Jenis Media: Kesehatan

  • Keseringan Minum Matcha, Wanita Ini Berakhir Dirawat di RS

    Keseringan Minum Matcha, Wanita Ini Berakhir Dirawat di RS

    Jakarta

    Matcha menjadi salah satu minuman yang cukup populer akhir-akhir ini. Selain rasanya yang enak, matcha dikenal memiliki banyak manfaat untuk kesehatan.

    Namun, seorang wanita bernama Lynn Shazeen berakhir dirawat di rumah sakit karena minuman tersebut. Shazeen pertama kali mencoba matcha pada Mei 2025 dan langsung menjadi salah satu camilan dan minuman favoritnya.

    Tak hanya menikmati rasa dari matcha, wanita 28 tahun itu juga menyukai kandungan antioksidan yang tinggi pada matcha yang dapat meningkatkan kesehatan jantung, serta mengandung lebih sedikit kafein daripada kopi.

    Wanita yang tinggal di Maryland, Amerika Serikat, itu mengaku matcha menjadi menu favorit mingguannya. Bahkan, ia bisa minum matcha latte dua kali seminggu karena rasanya yang enak.

    Shazeen mengaku selalu memperhatikan kesehatannya. Sampai pada Juli 2025, ia merasa ada yang tidak beres dengan kesehatannya karena terus-menerus merasa kelelahan.

    “Saya mengalami peningkatan rasa lelah, gatal, dan sering kedinginan. Selain itu, saya selalu mencatat statistik kesehatan di buku agenda,” terang Shazeen yang dikutip dari Newsweek.

    “Jadi, begitu gejala-gejala tersebut meningkat, saya tahu sudah waktunya untuk memeriksakan diri,” sambungnya.

    Shazeen langsung berkonsultasi ke dokter dan menjalani tes darah. Hasilnya membuatnya terkejut, karena ia mengalami anemia berat.

    Kondisi tersebut sebenarnya sudah Shazeen atasi, tetapi kecintaannya pada matcha malah memperburuk kondisinya.

    “Meskipun sebelumnya sudah menjalani beberapa infus zat besi, saya masih diberi resep pil zat besi dengan vitamin C,” tambahnya.

    Setelah kadar zat besinya turun drastis pada Juli 2025, Shazeen mengaku tidak mengonsumsi matcha lagi sejak saat itu. Kini, ia lebih suka minum teh dan ingin membuat tubuhnya pulih lagi sampai merasa jauh lebih baik.

    “Saya tahu efeknya, makanya saya disiplin minum sekali atau dua kali seminggu. Tapi, ternyata itu pun sudah banyak. Saya tidak bisa membayangkan mereka yang meminumnya (matcha) setiap detik,” kata Shazeen.

    “Energi saya kembali pulih dan rasa gatalnya berkurang drastis.”

    Meski Shazeen merasa matcha memperburuk kondisi anemia yang diidapnya, ia tetap tidak melarang orang-orang untuk menikmati matcha. Asalkan mereka dapat mengonsumsinya dengan hati-hati.

    Anemia merupakan kelainan darah yang menyebabkan rendahnya sel darah merah sehat yang bertugas membawa oksigen ke seluruh tubuh. Kelelahan menjadi gejala utama dari anemia yang mudah dilihat.

    Selain itu, gejala anemia lainnya yang bisa muncul, seperti nyeri dada, pusing, sering mengalami infeksi, sakit kepala, sesak napas, hingga palpitasi jantung.

    Penjelasan Dokter soal Kaitan Matcha dengan Anemia

    Dr Parth Bhavsar menjelaskan matcha dapat bertindak sebagai ‘pengambil zat besi’. Artinya, mencegah zat besi memasuki aliran darah.

    Dampaknya bisa sangat signifikan saat matcha dikonsumsi dalam jumlah banyak atau saat makan.

    “Matcha adalah teh hijau bubuk yang mengandung polifenol, yang pada dasarnya mengikat zat besi di usus dan menghambat penyerapannya,” jelas Dr Bhavsar.

    “Lebih banyak matcha yang dikonsumsi mendekati waktu makan mengakibatkan penyerapan zat besi yang lebih sedikit. Cara mudah untuk mengatasinya adalah menikmati matcha di sela waktu makan, atau memadukannya dengan makanan kaya zat besi dan vitamin C,” lanjutnya.

    Menurut Dr Bhavsar, cara itu dapat meningkatkan penyerapan dan menangkal efek negatif matcha sampai batas tertentu.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/kna)

  • Pilu Bocah Meninggal karena Gangguan Otak Langka Akibat Komplikasi Campak

    Pilu Bocah Meninggal karena Gangguan Otak Langka Akibat Komplikasi Campak

    Jakarta

    Seorang anak usia sekolah di Los Angeles meninggal dunia akibat komplikasi campak langka, beberapa tahun setelah terinfeksi virus tersebut. Departemen Kesehatan Wilayah Los Angeles mengumumkan kematian tersebut pada hari Kamis, sebagai bagian dari peringatan bagi warga tentang pentingnya vaksinasi.

    Departemen tersebut mengatakan bahwa anak itu tertular campak saat bayi sebelum mereka memenuhi syarat untuk mendapatkan vaksin campak-gondongan-rubella (MMR) pertama mereka. Dosis pertama harus diberikan kepada bayi pada usia 12 hingga 15 bulan, diikuti dengan dosis kedua pada usia 4 hingga 6 tahun.

    Anak tersebut sembuh, tetapi bertahun-tahun kemudian mengalami gangguan otak progresif langka yang dikenal sebagai panensefalitis sklerosis subakut atau subacute sclerosing panencephalitis (SSPE). Kondisi ini dapat terjadi pada orang yang terinfeksi campak di awal kehidupan, biasanya sekitar 2 hingga 10 tahun setelah infeksi awal.

    “Kasus ini merupakan pengingat yang menyakitkan betapa berbahayanya campak, terutama bagi anggota masyarakat kita yang paling rentan,” ujar Dr. Muntu Davis, petugas kesehatan Los Angeles dikutip dari NBC News, Senin (15/9/2025).

    “Vaksinasi bukan hanya tentang melindungi diri sendiri – ini tentang melindungi keluarga, tetangga, dan terutama anak-anak yang terlalu muda untuk divaksinasi,” ujarnya.

    Sekitar 1 dari 10.000 orang yang terinfeksi campak bisa mengalami SSPE. Tetapi jika terinfeksi saat bayi, risikonya menjadi 1 dari 600.

    Gangguan otak ini memengaruhi sistem saraf pusat, sehingga penderita dapat mengalami kejang atau kehilangan kemampuan berjalan sebelum jatuh koma atau kondisi vegetatif.

    Belum ada obat atau pengobatan yang efektif untuk gangguan ini, dan sebagian besar pasien meninggal dalam satu hingga tiga tahun setelah diagnosis.

    Tahun ini menandai wabah terburuk campak sejak AS memberantas penyakit tersebut pada tahun 2000. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit telah mencatat 1.454 kasus sejak awal tahun, melampaui rekor sebelumnya pada tahun 2019 yang didorong oleh wabah di komunitas Yahudi Ortodoks di New York dengan tingkat vaksinasi yang rendah.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video KuTips: Terapi Campak pada Anak, IDAI Ingatkan Isolasi Diri “
    [Gambas:Video 20detik]
    (kna/kna)

  • Pasutri Stres Barengan, Ternyata Gangguan Jiwa Bisa ‘Menular’ ke Pasangan

    Pasutri Stres Barengan, Ternyata Gangguan Jiwa Bisa ‘Menular’ ke Pasangan

    Jakarta

    Studi terbaru menemukan penyakit jiwa bisa ‘menular’ antar pasangan suami-istri. Berdasarkan analisis terhadap 6 juta pasangan di Taiwan, Denmark, dan Swedia, peneliti menemukan seseorang memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami gangguan jiwa yang sama dengan pasangan.

    Gangguan yang dimaksud mencakup skizofrenia, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), depresi, autisme, kecemasan, gangguan bipolar, obsessive-compulsive disorder (OCD), penyalahgunaan zat, dan anoreksia nervosa.

    “Kami menemukan bahwa sebagian besar gangguan kejiwaan memiliki korelasi pasangan yang konsisten lintas negara dan lintas generasi, yang menunjukkan pentingnya hal ini dalam dinamika populasi gangguan kejiwaan,” tulis peneliti dikutip dari Science Alert, Senin (15/9/2025).

    Mereka menyebut ini sebagai fenomena spousal correlation atau korelasi pasangan. Sebelumnya, ditemukan korelasi tertinggi ada pada agama, pandangan politik, tingkat pendidikan, serta kebiasaan penggunaan zat.

    Menurut ahli ada tiga faktor yang berperan dari kejadian ini. Ini meliputi manusia cenderung memilih pasangan yang mirip, manusia memilih pasangan di lingkungan atau lingkaran terbatas, hingga pasangan yang hidup bersama dalam waktu lama cenderung semakin mirip.

    Ketiga negara sebenarnya memiliki budaya dan sistem kesehatan yang berbeda. Meski ada terdapat perbedaan pada kasus OCD, bipolar, dan anoreksia, hasil penelitian menunjukkan kesamaan statistik di seluruh dataset lainnya.

    “Seperti yang ditunjukkan hasil kami, kemiripan pasangan dalam dan antar-pasangan gangguan kejiwaan konsisten di berbagai negara dan bertahan lintas generasi, menunjukkan fenomena universal,” tulis peneliti.

    Terdapat sejumlah keterbatasan dalam studi ini, misal studi ini tidak membedakan pasangan yang bertemu sebelum atau setelah diagnosis. Meski begitu, pola yang terlihat cukup kuat sehingga tetap bermakna bagi kajian kesehatan mental.

    Peneliti juga menambahkan, dua orang tua dengan gangguan jiwa yang sama meningkatkan risiko gangguan itu juga muncul pada anak.

    “Mengingat begitu meluasnya korelasi pasangan, penting untuk mempertimbangkan pola pasangan yang tidak acak ketika merancang studi genetika tentang gangguan kejiwaan,” tandas peneliti.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/kna)

  • Pria Ini Berlari 1,6 Km Selama 100 Hari, Perubahan Tubuhnya Mengejutkan

    Pria Ini Berlari 1,6 Km Selama 100 Hari, Perubahan Tubuhnya Mengejutkan

    Jakarta

    Seorang pria di Texas, Amerika Serikat bernama Zack Telander mencoba tantangan lari 1 mil (1,6 km) setiap hari selama 100 hari. Ternyata tantangan itu memicu perubahan drastis pada tubuhnya.

    Setelah 100 hari lari, fisiknya berubah lebih ramping dan berotot, tingkat kebugaran kardiovaskularnya meningkat, hingga waktu pemulihan menjadi lebih cepat. Untuk meningkatkan kesulitannya, ia berusaha memangkas 10 detik larinya di setiap percobaan.

    Ide tantangan ini muncul pertama kali ketika putrinya lahir pada 1 Juni. Pada percobaan pertama, Telander berhasil menuntaskan 1 mil dalam 9 menit 43 detik.

    “Ini sebelum saya sempat terlalu memikirkan program saya, sebelum saya khawatir soal ritme optimal. Targetnya 10 menit tanpa cedera, jadi ini cukup dekat,” ujar Telander dikutip dari Daily Mail, Senin (15/9/2025).

    Telander menyebut tantangan ini tidak mudah. Meski awalnya ia merasa biasa, lama-kelamaan makin sulit untuk menjaga motivasi. Ada hari-hari ketika ia sangat enggan lari.

    Untuk mengatasinya ia berusaha untuk jujur pada diri sendiri dan fokus pada target yang sudah ditetapkan. Selama menjalani tantangan, menurutnya itu cukup membantu.

    “100 hari berlari berturut-turut. Saya makan lebih banyak, tidur lebih sedikit (karena punya bayi), tapi berhasil sedikit mengubah tubuh saya. Untuk hari ke-101!” katanya setelah sukses menjalani tantangan tersebut.

    Selain perubahan tubuhnya yang menjadi lebih ramping, kemampuan larinya juga meningkat. Telander menyebut kecepatan larinya meningkat saat ini bila dibandingkan dengan pertama kali memulai tantangan.

    Oleh karena itu, setelah tantangan ini Telander berencana terus berlari dan melihat sejauh mana ia bisa meningkatkan kecepatan, volume latihan, dan waktu pemulihan, sembari menjaga rutinitas gym.

    “Akan sangat disayangkan jika saya memutuskan untuk berhenti dan kehilangan kemampuan itu. Saya tidak tahu berapa lama lagi saya bisa melakukan ini, tapi saya tidak melihat ada alasan untuk berhenti dalam waktu dekat,” tandasnya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Melihat Keseruan Lomba Lari Maraton Bareng Anjing di Bolivia”
    [Gambas:Video 20detik]
    (avk/kna)

  • Video: Gen Z Kira-kira Masih pada Suka Minum Jamu Nggak Ya?

    Video: Gen Z Kira-kira Masih pada Suka Minum Jamu Nggak Ya?

    Video: Gen Z Kira-kira Masih pada Suka Minum Jamu Nggak Ya?

  • Heboh Ortu di Korsel Jalani IVF Khusus Biar Bisa Request Jenis Kelamin Anak

    Heboh Ortu di Korsel Jalani IVF Khusus Biar Bisa Request Jenis Kelamin Anak

    Jakarta

    Seorang perempuan yang disamarkan dengan nama ‘Sohan’ menceritakan pengalamannya menjalani fertilisasi in vitro (IVF) khusus untuk bisa memilih jenis kelamin bayi yang ingin dilahirkan. Perempuan berusia 30-an ini menjalani IVF khusus di Bangkok, Thailand karena prosedur ini ilegal di Korea Selatan, menurut Undang-Undang Bioetika dan Keamanan.

    Sohan dan suaminya ingin mendapatkan anak laki-laki, setelah sebelumnya mereka memiliki anak perempuan. Sekitar 10 bulan setelah menjalani IVF khusus di Bangkok, ia akhirnya bisa melahirkan anak laki-laki yang diinginkan.

    Sohan menceritakan sebenarnya ada banyak orang tua yang menjalani prosedur serupa di luar negeri.

    “Aku pertama kali tahu tentang hal ini beberapa tahun lalu karena kerabat temanku mencoba program kehamilan dengan seleksi jenis kelamin di Hong Kong,” cerita Sohan dikutip dari Korea JoongAng Daily, Senin (15/9/2025).

    Di Korea, Undang-Undang Bioetika dan Keamanan yang diberlakukan pada 2005 melarang pembuahan sel telur dengan tujuan memilih jenis kelamin tertentu. Tenaga medis yang melakukan perawatan kesuburan berbasis seleksi gender bisa dipenjara hingga dua tahun atau didenda maksimal 30 juta won (Rp 353,4 juta rupiah).

    Larangan kehamilan berbasis seleksi gender awalnya dimaksudkan untuk mengurangi praktik aborsi. Ini terjadi khususnya pada 1980-1990-an ketika preferensi anak laki-laki lebih dominan di masyarakat Korea.

    Berdasarkan undang-undang, ibu hamil, termasuk yang menjalani IVF, harus menunggu hingga sekitar usia kehamilan 15 minggu untuk mengetahui jenis kelamin janinnya lewat USG. Namun, tidak ada aturan yang melarang orang Korea menjalani perawatan kesuburan di luar negeri.

    “Kebanyakan orang yang menghubungiku adalah mereka yang sudah punya anak. Mereka hanya ingin anak berikutnya berbeda jenis kelamin dari anak yang sudah lahir,” ujar Sohan menyebut tidak ada kecenderungan orang tua di Korsel mengutamakan anak laki-laki.

    Prosedur yang Dijalani Sohan

    Sohan menghabiskan sekitar 450 ribu baht (Rp 232,7 juta) untuk prosedur tersebut. Sedangkan, untuk satu kali prosedur IVF di Korea Selatan dapat menghabiskan 2 juta won (Rp 23,5 juta).

    Sohan menjelaskan proses IVF di Korea Selatan dan Thailand sebenarnya hampir sama. Namun, di Thailand orang tua menempuh tiga tahapan tambahan yaitu skrining embrio berdasarkan jenis kelamin, membekukan embrio sebelum ditanamkan, serta memiliki embrio dengan jenis kelamin tertentu.

    Jika IVF di Korea Selatan bisa selesai dalam 2-3 minggu, proses yang dijalani Sohan memakan waktu hingga 2 bulan. Ia mengambil sel telur pada awal April 2024, lalu baru mentransfer sel embrio pada awal Juni.

    “Karena perlu waktu untuk menentukan jenis kelamin embrio yang telah dibuahi, embrio harus dibekukan sebelum ditanamkan. Klinik di Bangkok memberiku laporan harian melalui email tentang perkembangan embrio, dan aku memilih jenis kelamin anak keduaku lewat telepon,” cerita Sohan.

    Setelah embrio ditanamkan, ia menjalani persalinan di Korea Selatan. Ia tidak menceritakan detail prosedur yang dijalani pada tenaga medis yang membantu kelahiran anaknya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: 300 Pekerja Korsel Dipulangkan Usai Ditahan Imigrasi AS”
    [Gambas:Video 20detik]
    (avk/kna)

  • Kata Dokter Harvard, Teknik Jalan Kaki Ini Bisa Bikin Jantung Sehat-Cegah Stroke

    Kata Dokter Harvard, Teknik Jalan Kaki Ini Bisa Bikin Jantung Sehat-Cegah Stroke

    Jakarta

    Seorang ahli gastroenterologi terkemuka yang menempuh pendidikan di Harvard, Stanford, dan AIIMS, dr Saurabh Sethi, merekomendasikan teknik jalan kaki yang dapat menyehatkan tubuh. Teknik tersebut adalah metode jalan kaki interval ala Jepang.

    Dalam penjelasannya, dr Sethi menyebut metode ini memberikan hasil yang lebih baik daripada jalan kaki biasa 10 ribu langkah setiap hari.

    “Metode latihan ini melibatkan jalan lambat dan cepat secara bergantian selama tiga menit setiap interval. Teknik jalan kaki yang dikembangkan di Jepang ini hanya membutuhkan 30 menit per hari untuk memberikan berbagai manfaat kesehatan,” terangnya yang dikutip dari Times of India.

    Apa Itu Jalan Kaki Interval?

    Metode ini melibatkan perubahan kecepatan berjalan di antara berbagai kecepatan. Mulai dari jalan lambat selama tiga menit, diikuti dengan tiga menit berjalan cepat.

    Latihan ini dilakukan bergantian antara jalan lambat dan cepat, dengan total durasi 30 menit. dr Sethi merekomendasikan untuk memulai dengan pemanasan selama 3-5 menit dengan kecepatan yang nyaman, diikuti dengan periode pendinginan selama 3-5 menit untuk membantu transisi jantung dan otot.

    Sistem latihan ini menyediakan pendekatan kebugaran yang sederhana, yang terintegrasi dengan mulus ke dalam aktivitas rutin tanpa memerlukan komitmen waktu yang lama. Berikut sederet manfaatnya:

    1. Meningkatkan Kesehatan Kardiovaskular

    Dr Sethi mengungkapkan bahwa jalan interval memberikan manfaat luar biasa untuk menjaga kesehatan jantung. Jantung dan pembuluh darah menjadi lebih kuat dan fleksibel saat berjalan dengan kecepatan yang berbeda selama latihan interval.

    Program latihan ini membantu mengontrol tekanan darah sekaligus mengurangi risiko masalah jantung, seperti hipertensi dan stroke. Latihan yang intens memberikan manfaat yang lebih baik bagi jantung dibandingkan berjalan stabil dalam waktu yang lebih lama.

    Penelitian menunjukkan bahwa jalan interval meningkatkan kebugaran aerobik melalui konsumsi oksigen puncak yang lebih baik, dan otot yang lebih kuat. Metode ini memberikan hasil yang lebih menjanjikan.

    2. Menurunkan Risiko Stroke

    Stroke merupakan kondisi medis kritis yang berkembang saat pembuluh darah otak tersumbat atau pecah. Dr Sethi menunjukkan bahwa jalan interval menurunkan risiko stroke melalui kemampuannya untuk meningkatkan sirkulasi darah dan menurunkan hipertensi, yang merupakan faktor risiko utama stroke.

    Kecepatan berbeda selama latihan interval membantu arteri tetap fleksibel, sekaligus membuang timbunan kolesterol yang menyebabkan penyumbatan pembuluh darah. Otak menerima perlindungan melalui sirkulasi yang lebih baik dan menghasilkan peningkatan energi serta kejernihan mental.

    3. Kesehatan Mental yang Lebih Baik

    Olahraga memicu otak untuk memproduksi endorfin, yang berfungsi sebagai zat kimia peningkat suasana hati. Interval cepat dalam jalan interval menciptakan manfaat kesehatan mental yang lebih baik.

    Dr Sethi menunjukkan metode berjalan ini dapat meredakan stres dan mengurangi kecemasan, meningkatkan kualitas tidur, dan memberikan peningkatan energi. Orang yang berlatih jalan interval mengalami peningkatan suasana hati, motivasi, dan peningkatan energi harian.

    4. Melindungi Sendi

    Jalan interval ala Jepang ini sangat ramah untuk sendi, karena menghindari stres yang berdampak tinggi seperti yang disebabkan oleh lari atau aktivitas fisik intens lainnya. Latihan bergantian antara jalan lambat dan cepat memungkinkan otot tanpa memberikan tekanan berlebihan pada sendi.

    Bagaimana Cara Melakukannya?

    dr Sethi merekomendasikan pejalan kaki baru untuk memulai dengan pemanasan ringan, seperti berjalan kaki dengan nyaman sebelum memulai interval. Pola latihan ini melibatkan pergantian antara:

    Jalan lambat 3 menit.Jalan cepat 3 menit.Ulangi selama 20-39 menit setiap hari.

    Di akhir latihan, lakukan jalan kaki dengan intensitas yang lambat. Hal ini membantu menormalkan detak jantung dan pola pernapasan.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/suc)

  • Ahli Wanti-wanti Kasus Kanker Usus Buntu Meningkat di Usia Muda, Inikah Pemicunya?

    Ahli Wanti-wanti Kasus Kanker Usus Buntu Meningkat di Usia Muda, Inikah Pemicunya?

    Jakarta

    Para ahli mulai mewanti-wanti soal peningkatan kasus kanker apendiks atau kanker usus buntu. Disebutkan bahwa peningkatan diagnosis yang tiba-tiba ini terjadi pada orang berusia di bawah 50 tahun, dan tidak bisa dijelaskan.

    Sebuah studi yang dipublikasikan di Annals of Internal Medicine menunjukkan jumlah kasus kanker usus buntu meningkat drastis, di kalangan orang yang lahir setelah tahun 1970-an. Jumlahnya meningkat 3-4 kali lipat pada generasi muda.

    “Selama beberapa dekade, penyakit ini mungkin hanya ditemui dokter sekali atau dua kali dalam kariernya. Dan hampir selalu ditemukan pada orang dewasa yang lebih tua,” tutur ahli onkologi dan peneliti di Anglia Ruskin University, Profesor Justin Stebbing.

    “Namun, peningkatan kasus kanker usus buntu sangat tajam, terutama pada orang muda.”

    Profesor Stebbing menjelaskan kanker usus besar kini lebih banyak dialami orang berusia 30-an dan 40-an, dengan bentuk kanker agresif. Tetapi, ia mengaku tidak benar-benar tahu mengapa ini bisa terjadi.

    Inikah Pemicunya?

    Teori yang berlaku adalah peran pola makan, khususnya ultra-olahan (ultra-process). Tetapi, tidak ada penjelasan yang jelas tentang mekanisme yang menghubungkan hal ini dengan kanker.

    “Saya pikir kemungkinan besar peningkatan obesitas adalah penyebab peningkatan ini. Tetapi, kita tidak benar-benar tahu,” terangnya dalam studi tersebut.

    Apendiks adalah kantong jaringan kecil yang terhubung ke usus di sisi kanan bawah perut. Organ ini merupakan bagian dari usus dan membantu membuang limbah dari tubuh.

    Meski fungsi pastinya belum diketahui, para ahli mengatakan bahwa organ ini dapat membantu mendukung sistem kekebalan tubuh. Tetapi, organ ini juga dapat menghasilkan sel kanker, yang mulai membelah tak terkendali, membentuk tumor.

    Tumor ini dapat tumbuh dari sel-sel yang melapisi usus buntu atau zat kimia yang terlibat dalam pencernaan. Kanker usus buntu masih jarang terjadi dan diperkirakan hanya 0,4 persen dari seluruh kanker usus.

    Artinya, sekitar 176 orang didiagnosis dengan bentuk penyakit ini. Hal yang menjadi kekhawatiran para ahli adalah satu dari tiga kasus sekarang terjadi pada orang dewasa di bawah 50 tahun.

    Para ahli memperingatkan bahwa gejalanya samar dan mudah diabaikan. Orang mungkin mengalami nyeri perut ringan, kembung, atau perubahan kebiasaan buang air besar.

    “Akibatnya, sebagian besar kasus baru ditemukan setelah operasi untuk dugaan apendisitis, saat seringkali sudah terlambat untuk intervensi dini,” tulis Dr Stebbing.

    Penyakit ini dapat menyebar ke berbagai bagian perut, yang menyebabkan nyeri hebat. Tren peningkatan yang sedikit pada penyakit ini tampaknya lebih cepat daripada tren pada kanker usus besar secara keseluruhan.

    Di antara orang dewasa berusia 20 hingga 39 tahun, perkiraan menunjukkan kasus meningkat rata-rata dua persen per tahun. Pada mereka yang berusia 30 hingga 39 tahun, kasus meningkat lima persen per tahun secara keseluruhan.

    “Namun, selama 30 tahun terakhir, diagnosis kanker usus besar pada usia muda telah melonjak hingga 80 persen di seluruh dunia,” menurut penelitian.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/suc)

  • Indonesia Vs Obesitas, ‘Double Burden’ di Tengah Masalah Gizi Anak

    Indonesia Vs Obesitas, ‘Double Burden’ di Tengah Masalah Gizi Anak

    Jakarta

    Obesitas pada anak kini jadi sorotan serius dunia. Laporan terbaru UNICEF menyebutkan sedikitnya satu dari sepuluh anak di dunia mengalami obesitas. Kondisi ini tak hanya dipicu minimnya edukasi gizi di keluarga, tetapi juga gempuran makanan dengan pemrosesan ultra atau Ultra Processed Food (UPF) yang semakin mudah diakses dan kerap lebih murah dibanding buah serta sayur.

    Fenomena ini nyata terjadi di Indonesia. Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menegaskan, Indonesia menghadapi situasi yang disebut double burden. Artinya, anak-anak tak hanya berisiko mengalami kekurangan gizi hingga stunting, tetapi juga obesitas. Bahkan, di kota besar, prevalensi obesitas anak tercatat lebih tinggi.

    “Kita (Indonesia) menghadapi double burden, disatu sisi kita kekurangan gizi yang menyebabkan terjadinya stunting, di sisi lain, anak-anak itu ternyata obesitas,” tuturnya saat ditemui di ASEAN Car Free Day, di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (24/9/2025).

    Definisi Obesitas pada Anak

    Obesitas pada anak bukan sekadar masalah badan gemuk, melainkan kondisi saat lemak tubuh menumpuk secara berlebihan sehingga bisa mengganggu kesehatan. Cara menentukannya pun berbeda dengan orang dewasa. Jika pada orang dewasa cukup dengan menggunakan angka Indeks Massa Tubuh (IMT), pada anak lebih spesifik ukurannya, yaitu dengan menggunakan grafik pertumbuhan yang disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin.

    Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), anak usia 5-19 tahun dikategorikan obesitas bila nilai IMT-nya berada di atas persentil 97 dibanding anak seusianya. Singkatnya, jika berat badan dan tinggi badan seorang anak jauh melampaui sebagian besar teman sebayanya, ada kemungkinan ia sudah masuk kategori obesitas.

    Wamenkes Dante Saksono Harbuwono bicara soal obesitas pada anak. Foto: detikhealth/Nafilah Sri Sagita

    Belajar dari Negara Lain

    Beberapa negara telah berhasil menurunkan angka obesitas anak melalui kebijakan yang tegas. Meksiko misalnya, sejak 2014 memberlakukan pajak 10 persen untuk minuman manis. Jurnal BMC Public Health, mencatat bahwa kebijakan ini menurunkan konsumsi minuman berpemanis hingga 7,6 persen hanya dalam dua tahun.

    Inggris memiliki kebijakan Universal Infant Free School Meal yaitu makan siang gratis untuk anak usia empat sampai tujuh tahun di sekolah dasar sejak tahun 2014. Menu yang disajikan di sekolah mengandung gizi seimbang dan membatasi asupan kalori yang tinggi. Inggris juga menerapkan kebijakan lain di tahun 2018 yaitu Soft Drinks Industry Levy. Alih-alih hanya mengurangi konsumsi, kebijakan ini mendorong produsen untuk reformulasi produk minuman agar kadar gulanya lebih rendah. Hasilnya kadar gula pada minuman ringan berkurang rata-rata 29 persen hanya dalam tiga tahun.

    Chile mengambil langkah lebih progresif dengan mewajibkan label peringatan hitam di depan kemasan untuk produk tinggi gula, garam, dan lemak. Studi ilmiah yang terangkum pada Jurnal Nutrients 2025 menunjukkan kebijakan ini efektif menurunkan konsumsi minuman berpemanis pada anak sebesar 23,7 persen dalam 18 bulan pertama, ditambah lagi larangan iklan junk food di jam tayang anak yang semakin membatasi paparan.

    Singapura juga menjadi contoh menarik dengan program “Healthier Choice Symbol” yang memberi tanda khusus pada produk lebih sehat dan memberi Nutri-grade Label untuk minuman manis. Pemerintah Negeri Singa bahkan melarang semua iklan minuman berpemanis sejak tahun 2020. Pemerintah Singapura juga aktif dalam memberikan edukasi ke sekolah tentang gaya hidup sehat. Keterlibatan komunitas, sekolah, orang tua pada program yang dijalankan pemerintah Singapura menjadi salah satu faktor penting tercapainya tujuan program. Menurut laporan Ministry of Health (MoH) Singapura tahun 2022, kebijakan ini berhasil menahan laju peningkatan obesitas anak.

    Korea Selatan juga menunjukkan langkah strategis. Negara ini melarang iklan junk food di jam tayang anak sejak tahun 2010 dan memperkenalkan konsep Green Food Zones, yaitu area 200 meter di sekitar sekolah, di mana penjualan makanan tinggi gula, garam, dan lemak dilarang.

    Jepang menempuh jalur berbeda melalui pendidikan gizi nasional atau Shokuiku sejak 2005. Setiap sekolah dasar dan menengah wajib menyediakan menu sehat untuk makan siang yang mengikuti standar gizi nasional.

    Upaya Indonesia Mengatasi Obesitas Anak

    Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam. Sejumlah program telah digulirkan, meskipun fokus besar pemerintah masih tertuju pada stunting. Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) mengajak masyarakat untuk lebih aktif bergerak, rutin mengkonsumsi buah dan sayur, serta melakukan pemeriksaan kesehatan. Di sekolah, Program Usaha Kesehatan Sekolah/Madrasah (UKS/M) menjadi wadah integrasi edukasi gizi, olahraga, dan pemeriksaan kesehatan anak. Selain itu, pedoman gizi seimbang merupakan program edukasi gizi di sekolah, posyandu, dan fasilitas kesehatan melalui konsep “Isi Piringku” diperkenalkan sebagai pengganti 4 Sehat 5 Sempurna.

    KEMENKES juga meresmikan “Kantin Sehat” sekolah agar anak-anak tidak terbiasa mengkonsumsi jajanan tinggi gula, garam, dan lemak. Lebih jauh, Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2021-2025 bahkan secara eksplisit memasukkan target penurunan prevalensi obesitas anak yang berfokus pada perbaikan pola konsumsi, peningkatan aktivitas fisik, dan pembatasan pemasaran pangan tidak sehat untuk anak.

    Namun, data riset terbaru menunjukkan prevalensi obesitas anak di Indonesia belum mengalami penurunan signifikan, sehingga implementasi kebijakan ini dinilai belum sekuat negara lain.

    Apa yang Bisa Dipelajari dari Negara Lain?

    Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa kombinasi regulasi tegas dan edukasi gizi sejak dini adalah kunci. Indonesia bisa mencontoh Meksiko dan Inggris yang berhasil menekan konsumsi gula dengan pajak minuman berpemanis.
    Dante menyinggung rencana penerapan regulasi sugar tax pada makanan dan minuman manis di Indonesia sedang dibahas dan segera diproses.

    “Nanti kita sedang membuat regulasi, untuk melakukan sugar tax pada makanan. Sugar tax pada makanan ini akan memberlakukan pajak kepada sejumlah tertentu gula yang ada. Tapi masih dalam pembahasan, masih dalam proses, nanti akan kita wujudkan kalo sudah diselesaikan,” pungkasnya.

    Pengalaman negara juga Chile membuktikan bahwa label gizi yang jelas di depan kemasan sangat membantu orang tua dalam memilih makanan yang lebih sehat. Di Indonesia, saat ini label gula, garam, lemak (GGL) berada di belakang kemasan, kecil, dan sulit dipahami. Agar lebih sederhana dan tegas, diperlukan adanya front of pack label. Front of pack label adalah informasi sederhana dari nutrisi makanan yang ada di depan kemasan.

    Dari Korea Selatan, Indonesia bisa belajar pentingnya pembatasan iklan dan penjualan junk food di sekitar sekolah. Sementara Jepang memberi teladan lewat program makan siang sekolah yang konsisten menanamkan kebiasaan makan sehat sejak kecil. Saat ini Indonesia sudah ada program Kantin Sehat dan Makan Bergizi Gratis (MBG), hanya tinggal meningkatkan monitoring pelaksanaannya lebih baik lagi.

    Singapura memperlihatkan bagaimana kampanye nasional yang terintegrasi, melibatkan sekolah, industri, hingga masyarakat, mampu mengubah perilaku konsumsi secara bertahap. Jika Indonesia mampu menggabungkan regulasi ketat dengan edukasi dan pengawasan di sekolah, peluang menekan angka obesitas anak akan jauh lebih besar.

    Halaman 2 dari 4

    Simak Video “Video Wamenkes: Anak Gemuk Belum Berarti Sehat”
    [Gambas:Video 20detik]
    (mal/up)

  • Terungkap Lewat Studi, Ini 5 Kondisi Paling Menyakitkan yang Bisa Dialami Manusia

    Terungkap Lewat Studi, Ini 5 Kondisi Paling Menyakitkan yang Bisa Dialami Manusia

    Jakarta

    Rasa sakit adalah sesuatu yang kita semua alami. Terlebih, ada beberapa cedera dan kondisi jauh melampaui ketidaknyamanan biasa dan menjadi hampir tidak tertahankan.

    Dokter sering menggunakan skala nyeri untuk mengukur tingkat keparahan. Tetapi, pasien yang pernah mengalami beberapa masalah kesehatan mengatakan tidak ada angka yang benar-benar dapat menggambarkan intensitas sakit yang mereka derita.

    Sains mendukung kenyataan ini melalui studi yang dipublikasikan di JAMA Surgery. Studi itu menemukan bahwa 62,7 persen pasien trauma mayor terus hidup dengan rasa sakit, bahkan satu tahun setelah cedera, terutama di punggung, persendian, dan anggota badan lainnya.

    Hal ini menunjukkan rasa sakit bukan hanya tentang cedera awal, tapi bagaimana rasa sakit itu bertahan seiring waktu, membentuk pemulihan, suasana hati, dan kualitas hidup.

    Dari rasa sakit yang luar biasa akibat luka bakar hingga guncangan tiba-tiba akibat kondisi saraf, pengalaman tertentu secara konsisten dinilai sebagai yang paling menyakitkan pada manusia.

    Studi JAMA Surgery menelaah ribuan pasien trauma dan mengungkapkan hampir dua dari tiga pasien masih merasakan nyeri setelah satu tahun. Temuan ini menegaskan cedera dan kondisi yang paling menyakitkan tidak selalu sembuh saat luka menutup.

    Nyeri punggung, sendi kaku, dan nyeri tungkai tetap umum terjadi lama setelah perawatan. Berikut cedera atau kondisi yang dianggap paling menyakitkan berdasarkan sains, yang dikutip dari Times of India.

    1. Luka Bakar Derajat Tiga

    Luka bakar parah merusak lapisan kulit dan mengekspos saraf di bawahnya. Nyeri berlanjut selama berminggu-minggu dan diperparah oleh prosedur yang diperlukan, seperti penggantian balutan dan cangkok kulit.

    2. Batu Ginjal

    Batu ginjal yang melewati saluran kemih dianggap sebagai salah satu nyeri terburuk. Banyak pasien menggambarkannya sebagai nyeri yang lebih tajam dan lebih melelahkan daripada nyeri persalinan.

    3. Neuralgia Trigeminal

    Gangguan saraf ini, yang sering disebut penyakit bunuh diri, menyebabkan nyeri seperti ditusuk dan sengatan listrik di wajah. Bahkan, sentuhan ringan atau angin sejuk dapat memicu episode nyeri yang intens.

    4. Sindrom Nyeri Regional Kompleks (CRPS)

    Kondisi langka ini seringkali terjadi setelah cedera ringan atau operasi. Area yang terkena menjadi hipersensitif, bengkak, dan sangat nyeri dengan sensasi yang jauh lebih parah daripada cedera awal.

    5. Fraktur Parah

    Fraktur majemuk, kondisi saat tulang menembus kulit terasa sangat nyeri. Baik saat cedera maupun proses penyembuhan yang lama, kondisi ini menimbulkan ketidaknyamanan yang parah.

    Kondisi-kondisi ini terjadi karena:

    Keterlibatan saraf yang menghasilkan sinyal berlebihan.Kerusakan kulit dan jaringan, seperti yang terlihat pada luka bakar.Pembengkakan dan peradangan yang meningkatkan tekanan.Nyeri yang berlangsung selama berminggu-minggu.

    Berdasarkan tinjauan tahun 2022 tentang cedera muskuloskeletal yang dipublikasikan oleh PMC, menemukan bahwa nyeri persisten lebih mungkin terjadi saat trauma parah, penanganan tertunda, atau terdapat masalah kesehatan mental. Hal ini membuktikan mengapa intervensi dini dan manajemen nyeri yang efektif sangat penting dalam mencegah penderitaan bertahun-tahun.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/suc)