Jenis Media: Kesehatan

  • 124 Ribu WNA Jadi Peserta JKN, Emang Boleh? BPJS Kesehatan Jelaskan Aturannya

    124 Ribu WNA Jadi Peserta JKN, Emang Boleh? BPJS Kesehatan Jelaskan Aturannya

    Jakarta

    Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengungkapkan jumlah iuran yang dikumpulkan dari keanggotaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) warga negara asing (WNA) lebih besar dibandingkan uang yang dikeluarkan untuk perawatan. Ia lantas mencontohkan untuk di Bali pengeluaran BPJS untuk pengobatan WNA tidak sampai Rp 1 miliar setahun.

    “Yang menarik iuran yang dikumpulkan dari semua ini, masih lebih banyak dari yang kita keluarkan untuk mengobati atau pelayanan kesehatan bagi 124 ribu orang asing ini,” ujar Ghufron dalam acara temu media di Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (16/9/2025).

    “Di Bali itu tidak sampai Rp 1 miliar, per bulan, dengan 15 ribu orang pendudukan asing,” sambungnya.

    Dalam kesempatan tersebut ia menegaskan WNA yang bekerja secara formal di Indonesia selama setidaknya 6 bulan, memang wajib menjadi anggota JKN. Sehingga tidak sembarangan WNA menjadi anggota JKN.

    Ia menambahkan WNA yang terdaftar tidak hanya ada di Bali, melainkan wilayah-wilayah lain. Ia mencontohkan beberapa daerah seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Sulawesi juga ada warga asing yang menjadi anggota JKN.

    Beberapa sektor pekerjaan yang dilakukan oleh WNA meliputi pertambangan, perhotelan, dan sektor lain.

    “Adalah sebuah kewajiban menurut UU No 24 tahun 2011, tentang BPJS, terutama di pasal 14 yang menyebutkan bahwa tidak saja semua orang wajib menjadi peserta, termasuk orang asing yang bekerja paling tidak 6 bulan, dan ini umumnya yang dimaksud adalah bukan wisatawan, tapi pekerja di sektor formal ya, bukan informal,” ujar Ghufron.

    “Iya ini termasuk pekerja penerima upah atau PPU ya. Jadi seperti PPU pada umumnya,” tandasnya.

    (avk/up)

  • Fenomena ‘Job Hugging’ di Kalangan Gen Z, Kerja Tak Happy tapi Ogah Resign

    Fenomena ‘Job Hugging’ di Kalangan Gen Z, Kerja Tak Happy tapi Ogah Resign

    Jakarta

    Tren baru menguat di lingkup pekerjaan gen Z hingga milenial, yakni ‘job hugging’. Saat mereka tidak bahagia dengan pekerjaannya, tetapi nyaris tidak ada pilihan lain untuk tetap menjalani pekerjaan tersebut.

    Kondisi ini disebabkan karena kebutuhan mereka tetap harus terpenuhi, di tengah sulitnya mencari pekerjaan lain.

    Pertumbuhan lapangan kerja juga terus melemah secara signifikan dan tren merekrut karyawan baru terus melambat ke level terendah sejak 2013, tidak termasuk masa-masa awal pandemi COVID-19.

    “Saya pikir banyak pekerja menyadari ketidakpastian di pasar saat ini,” kata Nicole Bachaud, ekonom tenaga kerja di ZipRecruiter.

    Namun, ini bukan hanya satu sisi. Perusahaan juga bergantung pada pekerja mereka.

    Pekerja sulit ditemukan selama apa yang disebut sebagai pengunduran diri besar-besaran pada 2021 dan 2022, periode dengan tingkat perpindahan pekerjaan yang tertinggi secara historis.

    “Akibatnya, banyak perusahaan tidak ingin kekurangan pekerja dan mempertahankan staf,” tulis Scott Wren, ahli strategi pasar global senior di Wells Fargo Investment Institute, dalam komentar pasar pada 10 September.

    “Dan tentu saja, ketidakpastian mengenai dampak tarif dan pertumbuhan ekonomi telah membuat banyak perusahaan ragu untuk menambah tenaga kerja mereka saat ini.”

    Para pekerja mungkin khawatir akan adanya lebih banyak PHK di masa depan di tengah pasar kerja yang sedang mendingin, dan mungkin merasa lebih aman dalam peran yang sudah dikenal daripada sebagai karyawan baru di organisasi luar, kata Bachaud.

    Ciri-ciri Job Hugging

    Dikutip dari Forbes, ini tanda-tanda kamu mulai mengalami ‘job hugging’ di pekerjaan saat ini:

    Menolak mempertimbangkan tawaran pekerjaan baru, meskipun tidak puas dengan posisi saat ini, karena takut akan ketidakpastian atau hasil yang lebih buruk.Tetap berada di zona nyaman dan menghindari peluang untuk peningkatan keterampilan atau pengembangan profesional.Kurang inisiatif atau memilih kemenangan mudah atau proyek dengan risiko minimal, daripada tugas ambisius yang dapat mendorong dirinya berkembang.Merasa bosan, frustrasi, atau kekurangan energi secara terus-menerus, tetapi tetap tidak bertindak untuk mengubah situasi.Keraguan untuk terhubung dengan orang baru atau memperbarui jaringan profesional.Pemicunya juga berkaitan dengan kondisi ekonomi saat ini. Ketidakpastian ekonomi membuat pasar perekrutan yang lambat dan ketidakpastian ekonomi dapat memaksa pekerja untuk mempertahankan pekerjaan mereka, meskipun pekerjaan tersebut tidak ideal.

    Lebih sedikit posisi baru yang tersedia membuat lebih sulit untuk menemukan peran alternatif, yang berkontribusi pada kebutuhan untuk ‘job hugging’. Stres yang meningkat, terutama di sekitar potensi perubahan, dapat menandakan bahwa seseorang berpegang teguh pada pekerjaannya karena rasa takut.

    Pergeseran prioritas atau berfokus pada menunjukkan kekuatan saat ini daripada menangani tanggung jawab penting atau berkontribusi pada inisiatif tim utama.

    (naf/naf)

  • Dialami Vidi Aldiano, Ini Pemicu Perubahan Warna Kulit Akibat Obat Kanker

    Dialami Vidi Aldiano, Ini Pemicu Perubahan Warna Kulit Akibat Obat Kanker

    Jakarta

    Penyanyi Vidi Aldiano tengah menjalani menjalani pengobatan kemoterapi untuk kanker ginjal yang sudah diidapnya sejak 2019. Baru-baru ini, Vidi curhat tentang perubahan yang terjadi pada tubuhnya diduga efek dari obat kemoterapi.

    “Beberapa bulan ini somehow skin tone satu badan naik banget. Curiga obat kemo baru gue ada glutathione nya deh..Enggak mau jadi Edward Cullen help,” tulis Vidi di akun Instagram pribadinya.

    Obat kemoterapi diketahui memang bisa memicu sejumlah perubahan pada kulit yang mungkin termasuk ruam, sensitivitas cahaya, kulit kering dan gatal, sampai perubahan warna kulit.

    National Cancer Institute menyatakan bahwa kemoterapi dapat menyebabkan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi kulit. Hiperpigmentasi adalah penggelapan kulit yang berlebihan. Hipopigmentasi adalah area kulit yang lebih terang daripada warna kulit normal seseorang.

    Sementara itu European Academy of Dermatology and Venerology menjelaskan perubahan warna kulit akibat perawatan kanker, juga dikenal sebagai perubahan pigmentasi, adalah serangkaian perubahan pada kulit, selaput lendir, rambut, dan kuku yang mungkin dialami seseorang selama perawatan kanker.

    “Secara umum, perubahan ini berbeda-beda tergantung pada obat yang diberikan: kulit dan apendiks menjadi lebih gelap saat kemoterapi digunakan, sementara warnanya menjadi lebih cerah atau bahkan sepenuhnya hilang pigmentasinya saat terapi target atau imunoterapi tertentu digunakan,” terang laman tersebut.

    Jenis obat, dosis dan durasi terapi juga menentukan perubahan warna kulit. Semakin lama obat bekerja, semakin tinggi kemungkinan kulit menunjukkan respons, termasuk perubahan warna.

    Biasanya, perubahan pada kulit akibat kemoterapi dan imunoterapi tidak permanen. Ketika pasien menghentikan pengobatan, mereka akan melihat kulit kembali ke kondisi semula.

    (kna/kna)

  • Viral Cacing Keluar dari Mulut-Hidung Balita Bengkulu, Wamenkes Ingatkan soal Ini

    Viral Cacing Keluar dari Mulut-Hidung Balita Bengkulu, Wamenkes Ingatkan soal Ini

    Jakarta

    Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono mengimbau masyarakat untuk lebih memperhatikan faktor kebersihan (higiene) dan gizi pasca munculnya kasus kecacingan di Bengkulu. Kasus cacingan ini menimpa dua bocah di Seluma, Bengkulu, Khaira Nur Sabrina 1,8 tahun dan Aprillia 4 tahun.

    “Faktor higiene yang harus kita sosialisasikan kepada masyarakat jadi masalah penting, begitu juga dengan gizi,” ujar Dante saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (17/9/2025).

    Ia menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat agar kasus cacingan bisa dicegah, terutama memastikan anak-anak mendapatkan asupan gizi yang baik.

    “Kasus itu perlu kita perhatikan gizinya, karena cacingan tidak spesifik terjadi. Kalau edukasi masyarakat berjalan dengan baik, semoga kasus seperti ini tidak terulang lagi,” jelasnya.

    Direktur Pascasarjana Universitas YARSI sekaligus Adjunct Professor Griffith University, Prof Tjandra Yoga Aditama, menilai ada tiga poin penting dari kasus ini.

    Pertama, masih ditemukannya kasus kecacingan pada anak Indonesia, menjadi gambaran terjadi juga di berbagai daerah lain. Kecacingan termasuk kategori penyakit tropis terabaikan, sehingga kerap luput dari perhatian.

    Kedua, kasus ini dinilai berkaitan erat dengan masalah kekurangan gizi pada anak, yang menandakan persoalan gizi masih ada di sekitar lingkup masyarakat.

    Ketiga, aspek pelayanan rumah sakit dalam menangani kasus kecacingan, termasuk kemampuan melakukan operasi atau pembedahan cacing di perut, juga perlu diperkuat.

    Menurut Tjandra, hal ini menjadi pengingat bahwa selain menjaga kebersihan dan memperhatikan gizi, penguatan pelayanan kesehatan rumah sakit juga penting untuk mencegah dampak serius dari penyakit kecacingan.

    (naf/naf)

  • Pemerintah Uji Udang Beku yang Diduga Tercemar Radioaktif, Ini Hasilnya

    Pemerintah Uji Udang Beku yang Diduga Tercemar Radioaktif, Ini Hasilnya

    Jakarta

    Pemerintah dalam hal ini Badan Karantina Indonesia (Barantin) mengawal proses pelepasaan 18 kontainer udang yang direimpor dari Amerika Serikat. Hal ini imbas adanya temuan dugaan cemaran radioaktif Cesium-137 (Cs-137).

    Sebanyak 387 kontainer berisi udang vaname (Vannamei Shrimp) dengan total tonase mencapai 5.595,28 ton, sebelumnya telah diekspor ke Amerika Serikat pada periode Juni hingga Agustus 2025. Namun karena insiden cemaran tersebut, seluruh kontainer yang berada dalam perjalanan menuju Amerika juga ditarik kembali (Return on Board/ROB) untuk diperiksa ulang di Indonesia.

    Deputi Bidang Karantina Ikan, Drama Panca Putra menyampaikan bahwa proses pemeriksaan dan tindakan karantina telah dilakukan terhadap udang yang masuk kembali ke dalam wilayah Indonesia dan hasilnya dinyatakan aman.

    “Badan Karantina Indonesia memastikan bahwa setiap media pembawa yang masuk ke wilayah Indonesia, baik dari impor maupun ekspor, bebas dari risiko biologis, kimia, dan fisika. Kasus ini menjadi pembelajaran sekaligus penguatan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan kita,” tegas Darma dalam keterangannya, Rabu (17/9/2025).

    Barantin telah melakukan tindakan karantina meliputi pemeriksaan fisik, pengambilan sampel, hingga pengujian laboratorium. Pemeriksaan di pelabuhan melalui Radioactive Portal Monitor (RPM) dan inspeksi sekunder di Terminal NPCT 1, hasilnya tidak ditemukan kontaminasi radiasi pada 18 kontainer yang sudah masuk (hasil pengukuran ±9.500 cps, masih berada pada ambang batas normal).

    Beberapa pengujian laboratorium juga telah dilakukan. Hasil uji keamanan pangan menunjukkan udang layak konsumsi dengan hasil uji organoleptik bernilai 9 (di atas standar minimal 7). Hasil uji mikrobiologi menyatakan negatif dari kontaminan berbahaya seperti Salmonella dan Listeria.

    Hasil uji kimia tidak ditemukan formalin maupun indikasi pembusukan, serta uji cemaran radioaktif oleh BRIN menunjukkan hasil negatif,

    Portal monitoring radionuklida juga dipasang di Pelabuhan Tanjung Priok untuk memastikan tidak ada kontainer yang lolos tanpa pemeriksaan. Tersisa 366 kontainer yang dijadwalkan tiba secara bertahap hingga Oktober 2025, termasuk lima kontainer yang berstatus suspect Cs-137.

    Jika hasil pemeriksaan terbukti positif tercemar radioaktif, maka produk udang akan dimusnahkan di insinerator radioaktif Bapeten. Sebaliknya, jika hasil negatif, produk udang akan diuji keamanan dan mutu pangannya dan hanya yang layak yang akan dibebaskan.

    Uji ketat keamanan pangan

    Badan Karantina Indonesia menegaskan bahwa keamanan pangan nasional adalah prioritas utama. Proses ketat ini diharapkan menjaga kepercayaan konsumen global terhadap produk perikanan Indonesia sekaligus memperkuat posisi Indonesia di pasar ekspor dunia.

    Pendekatan ini menurutnya tidak hanya melindungi masyarakat dari potensi bahaya kontaminasi radioaktif, tetapi juga memperkuat citra Indonesia sebagai negara yang bertanggung jawab dan patuh terhadap standar internasional khususnya dalam rantai perdagangan pangan.

    “Masyarakat dan pelaku usaha tidak perlu ragu dan khawatir, karena pemerintah, melalui satgas dan kami Barantin akan selalu memastikan bahwa produk yang beredar adalah aman,” ungkap Drama.

    Halaman 2 dari 2

    (kna/kna)

  • Perut Lily Collins Bikin Salfok, Kurus Gegara Gangguan Makan?

    Perut Lily Collins Bikin Salfok, Kurus Gegara Gangguan Makan?

    Jakarta

    Bintang Emily in Paris, Lily Collins, kembali menarik perhatian. Banyak orang yang memperhatikan tubuhnya yang semakin kurus.

    Banyak orang yang melihat tubuhnya terlalu ramping dalam sebuah acara peragaan busana. Kondisi itu membuat para penggemar kembali mengingat Lily pernah berjuang melawan gangguan makan atau anoreksia.

    Penampilannya dalam Calvin Klein Fall 2025 itu membuat para penggemar kembali khawatir karena Lily terlihat sangat kurus.

    Riwayat Gangguan Makan

    Diketahui Lily berjuang melawan masalah kesehatan itu saat remaja. Hal itu diungkapkannya pada tahun 2017 dalam sebuah wawancara.

    Lily mengatakan semasa remaja, ia sangat memperhatikan penampilannya yang dianggap sebagai ‘kesempurnaan’ di media. Hal itu membuatnya mengendalikan makanan demi mempertahankan bentuk tubuhnya.

    Untuk film Netflix tahun 2017, To the Bone, Lily memerankan karakter yang berjuang melawan anoreksia. Sebagai persiapan, ia menurunkan berat badan sekitar 9 kg atau lebih untuk peran tersebut sambil mengingat masa lalunya.

    Untuk peran itu Lily bekerja sama dengan para profesional seperti ahli gizi dan staf medis, untuk memastikan kesehatannya.

    Pemulihan Melawan Gangguan Makan

    Lily mengatakan pemulihannya adalah proses yang berkelanjutan. Ia merenungkan meski bisa kembali sehat, tekanan internal karena kondisi itu tidak akan sepenuhnya hilang.

    “Anda bisa hidup dengan gangguan makan masa lalu. Tetapi, Anda bisa membiarkannya memengaruhi Anda sejauh yang Anda inginkan,” kata Lily dikutip dari Times of India.

    Lily juga menceritakan bahwa pada titik-titik tertentu, ia khawatir anoreksia yang diidapnya dapat mempengaruhi kemampuannya untuk memiliki anak. Hal ini banyak dialami oleh orang-orang yang juga berjuang dengan gangguan makan.

    Namun, Lily dan suaminya, Charlie McDowell, bisa memiliki anak perempuan melalui metode ibu pengganti.

    Terkait penampilannya baru-baru ini, Lily belum mengungkapkan secara terbuka soal apa yang membuat berat badannya turun dan terlihat kurus. Belum ada pernyataan tentang kondisi medis atau klarifikasi berapa banyak berat badan yang diturunkan, apakah disengaja untuk gaya dan peran, atau karena masalah lainnya.

    Namun, para ahli sepakat bahwa pemulihan dari gangguan makan seringkali melibatkan terapi berkelanjutan, bimbingan nutrisi, upaya penerimaan diri, dan dukungan sosial. Banyak orang yang pulih menekankan bahwa berat badan atau penampilan hanyalah sebagian kecil dari kesehatan, tetapi pekerjaan internal (mental, emosional, relasional) juga sangat penting.

    (sao/sao)

  • Video: Faktor Meningkatnya Kasus Bunuh Diri

    Video: Faktor Meningkatnya Kasus Bunuh Diri

    Video: Faktor Meningkatnya Kasus Bunuh Diri

  • Viral Cacing Keluar dari Mulut-Hidung Balita Bengkulu, Wamenkes Ingatkan soal Ini

    Kondisi Balita di Bengkulu yang Muntah Cacing dari Mulut-Hidung

    Jakarta

    Balita yang mengalami cacingan terjadi lagi, kini di Seluma, Bengkulu. Balita tersebut diketahui berusia 1 tahun 8 bulan bernama Khaira Nur Sabrina, yang kini tengah menjalani perawatan intensif.

    Plt Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu, Endriwan Mansyur menjelaskan balita yang dirujuk dari Rumah Sakit Seluma telah sampai di RSUD M Yunus Bengkulu. Bocah tersebut telah mendapat perawatan dari pihak rumah sakit.

    Endriwan menjelaskan, kondisi Khaira saat ini masih lemah. Tim medis RSUD M Yunus terus memberikan perawatan intensif untuk membantu pemulihan kesehatan sang balita.

    Ia menambahkan, tim medis juga memberikan makanan bergizi tinggi untuk memperbaiki kondisi pasien. Pasalnya, dari informasi yang dihimpun, selama ini balita tersebut hanya mengonsumsi makanan seadanya sehingga diduga mengalami kekurangan gizi.

    “Kita melakukan pengawasan ekstra pada pasien, untuk adanya dugaan larva di paru-paru berdasarkan radiologi akan kita cek kembali,” tutup Endriwan, dikutip dari detiksumbagsel, Rabu (17/9/2025).

    Sebelumnya, pihak Dinas kesehatan menduga cacing gelang yang bersarang di tubuh bocah tersebut berasal dari lingkungan rumah yang kotor dan tidak sehat.

    Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Seluma, Rudi Syawaludin mengatakan, setelah dilakukan pengecekan ke rumah pasien di Desa Sungai Petai ditemukan kondisi rumah yang tidak layak huni.

    “Saat ditemukan adanya pasien dengan gejala mengeluarkan cacing dari mulut dan hidung, kita langsung melakukan investigasi ke rumah dan lingkungan pasien,” kata Rudi.

    Rudi menjelaskan, kondisi rumah bocah tersebut cukup memprihatinkan, rumah hanya beralas tanah dan dinding papan yang sudah rusak. Bahkan banyak kotoran ayam di sekitar rumah.

    Di sisi lain, cacing gelang atau Ascaris lumbricoides merupakan jenis cacing yang paling banyak menginfeksi manusia, baik di Indonesia maupun di dunia. Dari seluruh populasi yang terinfeksi, hampir 80 persen adalah anak usia sekolah, yakni 5-10 tahun.

    Menurut Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Riyadi, SpA, Subsp IPT(K), MKes, tingginya angka kasus pada kelompok ini erat kaitannya dengan aktivitas anak.

    “Karena mereka mereka aktif bermain di tanah, aktif bermain di luar. Nah ini mungkin kemampuan mereka, edukasi mereka tentang perilaku hidup bersih dan sehat belum optimal, makanya kenapa anak usia sekolah yang paling banyak,” jelas dr Riyadi dalam agenda temu media IDAI, Jumat (22/8/2025).

    Kelompok kedua yang paling rentan adalah anak usia prasekolah, yakni 2-5 tahun. Pada usia ini, anak sudah mulai bisa berjalan dan bermain di luar rumah.

    “Bagaimana kita mengedukasi nih orang tua, karena anak-anak ini, apalagi usia 2-5 tahun sama sekali kalau dilihat, ada yang bergerak di tanah mikirnya, oh ada mainan baru, malah dia pegang” tambahnya.

    Lebih lanjut, dr Riyadi menyebutkan sekitar seperdelapan populasi dunia terinfeksi cacing gelang. Parasit ini sangat menyukai lingkungan yang hangat dan lembap, sehingga negara tropis seperti Indonesia menjadi tempat ideal bagi perkembangannya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Kemenkes soal Balita di Sukabumi Meninggal dengan Tubuh Penuh Cacing”
    [Gambas:Video 20detik]
    (suc/kna)

  • Video: Wamenkes soal Kasus Balita Keluarkan Cacing dari Mulut-Hidung

    Video: Wamenkes soal Kasus Balita Keluarkan Cacing dari Mulut-Hidung

    Video: Wamenkes soal Kasus Balita Keluarkan Cacing dari Mulut-Hidung

  • Respons Wamenkes soal Kasus Balita Cacingan Muncul Lagi di Bengkulu

    Respons Wamenkes soal Kasus Balita Cacingan Muncul Lagi di Bengkulu

    Jakarta

    Kasus kecacingan kembali dilaporkan di Bengkulu. Terjadi pada balita 1 tahun 8 bulan di Seluma, Bengkulu. Cacing keluar dari mulut dan hidung anak tersebut, bahkan sudah teridentifikasi ‘bersarang’ di paru balita yang bernama Khaira.

    Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menekankan laporan kasus kecacingan yang bermunculan belakangan dikaitkan dengan faktor kebersihan di lingkup masyarakat, utamanya di daerah.

    Pihaknya menyebut akan meningkatkan edukasi di sejumlah wilayah dengan insiden kasus tinggi cacingan.

    “Yang penting adalah higienitas karena itu menyangkut dengan faktor hygiene yang harus kita sosialisasikan kepada masyarakat jadi masalah hygiene akan menjadi masalah penting,” beber dia saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (17/9/2025).

    Menurut Dante, maraknya kasus kecacingan juga menandakan masih adanya persoalan gizi di masyarakat. Pemerintah berupaya untuk meningkatkan promotif dan langkah preventif untuk mencegah kasus cacingan terus meluas.

    “Dan masalah gizi juga akan menjadi masalah penting karena kejadian terakhir itu meninggal kan tidak spesifik karena kecacingan saja, tapi ada masalah gizi,” pungkasnya.

    Hal ini sejalan dengan apa yang disoroti Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama. Prof Tjandra merinci sedikitnya tiga masalah yang terjadi di balik kecacingan pada anak Indonesia.

    “Kecacingan ini adalah tergolong penyakit tropik terabaikan, jadi kita yang abai. Kedua bahwa kasusnya juga berhubungan dengan kekurangan gizi pada anak Indonesia, artinya masalah gizi memang ada di tengah anak-anak sekitar kita,” beber dia, dalam kesempatan terpisah.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Dokter Ingatkan soal Tren Beli Obat Cacing Usai Kasus Balita Sukabumi”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)