Efek Samping Mengonsumsi Labu Siam Secara Berlebihan

    Efek Samping Mengonsumsi Labu Siam Secara Berlebihan

    Jakarta

    Labu siam (chayote) memiliki bentuk yang menyerupai buah pir, dengan kulit buah berwarna hijau muda dan sedikit berkerut. Buah ini dapat dinikmati dengan cara diolah menjadi sayur atau cukup direbus sebagai lalapan. Berkat kandungan gizinya, manfaat labu siam begitu beragam.

    Dikutip dari Verywell Health, labu siam diduga berasal dari Meksiko, tempat sayuran ini sudah populer sejak zaman suku Aztec. Dari sana, penjelajah Eropa membawanya ke Benua Eropa, lalu menyebar ke berbagai wilayah Amerika dan Asia. Meskipun sudah dikenal luas secara global, labu siam masih jarang digunakan dalam masakan di Amerika Serikat.

    Labu siam memiliki banyak sebutan di berbagai negara. Orang Prancis menyebutnya “christophine” (diambil dari nama penjelajah Christopher Columbus). Di Amerika Selatan, sayuran ini kerap dijuluki ‘pir sayur’ atau ‘pir buaya’. Dalam masakan Cajun dikenal sebagai ‘mirliton’, di Karibia disebut ‘chocho’, sementara di India populer dengan nama ‘chow chow’.

    Menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), 100 gram (sekitar tiga perempat cangkir) labu siam yang dimasak dan dikeringkan mengandung:

    Protein: 0,82 gram (g)Karbohidrat: 4,51 gSerat: 1,7 gKalsium : 17 miligram (mg)Magnesium : 12 mgFosfor : 18 mgKalium : 125 mg

    Labu siam juga mengandung beberapa antioksidan, termasuk flavonoid dan polifenol . Labu siam rendah kalori dan lemak, hanya mengandung 19 kalori dan kurang dari 0,15 gram lemak per 100 g sajian.

    Manfaat Labu Siam untuk Kesehatan Tubuh

    Ketua Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional Jamu Indonesia (PDPOTJI), dr Inggrid Tania, menjelaskan labu siam pada dasarnya hampir tidak memiliki efek samping bila dikonsumsi dalam porsi wajar sehari-hari.

    Misalnya, jika dimakan tiga kali sehari dalam porsi layaknya sayuran biasa, seperti satu mangkok kecil setiap kali makan, konsumsi tersebut aman dan justru membawa banyak manfaat.

    Labu siam kaya akan antioksidan yang bermanfaat untuk mencegah penyakit kronis dan degeneratif. Kandungannya dapat membantu memelihara kesehatan jantung, menjaga kestabilan gula darah, menyeimbangkan tekanan darah, sekaligus memberi asupan nutrisi penting seperti vitamin C, seng, dan serat. Dengan demikian, labu siam juga berperan dalam menjaga kesehatan pencernaan, termasuk fungsi usus.

    “Malah sebetulnya kan banyak manfaatnya ya karena dia kan labu siam itu kaya akan antioksidan akan membantu kita,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Kamis (21/7/2025).

    Efek Samping Konsumsi Labu Siam Berlebihan

    Menurut dr Inggrid, efek samping baru bisa muncul bila dikonsumsi secara berlebihan, misalnya dalam jumlah ekstrem hingga 10 mangkok atau lebih dalam sehari. Karena kandungan seratnya tinggi, sekitar 16 persen dari kebutuhan harian per satu mangkok, kelebihan konsumsi bisa memicu diare atau keluhan pencernaan lain.

    Namun, efek samping tersebut bersifat sementara dan akan hilang dengan sendirinya jika konsumsi kembali normal.

    Untuk efek jangka panjang, menurut dr Inggrid, hampir tidak mungkin terjadi, karena sulit dibayangkan seseorang makan 10-20 mangkok labu siam setiap hari selama berbulan-bulan.

    Kalaupun ada, kemungkinan risiko berupa gangguan fungsi liver atau ginjal bisa muncul akibat konsumsi berlebihan dalam jangka sangat panjang.

    “Ya kalau efek samping jangka panjang ya hampir tidak mungkin ya, karena kan tidak mungkin juga orang makan tiap hari 10-20 mangkok labu siam tiap hari berbulan-bulan, ya kalau memang ternyata ada orang yang seperti itu ya bisa saja ya ada gangguan fungsi liver,” tandas dr Inggrid.

    (suc/suc)