Jenis Media: Kesehatan

  • Profil dr Tan Shot Yen, Pakar Gizi yang Beri Kritik Keras MBG di DPR

    Profil dr Tan Shot Yen, Pakar Gizi yang Beri Kritik Keras MBG di DPR

    Jakarta

    Nama pakar gizi komunitas, dr Tan Shot Yen mendadak menjadi perbincangan hangat di media sosial. Ini karena dr Tan melontarkan kritik tajam terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi IX DPR RI.

    Dalam audiensi yang digelar bersama Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA) dan sejumlah organisasi lainnya, dr Tan dengan tegas mempertanyakan terkait konsep menu yang dibagikan kepada anak-anak.

    Alih-alih mendapatkan makanan dengan gizi tinggi, anak-anak justru diberikan makanan fast food seperti burger, spageti, bakmi, dan tepung-tepungan lain.

    “Akhirnya apa ini, mau sampai kapan makannya burger, gitu, lo. Ya, jadi saya setuju bahwa ada anak yang tidak suka dengan pangan lokal karena mereka tidak terbiasa, tapi bukan berarti lalu request anak-anak lalu dijawab oleh dapur, ya wislah…. Kalau request-nya cilok? Mati kita,” ujar dr Tan dalam rapat di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (22/9/2025).

    Profil dr Tan Shot Yen

    Dr dr Tan Shot Yen, M.Hum lahir pada 17 September 1964 di Beijing, China. Saat ini, dirinya dikenal sebagai ahli gizi yang gemar memberikan edukasi di sosial medianya. dr Tan memiliki sekitar 1,2 juta pengikut di akun Instagram.

    Perjalanan akademisnya dimulai di Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara (1983-1990). Setelah resmi menyandang gelar dokter, ia melanjutkan program Profesi Kedokteran Negara di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada tahun 1991.

    Tak berhenti di sini, dr Tan kembali menimba ilmu dan meraih gelar seperti di bidang instructional physiotherapy di Perth, Australia (1992) dan meraih diploma Penyakit Menular Seksual dan HIV-AIDS di Thailand (1996).

    dr Tan juga menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, pada tahun 2009. Ini menjadi modal yang baik bagi dirinya untuk bisa memandang masalah kesehatan dengan sudut pandang yang lebih luas.

    Selain dikenal sebagai praktisi kesehatan, dr Tan juga dikenal dengan kemampuan menulisnya. Dirinya rutin mengirim beberapa tulisan atau artikel di beberapa media massa.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Anak Nggak Mau Makan, Apakah Bisa Diganti Susu?”
    [Gambas:Video 20detik]
    (dpy/up)

  • Malas Cuci Tangan Bisa Picu Penyakit Jantung, Dokter Jelaskan Kaitannya

    Malas Cuci Tangan Bisa Picu Penyakit Jantung, Dokter Jelaskan Kaitannya

    Jakarta

    Penyakit jantung masih menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Meski demikian, banyak warga yang tanpa sadar melakukan kebiasaan yang justru meningkatkan risiko terkena penyakit jantung.

    Spesialis jantung dr Aditya Agita Sembiring, SpJP mengatakan kebiasaan tersebut terkait tentang higienitas. Masyarakat seringkali makan dengan tangan kosong tanpa mencuci tangan terlebih dahulu.

    “Penyakit jantung rematik (PJR) itu disebabkan oleh kuman spesifik, namanya streptokokus grup A beta-hemolitikus (GAS). Cuman dia, nggak ada kuman lain yang menyebabkan (jantung) rematik,” kata dr Aditya saat ditemui di sela kunjungan Yayasan Jantung Indonesia (YJI) ke RSJPD Harapan Kita, Jakarta Barat, Rabu (24/9/2025).

    “Di mana kuman ini berada? Di tangan kita. Bagaimana dia bisa masuk ke dalam? Sangat mudah sekali, kebiasaan orang Indonesia, (makan) tanpa cuci tangan,” sambungnya.

    dr Aditya menambahkan bahwa PJR merupakan kerusakan katup jantung akibat komplikasi dari demam rematik. Jika tidak segera mendapatkan penanganan, penyakit jantung rematik berisiko menyebabkan gagal jantung.

    “Dia bisa sembuh sendiri, kebanyakan (pasien) tidak mencari pertolongan, tidak cek ke dokter. Walaupun sudah ada tanda-tandanya, sakit menelan, batuk, demam,” katanya.

    “Tapi saat infeksi mereda, besok kena lagi beberapa kali, akibatnya bisa menyebabkan ‘full blown’ rheumatic heart disease (RHD),” sambungnya.

    Tidak Serta Merta Langsung Menjadi Penyakit Jantung

    Namun, PJR ini merupakan kondisi lanjutan. Biasanya pasien akan mengalami ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut, lalu masuk ke rheumatic fever (demam rematik).

    “Begitu rheumatic fever tidak tertangani dengan baik, baru rheumatic heart disease. Itu level paling tinggi,” tegasnya.

    “Beda sekali rheumatic fever dengan rheumatic heart disease. Kalau rheumatic fever minum antibiotik paling lima tahun atau sampai usia 18 tahun, bisa setop obat. Tapi kalau udah kena jantung, maka dia dapat antibiotik seumur hidup,” katanya.

    Kuman ini selain bisa masuk melalui makanan atau tenggorokan, juga bisa masuk melalui luka. Hal ini karena kuman tersebut memang ‘hidup’ di kulit manusia.

    “Jadi emphasis di higienitas ini sangat penting. Hanya modal mandi yang bersih, pakai alas kaki, sama cuci tangan sebelum memasukkan sesuatu ke dalam mulut, kamu dapat melindungi jantungmu,” tutupnya.

    Halaman 2 dari 2

    (dpy/kna)

  • 5 Perbedaan Otak Atlet dan Orang Biasa, Ini Faktanya

    5 Perbedaan Otak Atlet dan Orang Biasa, Ini Faktanya

    Jakarta

    Mungkin ada yang bertanya-tanya, apa yang membuat seorang atlet mampu bergerak begitu cepat, tetap fokus, dan tenang dalam mengambil keputusan. Jawabannya ternyata berkaitan dengan fungsi otak mereka.

    Sejumlah penelitian menunjukkan otak atlet memiliki perbedaan signifikan dibandingkan orang pada umumnya. Perbedaan ini mencakup cara otak menyerap informasi, menjaga keseimbangan, hingga mengatur konsentrasi.

    5 Perbedaan Otak Atlet dan Rata-rata Orang pada Umumnya

    Dikutip dari laman Live Science, berikut perbedaan otak atlet dan rata-rata orang pada umumnya:

    1. Kemampuan Menyerap Informasi Visual yang Cepat

    Kemampuan untuk menyerap informasi visual dengan cepat dan membuat keputusan yang tepat merupakan keterampilan yang penting bagi para atlet, terutama bagi mereka yang bermain dalam tim.

    Sebuah studi pada tahun 2013 dalam jurnal Scientific Reports, pemain hoki es, sepak bola, dan rugby profesional merupakan pembelajar visual yang lebih baik daripada orang dengan kemampuan tingkat rendah dalam olahraga yang sama.

    2. ‘Muscle Memory’ yang Kuat

    Atlet akrobatik, seperti penyelam dan pesenam harus benar-benar pandai dalam melakukan rangkaian gerakan, tanpa memikirkannya secara sadar. Fenomena ini secara umum dikenal sebagai muscle memory atau memori otot.

    Sebuah studi pada tahun 2023 dalam The Journal of Neuroscience mengungkapkan, otak merencanakan dan mengkoordinasikan gerakan berulang, seperti yang dilakukan atlet dan musisi terlatih. Mereka secara cepat “meng-zip” dan membuka informasi penting tentang gerakan tersebut.

    Awalnya, otak memprogram urutan dan timing gerakan secara terpisah. Tapi, melalui latihan, kedua elemen tersebut menyatu menjadi satu rangkaian aktivitas otak yang terkoordinasi. Proses ini melibatkan jaringan neuron di korteks, yaitu lapisan luar otak yang berperan dalam mengatur gerakan.

    3. Keseimbangan yang Baik

    Atlet akrobatik, seperti pesenam mempunyai proprioseptif atau kemampuan untuk merasakan posisi tubuh mereka di ruang angkasa yang luar biasa. Jaringan neuron yang rumit di serebelum (suatu wilayah di dasar otak), memungkinkan para atlet dengan cepat menjaga keseimbangan di atas saat suatu trik tidak berjalan sesuai rencana.

    4. Fokus yang Tinggi

    Seorang atlet harus mampu membagi perhatian dengan tepat serta secara dinamis beralih di antara berbagai cara berpikir. Misalnya, dalam pertandingan sepak bola, pemain yang menggiring bola ke satu arah mungkin perlu segera beralih arah jika didekati pemain dari tim lawan.

    Keterampilan kognitif yang dibutuhkan untuk mengalihkan perhatian juga mencakup tugas-tugas dalam kehidupan sehari-hari, seperti mendengarkan podcast sambil membersihkan rumah. Sebuah studi tahun 2022 dalam International Journal of Sport and Exercise Psychology memberi bukti bahwa atlet jauh lebih baik dalam hal ini dibandingkan non atlet.

    Khususnya, atlet yang dilatih dalam olahraga tim yang membutuhkan latihan aerobik atau interval intensitas tinggi memiliki keterampilan yang jauh lebih baik di bidang ini. Para peneliti menemukan bahwa mereka menonjol karena fleksibilitas kognitif dan kemampuan mereka untuk mengalokasikan perhatian dengan tepat.

    Manfaat kognitif dari latihan atletik juga bisa dirasakan seumur hidup. Hal ini dialami oleh mendiang atlet lintasan dan lapangan asal Kanada, Olga Kotelko yang memegang lebih dari 30 rekor dunia.

    Sebelum meninggal di usia 95 tahun, salah satu penulis studi Jurnal Internasional Psikologi Olahraga dan Latihan dan direktur Pusat Kesehatan Kognitif dan Otak di Universitas Northeastern di Boston, Art Krame dan rekannya mempelajari otaknya di laboratorium.

    Seiring bertambahnya usia, “materi putih” atau koneksi antara neuron di berbagai wilayah otak menurun. Tapi, tim menemukan bahwa Olga yang saat itu berusia pertengahan 90-an memiliki materi putih yang sangat utuh, sebanding dengan wanita kurang aktif yang berusia lebih dari tiga dekade lebih muda.

    Selain itu, Olga lebih cepat dalam merespons tugas-tugas kognitif dari pada orang-orang non-usia lainnya yang diuji dalam penelitian terpisah dan independen. Dia juga memiliki ingatan yang lebih baik daripada mereka.

    Kendati demikian, kesimpulan ini tidak bisa ditarik dari satu atlet, serta tidak semua olahraga tingkat elit dikaitkan dengan orang yang bertahan hingga usia lanjut dan tetap bugar seperti Olga. Para ilmuwan masih mencari tahu olahraga mana yang memberi manfaat tersebut, mana yang tidak.

    (elk/suc)

  • Ahli Bedah Salah Operasi Pasien Ginjal, Keliru Saat Angkat Organ yang Kena Kanker

    Ahli Bedah Salah Operasi Pasien Ginjal, Keliru Saat Angkat Organ yang Kena Kanker

    Jakarta

    Ahli bedah di Prancis melakukan hal keliru saat proses pembedahan pasien kanker. Bukan mengangkat yang sakit, mereka malah mengangkat ginjal yang sehat.

    Dikutip dari Daily Mail, insiden ini terjadi pada Juli 2024 pada pria berusia 77 tahun. Ia menjalani prosedur onkologi di Sakit Henri Mondor di Créteil.

    Ketika pasien sadar dari pengangkatan ginjal atau nefrektomi, ia menemukan bahwa para dokter mengoperasi sisi yang salah. Padahal ia sudah mengisi daftar periksa yang dibuat oleh staf medis sebelum operasi dengan benar.

    Diperkirakan, nefrektomi total berpotensi memberikan pasien kanker tingkat kelangsungan hidup lima tahun lebih dari 90 persen. Tetapi, prognosis pasien yang tidak disebutkan namanya itu tidak secerah sekarang, karena ia akan bergantung hidup pada satu ginjal yang sakit.

    Meskipun nyawa pasien tidak terancam, ia akan menghadapi konsekuensi dari kesalahan prosedur tersebut.

    Terkait hal ini, keluarga pasien telah mengajukan gugatan hukum terhadap Assistance Publique-Hôpitaux de Paris (AP-HP) yang mengelola rumah sakit di Paris tersebut. Tetapi, pihak AP-HP menolak berkomentar dengan alasan kerahasiaan medis.

    Kejadian serupa juga pernah terjadi di awal tahun 2025 yang menimpa wanita di Amerika Serikat, Wendy Rappaport. Ia menggugat sebuah Rumah Sakit di Minnesota setelah ahli bedah keliru mengangkat ginjalnya yang sehat.

    Ketika Wendy dioperasi, ginjalnya seharusnya tidak diangkat sama sekali, melainkan limpanya. Hal ini membuat wanita 84 tahun itu harus menjalani dialisis atau cuci darah dan didiagnosis mengidap penyakit ginjal yang paling parah.

    Tanpa kedua ginjal yang berfungsi, tubuhnya tidak dapat lagi menyaring limbah dan kelebihan cairan dari tubuhnya dengan baik. Kondisi ini menempatkannya pada risiko komplikasi yang mengancam jiwa dan kegagalan organ, yang berpotensi membunuhnya dalam hitungan tahun.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/kna)

  • Kerap Menghambat Pengobatan Kanker Anak, Ini Pesan Dokter soal Pengobatan Alternatif

    Kerap Menghambat Pengobatan Kanker Anak, Ini Pesan Dokter soal Pengobatan Alternatif

    Jakarta

    Dokter spesialis anak dari RS Kanker Dharmais, dr Mururul Aisyi, SpA (K), menekankan pentingnya deteksi dini kanker agar tidak terjadi keterlambatan penanganan. Menurutnya, edukasi dan peningkatan pengetahuan masyarakat adalah kunci kanker bisa ditangani lebih dini demi peluang kesembuhan di atas 50 persen.

    “Yang bisa kita lakukan adalah mengenali gejala dan tanda sejak dini. Itu bisa lewat pengetahuan yang diberikan, dan sikap serta perilaku masyarakat untuk lebih waspada,” ujar dr Aisyi dalam webinar nasional Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI) di Karawang, Jawa Barat, Kamis (25/9/2025).

    Ia menjelaskan, terdapat tiga jenis keterlambatan (delay) dalam penanganan kanker, yakni patient delay (keterlambatan pasien), referral delay (keterlambatan rujukan), dan doctors delay (keterlambatan dokter). Dari ketiganya, patient delay atau keterlambatan di sisi pasien merupakan hal yang paling sering terjadi.

    dr Aisyi mencontohkan kasus yang pernah ia tangani. Anak dengan leukemia sudah mendapatkan diagnosis kanker, tetapi orang tuanya tidak kembali untuk kontrol selama sebulan penuh. Anak tersebut justru malah menjalani pengobatan alternatif.

    Walhasil, saat kembali dibawa ke dokter, kondisi anak sudah jauh lebih parah. “Kasus seperti ini yang membuat penanganan jadi terlambat dan memperburuk kondisi pasien,” ungkapnya.

    Karena itu, ia menekankan pentingnya menyamakan pemahaman antara tenaga medis dan masyarakat awam. “Kita harus cerdaskan bangsa, sehingga tidak ada lagi miskomunikasi atau celah yang bisa dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” jelasnya.

    dr Aisyi juga mengingatkan agar masyarakat tidak mudah tergiur janji palsu atau klaim penyembuhan yang tidak berbasis data.

    “Lebih baik bicara jujur berdasarkan data, walaupun pahit. Itu justru bentuk kasih sayang terbesar terhadap pasien,” pungkasnya.

    (up/up)

  • Pakar Gizi Bicara Titik Kritis-Celah Keracunan Massal di Makanan Bergizi Gratis

    Pakar Gizi Bicara Titik Kritis-Celah Keracunan Massal di Makanan Bergizi Gratis

    Jakarta

    Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang pemerintah sebagai program prioritas terkait solusi gizi anak sekolah kembali menjadi sorotan. Pasalnya, ratusan kasus keracunan belakangan semakin sering dilaporkan.

    Siswa-siswi mengalami muntah hingga diare pasca menyantap menu MBG. Hal ini memicu kekhawatiran publik lebih luas soal keamanan pangan yang didistribusikan massal.

    Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan angka keracunan pada anak di program Makan Bergizi Gratis (MBG) mencapai 6.452 kasus per 21 September 2025.

    Kasus terbaru juga terjadi di SDN 07 Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur, Rabu (24/9/2024). Dari 150 siswa penerima, enam di antaranya dilaporkan muntah setelah menyantap menu bergizi gratis, aroma kol disebut cukup menyengat dan berbau.

    Fenomena serupa terjadi di Kota Bandung. Puluhan siswa dilaporkan mengalami gejala mual, muntah, hingga diare usai mengonsumsi menu MBG yang dibagikan di sekolah

    Meski hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan tidak semua kasus disebabkan oleh keracunan, kejadian itu memperlihatkan adanya celah serius dalam rantai distribusi pangan MBG.

    Celah Keracunan di Makan Bergizi Gratis

    Pakar gizi komunitas dr Tan Shot Yen menjelaskan, celah anak mengalami keracunan makanan massal terletak pada aspek pengolahan dan distribusi makanan. Menurutnya, suhu penyimpanan merupakan titik rawan yang kerap terabaikan.

    “Di rentang suhu 5 sampai 60 derajat Celsius, itu disebut suhu kritis. Bakteri, jamur, hingga mikroba berbahaya bisa tumbuh dengan cepat. Jadi jangan heran kalau makanan yang dibiarkan di suhu ruang dalam waktu lama akhirnya basi,” terangnya.

    Ia mencontohkan praktik katering pesta atau hajatan yang selalu meletakkan makanan di atas pemanas. “Itu bukan semata supaya makanan terasa hangat, tapi untuk mencegah bakteri berkembang,” ujarnya.

    Karenanya, dr Tan menilai distribusi MBG sebaiknya tidak dilakukan sembarangan. Salah satu solusi yang benar-benar memastikan suhu pangan aman adalah menggeser suplai MBG langsung ke kantin sekolah, atau memastikan setiap makanan disimpan dalam wadah berpemanas sampai akhirnya dibagikan ke siswa.

    Perlunya Keterlibatan Lebih Luas

    Lebih jauh, dr Tan menekankan perlunya pendekatan pentahelix dalam mengawal program ini. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri, tetapi harus menggandeng organisasi profesi gizi seperti Persagi, akademisi, tenaga pelaksana gizi di lapangan.

    “Tenaga gizi di puskesmas dan kader posyandu mestinya bisa dilibatkan karena mereka paling paham kondisi anak-anak di lapangan. Kalau prosesnya tertutup, risiko salah menu atau distribusi makanan basi akan terus berulang,” katanya.

    Ia juga menyoroti adanya potensi program MBG dimanfaatkan sebagai etalase jualan produk tertentu, alih-alih fokus pada pemenuhan gizi anak. “Kalau mau melibatkan pelaku usaha, pastikan kontribusinya nyata, misalnya dengan menyediakan dapur mobil berpemanas, bukan sekadar memasok produk instan,” tambahnya.

    Kualitas makanan, rantai distribusi, hingga mekanisme pengawasan harus diperketat agar tujuan utama program ini, memperbaiki gizi anak Indonesia, tidak berbalik menjadi masalah kesehatan baru.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

    Gaduh Keracunan MBG

    7 Konten

    Ribuan anak sekolah dilaporkan mengalami keracunan usai menerima Makan Bergizi Gratis (MBG). Apa saja kemungkinan penyebabnya, dan bagaimana mencegahnya di kemudian hari?

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Video Kritik Klaim Tylenol Trump, WHO Ingatkan Kebijakan Berlandaskan Sains

    Video Kritik Klaim Tylenol Trump, WHO Ingatkan Kebijakan Berlandaskan Sains

    Jakarta

    Pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan jajarannya terkait keterkaitan Tylenol dan vaksin terhadap autisme bikin geger. Setelah diprotes oleh kalangan medis dan peneliti autisme, kini giliran WHO (World Health Organization) alias Organisasi Kesehatan Dunia yang angkat bicara.

    Juru bicara WHO Tarik Jasarevic mengingatkan agar penanganan isu kesehatan dilakukan dengan mencermati secara benar landasan sainsnya. “Sekali lagi kami sangat berharap semua badan kesehatan nasional yang menangani berbagai isu kesehatan akan benar-benar mencermati apa yang dikatakan sains,” jelas Tarik saat dimintai pendapat seputar kontroversi ini.

    “Ada beberapa studi observasional yang menunjukkan kemungkinan hubungan antara paparan asetaminofen (bahan aktif dalam Tylenol) atau parasetamol sebelum kelahiran dengan autisme. Namun, buktinya tetap tidak konsisten,” tegasnya.

    Sebelumnya, Donald Trump ditemani Menteri Kesehatan (Menkes) AS Robert F. Kennedy Jr. mengatakan di konferensi pers, Senin (22/9), bahwa ada keterkaitan antara konsumsi Tylenol pada ibu hamil dengan autisme. “Asetaminofen, yang pada dasarnya dikenal sebagai Tylenol selama kehamilan dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko autisme,” ucap Trump.

    Tonton berita video lainnya di sini…

    (/)

    donald trump trump who tylenol asetaminofen autisme sains

  • 6 Tebak Gambar Ini Gampang Dipecahkan, Nggak Bisa Jawab? Harus Diasah Lagi Otaknya

    6 Tebak Gambar Ini Gampang Dipecahkan, Nggak Bisa Jawab? Harus Diasah Lagi Otaknya

    Asah Otak

    Aida Adha Siregar – detikHealth

    Kamis, 25 Sep 2025 14:11 WIB

    Jakarta – Bukan soal hitung-hitungan saja yang bisa melatih fungsi otak, tapi menebak kata pada gambar ini juga bisa mengasah otak! Bisa menjawab semua?

  • Video: Dear Trump, Klaim Tylenol Picu Autisme Dibantah WHO Nih!

    Video: Dear Trump, Klaim Tylenol Picu Autisme Dibantah WHO Nih!

    Video: Dear Trump, Klaim Tylenol Picu Autisme Dibantah WHO Nih!

  • Potret Pilu Ribuan Anak Sekolah Jadi Korban Makan Bergizi Gratis

    Potret Pilu Ribuan Anak Sekolah Jadi Korban Makan Bergizi Gratis

    Foto Health

    Rafida Fauzia – detikHealth

    Kamis, 25 Sep 2025 13:10 WIB

    Bandung – Ribuan siswa di Jawa Barat dilarikan ke klinik darurat usai menyantap makan bergizi gratis. Program andalan pemerintah ini kembali menuai sorotan publik.