Jenis Media: Internasional

  • Pilu Warga India Dideportasi AS: Pertaruhkan Segalanya, Tapi Gagal

    Pilu Warga India Dideportasi AS: Pertaruhkan Segalanya, Tapi Gagal

    Jakarta

    Harwinder Singh banyak merenung dalam 40 jam penerbangan pulang dari Texas menuju Kota Amritsar, negara bagian Punjab, India. Perjalanan dengan pesawat militer AS ini adalah babak terakhir dari cobaan yang dihadapinya mulai Juni 2024 lalu. Pada saat itu, Singh membayar seorang agen seharga lebih dari empat juta rupee (atau setara dengan sekitar 44.500 Euro) untuk menempuh perjalanan ke AS.

    Agen tersebut meyakinkan pria berusia 41 tahun itu bahwa ia dapat mencapai AS secara legal dalam waktu dua minggu. “Namun, perjalanan itu membawa saya melewati Qatar, Brasil, Peru, Kolombia, Panama, Nikaragua dan Meksiko – sering kali dalam kondisi yang tidak menentu, dengan harapan dapat tiba di ‘the land of opportunity’,” kata Singh dalam sebuah wawancara dengan DW.

    Agennya telah menyelundupkan Singh melalui “rute keledai” – istilah yang terkenal di India untuk rute migrasi ilegal dan berisiko.Rute ini digunakan oleh orang-orang yang ingin mencapai Amerika Serikat atau negara-negara Barat lainnya tanpa dokumen yang sah. Perjalanan yang berbahaya ini biasanya melibatkan beberapa persinggahan di negara-negara yang berbeda.

    Singh melaporkan bahwa ia dan para migran lainnya bertahan hidup dengan makanan seadanya selama perjalanan mereka dan sering kali dipaksa untuk melintasi medan yang berat – dalam kondisi cuaca yang ekstrim.

    Sebagai contoh, ia dibawa bersama sekelompok migran dengan perahu kecil ke laut lepas menuju Meksiko. Selama penyeberangan, satu orang jatuh ke dalam air tanpa jaket pelampung – mereka tidak dapat diselamatkan. “Saya melihat seorang lagi meninggal di hutan Panama,” kata Singh.

    Gagal dan kehilangan segalanya

    Pada akhir Januari, tak lama sebelum rencana masuk ke Amerika Serikat, Singh ditangkap di Meksiko dan diserahkan kepada patroli perbatasan AS. Dia menghabiskan beberapa minggu di pusat penahanan sebelum akhirnya kaki dan tangannya dibelenggu lalu dimasukkan ke dalam pesawat militer AS.

    Bersama dengan lebih dari 100 migran yang dideportasi lainnya, yang berasal dari negara bagian Punjab, Gujarat, Haryana, Uttar Pradesh dan Maharashtra, Singh pun diterbangkan kembali ke India.

    Di antara penumpang yang dideportasi terdapat 19 wanita dan 13 anak di bawah umur – termasuk seorang anak laki-laki berusia empat tahun dan dua anak perempuan berusia lima dan tujuh tahun.

    “Saya sangat terpukul setelah mempertaruhkan segalanya – uang, keselamatan, dan bahkan martabat saya – dengan harapan dapat memberikan masa depan yang lebih baik bagi keluarga saya” kata Singh, ayah dua anak tersebut.

    Berapa banyak warga India di AS tanpa dokumen resmi?

    Berdasarkan data terbaru dari Pew Research Center yang berbasis di Washington di tahun 2022 diperkirakan ada sekitar 725.000 imigran ilegal dari India di Amerika Serikat- menjadikan India ranking ketiga setelah Meksiko dan El Salvador.

    Sebaliknya, Migration Policy Institute memberikan angka yang jauh lebih rendah untuk tahun yang sama yakni 375.000 imigran ilegal dari India, mendudukkan India di rangking kelima.

    Terlepas dari angka-angka tersebut, India dan Amerika Serikat telah lama menegosiasikan deportasi. Menurut laporan eksklusif Bloomberg tahun 2024, pihak berwenang AS telah mengidentifikasi hampir 18.000 migran India tidak berdokumen akan dideportasi.

    Tantangan setelah “kembali”

    Banyak dari mereka yang telah kembali kini menghadapi tantangan yang sangat besar. Beberapa dari mereka telah menginvestasikan seluruh tabungan mereka untuk bisa sampai ke AS, banyak yang kini terlilit hutang.

    “Ini sangat sulit dan saya tidak bisa memikirkan bagaimana ke depan. Satu-satunya yang melegakan adalah suami saya telah kembali meski hutangnya sangat banyak,” kata Kuljinder Kaur, istri Harwinder Singh. “Untuk saat ini, biarkanlah kami sendiri, sehat terlebih dahulu.”

    Migran yang ditinggalkan dalam kesulitan

    Akashdeep Singh, yang ikut dalam penerbangan deportasi, juga mengatakan kepada DW bahwa hal itu tak hanya beresiko secara keuangan tetapi juga kesehatan emosional keluarganya demi sebuah kesempatan untuk hidup di AS.

    Pria berusia 23 tahun dari sebuah desa dekat Amritsar itu menjual sebagian besar tanahnya dan mengambil pinjaman sebesar 6 juta rupee (setara dengan 66.000 euro) untuk membiayai perjalanannya.

    Sekitar delapan bulan sebelum dideportasi, ia pindah ke Dubai dengan harapan dapat bekerja sebagai sopir truk. Namun tidak berhasil, sehingga ia memutuskan untuk menggunakan jaringan penyelundupan untuk sampai ke AS.

    “Saya ditangkap pada bulan Januari. Itu sangat mengerikan dan saya tidak ingin menceritakannya secara rinci – tetapi saya tidak akan pernah bisa melupakan aib ini,” kata Singh. Akashdeep tidak memberikan rincian: “Jangan tanya saya apa yang memotivasi saya untuk mengambil keputusan yang berisiko seperti itu.”

    Trump perketat kebijakan imigrasi

    Deportasi dari AS ke India ini merupakan bagian dari tindakan keras komprehensif terhadap migrasi ilegal di bawah Presiden AS Donald Trump,yang telah menjadikan penegakan hukum imigrasi yang ketat sebagai prioritas politiknya.

    Kali pertama penggunaan pesawat militer AS, bukan pesawat komersil untuk mendeportasi 104 warga negara India ini sangat kontroversial. Sebuah keputusan yang memberi pesan simbolis dan politis yang jelas.

    Deportasi ini terjadi sebelum kunjungan Perdana Menteri India, Narendra Modi, ke Washington minggu depan. Waktu dan perlakuan terhadap para deportan oleh pihak berwenang AS memicu kritik tajam di India – terutama dari partai-partai oposisi India yang mempertanyakan tindakan AS.

    Menteri Luar Negeri India, Subrahmanyam Jaishankar, dalam sebuah pernyataan resmi di hadapan majelis parlemen menyatakan bahwa pembelengguan selama penerbangan deportasi sejalan dengan standar procedure di AS. Selanjutnya ia mengatakan bahwa New Delhi telah melakukan kontak dengan Washington, memastikan bahwa para deportan tidak diperlakukan dengan buruk.

    “Prosedur standar untuk deportasi dengan pesawat ICE [US Immigration and Customs Enforcement atau Penegakan Imigrasi dan Bea Cukai AS], yang ada sejak tahun 2012, melibatkan penggunaan belenggu,” Jaishankar menjelaskan ketika ditanya tentang kondisi deportasi.

    Di bandara Amritsar, Swaran Singh (55), ayah dari Akashdeep Singh, menunggu kepulangan anaknya. Terlepas dari beban keuangan yang sangat besar, ia menekankan bahwa kepulangannya ke rumah dengan selamat adalah hal yang paling penting baginya.

    “Agen berjanji kepada saya bahwa perjalanan anak saya akan aman. Saya mempercayainya – tetapi sekarang semuanya hilang. Setidaknya, saya memiliki anak saya kembali, dan itulah yang terpenting. Masa depan kami tidak pasti dan mengkhawatirkan, karena kami memiliki utang yang sangat besar untuk dilunasi,” katanya. “Kenyataan pahitnya adalah bahwa kami – seperti banyak keluarga di Punjab dan di tempat lain di negara ini – menghadapi kehancuran finansial. Ditambah lagi dengan stigmatisasi sosial, yang begitu buruk ketika kerabat kami dikembalikan dengan cara seperti ini.”

    Diadaptasi dari artikel DW Bahasa Inggris

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Warga India yang dideportasi AS: “Mempertaruhkan Segalanya, Namun Gagal” – Halaman all

    Warga India yang dideportasi AS: “Mempertaruhkan Segalanya, Namun Gagal” – Halaman all

    Harwinder Singh banyak merenung dalam 40 jam penerbangan pulang dari Texas menuju Kota Amritsar, negara bagian Punjab, India. Perjalanan dengan pesawat militer AS ini adalah babak terakhir dari cobaan yang dihadapinya mulai Juni 2024 lalu. Pada saat itu, Singh membayar seorang agen seharga lebih dari empat juta rupee (atau setara dengan sekitar 44.500 Euro) untuk menempuh perjalanan ke AS.

    Agen tersebut meyakinkan pria berusia 41 tahun itu bahwa ia dapat mencapai AS secara legal dalam waktu dua minggu. “Namun, perjalanan itu membawa saya melewati Qatar, Brasil, Peru, Kolombia, Panama, Nikaragua dan Meksiko – sering kali dalam kondisi yang tidak menentu, dengan harapan dapat tiba di ‘the land of opportunity’,” kata Singh dalam sebuah wawancara dengan DW.

    Agennya telah menyelundupkan Singh melalui “rute keledai” – istilah yang terkenal di India untuk rute migrasi ilegal dan berisiko.Rute ini digunakan oleh orang-orang yang ingin mencapai Amerika Serikat atau negara-negara Barat lainnya tanpa dokumen yang sah. Perjalanan yang berbahaya ini biasanya melibatkan beberapa persinggahan di negara-negara yang berbeda.

    Singh melaporkan bahwa ia dan para migran lainnya bertahan hidup dengan makanan seadanya selama perjalanan mereka dan sering kali dipaksa untuk melintasi medan yang berat – dalam kondisi cuaca yang ekstrim.

    Sebagai contoh, ia dibawa bersama sekelompok migran dengan perahu kecil ke laut lepas menuju Meksiko. Selama penyeberangan, satu orang jatuh ke dalam air tanpa jaket pelampung – mereka tidak dapat diselamatkan. “Saya melihat seorang lagi meninggal di hutan Panama,” kata Singh.

    Gagal dan kehilangan segalanya

    Pada akhir Januari, tak lama sebelum rencana masuk ke Amerika Serikat, Singh ditangkap di Meksiko dan diserahkan kepada patroli perbatasan AS. Dia menghabiskan beberapa minggu di pusat penahanan sebelum akhirnya kaki dan tangannya dibelenggu lalu dimasukkan ke dalam pesawat militer AS.

    Bersama dengan lebih dari 100 migran yang dideportasi lainnya, yang berasal dari negara bagian Punjab, Gujarat, Haryana, Uttar Pradesh dan Maharashtra, Singh pun diterbangkan kembali ke India.

    Di antara penumpang yang dideportasi terdapat 19 wanita dan 13 anak di bawah umur – termasuk seorang anak laki-laki berusia empat tahun dan dua anak perempuan berusia lima dan tujuh tahun.

    “Saya sangat terpukul setelah mempertaruhkan segalanya – uang, keselamatan, dan bahkan martabat saya – dengan harapan dapat memberikan masa depan yang lebih baik bagi keluarga saya” kata Singh, ayah dua anak tersebut.

    Berapa banyak warga India di AS tanpa dokumen resmi?

    Berdasarkan data terbaru dari Pew Research Center yang berbasis di Washington di tahun 2022 diperkirakan ada sekitar 725.000 imigran ilegal dari India di Amerika Serikat- menjadikan India ranking ketiga setelah Meksiko dan El Salvador.

    Sebaliknya, Migration Policy Institute memberikan angka yang jauh lebih rendah untuk tahun yang sama yakni 375.000 imigran ilegal dari India, mendudukkan India di rangking kelima.

    Terlepas dari angka-angka tersebut, India dan Amerika Serikat telah lama menegosiasikan deportasi. Menurut laporan eksklusif Bloomberg tahun 2024, pihak berwenang AS telah mengidentifikasi hampir 18.000 migran India tidak berdokumen akan dideportasi.

    Tantangan setelah “kembali”

    Banyak dari mereka yang telah kembali kini menghadapi tantangan yang sangat besar. Beberapa dari mereka telah menginvestasikan seluruh tabungan mereka untuk bisa sampai ke AS, banyak yang kini terlilit hutang.

    “Ini sangat sulit dan saya tidak bisa memikirkan bagaimana ke depan. Satu-satunya yang melegakan adalah suami saya telah kembali meski hutangnya sangat banyak,” kata Kuljinder Kaur, istri Harwinder Singh. “Untuk saat ini, biarkanlah kami sendiri, sehat terlebih dahulu.”

    Migran yang ditinggalkan dalam kesulitan

    Akashdeep Singh, yang ikut dalam penerbangan deportasi, juga mengatakan kepada DW bahwa hal itu tak hanya beresiko secara keuangan tetapi juga kesehatan emosional keluarganya demi sebuah kesempatan untuk hidup di AS.

    Pria berusia 23 tahun dari sebuah desa dekat Amritsar itu menjual sebagian besar tanahnya dan mengambil pinjaman sebesar 6 juta rupee (setara dengan 66.000 euro) untuk membiayai perjalanannya.

    Sekitar delapan bulan sebelum dideportasi, ia pindah ke Dubai dengan harapan dapat bekerja sebagai sopir truk. Namun tidak berhasil, sehingga ia memutuskan untuk menggunakan jaringan penyelundupan untuk sampai ke AS.

    “Saya ditangkap pada bulan Januari. Itu sangat mengerikan dan saya tidak ingin menceritakannya secara rinci – tetapi saya tidak akan pernah bisa melupakan aib ini,” kata Singh. Akashdeep tidak memberikan rincian: “Jangan tanya saya apa yang memotivasi saya untuk mengambil keputusan yang berisiko seperti itu.”

    Trump perketat kebijakan imigrasi

    Deportasi dari AS ke India ini merupakan bagian dari tindakan keras komprehensif terhadap migrasi ilegal di bawah Presiden AS Donald Trump,yang telah menjadikan penegakan hukum imigrasi yang ketat sebagai prioritas politiknya.

    Kali pertama penggunaan pesawat militer AS, bukan pesawat komersil untuk mendeportasi 104 warga negara India ini sangat kontroversial. Sebuah keputusan yang memberi pesan simbolis dan politis yang jelas.

    Deportasi ini terjadi sebelum kunjungan Perdana Menteri India, Narendra Modi, ke Washington minggu depan. Waktu dan perlakuan terhadap para deportan oleh pihak berwenang AS memicu kritik tajam di India – terutama dari partai-partai oposisi India yang mempertanyakan tindakan AS.

    Menteri Luar Negeri India, Subrahmanyam Jaishankar, dalam sebuah pernyataan resmi di hadapan majelis parlemen menyatakan bahwa pembelengguan selama penerbangan deportasi sejalan dengan standar procedure di AS. Selanjutnya ia mengatakan bahwa New Delhi telah melakukan kontak dengan Washington, memastikan bahwa para deportan tidak diperlakukan dengan buruk.

    “Prosedur standar untuk deportasi dengan pesawat ICE [US Immigration and Customs Enforcement atau Penegakan Imigrasi dan Bea Cukai AS], yang ada sejak tahun 2012, melibatkan penggunaan belenggu,” Jaishankar menjelaskan ketika ditanya tentang kondisi deportasi.

    Di bandara Amritsar, Swaran Singh (55), ayah dari Akashdeep Singh, menunggu kepulangan anaknya. Terlepas dari beban keuangan yang sangat besar, ia menekankan bahwa kepulangannya ke rumah dengan selamat adalah hal yang paling penting baginya.

    “Agen berjanji kepada saya bahwa perjalanan anak saya akan aman. Saya mempercayainya – tetapi sekarang semuanya hilang. Setidaknya, saya memiliki anak saya kembali, dan itulah yang terpenting. Masa depan kami tidak pasti dan mengkhawatirkan, karena kami memiliki utang yang sangat besar untuk dilunasi,” katanya. “Kenyataan pahitnya adalah bahwa kami – seperti banyak keluarga di Punjab dan di tempat lain di negara ini – menghadapi kehancuran finansial. Ditambah lagi dengan stigmatisasi sosial, yang begitu buruk ketika kerabat kami dikembalikan dengan cara seperti ini.”

  • Trump Ngotot Ingin Miliki Gaza, Raja Yordania Bilang Gini    
        Trump Ngotot Ingin Miliki Gaza, Raja Yordania Bilang Gini

    Trump Ngotot Ingin Miliki Gaza, Raja Yordania Bilang Gini Trump Ngotot Ingin Miliki Gaza, Raja Yordania Bilang Gini

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menegaskan gagasannya untuk merelokasi warga Palestina dan membangun kembali Gaza di bawah kepemilikan AS. Gagasan itu ditolak keras oleh Raja Yordania Abdullah II, yang bertemu langsung dengan Trump di Gedung Putih pada Selasa (11/2) waktu setempat.

    Raja Abdullah II, seperti dilansir AFP, Rabu (12/2/2025), menjelaskan bahwa dirinya menegaskan posisi kuat Yordania menolak relokasi warga Palestina dari Jalur Gaza, seperti yang dicetuskan Trump beberapa waktu terakhir.

    “Saya menegaskan kembali posisi teguh Yordania terhadap pemindahan warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat. Ini adalah posisi Arab yang bersatu,” tegas Raja Abdullah II dalam pernyataannya via media sosial setelah melakukan pembicaraan dengan Trump.

    “Membangun kembali Gaza tanpa menggusur warga Palestina dan mengatasi situasi kemanusiaan yang mengerikan harus menjadi prioritas semua pihak,” cetusnya.

    Namun, Raja Abdullah II juga mengatakan kepada Trump bahwa Mesir sedang menyusun rencana soal bagaimana negara-negara di kawasan Timur Tengah dapat “bekerja” dengan Trump soal gagasan mengejutkan tersebut.

    Dalam pembicaraan di Gedung Putih, Raja Abdullah II tampaknya berhasil membujuk Trump, yang sebelumnya melontarkan kemungkinan menghentikan bantuan AS ke Yordania jika negara itu tidak mau menampung warga Gaza.

    “Salah satu hal yang bisa kita lakukan segera adalah merawat 2.000 anak, anak-anak penderita kanker yang berada dalam kondisi sakit parah. Itu dimungkinkan untuk terjadi,” kata Raja Abdullah II ketika Trump menyambut dirinya dan Putra Mahkota Hussein di Ruang Oval Gedung Putih.

    Trump menjawab bahwa hal tersebut merupakan “tindakan yang sangat indah” dan mengakui dirinya tidak mengetahuinya sebelum kedatangan Raja Yordania di Gedung Putih.

    Lihat Video: Bertemu Trump, Yordania Akan Terima 2 Ribu Anak Gaza yang Sakit

    Trump mengejutkan dunia dengan mencetuskan gagasan kontroversial pekan lalu agar AS “mengambil alih” Gaza, dan bahkan mengusulkan “kepemilikan” atas Gaza. Dia membayangkan AS akan membangun kembali secara ekonomi wilayah yang hancur akibat perang itu.

    Namun rencana Trump itu hanya dilakukan setelah merelokasi warga Gaza ke negara-negara lainnya, seperti Yordania dan Mesir, tanpa ada rencana bagi mereka untuk kembali tinggal di sana.

    Raja Abdullah II mendesak agar bersabar dan mengatakan Mesir akan memberikan respons, kemudian negara-negara Arab akan membahasnya dalam pertemuan di Riyadh, Arab Saudi.

    “Mari kita tunggu sampai Mesir bisa datang dan menyampaikan hal ini kepada presiden dan tidak terburu-buru,” ucapnya.

    Trump, di hadapan Raja Abdullah II, menarik kembali pernyataannya soal penghentian bantuan ke Yordania dan Mesir, dengan mengatakan: “Saya tidak perlu mengancam hal itu. Saya yakin kita lebih baik dari hal semacam itu.”

    Lihat Video: Bertemu Trump, Yordania Akan Terima 2 Ribu Anak Gaza yang Sakit

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Trump Ancam Kekacauan, Warga Gaza: Apa yang Lebih Buruk dari Kami Alami?    
        Trump Ancam Kekacauan, Warga Gaza: Apa yang Lebih Buruk dari Kami Alami?

    Trump Ancam Kekacauan, Warga Gaza: Apa yang Lebih Buruk dari Kami Alami? Trump Ancam Kekacauan, Warga Gaza: Apa yang Lebih Buruk dari Kami Alami?

    Gaza City

    Warga Palestina menolak keras untuk meninggalkan Jalur Gaza meskipun wilayah itu mengalami kehancuran besar-besaran akibat perang antara Hamas dan Israel. Mereka mengecam rencana Trump untuk memiliki Gaza dan merelokasi warganya ke lokasi-lokasi lainnya.

    Warga Gaza juga mengecam ancaman Trump soal kekacauan akan terjadi jika para sandera Israel yang tersisa tidak dibebaskan, setelah Hamas mengatakan akan menunda pembebasan sandera karena ada pelanggaran kesepakatan gencatan senjata oleh Israel.

    “Apa yang lebih buruk dari yang sudah kami alami? Apa yang lebih buruk dari pembunuhan?” ucap seorang warga Palestina bernama Jomaa Abu Kosh, yang berasal dari Rafah, Gaza bagian selatan, seperti dilansir Reuters, Rabu (12/2/2025). Dia berbicara di samping rumah-rumah yang hancur akibat gempuran Israel.

    “Kami dipermalukan, anjing jalanan menjalani kehidupan yang lebih baik dari kami,” ujar seorang warga Gaza lainnya, Samira Al-Sabea.

    “Dan Trump ingin menjadikan Gaza seperti neraka? Ini tidak akan pernah terjadi,” tegasnya.

    Di bawah gagasan Trump, sebanyak 2,2 juta jiwa penduduk Gaza akan direlokasi ke negara-negara lainnya dan AS akan mengambil alih kendali, bahkan mengambil alih kepemilikan atas Gaza, untuk mengembangkan wilayah Palestina itu secara ekonomi.

    Baru-baru ini, Trump bahkan menyebut Gaza sebagai lokasi “pengembangan real estate untuk masa depan”, dan menegaskan warga Palestina tidak memiliki hak untuk kembali berdasarkan rencana pengambilalihan yang dilakukan AS.

    Lihat juga Video Trump soal Rencana Relokasi Warga Gaza: Mereka Hidup di Neraka

    Rencana semacam ini menuai penolakan keras di kalangan warga Gaza.

    “Gagasan menjual rumah atau sebidang tanah yang saya miliki kepada perusahaan asing untuk meninggalkan tanah air dan tidak pernah kembali sepenuhnya ditolak. Saya mengakar kuat di tanah air saya dan akan selalu demikian,” tegas salah satu warga Gaza bernama Shaban Shaqaleh (47).

    Warga Palestina khawatir jika rencana Trump akan memicu terjadinya Nakba baru, yang mengingatkan pada peristiwa tahun 1948 silam ketika mereka mengalami pengusiran massal saat berdirinya Israel.

    “Kami tidak ingin meninggalkan negara kami, tetapi juga membutuhkan solusi. Para pemimpin kami — Hamas, PA (Otoritas Palestina), dan faksi-faksi lainnya — harus mencari solusi,” ucap seorang warga Gaza bernama Jehad (40), yang berprofesi sebagai tukang kayu.

    Rencana Trump menguasai Gaza juga ditolak warga Palestina di Tepi Barat. “Apakah dia menguasai Gaza sehingga meminta orang-orang meninggalkannya? Soal Trump, saya hanya menyalahkan rakyat Amerika. Bagaimana bisa negara seperti itu, negara adidaya, menerima orang seperti Trump?” kata warga Tepi Barat bernama Nader Imam.

    “Apa yang akan dilakukan Trump? Tidak ada rasa takut, kami mengandalkan Tuhan,” ucap warga Tepi Barat lainnya, Mohammed Salah Tamimi.

    Lihat juga Video Trump soal Rencana Relokasi Warga Gaza: Mereka Hidup di Neraka

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Tolak Rencana Trump, Warga Gaza Khawatir Peristiwa Nakba 1948 Terulang: Ini Tanah Air Saya – Halaman all

    Tolak Rencana Trump, Warga Gaza Khawatir Peristiwa Nakba 1948 Terulang: Ini Tanah Air Saya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Warga Gaza bernama Shaban Shaqaleh (47) dengan tegas menolak rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengusir penduduk Palestina dari Jalur Gaza.

    Setelah rumahnya di Gaza hancur dalam serangan militer Israel, Shaban Shaqaleh bermaksud membawa keluarganya berlibur ke Mesir setelah gencatan senjata Hamas-Israel benar-benar berlaku.

    Namun, ia berubah pikiran setelah Donald Trump mengumumkan rencana untuk memindahkan penduduk Palestina dari Gaza dan membangun kembali daerah kantong itu.

    Trump juga menyatakan penduduk Palestina di Gaza seharusnya tidak memiliki hak untuk kembali.

    Kini warga Palestina khawatir rencana Trump akan seperti peristiwa Nakba atau Malapetaka lainnya, ketika mereka mengalami pengusiran massal pada tahun 1948 dengan pembentukan Israel.

    “Kami ngeri dengan kehancuran, pengungsian berulang kali, dan kematian, dan saya ingin pergi agar saya dapat mengamankan masa depan yang aman dan lebih baik untuk anak-anak saya — sampai Trump mengatakan apa yang dikatakannya,” kata Shaqaleh kepada Reuters.

    “Setelah pernyataan Trump, saya membatalkan rencana itu. Saya takut pergi dan tidak akan pernah bisa kembali. Ini Tanah Air saya,” tegasnya.

    Di bawah skema Trump, sekitar 2,2 juta warga Palestina di Gaza akan dimukimkan kembali dan Amerika Serikat akan mengambil alih kendali dan kepemilikan wilayah pesisir tersebut.

    AS kemudian berencana membangun kembali Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah”.

    “Ide menjual rumah saya atau sebidang tanah yang saya miliki kepada perusahaan asing untuk meninggalkan tanah air dan tidak pernah kembali sama sekali ditolak.”

    “Saya berakar dalam di tanah tanah air saya dan akan selalu demikian,” jelas Shaqaleh.

    Adapun lingkungan Tel Al-Hawa di Kota Gaza, menjadi tempat puluhan gedung bertingkat dulu berdiri, kini sebagian besar kosong.

    Tidak ada air bersih atau listrik dan seperti kebanyakan bangunan di sana, rumah Shaqaleh hancur.

    Trump Temui Raja Yordania

    Pada Selasa (11/2/2025), Donald Trump menjamu Raja Yordania Abdullah II di Gedung Putih dan mengulangi desakannya bahwa Gaza entah bagaimana dapat dikosongkan dari semua penduduk, dikontrol oleh AS, dan dibangun kembali sebagai kawasan wisata.

    Dilansir AP News, ini adalah skema yang berani, tetapi sangat tidak mungkin, untuk mengubah Timur Tengah secara dramatis dan akan mengharuskan Yordania dan negara-negara Arab lainnya untuk menerima lebih banyak warga Gaza — sesuatu yang ditegaskan Abdullah setelah pertemuan mereka yang ia tentang.

    Pasangan itu bertemu di Ruang Oval dengan Menteri Luar Negeri Marco Rubio yang juga hadir.

    Trump mengisyaratkan bahwa ia tidak akan menahan bantuan AS ke Yordania atau Mesir jika mereka tidak setuju untuk secara drastis meningkatkan jumlah orang dari Gaza yang mereka tampung.

    “Saya tidak perlu mengancam hal itu. Saya yakin kita berada di atas itu,” kata Trump.

    Hal itu bertentangan dengan usulan presiden dari Partai Republik sebelumnya bahwa menahan bantuan dari Washington adalah suatu kemungkinan.

    Sementara itu, Abdullah berulang kali ditanya tentang rencana Trump untuk membersihkan Gaza dan mengubahnya menjadi resor di Laut Mediterania.

    Ia tidak memberikan komentar substantif tentang hal itu dan tidak berkomitmen pada gagasan bahwa negaranya dapat menerima sejumlah besar warga Gaza.

    Namun, ia mengatakan bahwa Yordania bersedia “segera” menerima sebanyak 2.000 anak di Gaza yang menderita kanker atau sakit lainnya.

    “Saya akhirnya melihat seseorang yang dapat membawa kita melewati garis akhir untuk membawa stabilitas, perdamaian, dan kesejahteraan bagi kita semua di kawasan ini,” kata Abdullah tentang Trump dalam pernyataannya di awal pertemuan.

    DONALD TRUMP – Foto ini diambil pada Selasa (11/2/2025) dari publikasi resmi Donald J. Trump pada 20 November 2024 setelah memenangkan Pilpres Amerika Serikat. Pada 10 Februari 2025, Presiden AS Donald Trump mengancam Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) dengan neraka di Jalur Gaza jika Hamas menunda pembebasan sandera Israel pada Sabtu (15/2/2025). (Facebook Donald J. Trump)

    Abdullah meninggalkan Gedung Putih setelah sekitar dua jam dan menuju Capitol Hill untuk bertemu dengan sekelompok anggota parlemen bipartisan.

    Ia mengunggah di X bahwa selama pertemuannya dengan Trump, “Saya menegaskan kembali posisi teguh Yordania dalam menentang pemindahan warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat.”

    “Ini adalah posisi Arab yang bersatu. Membangun kembali Gaza tanpa mengusir warga Palestina dan mengatasi situasi kemanusiaan yang mengerikan harus menjadi prioritas bagi semua pihak,” ungkap Abdullah.

    Yordania adalah rumah bagi lebih dari 2 juta warga Palestina.

    Menteri luar negeri Yordania, Ayman Safadi, mengatakan minggu lalu bahwa penentangan negaranya terhadap gagasan Trump tentang pemindahan penduduk Gaza adalah “tegas dan tidak tergoyahkan.”

    Selain kekhawatiran akan membahayakan tujuan jangka panjang solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina, Mesir dan Yordania secara pribadi telah mengemukakan kekhawatiran keamanan tentang penerimaan sejumlah besar pengungsi tambahan ke negara mereka, meskipun untuk sementara.

    Trump sebelumnya mengisyaratkan bahwa penduduk Gaza bisa saja mengungsi sementara atau permanen, sebuah gagasan yang ditegur keras oleh para pemimpin di seluruh dunia Arab.

    Selain itu, Trump kembali mengusulkan bahwa gencatan senjata yang rapuh antara Hamas dan Israel dapat dibatalkan jika Hamas tidak membebaskan semua sandera yang masih ditahannya paling lambat Sabtu (15/2/2025) siang.

    Perkembangan Terkini Konflik Palestina Vs Israel

    Dikutip dari Al Jazeera, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengancam akan melanjutkan “pertempuran sengit” di Gaza jika Hamas gagal membebaskan tawanan yang ditahan di sana paling lambat Sabtu siang.

    Presiden AS Donald Trump mengatakan kepada wartawan “kami akan mengambil alih” Gaza dan mendesak Raja Yordania Abdullah untuk mengalokasikan tanah bagi warga Palestina yang mengungsi paksa.

    Abdullah mengatakan ia menentang segala bentuk pemindahan warga Palestina dan mengatakan negara-negara Arab akan datang ke AS untuk menanggapi rencana pengambilalihan oleh Washington.

    Mesir mengatakan “rencana komprehensif” tersebut akan berupaya membangun kembali Gaza tanpa memukimkan kembali warga Palestina.

    Di kota Tulkarem, pasukan Israel menyerbu sebuah masjid tempat warga Palestina terlantar dari kamp pengungsi Tulkarem dan Nur Shams yang berdekatan menginap, dan menangkap beberapa orang, Wafa melaporkan.

    Di kota Ramin, timur Tulkarem, tentara Israel menangkap seorang wanita Palestina berusia 45 tahun, Wafa melaporkan.

    Di kota terdekat Kafr al-Labad, pasukan Israel menembak dan melukai seorang pemuda Palestina di kaki.

    Militer Israel juga mengirim bala bantuan militer tambahan ke kamp pengungsi Jenin, Al Jazeera Arabic melaporkan.

    Ada beberapa serangan di kota-kota lain, termasuk Azzun, timur Qalqilya; ad-Dhahiriya, selatan Hebron; dan Urif dan Beita, selatan Nablus, menurut Al Jazeera Arabic.

    Kantor Media Pemerintah Gaza telah memperbarui jumlah korban tewas menjadi sebanyak 61.709 orang, dengan mengatakan ribuan orang yang hilang di bawah reruntuhan kini diduga tewas.

    Sebanyak 1.139 orang tewas di Israel selama serangan 7 Oktober 2023 dan lebih dari 200 orang ditawan.

    (Tribunnews.com/Nuryanti)

    Berita lain terkait Konflik Palestina Vs Israel

  • Gencatan Senjata di Gaza Terancam Batal, Hamas Sebut Israel Langgar Perjanjian

    Gencatan Senjata di Gaza Terancam Batal, Hamas Sebut Israel Langgar Perjanjian

    PIKIRAN RAKYAT – Hamas menuduh Israel melanggar kesepakatan gencatan senjata di Jalur Gaza. Pada Senin 10 Februari 2025, Abu Obaida selaku Juru bicara Sayap Militer Hamas Brigade Al-Qassam mengumumkan menunda pembebasan sandera.

    “Oleh karena (pelanggaran-pelannggaran Israel), pembebasan tahanan Zionis yang dijadwalkan Sabtu (15 Februari 2025) mendatang akan ditunda hingga pemberitahuan lebih lanjut. Sambil menunggu kepatuhan penuh penjajah terhadap perjanjian gencatan senjata,” tegasnya.

    Sementara itu pada hari yang sama, Kantor Media Pemerintah Gaza menyerukan komunitas internasional untuk menekan Israel untuk menerapkan protokol kemanusiaan.

    “Meskipun ada kesepakatan yang jelas berdasarkan protokol kemanusiaan gencatan senjata, Israel berulang kali gagal memenuhi komitmennya,” ujar media tersebut. Media ini pun menegaskan akan terjadi krisis kemanusiaan yang dahsyat bila kesepakatan ini batal.

    Media ini pun menegaskan pelanggaran tersebut mengakibatkan warga Gaza kekurangan makanan dan air, dan terputusnya pasokan pertolongan medis vital bagi warga setempat.

    Abu Obaida, membeberkan sejumlah pelanggaran gencatan senjata oleh Negeri Zionis ini. Beberapa diantaranya menunda kepulangan pengungsi Palestina ke Gaza utara, menembaki wilayah Jalur Gaza, dan menghalangi masuknya bantuan kemanusiaan.

    Karena pelanggaran ini, organisasi garis keras perjuangan Palestina ini memutuskan untuk menunda pembebasan sandera. Berdasarkan jadwal yang disepakati, mereka akan dibebaskan pada hari Sabtu 15 Februari mendatang. Penundaan ini akan berlaku hingga Israel mematuhi perjanjian gencatan senjata sepenuhnya.

    Israel Katz, pejabat pertahanan Israel, merespon pengumuman tersebut dengan mempersiapkan pasukan militernya untuk mengantisipasinya konflik lanjutan. Ia juga menilai keputusan Hamas tersebut sebagai pelanggaran terhadap kesepakatan tersebut.

    Sementara itu, keluarga sandera Israel mendesak Benjamin Netanyahu agar kesepakatan pertukaran sandera antara Israel dengan Hamas tetap berlangsung.

    Forum Sandera dan Keluarga Hilang pun meminta bantuan negara-negara mediator, termasuk Mesir dan Qatar, agar perjanjian ini terlaksana. Mereka pun meminta pemerintah Israel untuk menahan diri dari tindakan yang dapat menghalangi kesepakatan tersebut.

    Dalam kesepakatan gencatan senjata ini, Hamas sepakat membebaskan sandera warga Israel sebanyak 76 orang. Dalam fase pertama kesepakatan yang dimulai dari 19 Januari hingga awal Maret, Hamas akan membebaskan sebanyak 33 sandera.

    Namun, seiring dengan meningkatnya konflik Israel dengan Hamas di tengah fase gencatan senjata yang sedang berlangsung, bisa saja Gaza akan kembali membara dalam waktu dekat.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • 100 Wanita Dijadikan Budak Sel Telur oleh Gangster China, Diperlakukan seperti Hewan Ternak – Halaman all

    100 Wanita Dijadikan Budak Sel Telur oleh Gangster China, Diperlakukan seperti Hewan Ternak – Halaman all

    TRIBUNNEWS.com – Tiga wanita asal Thailand mengungkap praktik perbudakan oleh gangster China di Georgia.

    Pada akhir Januari 2025, tiga korban itu mengaku telah dieksploitasi sebagai budak sel telur selama setengah tahun.

    Setidaknya ada 100 wanita yang menjadi budak sel telur manusia di Georgia dan diperlakukan seperti hewan ternak.

    Dikutip dari Daily Mail, hal ini bermula saat ketiganya terpikat tawaran pekerjaan di Facebook yang menjanjikan bayaran antara 11.500 hingga 17.000 euro sebagai ibu pengganti bagi pasangan di Georgia yang tak bisa memiliki anak.

    Pada Agustus 2024, mereka berangkat ke Georgia bersama 10 wanita Thailand lainnya.

    Biaya perjalanan serta pengajuan paspor ditanggung oleh organisasi yang menawarkan pekerjaan itu.

    Mereka ditemani seorang wanita yang merupakan karyawanan dari organisasi tersebut.

    Tetapi, saat tiba di Georgia, mereka ditempatkan di rumah besar bersama sekitar 100 wanita lainnya.

    Ternyata, tawaran pekerjaan di Facebook sebagai ibu pengganti, hanyalah kedok untuk menutupi praktik perbudakan sel telur.

    “Mereka membawa kami ke sebuah rumah yang dihuni kebanyakan wanita Thailand.”

    “Mereka memberi tahu kami, tidak ada kontrak ibu pengganti atau orang tua,” kata seorang korban, dilansir Reuters.

    Di tempat itu, para wanita dipompa menggunakan hormon untuk merangsang indung telur mereka.

    Mereka kemudian dipaksa mengangkat sel telur selama satu bulan sekali.

    Salah satu korban mengatakan, mereka diperlakukan seperti hewan ternak dan “beberapa wanita bahkan tidak menerima kompensasi apapun atas sel telur mereka yang diambil.”

    “Setelah kami mendapatkan informasi ini, kami menjadi takut. Kami mencoba menghubungi orang-orang di rumah,” ujar korban yang lain.

    Tetapi, jika ingin keluar dari tempat itu, para wanita diwajibkan membayar biaya 2.000 euro untuk pemilik bisnis.

    Diketahui, telur-telur yang dikumpulkan dari para korban, telah dijual dan diperdagangkan ke negara lain untuk digunakan dalam fertilisasi in-vitro (IVF), kata pendiri yayasan Thailand untuk anak-anak dan wanita, Pavena Hongsakula, yang mendampingi korban.

    Yayasan Pavena bekerja sama dengan Interpol dan behasil membebaskan tiga wanita Thailand yang menjadi korban, setelah membayar uang tebusan.

    Tidak diketahui berapa banyak wanita yang masih ditahan di ‘peternakan manusia’.

    Pihak berwenang Thailand dan Interpol telah meluncurkan penyelidikan, sementara kepolisian Thailand mengatakan kemungkinan ada penyelamatan lain seiring perkembangan kasus ini.

    (Tribunnews.com/Pravitri Retno W)

  • Trump Bertemu Raja Yordania di Tengah Rencananya Pindahkan Warga Gaza

    Trump Bertemu Raja Yordania di Tengah Rencananya Pindahkan Warga Gaza

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bertemu dengan Raja Yordania Abdullah II di Ruang Oval Gedung Putih. Apa yang dibahas?

    Dilansir CNN, Rabu (12/2/2025), pertemuan ini berlangsung pada Selasa (11/2) waktu setempat. Para pejabat Yordania mengaku puas dengan pertemuan antara Trump dan Raja Abdullah II.

    “Kami melakukan diskusi yang sangat jujur dan menjelaskan posisi kami,” ujar pejabat tersebut kepada CNN.

    Raja Abdullah II mengatakan ada rencana lain yang diajukan oleh Mesir dan negara-negara Arab terkait masa depan Gaza, Palestina, usai komentar Trump yang ingin memindahkan warga Palestina dari Gaza. Selain itu, dia mengungkapkan negara-negara Arab akan melakukan diskusi dengan putra mahkota Saudi.

    “Saya pikir intinya adalah bagaimana kita membuat hal ini berjalan dengan baik bagi semua orang?” kata Raja Abdullah II.

    Bantuan Amerika untuk Yordania diketahui ditahan di tengah pembekuan dana asing yang lebih luas dari pemerintah. Meskipun Yordania merupakan mitra militer dan intelijen yang penting bagi AS, pemerintahan Trump belum mengeluarkan pengecualian bagi Yordania untuk mengizinkan bantuan tersebut terus berlanjut.

    Trump telah berulang kali membuat pernyataan kontroversial terkait Gaza. Dia mengaku ingin mengambil alih Gaza dan warga Palestina akan dipindah ke kawasan lain.

    Dia juga menyebut Gaza sebagai lokasi real estate masa depan. Dia mengklaim warga Palestina akan senang jika dipindah dari Gaza yang disebutnya telah hancur.

    (zap/haf)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Netanyahu Ancam Akhiri Gencatan Senjata Jika Hamas Tak Bebaskan Sandera

    Netanyahu Ancam Akhiri Gencatan Senjata Jika Hamas Tak Bebaskan Sandera

    Jakarta

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperingatkan Hamas. Netanyahu mengancam akan mengakhiri gencatan senjata di Gaza dan melanjutkan petempuran sengit jika Hamas tidak mengembalikan sanderanya pada Sabtu siang.

    Dilansir BBC, Rabu (12/2/2025), Netanyahu mengatakan dia telah memerintahkan pasukan Israel berkumpul di sekitar Gaza. Mereka berkumpul setelah Hamas mengumumkan akan menunda pembebasan sandera.

    Netanyahu juga setuju dengan pernyataan Trump yang sebelumnya menyebut membiarkan kekacauan terjadi apabila sandera tidak dikembalikan pada Sabtu.

    “Mengingat pengumuman Hamas mengenai keputusannya untuk melanggar perjanjian dan tidak membebaskan sandera kami, tadi malam saya menginstruksikan IDF [Pasukan Pertahanan Israel] untuk mengumpulkan pasukan di dalam – dan di sekitar – Jalur Gaza,” kata Netanyahu usai melakukan pertemuan dengan kabinet keamanan Israel.

    “Tindakan ini sedang dilakukan pada jam ini dan akan segera selesai,” tambahnya.

    Netanyahu kemudian mengeluarkan ultimatum yang katanya telah disetujui dengan suara bulat oleh kabinet keamanan.

    “Jika Hamas tidak mengembalikan sandera kami pada Sabtu siang, gencatan senjata akan berakhir. IDF akan melanjutkan pertempuran sengit hingga Hamas benar-benar kalah,” sambungnya.

    Sementara itu, Hamas menegaskan mereka tetap komitmen pada perjanjian gencatan senjata. Hamas mengatakan penundaan pembebasan sandera ini sebagai konsekuensi Israel yang melanggar perjanjian gencatan senjata dan menyebut Israel “bertanggung jawab atas segala penundaan”.

    Hamas diketahui menduga Israel melanggar perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati mereka. Adapun pelanggaran Israel adalah diduga memblokir bantuan kemanusiaan yang penting, namun dugaan ini dibantah Israel.

    Salah satu sumber di surat kabar lokal Israel bernama Haaretz menyebut Israel bersedia melanjutkan gencatan senjata jika kelompok tiga sandera berikutnya dibebaskan pada Sabtu (15/2) mendatang. Namun, menteri transportasi dan kabinet perang Miri, Regev, dalam akun X nya menulis:

    “Kami mematuhi pernyataan Presiden AS Donald Trump mengenai pembebasan para sandera – pada hari Sabtu, semua orang akan dibebaskan!”

    Sementara itu, IDF (militer Israel) mengatakan pihaknya telah meningkatkan tingkat kesiapan Komando Selatan – yang bertanggung jawab atas operasi di Gaza – dan akan diperkuat dengan pasukan tambahan, termasuk pasukan cadangan.

    (zap/yld)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Rusia Tuduh Prancis Dukung Neo-Nazi di Ukraina: Telah Berubah Jadi Terorisme, Kini Bermutasi – Halaman all

    Rusia Tuduh Prancis Dukung Neo-Nazi di Ukraina: Telah Berubah Jadi Terorisme, Kini Bermutasi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Rusia menuduh Prancis mendukung elemen pasukan neo-Nazi di Ukraina.

    Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Maria Zakharova menegaskan bahwa Prancis secara aktif mendukung pasukan tersebut.

    Maria Zakharova juga menyatakan bahwa neo-Nazisme di Ukraina telah berkembang menjadi terorisme.

    “Paris, omong-omong, secara resmi dan dengan beberapa kekuatan yang luar biasa, gila, mendukung neo-Nazisme, yang telah berkembang di Ukraina. Selain itu, neo-Nazisme di Ukraina ini telah berubah menjadi terorisme, yaitu, telah bermutasi,” kata Zakharova.

    Lebih lanjut dirinya menggambarkan kepemimpinan Ukraina berfungsi seperti sel teroris internasional.

    Zakharova juga menegaskan bahwa gerakan neo-Nazi Ukraina sering melakukan serangan yang menargetkan warga sipil, termasuk anak-anak, wanita, dan orang tua.

     Zakharova menuduh Prancis mempertahankan gerakan neo-Nazi dengan bantuan militer, keuangan, dan politik, mengutip Al Mayadeen, Rabu (12/2/2025).

    Dirinya juga mengkritik keputusan Prancis yang telah mengirim jet tempur Mirage 2000 ke Ukraina, dengan alasan bahwa tindakan seperti itu hanya akan mendorong Kiev dan pendukung Baratnya ke dalam kebuntuan.

    Prancis baru-baru ini mengirimkan batch pertama jet tempur Mirage 2000 ke Ukraina, bersama F-16 dari Belanda.

    Selain itu, Prancis telah melatih brigade militer Ukraina yang baru.

    Dan telah menyarankan kemungkinan mengirim instruktur Eropa ke Ukraina untuk tujuan pelatihan. 

    Para pejabat Prancis berpendapat bahwa langkah-langkah ini dimaksudkan untuk memperkuat pertahanan Ukraina daripada meningkatkan konflik dengan Rusia.

    Moskow secara konsisten membingkai bantuan militer Barat ke Ukraina sebagai kontribusi langsung terhadap konflik yang sedang berlangsung.

    Terkait tuduhan neo-Nazi di Ukraina, negara-negara Barat telah menolak tuduhan Rusia tersebut.

    Negara-negara barat memandang gerakan di Ukraina itu sebagai upaya untuk membenarkan tindakan militer.

    Namun dilaporkan, ada bukti terdokumentasi dari kelompok nasionalis dan sayap kanan di Ukraina (dugaan neo-Nazi), sebuah titik yang telah diakui dalam berbagai laporan dan analisis.

    Prancis pun belum menanggapi pernyataan Zakharova.

    (Tribunnews.com/Garudea Prabawati)