Jenis Media: Kesehatan

  • Ciri-ciri Cacingan pada Orang Dewasa yang Kerap Tak Disadari

    Ciri-ciri Cacingan pada Orang Dewasa yang Kerap Tak Disadari

    Jakarta

    Meski lebih sering dikaitkan dengan anak-anak, cacingan juga bisa dialami oleh orang dewasa. Gejalanya mungkin tidak disadari karena mirip dengan keluhan kesehatan lain.

    Penting untuk mengenali gejala cacingan untuk penanganan lebih awal. Jika tidak diobati, cacingan bisa menyebabkan komplikasi. Adapun beberapa cacing penyebab infeksi di antaranya cacing pita, cacing tambang, cacing gelang, hingga cacing kremi.

    Gejala Cacingan pada Orang Dewasa

    Cacing dapat berkembang biak dan tumbuh. Setelah berkembang biak dan menjad besar dan banyak, gejala yang mungkin muncul yaitu:

    Sakit perutDiare, mual, atau muntahKembungKelelahanPenurunan berat badan tanpa alasanNyeri perut

    Orang yang terkena cacingan juga bisa mengalami disentri. Kondisi ini terjadi saat infeksi usus menyebabkan diare disertai darah dan lendir dalam tinja.

    Cacingan juga bisa menyebabkan ruam atau gatal di sekitar rektum, area di ujung usus besar sebelum lubang anus, serta vulva, organ genital eksternal wanita. Terkadang, cacing juga keluar bersama tinja saat buang air besar.

    Cacingan Bisa Menyebabkan Komplikasi?

    Cacingan bisa meningkatkan risiko timbulnya anemia, penyumbatan usus, dan kekurangan gizi. Kendati demikian, komplikasi ini lebih sering terjadi pada orang lanjut usia dan orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti pengidap HIV.

    Cacingan juga bisa menimbulkan risiko lebih tinggi untuk ibu hamil. Sehingga, jika seorang ibu hamil didiagnosis mengalami infeksi cacing usus, doktr akan menentukan terapi obat antiparasit yang aman untuk dikonsumsi selama kehamilan.

    Penyebab Cacingan

    Tergantung jenisnya, cacingan bisa ditularkan melalui berbagai cara. Salah satunya adalah dengan mengonsumsi daging yang kurang matang. Dikutip dari Healthline dan Cleveland Clinic, adapun kemungkinan lainnya yaitu:

    Konsumsi air yang terkontaminasiKontak dengan feses yang mengandung parasitKesulitan sanitasiKesulitan dalam menjaga kebersihanBerjalan tanpa alas kaki di tanah yang terkontaminasiMenyentuh jari ke mulut

    Seseorang juga bisa tertular cacingan dari paparan orang yang sudah terinfeksi atau permukaan yang disentuh orang tersebut. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), diperkirakan 24 persen dari populasi dunia terjangkit cacing yang ditularkan melalui tanah.

    Kapan Harus Menghubungi Dokter?

    Kebanyakan jenis cacing hanya menimbulkan gejala ringan. Namun, tetap penting untuk menghubungi dokter jika mencurigai adanya infeksi cacing agar bisa diobati sejak dini. Seringkali obat-obatan efektif untuk membasmi cacing.

    Hubungi dokter jika:

    Adanya darah atau nanah di tinjaMuntah setiap hari atau seringMemiliki suhu tubuh yang tinggiMerasa sangat lelah dan dehidrasiKehilangan berat badan tanpa alasan yang jelasMerasa sakit, diare, atau sakit perut selama lebih dari 2 mingguMemiliki ruam merah dan gatal pada kulit yang berbentuk seperti cacing.

    (elk/naf)

  • Kemenkes Terima 733 Kasus Laporan Bullying di PPDS, Terbanyak di RS-Prodi Ini

    Kemenkes Terima 733 Kasus Laporan Bullying di PPDS, Terbanyak di RS-Prodi Ini

    Jakarta

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, terdapat 733 kasus perundungan yang dialami peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Indonesia. Angka itu merupakan hasil verifikasi dari 2.920 laporan yang masuk ke kanal pengaduan Kementerian Kesehatan hingga 15 Agustus 2025.

    “Dari total laporan yang kami terima, setelah disortir dan diverifikasi, ada 733 laporan yang termasuk kategori perundungan,” ujar Menkes dalam seminar nasional Pencegahan Perundungan, Gratifikasi, Korupsi & Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jumat (22/8/2025).

    Menurut data Kemenkes, mayoritas kasus berasal dari fasilitas dan institusi di bawah naungan kementerian, yakni 433 kasus. Laporan lain datang dari rumah sakit non-Kemenkes (84 kasus), fakultas kedokteran (84 kasus), serta laporan tanpa identitas institusi (34 kasus).

    Di tingkat rumah sakit pusat, RSUP Prof Dr Kandou Manado tercatat sebagai lingkup PPDS dengan laporan terbanyak, yakni 84 kasus sepanjang 2023 hingga 2025. Disusul RS Hasan Sadikin Bandung (83 kasus), RSUP IGN Ngoerah Bali (43), RSUP Dr Sardjito Yogyakarta (39), dan RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta (37).

    Sementara di RSUD, kasus terbanyak dilaporkan dari RSUD Zainal Abidin Banda Aceh (31 kasus), RSUD Dr Moewardi Surakarta (21), RSUD Saiful Anwar Malang (18), RSUD Dr Soetomo Surabaya (12), dan RSUD Arifin Achmad Riau (9).

    Tekanan Berat hingga Ingin Bunuh Diri

    Menkes menegaskan, dampak perundungan terhadap peserta PPDS tidak bisa dianggap sepele. Survei internal Kemenkes menunjukkan banyak peserta pendidikan yang mengalami tekanan berat, bahkan sampai muncul keinginan untuk mengakhiri hidup.

    “Masalah ini harus diperbaiki secara serius. Dibutuhkan program spesifik untuk melindungi kesehatan mental para peserta didik,” kata Menkes.

    Perundungan tercatat paling banyak di 24 program studi kedokteran spesialis, dengan lima terbesar yakni penyakit dalam (86 kasus), bedah (55), obstetri dan ginekologi (29), anestesi (28), serta ilmu kesehatan anak (25).

    Sejauh ini, Kemenkes telah menangani 124 dari 433 kasus perundungan yang berada di bawah kewenangannya. Sebanyak 98 pelaku terbukti terlibat dan dijatuhi sanksi, termasuk 11 pejabat direksi rumah sakit Kemenkes, 10 di antaranya mendapat teguran, sementara satu pelaksana tugas diberhentikan.

    Di kalangan peserta PPDS, 60 orang dikenai sanksi berupa pengembalian ke fakultas kedokteran asal, skorsing, hingga teguran tertulis.

    (naf/kna)

  • Menkes Imbau Jangan Tunda Cek Kesehatan Gratis: TBC-Infeksi Cacing Ikut Diperiksa

    Menkes Imbau Jangan Tunda Cek Kesehatan Gratis: TBC-Infeksi Cacing Ikut Diperiksa

    Jakarta

    Tidak sedikit warga yang mulai berburu obat cacing buntut kasus kematian Raya, balita di Sukabumi pasca kecacingan. Pemberian obat semacam ini sebetulnya tidak bisa sembarangan, serta diprioritaskan bagi masyarakat dengan wilayah endemis atau daerah yang masih mencatat kasus kecacingan.

    Alih-alih latah berburu obat cacing, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengimbau masyarakat tidak menunda cek kesehatan gratis. Belajar dari apa yang dialami Raya, infeksi cacing tentu tidak akan membahayakan dan memicu komplikasi lain saat lebih awal ditangani.

    “Nah untuk itu kita memastikan dicek kesehatan gratis ini, kan nanti lagi jalan nih, TBC, cacing itu nanti kita cek. Sehingga kalau ketahuan lebih dini, harusnya nggak kejadian seperti itu, ini kan sudah sangat terlambat,” beber Menkes kepada wartawan, Jumat (22/8/2025).

    “Kita ingin memastikan bahwa di cek kesehatan gratis, ini Pak Prabowo ingin agar 280 juta itu cek kesehatan gratis karena infeksi. Kalau itu ketahuan lebih dini, harusnya nggak usah sampai meninggal kan,” lanjutnya.

    Menkes juga memastikan pemberian obat cacing masih berjalan di puskesmas dan stoknya tersedia.

    “Obat cacingan tuh sangat tersedia, sangat murah, sekali minum bisa beres TBC itu kalau ketahuan, di obatnya pun ampuh gitu, sembuh,” tuturnya.

    Soal penyebab kematian Raya, pemicu utamanya diyakini bukan disebabkan karena infeksi cacing. Berbulan-bulan sebelumnya, Raya juga mengeluhkan batuk tak kunjung sembuh.

    Menkes menyebut penyebabnya tidak lain karena infeksi.

    “Infeksinya bisa karena meningitis, masih dugaan. Bisa juga karena TBC. Karena selama tiga bulan dia terus-menerus batuk berdahak, tubuhnya melemah, dan kemudian bakterinya menyebar ke seluruh tubuh. Dalam istilah medis disebut sepsis,” kata dia.

    (naf/kna)

  • Menkes Sebut Balita di Sukabumi Meninggal Bukan karena Cacingan, Ini Pemicunya

    Menkes Sebut Balita di Sukabumi Meninggal Bukan karena Cacingan, Ini Pemicunya

    Jakarta

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan Raya, balita di Sukabumi, Jawa Barat, yang meninggal dunia beberapa waktu lalu bukan disebabkan langsung oleh cacingan. Meski dari tubuh bocah tersebut ditemukan lebih dari satu kilogram cacing gelang, penyebab kematian utama adalah infeksi.

    “Yang bersangkutan meninggal bukan karena cacingan. Kematian disebabkan oleh infeksi,” beber Budi saat ditemui di Kampus Unpad Dipatiukur, Bandung, Jumat (22/8/2025).

    Budi menjelaskan, infeksi yang dialami Raya diduga berkaitan dengan penyakit yang sudah diidapnya cukup lama. Salah satunya, balita itu mengalami batuk berdahak selama sekitar tiga bulan, tidak kunjung sembuh.

    “Infeksinya bisa karena meningitis, masih dugaan. Bisa juga karena TBC. Karena selama tiga bulan dia terus-menerus batuk berdahak, tubuhnya melemah, dan kemudian bakterinya menyebar ke seluruh tubuh. Dalam istilah medis disebut sepsis,” paparnya.

    Dengan demikian, lanjut Budi, sepsis atau infeksi yang menyebar luas itulah yang menjadi penyebab kematian.

    Ia juga memastikan ketersediaan obat-obatan dasar, termasuk obat cacing, selalu tercukupi di puskesmas.

    “Obat cacing sangat tersedia, murah, dan efektif. Sekali minum bisa menyelesaikan masalah. Begitu juga dengan obat TBC, kalau diketahui lebih awal, pengobatannya bisa dilakukan dan hasilnya baik,” ujarnya.

    Terkait dugaan kurang optimalnya pelayanan kesehatan di Sukabumi, Budi mengatakan pihaknya akan melakukan evaluasi. Menurut dia, puskesmas memiliki peran penting dalam memantau kondisi kesehatan masyarakat di wilayahnya.

    “Kalau ada kasus cacingan, puskesmas harus segera membagikan obat cacing. Kalau ada kasus TBC, harus cepat melakukan surveilans, mendeteksi siapa yang sakit, lalu memberikan obat. Program ini juga perlu dibantu disosialisasikan agar masyarakat sadar pentingnya cek kesehatan gratis,” tutupnya.

    (naf/kna)

  • Heboh Dokter Residen Diam-diam Rekam Wanita di Toilet, Disebut Ada 4.500 Video

    Heboh Dokter Residen Diam-diam Rekam Wanita di Toilet, Disebut Ada 4.500 Video

    Jakarta

    Dokter residen di Singapura mendadak bikin heboh pasca diduga diam-diam merekam ratusan rekannya di toilet rumah sakit di Melbourne, Australia. Polisi menuduh calon dokter spesialis ini merekam sekitar 4.500 video intim dengan ponsel sejak 2021.

    Akibatnya, ia kini menghadapi hampir 500 dakwaan di Mahkamah Agung Negara Bagian Victoria.

    Dikutip dari CNA, hakim James Elliott memutuskan dokter muda tersebut dibebaskan dengan syarat tinggal bersama orang tuanya.

    Demi mengantisipasi pembebasan putranya, kedua orang tuanya pindah dari Singapura ke Melbourne. Mereka juga diwajibkan membayar jaminan sebesar USD 32.000 atau sekitar Rp 519 juta.

    Jaksa penuntut berpendapat dakwaan berat ini berpotensi membuat Cho kabur, mengingat ia sudah diskors dari pekerjaannya dan tidak lagi memiliki keterikatan berarti dengan Australia.

    Meski Cho telah menjadi penduduk tetap Australia sejak April, ia terancam dideportasi jika terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman penjara minimal 12 bulan.

    Hakim mencatat Cho telah menyerahkan paspor Singapura dan tidak memiliki koneksi kriminal yang dapat membantunya kabur ke luar Australian.

    Ribuan Video dan Ratusan Korban

    Menurut polisi, Cho diduga merekam gambar-gambar intim dari sedikitnya 460 perempuan. Namun, hakim menekankan tidak ada bukti bahwa ia telah menyebarkan rekaman tersebut.

    Cho ditangkap pada Juli lalu setelah sebuah ponsel ditemukan sedang merekam dari kantong jaring yang digantung di toilet Rumah Sakit Austin. Ia juga diduga melakukan perekaman serupa di Peter MacCallum Cancer Center dan Rumah Sakit Royal Melbourne.

    Awalnya, Cho hanya menghadapi enam dakwaan. Namun, pada Kamis lalu, jumlahnya bertambah menjadi lebih dari 127 dakwaan tambahan, termasuk tuduhan sengaja merekam gambar intim tanpa izin. Total dakwaan kini mencapai hampir 500.

    Pengacaranya, Julian McMahon, menepis kekhawatiran jaksa bahwa kliennya bisa mengganggu saksi jika dibebaskan.” Ada anggapan di sini bahwa jika klien saya terlibat dalam tindak pidana mengganggu para saksi, hal itu tidak akan memengaruhi hasil kasus,” kata McMahon.

    Hingga kini, Cho belum mengajukan pembelaan. Cho pertama kali datang ke Australia pada 2017 sebagai mahasiswa kedokteran di Universitas Monash, Melbourne. Sejak itu, ia meniti karier medis hingga menjadi residen sebelum kasus ini terbongkar.

    (naf/naf)

  • Menkes Imbau Jangan Tunda Cek Kesehatan Gratis: TBC-Infeksi Cacing Ikut Diperiksa

    Sorotan Guru Besar FK UI soal Meninggalnya Balita Sukabumi usai Infeksi Kecacingan

    Jakarta

    Majelis Guru Besar Kedokteran Indonesia (MGBKI) buka suara soal laporan kasus balita yang meninggal pasca teridentifikasi infeksi cacing parah. Kasus semacam ini dinilai menjadi bukti masih minimnya akses kesehatan dasar di daerah.

    Terlebih, masyarakat secara luas juga belum lekat dengan pemahaman langkah preventif atau pencegahan agar tidak jatuh sakit.

    Negara disebut perlu lebih banyak membuka program yang berfokus pada preventif, alih-alih kuratif. Berkaca dari kasus balita di Sukabumi, butuh waktu lama untuk si anak berakhir terkena infeksi parah karena cacingan, hingga meninggal dunia.

    “Tidak ada pada masyarakat terbangun budaya untuk memahami apa arti sehat, bagaimana mencegah sakit. Pendekatan sehat artinya masyarakat justru diajak terlibat dalam memahami bagaimana pentingnya cuci tangan, buang air besar mesti di jaman, mesti makanan dimasak dan sebagainya,” beber Prof Menaldi Rasmin, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang tergabung dalam MGBKI.

    “Itu hanya bisa jika pemerintah mendekatkan program-program itu langsung kepada masyarakat,” lanjutnya.

    Pelajaran yang diberikan oleh almarhum balita bernama Raya, menurutnya adalah pemerintah sudah semestinya terkonsentrasi pada pengentasan masalah-masalah besar melalui pendekatan sehat.

    “Bayangkan kalau seorang anak bisa sampai meninggal dunia, maaf karena cacing, artinya kan itu sebuah proses yang lama,” sorotnya.

    Hak kesehatan warga negara Indonesia jelas diamanatkan dalam Undang Undang dan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memastikan masyarakat mendapatkan akses juga fasilitas memadai saat berobat. Tanpa perlu selalu mendahulukan proses administrasi.

    (naf/up)

  • Seperti Apa Bahaya Minum Kopi Pakai Gula Setiap Hari? Ini Penjelasannya

    Seperti Apa Bahaya Minum Kopi Pakai Gula Setiap Hari? Ini Penjelasannya

    Jakarta

    Banyak orang menyebut dirinya sebagai coffee drinker, bahkan menganggap kopi sudah mengalir dalam darah mereka. Tak bisa dipungkiri, secangkir kopi di pagi hari memang bisa membuat tubuh lebih bersemangat berkat kandungan kafeinnya.

    Namun, kafein bukan satu-satunya hal yang perlu diperhatikan. Kebiasaan menambahkan gula ke dalam kopi bisa menjadikan minuman ini sumber gula tambahan harian yang berisiko bila dikonsumsi berlebihan.

    Perlu diketahui, gula tambahan berbeda dengan gula alami yang terdapat pada makanan berkarbohidrat seperti buah, sayuran, biji-bijian, dan susu. Added sugar adalah gula yang sengaja ditambahkan ke makanan atau minuman, misalnya pada kopi atau coffee creamer, untuk meningkatkan rasa.

    Dampak Minum Kopi Pakai Gula Setiap Hari

    Jika dikonsumsi terlalu sering, gula tambahan dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Dikutip dari Livestrong, berikut penjelasannya.

    1. Peningkatan Kadar Gula Darah

    Mengonsumsi gula dapat menyebabkan lonjakan kadar gula darah yang memberi dorongan energi sesaat, tetapi cepat diikuti oleh penurunan drastis atau sugar crash.

    “Gula diserap oleh aliran darah. Hal ini mengakibatkan lonjakan kadar gula darah yang memberikan lonjakan energi cepat, tetapi hanya sesaat dan diikuti oleh penurunan drastis kadar gula darah,” jelas Jennifer Schlette, RD, ahli gizi sekaligus integrative nutrition health coach.

    Bagi pengidap diabetes atau gangguan terkait gula darah, kondisi ini bisa berisiko. Namun, pada populasi umum, lonjakan dan penurunan ini tidak dianggap membahayakan.

    2. Peningkatan Berat Badan

    Kasus obesitas meningkat dalam beberapa dekade terakhir, seiring dengan meningkatnya konsumsi gula. Penelitian menunjukkan gula bukanlah penyebab tunggal epidemi obesitas, tetapi menjadi salah satu kontributor utama kenaikan berat badan, menurut Johns Hopkins Medicine.

    3. Kerusakan Gigi

    Gula juga berkontribusi terhadap kerusakan gigi atau tooth decay. Minuman manis menjadi salah satu sumber utama gula tambahan, menurut World Health Organization (WHO). Mengurangi konsumsi gula bisa membantu menjaga kesehatan gigi.

    4. Kekurangan Nutrisi

    Terlalu banyak makanan tinggi gula dapat menggantikan makanan bernutrisi. Menurut Mayo Clinic, banyak makanan manis minim vitamin dan mineral penting. Contohnya, kue manis sarat gula tidak dapat menggantikan serat dan vitamin C yang biasanya didapatkan dari buah.

    5. Risiko Penyakit Jantung

    Asupan gula berlebih juga berdampak pada kesehatan jantung. Pola makan tinggi gula dikaitkan dengan obesitas, tekanan darah tinggi, peradangan kronis, peningkatan trigliserida, dan kadar kolesterol yang tinggi. Menurut Cleveland Clinic, konsumsi gula yang berlebihan dapat meningkatkan risiko penyakit jantung.

    Jumlah Gula yang Direkomendasikan Per Hari

    Perlu diketahui, gula bukanlah zat gizi esensial yang dibutuhkan tubuh. Karena itu, berbagai lembaga kesehatan memberikan batasan konsumsi gula tambahan agar tidak berlebihan.

    Menurut Dietary Guidelines for Americans, asupan kalori dari gula tambahan sebaiknya tidak lebih dari 10 persen dari total kebutuhan kalori harian. Bagi seseorang yang mengonsumsi 2.000 kalori per hari, batas maksimal gula tambahan setara dengan 12 sendok teh (50 gram atau 200 kalori) per hari, menurut Food and Drug Administration (FDA).

    Sementara itu, American Heart Association (AHA) memberikan rekomendasi yang lebih ketat:

    Laki-laki: maksimal 9 sendok teh (36 gram atau 150 kalori) gula tambahan per hari.Perempuan: maksimal 6 sendok teh (25 gram atau 100 kalori) gula tambahan per hari.

    (suc/suc)

  • Sorotan Para Guru Besar soal Independensi Kolegium Kedokteran di Balik Deklarasi MGBKI

    Sorotan Para Guru Besar soal Independensi Kolegium Kedokteran di Balik Deklarasi MGBKI

    Jakarta

    Para guru besar ilmu kedokteran dari berbagai universitas di Indonesia resmi mendeklarasikan berdirinya Majelis Guru Besar Kedokteran Indonesia (MGBKI). Deklarasi digelar di Aula IMERI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Salemba, Jakarta, Jumat (22/8/2025), dihadiri sekitar 100 guru besar. Secara keseluruhan, lebih dari 300 guru besar kedokteran telah tergabung dalam wadah ini.

    Ketua MGBKI, Prof Budi Iman Santoso, menyebut lahirnya majelis bak tonggak sejarah. MGBKI dimaksudkan menjadi forum komunikasi resmi antar-guru besar kedokteran di seluruh Indonesia, sekaligus wadah untuk memberi masukan kebijakan berbasis data ilmiah kepada pemerintah dan para pemangku kepentingan.

    “Sebagai pemegang amanah yang ditunjuk sebagai ketua MGBKI, izinkan saya menegaskan tiga pesan utama. Wadah ini lahir bukan karena fasilitas, tapi karena panggilan hati dan tanggung jawab moral para guru besar sekalian,” ucap Prof. Budi.

    Menurutnya, independensi akan menjadi prinsip utama MGBKI. “Keputusan yang kita hasilkan tentu tercatat dalam sejarah. Kita akan membuat AD/ART yang menjadi acuan, dan tentu saja kita harus patuh pada ketentuan itu,” sambungnya.

    Soroti Independensi Kolegium Kedokteran

    Salah satu isu yang langsung disoroti MGBKI adalah independensi kolegium kedokteran. Menurut para guru besar, kolegium seharusnya tidak tunduk pada kepentingan politik atau kelompok tertentu, melainkan berorientasi pada kepentingan bangsa serta mutu pendidikan kedokteran.

    “MGBKI mendorong adanya payung hukum yang jelas dan kuat bagi kolegium, sehingga keberadaannya diakui secara formal sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab menjaga kualitas pendidikan dan profesi kedokteran Indonesia sesuai standar global,” tegasnya.

    Polemik mengenai kolegium sebelumnya mencuat setelah pemerintah membentuk beberapa kolegium tanpa melibatkan guru besar secara penuh. Dekan FK UI, Prof Ari Fahrial Syam, sempat mempertanyakan transparansi mekanisme pemilihan yang dinilai sarat intervensi.

    “Wajar kalau kami menanyakan, ini benar nggak nih kolegium yang sekarang?” ucap Prof. Ari.

    Tantangan Kebijakan: 300 Fakultas Kedokteran Baru

    MGBKI juga memberi catatan kritis terhadap rencana pemerintah mendirikan 300 fakultas kedokteran (FK) baru untuk menjawab masalah kekurangan jumlah dokter. Prof Budi menilai, kebijakan ini menyimpan tantangan besar, terutama terkait kebutuhan tenaga pendidik dan standar kualitas lulusan.

    “Seperti membangun rumah, itu harus ada fondasinya. Pertama, standar input harus dipenuhi. Kedua, proses pendidikannya harus benar. Baru hasilnya bisa sesuai. Kalau 300 FK mau dibangun, bukan hanya soal fasilitas dan regulasi, tapi juga SDM yang puluhan tahun kita bangun,” jelasnya.

    Menurutnya, persoalan utama bukan hanya jumlah dokter, melainkan distribusi tenaga medis yang masih timpang di beberapa daerah utamanya wilayah terpencil. “Misalnya, spesialis obgyn sudah ada 6.500, jumlah itu sebenarnya cukup. Problemnya adalah distribusi, bukan jumlah,” tegas Prof Budi.

    Tiga Jaminan untuk Dokter

    Dalam kesempatan yang sama, Prof Menaldi Rasmin yang juga tergabung dalam MGBKI menilai niat pemerintah memperbanyak dokter spesialis sebetulnya baik. Namun, ia mengingatkan bahwa peningkatan jumlah harus diimbangi dengan tiga jaminan mendasar, keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan bagi tenaga medis.

    Dokter di daerah konflik atau terpencil sering menghadapi ancaman, seperti dari kelompok kriminal bersenjata. “Kalau dokter tidak merasa aman, bagaimana kita bisa berharap distribusinya merata?” ujarnya.

    Fasilitas kesehatan di daerah masih minim. Ia mencontohkan kasus di NTT, saat pasien kusta kesulitan mengakses obat karena keterbatasan logistik. “Kalau sarana tidak ada, dokter pun tidak bisa bekerja maksimal,” katanya.

    Dokter juga disebutnya perlu penghasilan layak agar bisa fokus pada pelayanan, bukan mencari tambahan dari pasien.

    “Nggak usah jadi miliarder, tapi pastikan dia hidup tenang, keluarganya tercukupi, bisa menyekolahkan anaknya,” tandas Prof Menaldi.

    Ia mengingatkan, tanpa jaminan itu, pembukaan 300 FK justru bisa menghasilkan ribuan dokter tanpa kepastian kerja. “Jangan menyelesaikan masalah dengan masalah baru,” pungkasnya.

    Ikrar Guru Besar Kedokteran

    Sebagai bagian dari deklarasi, para guru besar naik ke panggung dan mengucapkan ikrar MGBKI seperti berikut:

    Menjunjung tinggi martabat dan integritas profesi kedokteran.Memelihara dan mengembangkan ilmu kedokteran yang rasional, benar, otonom, dan beretika.Mengawal mutu pendidikan kedokteran demi lahirnya tenaga medis kompeten dan berjiwa pengabdian.Membela kesehatan rakyat Indonesia dengan kebenaran ilmiah dan keberanian moral.Mendorong pemerataan pelayanan kesehatan serta perlindungan bagi dokter di seluruh pelosok negeri.

    Ikrar ini diikrarkan di Jakarta, 22 Agustus 2025, sebagai komitmen resmi pendirian MGBKI.

    Dengan terbentuknya MGBKI, para guru besar kedokteran berkomitmen menjaga marwah profesi, memperkuat mutu pendidikan, serta memastikan kebijakan kesehatan Indonesia tetap berpijak pada bukti ilmiah.

    Deklarasi ini menandai peran aktif para akademisi senior dalam mengawal arah kebijakan kesehatan nasional, mulai dari pendidikan dokter, distribusi tenaga medis, hingga jaminan kesehatan rakyat.

    Halaman 2 dari 4

    Simak Video “Video: Guru Besar FKUI Ingin Bertemu Prabowo Bahas Pendidikan-Kesehatan”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)

  • Tren Beli Obat Cacing di Kalangan Gen Z Buntut Meninggalnya Bocah Sukabumi

    Tren Beli Obat Cacing di Kalangan Gen Z Buntut Meninggalnya Bocah Sukabumi

    Jakarta

    Kasus kematian Raya, balita di Sukabumi, Jawa Barat, pasca infeksi kecacingan sontak menjadi perhatian publik. Penyakit yang selama ini dianggap ringan ternyata bisa berdampak serius bila tidak kunjung diobati, lantaran berpengaruh pada kondisi gizi anak.

    Imbas peristiwa tersebut, tidak sedikit warganet utamanya generasi Z panik dan buru-buru membeli obat cacing. Video-video di TikTok memperlihatkan sejumlah Gen Z yang kembali minum obat cacing setelah bertahun-tahun tidak pernah mengonsumsinya.

    “POV: gen z setelah lihat kasus yang lagi viral, langsung buru-buru minum obat cacing setelah 2 tahun nggak minum obat cacing,” beber salah satu pengguna akun TikTok **iau**lll, seperti dilihat detikcom Jumat (22/8/2025).

    “Jangan lupa minum obat cacing 6 bulan sekali. Terakhir minum pas SD, sekarang umur 26 baru minum lagi,” tulis salah satu narasi video viral.

    “Ketakutan Gen Z: minum obat cacing,” komentar pengguna TikTok lain.

    Kasus Raya memicu diskusi lebih luas di publik, apakah orang dewasa yang tinggal di perkotaan dengan kondisi sehat juga perlu rutin minum obat cacing?

    Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Riyadi, SpA, Subs IPT(K), MKes, menegaskan obat cacing pada dasarnya aman dikonsumsi segala usia. Lantaran kecacingan tidak hanya menyerang anak-anak, tetapi juga bisa dialami orang dewasa.

    “Minum obat cacing kalau bergejala boleh, umur 1 tahun sampai umur berapa pun bisa. Di atas 1 tahun, kalau ada gejala, ada indikasi, jangan lupa minum obat harus dengan saran dokter,” jelas dr Riyadi dalam agenda temu media IDAI, Jumat (22/8/2025).

    Namun, ia mengingatkan agar penggunaan obat cacing tetap harus sesuai indikasi. “Obat cacing itu kayak antibiotik, dia antimikroba. Jangan berlebihan karena ada kemungkinan resisten,” tegasnya.

    Infeksi cacing bisa terjadi pada siapa saja, termasuk orang dewasa. Penularannya biasanya melalui makanan yang terkontaminasi atau kebiasaan hidup dengan sanitasi buruk.

    Dikutip dari Mayo Clinic, gejalanya dapat berupa:

    Gatal di area anus atau vaginaGangguan pencernaan seperti diare, mual, atau nyeri perutPenurunan berat badan tanpa sebab yang jelasRasa lelah berkepanjangan

    Menurut dr Riyadi, meskipun jarang secara langsung menyebabkan kematian, kecacingan memiliki dampak kronis. “Kecacingan bisa membuat seseorang lebih rentan terinfeksi penyakit lain dan memperburuk kesehatan dalam jangka panjang,” ujarnya.

    Tidak Semua Orang Perlu Minum

    Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada, Prof Zullies Ikawati, mengingatkan agar masyarakat tidak serta-merta latah ikut membeli obat cacing jika tidak ada indikasi. Menurutnya, konsumsi obat cacing tidak diwajibkan bagi semua kelompok masyarakat.

    “Orang dewasa yang sehat, tinggal di lingkungan dengan sanitasi baik, air bersih, serta kebersihan pribadi terjaga, sebenarnya tidak perlu minum obat cacing setiap enam bulan. Namun, tetap dianjurkan bila ada risiko tinggi atau gejala,” tutur Prof Zullies.

    Meski begitu, ia menegaskan bahwa pemberian obat cacing rutin enam bulan sekali sangat dianjurkan bagi mereka yang tinggal di daerah endemis atau wilayah dengan angka kecacingan masih tinggi.

    “Pemberian obat cacing dianjurkan secara rutin setiap 6 bulan sekali, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa yang tinggal di daerah endemis. Hal ini sejalan dengan rekomendasi WHO dan Kementerian Kesehatan RI melalui program mass drug administration (MDA),” jelasnya.

    Risiko Infeksi Ulang

    Prof Zullies menambahkan, obat cacing yang selama ini diberikan, seperti albendazol 400 mg atau mebendazole 500 mg dosis tunggal, efektif membunuh cacing dewasa, tetapi tidak bisa mencegah telur atau larva baru masuk ke tubuh.

    “Seseorang bisa kembali terinfeksi dalam beberapa minggu hingga bulan setelah pengobatan. Obat hanya membunuh cacing dewasa,” ungkapnya.

    Karena itu, bagi kelompok berisiko tinggi, pemberian obat cacing secara berkala menjadi penting agar infeksi tidak berulang dan tidak menimbulkan dampak kesehatan jangka panjang.

    Kelompok Prioritas Pemberian Obat Cacing

    Prof Zullies merinci kelompok masyarakat yang lebih rentan terinfeksi cacing, sehingga menjadi prioritas dalam pemberian obat cacing rutin, yaitu:

    Anak prasekolah (1-5 tahun): sering bermain tanah tanpa alas kaki.Anak usia sekolah (6-14 tahun): target utama program pemberian obat cacing di sekolah dasar.Wanita usia subur: termasuk ibu hamil trimester kedua dan ketiga.Orang dewasa di daerah endemis dengan sanitasi buruk: seperti pekerja sawah, kebun, tambang, atau mereka yang sering kontak dengan tanah.Populasi dengan status gizi rendah.

    “Dengan memahami sasaran dan jadwal yang tepat, pemberian obat cacing akan lebih efektif dalam mencegah malnutrisi, anemia, serta dampak jangka panjang akibat kecacingan,” pungkas Prof Zullies.

    Fenomena paniknya Gen Z yang ramai-ramai membeli obat cacing memperlihatkan adanya kekhawatiran yang wajar, tetapi perlu dilandasi informasi yang tepat. Obat cacing aman dan bermanfaat, tetapi harus digunakan sesuai indikasi dan anjuran tenaga kesehatan.

    Bagi masyarakat yang tinggal di daerah endemis atau masuk kelompok berisiko, pemberian obat cacing rutin merupakan langkah penting untuk menjaga kesehatan. Namun, bagi mereka yang hidup di lingkungan bersih dengan sanitasi baik, konsumsi obat cacing bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan gejala yang muncul dan tetap perlu anjuran dokter.

    Halaman 2 dari 4

    Simak Video “Video: Dokter Ingatkan soal Tren Beli Obat Cacing Usai Kasus Balita Sukabumi”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)

    Tren Gen Z Beli Obat Cacing

    5 Konten

    Kasus meninggalnya seorang bocah di Sukabumi karena kecacingan yang tidak tertangani menuai sorotan banyak pihak. Bahkan memunculkan tren baru di kalangan Gen Z, yakni ramai-ramai beli dan minum obat cacing sendiri.

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Ini yang Terjadi pada Tubuh Saat Seseorang Meninggal

    Ini yang Terjadi pada Tubuh Saat Seseorang Meninggal

    Jakarta

    Kematian adalah momen ketika tubuh fisik berhenti berfungsi untuk mempertahankan hidup. Pada titik ini, seseorang menghembuskan napas terakhir, jantung berhenti berdetak, otak berhenti bekerja, dan organ vital seperti ginjal serta hati juga berhenti berfungsi. Semua sistem tubuh yang ditopang organ-organ tersebut akhirnya ikut terhenti, sehingga tidak lagi mampu menjalankan proses kehidupan.

    Dikutip dari Cleveland Clinic, waktu yang dibutuhkan setiap orang untuk meninggal berbeda-beda. Lama proses menuju kematian dipengaruhi oleh kondisi kesehatan, pengobatan yang diterima, serta penyebab kematian.

    Henti jantung mendadak yang tidak segera ditangani, misalnya, dapat menyebabkan kematian hanya dalam hitungan menit. Sementara itu, pada penyakit kronis, tubuh bisa memerlukan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk benar-benar berhenti berfungsi.

    Penyakit-penyakit yang umum menjadi penyebab kematian di seluruh dunia, seperti penyakit jantung, penyakit paru kronis, dan kanker, umumnya dapat ditangani dengan pengobatan. Perawatan ini tidak hanya menunda kematian, tetapi juga memperpanjang proses sekarat. Proses ini membuat tanda-tanda mendekatnya kematian lebih mudah dikenali.

    Apa yang terjadi pada tubuh saat meninggal?

    Pada saat kematian, fungsi vital tubuh berhenti sepenuhnya. Jantung tak lagi berdetak, pernapasan terhenti, dan otak berhenti bekerja.

    Beberapa penelitian menunjukkan, aktivitas otak dapat bertahan beberapa menit setelah seseorang dinyatakan meninggal. Namun, aktivitas ini tidak sama dengan kesadaran atau kewaspadaan. Artinya, seseorang tidak benar-benar menyadari bahwa dirinya telah meninggal.

    Tanda-tanda kematian biasanya meliputi:

    Tidak ada denyut nadi.Tidak ada napas.Refleks tidak lagi merespons pemeriksaan.Pupil mata tidak mengecil saat terkena cahaya terang.

    Setelah kematian, tubuh mengalami serangkaian perubahan alami saat menyesuaikan diri dengan keadaan barunya. Perubahan ini berlangsung cukup cepat, dalam hitungan hari.

    1. Otot mengendur

    Segera setelah kematian, otot menjadi rileks. Hal ini dapat melepaskan tekanan pada usus maupun kandung kemih, sehingga sebagian besar orang buang air besar atau kecil saat meninggal. Kulit juga bisa terlihat lebih kendur, membuat struktur tulang di baliknya lebih jelas.

    Suhu tubuh berangsur-angsur turun sekitar 0,8 derajat celcius per jam, hingga akhirnya menyesuaikan dengan suhu lingkungan sekitar.

    3. Darah mengumpul ke bawah

    Gravitasi menarik darah ke bagian bawah tubuh. Kulit pada area yang terkena aliran ini bisa tampak merah keunguan.

    4. Tubuh mengeras (rigor mortis)

    Kekakuan tubuh biasanya dimulai dari wajah dan leher. Kemudian berlanjut secara bertahap ke batang tubuh, tangan, kaki, hingga jari-jari.

    5. Tubuh kembali mengendur

    Beberapa hari setelah meninggal, jaringan tubuh mulai terurai sehingga bagian tubuh yang kaku perlahan melunak kembali.

    (suc/suc)