Jenis Media: Internasional

  • Vatikan Tolak Usulan Trump: Penduduk Palestina Harus Tetap Berada di Tanahnya – Halaman all

    Vatikan Tolak Usulan Trump: Penduduk Palestina Harus Tetap Berada di Tanahnya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Seorang pejabat tinggi Vatikan menolak usulan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk memindahkan warga Palestina dari Gaza.

    Menteri Luar Negeri Pietro Parolin mengatakan “penduduk Palestina harus tetap berada di tanahnya.”

    “Ini adalah salah satu poin mendasar dari Tahta Suci: tidak ada deportasi,” kata Pietro Parolin di sela-sela pertemuan Italia-Vatikan, Kamis (13/2/2025), menurut kantor berita ANSA.

    Ia menyebut, memindahkan warga Palestina akan menyebabkan ketegangan regional dan “tidak masuk akal”.

    Menurutnya, negara-negara tetangga seperti Yordania juga menentang usulan Trump.

    “Menurut pendapat kami, solusinya adalah dua negara karena ini juga berarti memberi harapan kepada penduduk,” katanya.

    Pemimpin umat Katolik dunia, Paus Fransiskus, pada pekan ini telah mengkritik rencana Trump untuk deportasi massal migran tidak berdokumen di Amerika Serikat — yang memicu tanggapan tajam.

    Dalam suratnya kepada para uskup AS, Kepala Gereja Katolik menyebut deportasi tersebut sebagai “krisis besar”.

    Ia mengatakan, memulangkan orang-orang yang telah melarikan diri dari negara mereka sendiri dalam keadaan sulit “merusak martabat” para migran.

    Kepala perbatasan Trump, Tom Homan, menanggapi:

    “Saya berharap dia tetap berpegang pada Gereja Katolik dan memperbaikinya serta menyerahkan penegakan hukum perbatasan kepada kami.”

    Sebelumnya, Donald Trump telah mengusulkan untuk mengambil alih Jalur Gaza yang dilanda perang dan memindahkan lebih dari dua juta penduduknya ke Yordania atau Mesir.

    Para ahli mengatakan gagasan itu akan melanggar hukum internasional, tetapi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebutnya “revolusioner.”

    Pertemuan Trump dengan Raja Yordania

    Pada Selasa (11/2/2025), Donald Trump menjamu Raja Yordania Abdullah II di Gedung Putih dan mengulangi desakannya bahwa Gaza entah bagaimana dapat dikosongkan dari semua penduduk, dikontrol oleh AS, dan dibangun kembali sebagai kawasan wisata.

    Diberitakan AP News, ini adalah skema yang berani, tetapi sangat tidak mungkin, untuk mengubah Timur Tengah secara dramatis dan akan mengharuskan Yordania dan negara-negara Arab lainnya untuk menerima lebih banyak warga Gaza — sesuatu yang ditegaskan Abdullah setelah pertemuan mereka yang ia tentang.

    Pasangan itu bertemu di Ruang Oval dengan Menteri Luar Negeri Marco Rubio yang juga hadir.

    Trump mengisyaratkan bahwa ia tidak akan menahan bantuan AS ke Yordania atau Mesir jika mereka tidak setuju untuk secara drastis meningkatkan jumlah orang dari Gaza yang mereka tampung.

    “Saya tidak perlu mengancam hal itu. Saya yakin kita berada di atas itu,” kata Trump.

    Hal itu bertentangan dengan usulan presiden dari Partai Republik sebelumnya bahwa menahan bantuan dari Washington adalah suatu kemungkinan.

    Sementara itu, Abdullah berulang kali ditanya tentang rencana Trump untuk membersihkan Gaza dan mengubahnya menjadi resor di Laut Mediterania.

    Ia tidak memberikan komentar substantif tentang hal itu dan tidak berkomitmen pada gagasan bahwa negaranya dapat menerima sejumlah besar warga Gaza.

    Namun, ia mengatakan bahwa Yordania bersedia “segera” menerima sebanyak 2.000 anak di Gaza yang menderita kanker atau sakit lainnya.

    “Saya akhirnya melihat seseorang yang dapat membawa kita melewati garis akhir untuk membawa stabilitas, perdamaian, dan kesejahteraan bagi kita semua di kawasan ini,” kata Abdullah tentang Trump dalam pernyataannya di awal pertemuan.

    BERKIBAR – Bendera Palestina berkibar di tengah puing reruntuhan di Kota Gaza, dalam foto tangkapan layar dari Khaberni, Kamis (6/2/2025). Amerika Serikat (AS) berencana mengambil alih kendali atas Gaza dengan dalil membangunnya kembali di segala sektor. (khaberni/tangkap layar)

    Abdullah meninggalkan Gedung Putih setelah sekitar dua jam dan menuju Capitol Hill untuk bertemu dengan sekelompok anggota parlemen bipartisan.

    Ia mengunggah di X bahwa selama pertemuannya dengan Trump, “Saya menegaskan kembali posisi teguh Yordania dalam menentang pemindahan warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat.”

    “Ini adalah posisi Arab yang bersatu. Membangun kembali Gaza tanpa mengusir warga Palestina dan mengatasi situasi kemanusiaan yang mengerikan harus menjadi prioritas bagi semua pihak,” ungkap Abdullah.

    Sebagai informasi, Yordania adalah rumah bagi lebih dari 2 juta warga Palestina.

    Menteri luar negeri Yordania, Ayman Safadi, mengatakan minggu lalu bahwa penentangan negaranya terhadap gagasan Trump tentang pemindahan penduduk Gaza adalah “tegas dan tidak tergoyahkan.”

    Selain kekhawatiran akan membahayakan tujuan jangka panjang solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina, Mesir dan Yordania secara pribadi telah mengemukakan kekhawatiran keamanan tentang penerimaan sejumlah besar pengungsi tambahan ke negara mereka, meskipun untuk sementara.

    Trump sebelumnya mengisyaratkan bahwa penduduk Gaza bisa saja mengungsi sementara atau permanen, sebuah gagasan yang ditegur keras oleh para pemimpin di seluruh dunia Arab.

    Selain itu, Trump kembali mengusulkan bahwa gencatan senjata yang rapuh antara Hamas dan Israel dapat dibatalkan jika Hamas tidak membebaskan semua sandera yang masih ditahannya paling lambat Sabtu (15/2/2025) siang.

    Perkembangan Terkini Konflik Palestina Vs Israel

    Dilansir Al Jazeera, Hamas mengatakan pihaknya akan membebaskan tiga tawanan Israel dari Gaza pada hari Sabtu sesuai jadwal menyusul pembicaraan  dengan mediator gencatan senjata Mesir dan Qatar.

    Israel mengatakan Hamas harus membebaskan tiga tawanan hidup atau pasukan Israel akan kembali berperang di wilayah Palestina.

    Juru bicara Hamas Abdul Latif al-Qanou mengatakan bahasa ancaman yang dilontarkan terhadap Gaza oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak mendukung pelaksanaan gencatan senjata Gaza.

    Seorang pejabat senior PBB menyamakan kehancuran di Jalur Gaza dengan “gempa bumi dahsyat” dan mengatakan upaya harus dilakukan untuk menghindari “bencana kemanusiaan” yang berkelanjutan.

    Departemen Keuangan AS telah menjatuhkan sanksi kepada jaksa Pengadilan Kriminal Internasional Karim Khan atas penyelidikan badan tersebut terhadap kejahatan perang Israel di Gaza.

    Seorang penembak jitu Israel telah menembak mati seorang pria Palestina, sementara seorang anak terbunuh oleh persenjataan Israel yang tidak meledak, keduanya di Gaza tengah.

    Denmark telah menjanjikan tambahan 10,2 juta kroner ($1,4 juta) kepada badan PBB yang sedang terkepung untuk pengungsi Palestina (UNRWA), dan menambahkan bahwa sumbangan tahunannya sebesar 105 juta kroner ($14,7 juta) akan dicairkan segera daripada dibagi sepanjang tahun.

    Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengatakan Washington ingin mendengar usulan baru dari negara-negara Arab tentang masa depan Gaza setelah rencana Presiden Donald Trump untuk menggusur paksa penduduk wilayah itu ditegur keras.

    Kantor Media Pemerintah telah memperbarui jumlah korban tewas menjadi sebanyak 61.709 orang, dengan mengatakan ribuan orang yang hilang di bawah reruntuhan kini diduga tewas.

    Setidaknya 1.139 orang tewas di Israel selama serangan 7 Oktober 2023 dan lebih dari 200 orang ditawan.

    (Tribunnews.com/Nuryanti)

    Berita lain terkait Konflik Palestina Vs Israel

  • Sebanyak 124 Jurnalis Terbunuh Tahun Lalu, 2024 Jadi Tahun Paling Mematikan bagi Pekerja Media

    Sebanyak 124 Jurnalis Terbunuh Tahun Lalu, 2024 Jadi Tahun Paling Mematikan bagi Pekerja Media

    PIKIRAN RAKYAT – Jumlah jurnalis yang terbunuh pada tahun 2024 mencapai rekor, menurut laporan yang dirilis oleh Committee to Protect Journalists. Setidaknya 124 jurnalis dan pekerja media terbunuh di seluruh dunia, dan sekitar dua pertiga dari mereka adalah warga Palestina yang dibunuh oleh Israel selama perang melawan Hamas di Gaza.

    Rekor sebelumnya adalah 113 jurnalis yang terbunuh pada tahun 2007, selama Perang Irak.

    Negara-negara lain termasuk Sudan, Pakistan, Meksiko, dan Suriah juga memiliki beberapa kasus jurnalis yang terbunuh tahun lalu, menurut laporan tersebut.

    CPJ menganggap jurnalis atau pekerja media sebagai seseorang yang meliput berita atau mengomentari urusan publik, dalam media apa pun. Agar dapat dimasukkan dalam daftarnya, kematian orang tersebut harus terkait dengan pekerjaan. Kematian tersebut dapat disengaja atau tidak disengaja, seperti jika seorang jurnalis terbunuh di zona konflik.

    Kematian seorang jurnalis tidak akan dimasukkan jika ada bukti bahwa mereka menghasut kekerasan dengan efek yang akan segera terjadi atau secara langsung berpartisipasi sebagai kombatan dalam konflik bersenjata pada saat kematian mereka.

    CPJ mengatakan bahwa mereka hanya memasukkan kasus yang dikonfirmasi dalam laporannya, yang berarti mereka menemukan bukti yang menunjukkan bahwa jurnalis tersebut terbunuh sehubungan dengan pekerjaan mereka; mereka mengatakan menganggap semua kasus zona perang sebagai yang dikonfirmasi.

    Meningkatnya Konflik Global Menyebabkan Rekor Kematian

    Dari 124 jurnalis yang terbunuh pada tahun 2024, laporan CPJ mengatakan 82 orang tewas di tengah perang di Gaza dan tiga orang tewas di Lebanon, tempat Israel memerangi Hizbullah. Dalam sedikitnya 10 kasus, CPJ mengatakan penyelidikannya menentukan bahwa para jurnalis itu sengaja menjadi sasaran. Kelompok itu mengatakan terus menyelidiki apakah sedikitnya 20 kasus lainnya mungkin disengaja.

    Tiga puluh satu jurnalis yang terbunuh di Gaza adalah pekerja lepas Palestina yang menurut CPJ masuk untuk mengisi kekosongan informasi setelah banyak outlet berita berhenti beroperasi di wilayah tersebut.

    Peningkatan kematian jurnalis terjadi di tengah meningkatnya jumlah konflik secara global, menurut CPJ. Pembunuhan jurnalis lainnya pada tahun 2024 terjadi di lebih dari puluhan negara, termasuk Sudan, Pakistan, dan Meksiko.

    Sudan dan Pakistan masing-masing menyaksikan enam pembunuhan jurnalis, sementara Meksiko mengalami lima pembunuhan. Empat jurnalis tewas di Suriah. Tiga tewas di Myanmar, di mana wartawan bawah tanah semakin diperlakukan sebagai kombatan musuh, menurut CPJ. Tiga kematian jurnalis lainnya tercatat di Irak, menandai kematian jurnalis pertama di sana sejak 2020. Dua jurnalis tewas di Haiti, tempat geng-geng sekarang secara terbuka mengklaim bertanggung jawab atas pembunuhan jurnalis.

    CPJ mengatakan bahwa mereka menemukan negara-negara tempat jurnalis dibunuh dengan sengaja sering kali mencoba mengubur bukti pembunuhan, mengalihkan kesalahan, dan menghindari akuntabilitas. Tindakan semacam itu menempatkan jurnalis yang masih hidup dalam bahaya yang lebih besar, kata kelompok itu, dan menghilangkan kemungkinan keadilan bagi mereka yang telah meninggal.

    Di seluruh dunia, jurnalis juga telah diintimidasi, disensor, dan ditangkap atau diserang. Insiden semacam itu dilaporkan di Kamerun, Somalia, dan Afghanistan, meskipun tidak ada jurnalis yang tewas di negara-negara tersebut. Tidak ada juga kematian jurnalis dalam perang antara Ukraina dan Rusia, meskipun beberapa serangan yang mungkin ditargetkan menyebabkan wartawan terluka, kata CPJ. Seorang jurnalis Ukraina yang ditahan pada Agustus 2023 meninggal dalam tahanan Rusia tahun lalu.

    “Kondisi dapat menjadi lebih mematikan bagi pers ketika mereka yang membunuh wartawan tidak dimintai pertanggungjawaban. Dan semakin sedikit wartawan berarti semakin sedikit informasi bagi warga yang mencari kebenaran,” kata CPJ.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Warga Ukraina Marah Merasa Dikhianati Donald Trump, Ini Penyebabnya – Halaman all

    Warga Ukraina Marah Merasa Dikhianati Donald Trump, Ini Penyebabnya – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, UKRAINA – Langkah Amerika Serikat (AS) menginisiasi perundingan perdamaian dengan Rusia dikecam sekutu-sekutu Ukraina di Eropa.

    Bahkan warga Ukraina melampiaskan kemarahannya kepada Presiden AS Donald Trump karena merasa dikhianati.

    Pemerintahan Donald Trump dinilai memulai pembicaraan untuk mengakhiri invasi Rusia tanpa melibatkan negara yang diserang yakni Ukraina.

    Padahal AS selama ini adalah sekutu dekat Ukraina.

    Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth membantah anggapan bahwa negaranya telah berkhianat kepada Ukraina. 

    Hegseth menyebut langkah perundingan ini sebatas menunjukkan AS menginginkan perdamaian.

    “Tidak ada pengkhianatan di sini, hanya ada pengakuan bahwa seluruh dunia dan Amerika Serikat berkepentingan dan menginginkan perdamaian. Sebuah perdamaian yang dirundingkan,” kata Hegseth dikutip Associated Press, Kamis (13/2/2025).

    Donald Trump berencana menggelar pertemuan tatap muka dengan Presiden Rusia Vladimir Putin mengenai Ukraina.

    Pada Rabu (12/2/2025), kedua pemimpin tersebut dilaporkan melangsungkan pembicaraan telepon selama hampir 90 menit.

    Sebelumnya, usulan AS untuk mengakhiri perang Ukraina menuai kontroversi karena meminta Kiev menyerahkan wilayah ke Rusia.

    Donald Trump juga menegaskan Ukraina tidak bisa bergabung dengan NATO.

    Warga Ukraina Marah

    ‘Saya merasa marah dan dikhianati’ begitu rakyat Ukraina yang melampiaskan kemarahannya kepada Donald Trump atas sikap AS itu.

    Hal pertama yang dipikirkan Olena Litovchenko, ketika dia membaca berita panggilan telepon Donald Trump kepada Vladimir Putin adalah bahwa akhirnya mungkin sudah waktunya baginya untuk meninggalkan Ukraina.

    “Rasanya Ukraina sedang ditipu,” kata Litovchenko, seorang pelatih pribadi yang lahir di Kyiv dan telah tinggal di kota itu selama perang.

    Dia percaya bahwa prospek kekalahan Ukraina semakin dekat dengan pendekatan Trump itu.

    Untuk pertama kalinya ia berpikir bahwa ia mungkin harus pergi, demi putrinya.

    “Tetapi kemudian, pergi dan ke mana? Eropa pasti akan menjadi tujuan berikutnya. Pergi ke Australia? Saya tidak tahu. Saya merasa marah dan dikhianati.”

    Dikutip dari The Guardian, kemarahan dan pengkhianatan merupakan emosi yang umum menimpa mereka yang ditanyai di jalan-jalan pusat kota Kyiv pada hari Kamis. 

    Dalam tiga bulan sejak kemenangan Donald Trump dalam pemilihan umum, banyak orang di Ukraina berharap bahwa keadaan tidak akan seburuk yang diperkirakan di bawah presiden baru.

    Mungkin Trump akan menjalin hubungan dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, dengan mengakui politisi lain yang memiliki latar belakang di dunia hiburan dan bisnis pertunjukan. 

    Mungkin dia akan secara tak terduga memberi Ukraina kebebasan penuh untuk menyerang Rusia, berbeda dengan pemerintahan Joe Biden, yang selalu mendesak kehati-hatian dan takut mengambil risiko eskalasi. 

    Mungkin perilaku kacau Trump entah bagaimana akan menghasilkan peristiwa angsa hitam yang akan mengayunkan konflik ke arah yang menguntungkan Ukraina.

    Namun harapan-harapan ini tampaknya terungkap sebagai ilusi.

    Berita tentang panggilan telepon panjang Trump dengan Putin tersiar hingga ke Kyiv, diikuti oleh laporan-laporan tentang konferensi pers berikutnya.

    Dimana Trump menepis gagasan bahwa Ukraina akan menjadi mitra yang setara dalam pembicaraan potensial dan bahkan tampak mengisyaratkan bahwa Rusia mungkin memiliki hak untuk mempertahankan sebagian wilayah Ukraina yang disita karena “mereka merampas banyak tanah dan mereka berjuang untuk tanah itu”.

    Tanpa merujuk pada nilai-nilai bersama atau kebutuhan untuk melawan Rusia, Trump malah berbicara tentang peringkat jajak pendapat Zelenskyy yang buruk dan mengatakan bahwa ia ingin mendapatkan kembali uang yang telah dikirim AS sebagai bantuan ke Ukraina.

    Pernyataan Trump merupakan “hujan dingin” bagi para pendukung Ukraina, tulis Oleh Pavlyuk, dalam kolom untuk situs berita populer Evropeiska Pravda.

    Ia menambahkan bahwa Trump telah menghancurkan dua pilar utama kebijakan luar negeri AS di Ukraina hingga saat ini: memastikan koordinasi terlebih dahulu dengan Kyiv sebelum melakukan kontak dengan Kremlin, dan bersikeras bahwa Ukraina harus memutuskan sendiri kapan akan mengajukan permohonan perdamaian.

    “Saya merasa kecewa dan marah. Tidak ada kepastian bahwa perang ini akan berakhir bagi kami, karena Trump tidak menganggap kami sebagai pihak yang setara dalam negosiasi ini,” kata Oleksii, seorang pekerja berusia 34 tahun di sebuah perusahaan IT.

    Serhii, seorang prajurit berusia 39 tahun yang sedang cuti dari garis depan, mengatakan bahwa dia kurang percaya pada Trump untuk melakukan kesepakatan yang menguntungkan Ukraina.

    “Kita lihat bagaimana dia selama masa jabatan presiden pertamanya … keset Putin,” katanya.

    Seperti banyak orang lainnya, ia memiliki perasaan campur aduk tentang keseluruhan konsep perundingan perdamaian, takut hal itu hanya akan menyebabkan perang lebih lanjut setelah Rusia punya waktu untuk berkumpul kembali, tetapi menyadari bahwa pasukan Ukraina tidak dapat berperang tanpa batas waktu.

     

  • Lima Cara Israel Melanggar Gencatan Senjata di Gaza, Tak Menghentikan Serangan Udara

    Lima Cara Israel Melanggar Gencatan Senjata di Gaza, Tak Menghentikan Serangan Udara

    PIKIRAN RAKYAT – Nasib perjanjian gencatan senjata di Gaza terancam setelah Hamas menuduh Israel melanggar ketentuan perjanjian tersebut. Para pemimpin Israel bereaksi dengan marah setelah keputusan kelompok Palestina tersebut untuk menunda pembebasan tawanan Israel atas dugaan pelanggaran.

    Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan dia akan melanjutkan perang jika lebih banyak tawanan tidak dibebaskan pada hari Sabtu.

    “Jika Hamas tidak mengembalikan sandera kami pada Sabtu siang gencatan senjata akan berakhir, dan IDF akan kembali bertempur sengit hingga Hamas akhirnya dikalahkan,” katanya dalam pidato video pada hari Selasa.

    Presiden AS Donald Trump, pendukung setia Netanyahu, menambahkan bahwa Israel harus membiarkan semua kekacauan terjadi jika para tawanan tidak dibebaskan pada batas waktu hari Sabtu.

    Bu Obeida, juru bicara sayap bersenjata Hamas, Brigade Qassam, mengatakan bahwa pimpinan kelompok tersebut memantau pelanggaran musuh dan ketidakpatuhan mereka terhadap ketentuan perjanjian.

    Apakah Israel telah melanggar gencatan senjata, dan dengan cara apa saja? Berikut ini daftarnya.

    Serangan Mematikan Terus Berlanjut di Gaza

    Meskipun secara resmi menghentikan pertempuran, tentara Israel telah berulang kali melancarkan serangan udara dan menembaki warga Palestina sejak gencatan senjata mulai berlaku.

    Warga Palestina juga melaporkan secara berkala mendengar pesawat nirawak Israel di langit.

    Pada hari Selasa, Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan bahwa 92 orang telah tewas dan 822 orang terluka oleh tentara Israel sejak dimulainya gencatan senjata.

    Hamas mengatakan bahwa selain serangan-serangan ini, Israel juga telah menunda pemulangan warga Palestina yang mengungsi ke Gaza utara, yang merupakan salah satu komitmen utama perjanjian gencatan senjata.

    Penghalang Bantuan Kemanusiaan

    Salah satu fokus utama tuduhan Hamas adalah bahwa Israel diduga menghalangi aliran bantuan kemanusiaan ke Gaza.

    Berdasarkan perjanjian tersebut, Israel seharusnya mengizinkan 600 truk bantuan memasuki daerah kantong Palestina tersebut setiap hari.

    Tom Fletcher, pejabat tinggi PBB untuk bantuan kemanusiaan, mengatakan pada tanggal 6 Februari bahwa 10.000 truk telah memasuki Gaza sejak dimulainya gencatan senjata.

    Namun, juru bicara pemerintah kota Gaza mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa dari 600 truk yang seharusnya datang setiap hari, wilayah itu hanya menerima 100 hingga 150 truk saja.

    Kantor media pemerintah Gaza mengatakan bahwa hingga tanggal 7 Februari, dari 12.000 truk bantuan yang seharusnya mencapai daerah kantong itu, hanya 8.500 yang berhasil.

    Mengutip seorang pejabat yang mengetahui negosiasi gencatan senjata, Reuters mengatakan bahwa Israel telah menolak permintaan PBB, Qatar, dan pihak lain untuk mengizinkan unit perumahan sementara dibawa ke Gaza untuk menampung orang-orang yang mengungsi sebagaimana yang dipersyaratkan dalam perjanjian gencatan senjata.

    Hamas mengatakan Israel memblokir masuknya 60.000 rumah mobil dan 200.000 tenda serta mesin berat yang digunakan untuk menyingkirkan puing-puing.

    Israel membantah tuduhan tersebut, dengan mengatakan bahwa lebih dari 100.000 tenda telah memasuki Gaza.

    Pengemudi truk di perbatasan Mesir-Gaza mengatakan kepada Reuters bahwa bahan bangunan dan tenda telah diblokir untuk masuk sejak dimulainya gencatan senjata.

    Persediaan medis, pakaian, dan minuman ringan juga dilaporkan tertahan, menunggu untuk memasuki Gaza setelah pemeriksaan oleh pejabat Israel.

    Selain itu, kementerian kesehatan Gaza mengatakan bahwa Israel melarang beberapa warga Palestina yang sakit dan terluka meninggalkan wilayah tersebut untuk menerima perawatan di luar negeri, seperti yang diinstruksikan dalam perjanjian tersebut.

    Para pelancong yang ditolak termasuk seorang pasien kanker berusia 16 tahun, kata kementerian tersebut.

    Setidaknya 24 warga Palestina yang terluka telah meninggal karena luka-luka mereka sejak dimulainya gencatan senjata, menurut kementerian tersebut. Kantor media pemerintah menambahkan bahwa setidaknya 100 anak telah meninggal karena penundaan dari Israel dalam membiarkan mereka pergi untuk berobat.

    Kekurangan Bahan Bakar, Panel surya

    Sebagai bagian dari hambatan masuknya bantuan kemanusiaan, kantor media pemerintah Gaza mengatakan bahwa hanya 15 truk bahan bakar yang masuk setiap hari untuk menyalakan rumah sakit dan layanan vital lainnya, berbeda dengan 50 truk sesuai kesepakatan.

    Kantor tersebut menuduh Israel juga menghalangi pengiriman generator dan suku cadangnya, panel surya dan baterainya, kabel dan tangki air serta material yang dibutuhkan untuk memperbaiki jaringan air dan pembuangan limbah di Gaza utara.

    Penundaan Pembebasan Tahanan

    Selama gelombang ketiga pertukaran tahanan, Israel menunda pembebasan tahanan Palestina lebih dari enam jam.

    Selain itu, sumber anonim yang dapat dipercaya mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa, pada beberapa kesempatan, beberapa tahanan dipindahkan ke Gaza tanpa persetujuan atau koordinasi sebelumnya.

    Israel juga dilaporkan menunda merilis daftar nama tahanan yang akan dibebaskan.

    Pernyataan Trump, Reaksi Israel

    Setelah Trump mengumumkan rencana agar AS mengambil alih Jalur Gaza dan mengusir warga Palestina ke Mesir dan Yordania, Hamas mengeluarkan beberapa pernyataan yang dengan tegas menolak usulan ini.

    Para jurnalis dan analis meyakini pernyataan presiden AS tersebut dapat semakin mempersulit kelangsungan perjanjian gencatan senjata, karena pendudukan baru yang potensial di Gaza, bersama dengan pengusiran penduduknya, dapat memicu konflik lebih lanjut.

    Pejabat Israel sebagian besar bereaksi positif terhadap tawaran Trump, dan Menteri Pertahanan Israel Katz memerintahkan tentaranya untuk mempersiapkan “keberangkatan sukarela” warga Palestina.

    Netanyahu mengatakan bahwa usulan tersebut revolusioner, kreatif dan akan membuka banyak peluang bagi Israel.

    Pelaksanaan rencana tersebut akan menjadi pelanggaran terhadap fase gencatan senjata mendatang, yang berfokus pada pemulangan warga Palestina yang mengungsi dan pembangunan kembali Gaza.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Hamas Melunak, Setuju Bebaskan 3 Sandera Israel Akhir Pekan Ini demi Perpanjang Gencatan Senjata – Halaman all

    Hamas Melunak, Setuju Bebaskan 3 Sandera Israel Akhir Pekan Ini demi Perpanjang Gencatan Senjata – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Militan sayap kanan Palestina, Hamas sepakat untuk melanjutkan rencana pembebasan sandera Israel pada akhir pekan ini, Sabtu (15/2/2025).

    Dengan berlanjutnya kesepakatan tersebut, nantinya 3 sandera Israel akan dipulangkan dari Gaza, sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya.

    “Hamas akan kembali melanjutkan pembebasan tiga sandera Israel pada hari Sabtu,” ujar juru bicara Hamas Abdul Latif al-Qanun kepada The Associated Press.

    Keputusan ini diumumkan Hamas usai berunding dengan mediator Mesir dan Qatar di Kairo.

    Hamas menjelaskan keputusannya melanjutkan pertukaran sandera dilakukan agar kesepakatan gencatan sandera di Gaza tetap berlangsung.

    Dengan begitu pengiriman shelter hingga obat-obatan bisa kembali dilanjutkan ke kantong pemukiman Gaza.

    “Perundingan dijalankan dengan semangat positif, saudara mediator kami di Mesir dan Qatar mengkonfirmasi bahwa mereka akan meneruskan semua permintaan ini untuk menyingkirkan rintangan dan menutup celah yang ada,” demikian pernyataan Hamas dikutip Al Jazeera.

    “Oleh karena itu, Hamas mengkonfirmasi posisinya untuk mengimplementasikan perjanjian sesuai dengan apa yang ditandatangani, termasuk pertukaran tawanan sesuai waktu yang telah disepakati.”

    Hamas Tuding Israel Langgar Perjanjian

    Sebelum pembebasan sandera disepakati, pada awal pekan lalu Hamas sempat mengancam akan membatalkan pembebasan sandera Israel.

    Dalam keterangan resminya, Kelompok militan Hamas mengumumkan, bahwa pihaknya akan menunda pembebasan sandera Israel yang ditahan di Jalur Gaza hingga pemberitahuan lebih lanjut.

    Alasan tindakan itu karena Hamas menyebut Israel telah gagal mematuhi perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati sebelumnya.

    Abu Obeida, juru bicara militan Hamas, mengklaim bahwa sejak gencatan senjata diberlakukan pada 19 Januari, Israel telah menunda kepulangan pengungsi warga Palestina ke Gaza utara.

    Tak hanya itu Israel juga menyerang warga Gaza dengan tembakan dan artileri militer, serta menghalangi bantuan kemanusiaan untuk masuk ke wilayah itu.

    Merespon pembatalan pertukaran sandera, Menteri Pertahanan Israel, Yisrael Katz langsung memerintahkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) untuk bersiap dengan kemungkinan mereka kembali menyerang Jalur Gaza.

    “Pengumuman Hamas untuk menghentikan pembebasan tahanan Israel merupakan pelanggaran total terhadap perjanjian gencatan senjata dan kesepakatan pembebasan tahanan,” kata Yisrael Katz dalam sebuah pernyataan, Senin (10/2/2025).

    “Saya telah menginstruksikan tentara untuk bersiap pada tingkat kewaspadaan tertinggi terhadap kemungkinan skenario apa pun di Gaza, dan kami tidak akan membiarkan kembalinya kenyataan pada tanggal 7 Oktober,” lanjutnya.

    SItuasi yang memanas ini lants mengancam kesepakatan gencatan senjata yang telah berlangsung sejak 19 Januari 2025.

    Hamas kini telah membebaskan total 16 sandera Israel sebagai bagian dari tahap pertama perjanjian gencatan senjata, dari total 33 sandera yang akan dibebaskan secara bertahap.

    Sebagai bentuk balasan, Israel mengklaim telah membebaskan 183 dari total 300 tahanan Palestina, sebagai bagian dari pertukaran kelima dalam kesepakatan gencatan senjata Gaza antara Hamas dan Israel.

    (Tribunnews.com / Namira)

  • Smotrich: Negara Israel Akan Kembali Berperang Sekuat Tenaga, Menduduki Gaza, dan Hancurkan Hamas – Halaman all

    Smotrich: Negara Israel Akan Kembali Berperang Sekuat Tenaga, Menduduki Gaza, dan Hancurkan Hamas – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, yang juga merupakan tokoh terkemuka dalam serangan Israel di wilayah Tepi Barat yang diduduki, baru-baru ini mengungkapkan gencatan senjata dengan Gaza mungkin tidak akan bertahan lama.

    Dalam sebuah wawancara dengan radio Israel 103fm, Smotrich menegaskan bahwa Israel akan kembali berperang dengan sekuat tenaga dan menduduki Gaza.

    Menurutnya, Israel akan mengambil tanggung jawab penuh atas Gaza dan melaksanakan “operasi emigrasi besar-besaran.”

    Dalam pernyataan yang lebih lanjut, Smotrich menjelaskan soal rencana tersebut.

    “Kami akan menduduki Jalur Gaza, menghancurkan Hamas, dan memastikan tidak ada lagi ancaman dari Gaza terhadap warga Israel,” katanya, seperti dikutip dari Al Jazeera.

    Ia juga mengaitkan rencana ini dengan apa yang disebutnya sebagai “peristiwa logistik gila yang dikoordinasikan dengan Amerika Serikat,” merujuk pada sebuah rencana pembersihan etnis yang diusulkan oleh mantan Presiden AS, Donald Trump.

    Smotrich juga mengungkapkan pandangannya kalau Israel seharusnya mendukung pernyataan Trump yang menuntut pembebasan semua tawanan yang ditahan di Gaza paling lambat pada Sabtu yang akan datang.

    Meskipun demikian, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memilih untuk melanjutkan gencatan senjata untuk saat ini, berbeda dengan pandangan Smotrich.

    Smotrich mencatat Netanyahu sengaja menyebarkan rasa “ambiguitas” mengenai langkah-langkah berikutnya.

    Lebih lanjut, Smotrich menyatakan bahwa kebijakan Israel saat ini adalah untuk memanfaatkan peluang yang ada guna mengembalikan sebanyak mungkin sandera, terutama mereka yang masih hidup, sebelum akhirnya kembali berperang untuk mencapai tujuan utama, yaitu menghancurkan Hamas.

    Pernyataan ini menambah ketegangan dalam situasi yang sudah sangat kompleks di Gaza, yang terus menjadi pusat perhatian internasional dengan kekerasan yang terus berlanjut di wilayah tersebut.

    Smotrich, dengan latar belakang politik sayap kanannya, menegaskan bahwa pendudukan Gaza adalah langkah yang perlu diambil untuk mengakhiri ancaman dari Hamas terhadap Israel.

    Keputusan ini kemungkinan akan menambah ketegangan lebih lanjut dengan pihak internasional yang terus memantau perkembangan konflik tersebut.

    Menteri Israel: Tidak Ada Niat Akhiri Perang Gaza sebelum Semua Tujuan Tercapai

    Surat kabar Israel Maariv melaporkan Menteri Pertanian Israel Avi Dichter, mengatakan ia “kesulitan melihat pilihan lain” selain pembebasan setidaknya tiga tawanan pada hari Sabtu, serta kembalinya pertempuran nanti.

    “Kami ingin mengembalikan semua sandera dalam perjanjian secepat mungkin. Ini adalah salah satu tujuan perang yang kami tetapkan, bersama dengan dua tujuan lainnya. Tidak ada niat untuk mengakhiri perang sebelum semua tujuan tercapai,” katanya.

    Ia mengklaim penghancuran infrastruktur militer Hamas sebagian besar telah tercapai tetapi “runtuhnya kapasitas pemerintah adalah tujuan yang belum tercapai”.

    Pejabat Hamas mengatakan Israel telah melanggar ketentuan utama perjanjian, yang mendorongnya membatalkan pembebasan tiga tawanan lagi yang dijadwalkan pada hari Sabtu.

    Sebagaimana diketahui, Netanyahu mengancam akan melanjutkan perang di Gaza kecuali Hamas membebaskan para tawanan.

    PBB: Israel Masih Batasi Bantuan

    Dikutip dari Al Mayadeen, sebanyak 801 truk bantuan masuk ke Jalur Gaza yang terkepung pada Rabu (12/2/2025).

    Organisasi-organisasi kemanusiaan memperingatkan bahwa “Israel” terus membatasi aliran pasokan bantuan yang sangat dibutuhkan.

    Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), pengiriman bantuan dilakukan “melalui koordinasi dengan otoritas Israel dan para penjamin kesepakatan gencatan senjata.”

    Kendati demikian, pembatasan tetap ketat, khususnya pada bahan bakar dan peralatan medis.

    PBB dan mitranya berupaya keras untuk menggunakan setiap peluang yang tersedia dalam gencatan senjata yang rapuh ini “untuk meningkatkan penyediaan air, makanan, tempat tinggal, kesehatan, sanitasi, kebersihan, pakaian, pendidikan, dan bantuan lainnya bagi masyarakat Gaza.”

    Badan Bantuan dan Pekerjaan Umum PBB (UNRWA) menyatakan bahwa selama dua minggu pertama gencatan senjata, mereka berhasil menyediakan bantuan pangan bagi 1,2 juta orang di Gaza.

    Badan tersebut juga telah mendirikan 37 tempat penampungan tambahan di bagian utara daerah kantong itu, yang memasok bantuan vital bagi keluarga-keluarga yang mengungsi, termasuk tenda, selimut, dan pakaian musim dingin.

    “Hingga minggu lalu, UNRWA menampung sekitar 120.000 orang di 120 tempat penampungan, termasuk lebih dari tiga lusin tempat penampungan yang dibuka sejak gencatan senjata.”

    Kelompok-kelompok kemanusiaan global terus menyuarakan peringatan atas kurangnya bantuan yang sampai ke Gaza.

    Minggu lalu, Dewan Pengungsi Norwegia (NRC) menekankan bahwa pengiriman saat ini “tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk.”

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • 3 Fakta Ledakan Hebat di Toserba Taiwan Makan Korban Jiwa

    3 Fakta Ledakan Hebat di Toserba Taiwan Makan Korban Jiwa

    Taipei

    Sebuah ledakan hebat terjadi di sebuah department store di Taiwan. Ledakan ini memakan korban jiwa.

    Adapun ledakan terjadi pada Kamis (13/2). Ledakan itu awalnya menewaskan satu orang dan menyebabkan empat orang lainnya “tanpa tanda-tanda vital”.

    Dilansir kantor berita AFP, Kamis (13/2/2025), tujuh orang lainnya terluka dalam ledakan di food court di lantai 12 department store (toserba) Shin Kong Mitsukoshi di kota Taichung tersebut, kata Badan Pemadam Kebakaran Nasional.

    Area tersebut diyakini tengah ditutup untuk pekerjaan konstruksi pada saat kejadian, kata badan tersebut.

    Video yang diunggah di media sosial dan diverifikasi oleh AFP menunjukkan momen ledakan, dengan pelapis dinding dan puing-puing lainnya beterbangan dari gedung dan debu mengepul dari dalam.

    Apa saja fakta seputar ledakan dahsyat ini? Baca halaman selanjutnya.

    1. Ledakan Sangat Kuat

    Foto: Toko toserba yang meledak (AP)

    Wali Kota Taichung pun menyampaikan kesaksiannya. Dia mengaku merasakan getaran yang hebat.

    “Saya sedang bekerja di gedung pemerintahan kota sekitar pukul 11.30 pagi dan karena gedung itu berada tepat di sebelah toserba Shin Kong Mitsukoshi, saya merasakan getaran,” kata Wali Kota Taichung Lu Shiow-yen kepada wartawan.

    Ledakan itu, katanya, sangat hebat. Upaya evakuasi pun dilakukan.

    “Ledakan itu sangat serius dan upaya penyelamatan masih berlangsung,” imbuhnya.

    Dinas pemadam kebakaran setempat mengerahkan 56 kendaraan dan 136 orang untuk melakukan upaya pencarian dan penyelamatan, kata Badan Pemadam Kebakaran Nasional.

    2. Korban Tewas Jadi 4 Orang

    Foto: Potret toko toserba yang rusak (AP)

    Korban tewas akibat ledakan di sebuah department store (toserba) di Taiwan bertambah menjadi empat orang.

    Lantai tersebut diyakini ditutup untuk pekerjaan konstruksi pada saat kejadian, kata badan tersebut.

    Liao Yu-fu, 26 tahun, mengatakan kepada AFP bahwa ia terbangun dari tidurnya karena suara ledakan dan mengira itu adalah “pesawat yang menabrak rumah”.

    “Ada getaran dan bahkan tempat tidur saya bergetar,” kata Liao, yang dapat melihat department store itu dari rumahnya.

    “Suara itu berlangsung lama dan saya takut,” imbuhnya.

    3. Penyebab Ledakan Belum Diketahui

    Foto: Potret Kerusakan di Toserba Taiwan yang Meledak, 4 Orang Tewas (AP)

    Seorang wanita, yang berada di lantai enam toko tersebut pada saat itu, mengatakan ada “getaran yang sangat keras” dan kemudian puing-puing mulai berjatuhan.

    “Awalnya, kami pikir itu gempa bumi,” kata wanita itu kepada media televisi lokal TVBS.

    “Ketika saya menuruni tangga, ada pecahan kaca di setiap lantai di pintu masuk lift. Setiap lantai terkena dampaknya,” ujarnya.

    “Ledakan itu sangat serius dan penyelamatan masih berlangsung,” kata Wali Kota Taichung Lu Shiow-yen mengatakan kepada wartawan.

    Belum diketahui apa yang menyebabkan ledakan itu.

    Halaman 2 dari 4

    (rdp/rdp)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Di Balik Obrolan Trump-Putin, Kala Eropa Tersedak Kenyataan Kalau AS Kini Bukan Lagi Penyelamat – Halaman all

    Di Balik Obrolan Trump-Putin, Kala Eropa Tersedak Kenyataan Kalau AS Kini Bukan Lagi Penyelamat – Halaman all

    Makna Obrolan Trump-Putin, Kala Eropa Tersedak Kenyataan Kalau AS Kini Bukan Lagi Guardian Angel

    TRIBUNNEWS.COM – Panggilan telepon antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, Rabu (12/2/2025) dinilai punya makna mendalam terkait realias baru hubungan AS dengan para sekutu mereka di Eropa, khususnya terkait aliansi keamanan.

    Sebagai catatan, obrolan Trump-Putin berisi rencana mereka untuk mengakhiri perang di Ukraina dan sepakat untuk bertukar kunjungan.

    Reporter senior CNN, Stephen Collinson, menganalisis, panggilan telepon antar-presiden tersebut sebagi satu di antara dua kejutan geopolitik yang akan mengubah hubungan transatlantik, merujuk pada aliansi pertahanan negara-negara Eropa, NATO.

    Satu kejutan lainnya adalah, juga pada Rabu, kepergian Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth ke Brussels dan meminta sekutu Eropa untuk “mengambil alih kepemilikan keamanan konvensional di benua itu.”

    Collinson menggarisbawahi, dua kejutan ini menggambarkan kalau AS, di bawah kendali Trump, kini punya kebijakan luar negeri dan keamanan yang cenderung tidak lagi ramah bagi para sekutunya, khususnya mereka yang tidak menghasilkan keuntungan materialistis bagi negara Paman Sam.

    “Titik balik ini menyoroti jargon ‘America First’ Trump dan kecenderungannya untuk melihat setiap isu atau aliansi sebagai proposisi nilai dolar dan sen,” kata ulasan tersebut, dikutip Kamis.

    Artinya, meminjam istilah ‘matre’ untuk menunjukkan hal yang mengutamakan sisi matrialistis, AS kini akan lebih menimbang untung-rugi dalam jalinannya terhadap negara-negara sekutunya. 

    Selain berubah ‘matre’ demi AS, sikap Trump ini juga dinilai sebagai gambaran betapa sang presiden AS tak lagi mematuhi saran-saran yang berlandaskan pada pakem lama kebijakan luar negeri Barat.

    Kebijakan luar negeri yang lazimnya dijalankan AS lazimnya bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional, keamanan, dan kemakmuran ekonomi baik untuk AS maupun bagi negara-negara sekutunya. 

    Collinson menyebut pakem ini dengan istilah ‘mitologi’ yang sudah tidak dipakai lagi oleh Trump karena dianggap andil dalam kegagalan pada masa jabatan pertamanya di kursi presiden AS, empat tahun lalu.

    Dengan kata lain, Trump kini berfokus pada keuntungan materi dan strategis AS semata, dan untuk itu, kepentingan para sekutu tidak lagi menjadi hal utama. 

    Ilustrasi tank M1 Abram buatan AS yang disumbangkan ke Ukraina (Kementerian Pertahanan Ukraina)

    Bukan Lagi Guardian Angel

    Collinson juga menyoroti sikap AS terhadap aliansi pertahanan Eropa, NATO.
     
    “Meskipun Hegseth tetap berkomitmen membantu NATO, sesuatu yang mendasar telah berubah,” kata sang jurnalis.

    Ulasannya menyinggung soal peran besar Amerika memenangkan dua perang dunia yang dimulai di Eropa dan kemudian menjamin kebebasan benua itu dalam menghadapi ancaman Soviet.

    Namun, kata Collinson, makan siang tidak lagi gratis, dan AS meminta jatah lebih dalam porsi bagiannya.

    “Trump mengatakan di jalur kampanye bahwa ia mungkin tidak akan membela anggota aliansi yang belum cukup berinvestasi dalam pertahanan. Dengan demikian, ia menghidupkan kembali poin abadi yang dikemukakan dengan sangat fasih oleh Winston Churchill pada tahun 1940 tentang kapan “Dunia Baru, dengan segala kekuatan dan kekuasaannya” akan melangkah “untuk menyelamatkan dan membebaskan yang lama”,” kata ulasan Collinson menggambarkan paradigma baru AS terhadap hubungannya dengan negara-negara Eropa.

    Sebenarnya, tanda-tanda pemerintahan Trump ‘akan lebih matre’ dan lebih menuntut ke sekutu-sekutu AS di Eropa, sudah terlihat lebih mana.

    Namun, aksi dan pernyataan terang-terangan dari kubu Trump seperti membuat Eropa tersedak kenyataan kalau AS bukan lagi ‘Guardian Angel’ yang murah hati memberi perlindungan secara murah atau bahkan gratis.

    Terlebih, AS merasa dikerjai karena banyak negara-negara di Eropa banyak yang lebih mementingkan anggaran keperluan sosial ketimbang pertahanan.

    Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte mengatakan kepada Parlemen Eropa bulan lalu bahwa orang-orang Eropa harus menyediakan lebih banyak uang untuk militer mereka.

    “Jika Anda tidak melakukannya, ambil kursus bahasa Rusia atau pergilah ke Selandia Baru,” katanya.

    Wujud kegerahan AS atas sikap negara-negara Eropa soal anggaran pertahanan ditegaskan Hegseth.

    Ia memformalkan permintaan Trump agar anggota aliansi membelanjakan 5 persen dari PDB untuk pertahanan dan mengatakan AS akan memprioritaskan konfliknya yang semakin meningkat dengan Tiongkok dan keamanan perbatasannya daripada Eropa. 

    “Amerika Serikat tidak akan lagi menoleransi hubungan yang tidak seimbang yang mendorong ketergantungan,” kata kepala Pentagon yang baru tersebut.

    Collinson menyebut, pendekatan baru yang keras AS ini tidak seperti fantasi Trump untuk menggusur warga Palestina di Gaza untuk membangun “Riviera Timur Tengah.” 

    “Ini adalah respons rasional terhadap realitas politik yang berubah.  Generasi Terhebat yang berjuang dalam Perang Dunia II dan menghasilkan presiden yang memahami bahaya kekosongan kekuasaan di Eropa telah tiada. Setiap orang Amerika yang memiliki ingatan dewasa tentang Perang Dingin melawan Uni Soviet setidaknya berusia pertengahan 50-an,” kata dia dalam ulasannya untuk menjelaskan kalau perimbangan kekuatan dunia sudah berubah. 

    Realitasnya adalah, pesaing terkuat Amerika Serikat, China, ada di Asia, bukan Eropa. 

    “Jadi, wajar bagi Trump untuk bertanya mengapa benua itu masih belum mengambil alih pertahanan dirinya sendiri 80 tahun setelah kekalahan Nazi,” kata ulasan tersebut mencermati cara pandang Trump yang memandang NATO terlalu bergantung ke AS.

    “Presiden Amerika dan pemimpin Eropa (dalam beberapa dekade belakanan) berturut-turut telah gagal memikirkan kembali NATO untuk abad ke-21. Jika melihat ke belakang, aliansi transatlantik itu membuat dirinya sangat rentan terhadap presiden Amerika yang paling transaksional dan nasionalis (Trump) sejak abad ke-19,” sambung ulasan tersebut.

    Tulisan itu dimaksudkan untuk menohok NATO yang cenderung mengandalkan AS untuk maju bertempur, sedangkan mereka ‘asyik’ memikirkan negara masing-masing.

    Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio mengusulkan dalam sebuah wawancara baru-baru ini di “The Megyn Kelly Show” di Sirius XM bahwa AS seharusnya tidak menjadi “ujung tombak” keamanan Eropa, tetapi justru sebagai “back stopper”, beking di belakang.

    Rubio menegur negara-negara besar Eropa. “Ketika Anda bertanya kepada mereka, mengapa Anda tidak bisa menghabiskan lebih banyak uang untuk keamanan nasional, argumen mereka adalah karena itu akan mengharuskan kita melakukan pemotongan pada program kesejahteraan, tunjangan pengangguran, agar bisa pensiun pada usia 59 tahun dan semua hal lainnya,” kata Rubio. 

    “Itu pilihan yang mereka buat. Tapi kita mensubsidi itu?”

    Perlakuan Trump terhadap sekutu seperti Kanada dan Meksiko, serta seruannya agar Denmark menyerahkan Greenland, menunjukkan rasa jijiknya terhadap kebijakan luar negeri multilateral AS di masa lalu. 

    Ia selalu memuji Putin dan Presiden China Xi Jinping atas kecerdasan dan kekuatan mereka. Jelas ia menganggap mereka satu-satunya lawan bicara yang layak bagi pemimpin tangguh dari negara adidaya lainnya, Amerika Serikat.

    “Agenda Trump bukan tentang keamanan Eropa: ia berpendapat bahwa AS tidak perlu membayar keamanan Eropa,” kata Nicholas Dungan, pendiri dan CEO CogitoPraxis, konsultan strategis di Den Haag.

    “Ini bukan era baru hubungan transatlantik, melainkan era baru hubungan negara-negara besar global yang menggantikan struktur kelembagaan tatanan internasional liberal yang disengaja.”

    PRESIDEN ZELENSKY – Foto yang diambil dari laman President.gov.ua tanggal 5 Februari 2025 menunjukkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Presiden Ukraina nyatakan kesiapannya untuk berunding dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin. (President.gov.ua)

    Kabar Buruk Bagi Ukraina

    Ujian pertama realitas baru AS-Eropa ini akan datang melalui Ukraina.

    Trump mengatakan kalau negosiasi untuk mengakhiri perang Ukraina akan dimulai “segera” setelah panggilan teleponnya dengan Putin.

    Perlu dicatat, Putin adalah sosok yang telah dikucilkan oleh Barat sejak invasi militer Rusia ke Ukraina, sebuah negara demokrasi berdaulat, tiga tahun lalu.

    Obrolan Trump-Putin ini tidak menyertakan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, sebuah tanda yang mengkhawatirkan bagi pemerintah di Kyiv. 

    Selama ini, Zelensky berada di pusat (prioritas) semua hal yang dilakukan pemerintahan Joe Biden dalam perang tersebut. 

    “Trump memang menelepon Zelensky pada hari Rabu, tetapi presiden Amerika tersebut sudah memicu kekhawatiran bahwa dia akan menyusun resolusi yang menguntungkan Rusia,” kata ulasan tersebut. 

    Ketika ditanya oleh seorang reporter apakah Ukraina akan menjadi mitra yang setara dalam perundingan damai, Trump menjawab: “Itu pertanyaan yang menarik,” dan tampak berpikir dengan hati-hati, sebelum menjawab, “Saya katakan itu bukan perang yang baik untuk dilakukan,”.

    Ucapan Trump ini tampaknya menunjukkan kalau dia mempercayai pernyataan Putin kalau konflik tersebut adalah ‘kesalahan sebuah negara yang secara brutal diserbu oleh negara tetangga yang otoriter.’

    Pernyataan Hegseth juga terus terang menyudutkan posisi Ukraina dalam konfliknya dengan Rusia.

    “Ia memaparkan titik awal AS untuk negosiasi tersebut: Ukraina tidak dapat kembali ke perbatasannya sebelum tahun 2014 sebelum invasi Krimea, Ukraina tidak dapat bergabung dengan NATO, dan pasukan AS tidak akan berperan dalam pasukan keamanan apa pun untuk menjamin perdamaian pada akhirnya,” kata laporan tersebut. 

    Pasukan penjaga perdamaian apa pun harus terdiri dari pasukan Eropa dan non-Eropa dan tidak akan tercakup dalam klausul pertahanan bersama NATO — yang berarti AS tidak bisa campur tangan menyelamatkan aliansi ini jika terjadi bentrokan dengan pasukan Moskow.

    Sebagai catatan, mantan Presiden Joe Biden juga enggan membahas kemungkinan Ukraina mendapatkan keanggotaan NATO, karena khawatir akan terjadi bentrokan dengan Rusia yang memiliki senjata nuklir yang dapat berubah menjadi Perang Dunia III. 

    “Dan desakan Trump bahwa pasukan penjaga perdamaian Eropa tidak akan mengenakan seragam NATO akan dilihat sebagai langkah yang sama bijaksananya oleh banyak pengamat untuk menghindari menyeret AS ke dalam konflik dengan Rusia,” papar ulasan tersebut

    Namun, Rabu juga merupakan hari terbaik bagi Putin sejak invasi, karena hari itu menyapu bersih banyak ‘mimpi’ yang diperjuangkan Ukraina dalam perangnya dengan Rusia. 

    Hegseth berpendapat bahwa ia hanya mengutarakan kenyataan yang ada di lapangan.

    “Dan ia ada benarnya. Tidak seorang pun di AS atau Eropa berpikir waktu dapat diputar kembali ke tahun 2014. Dan Ukraina tidak dapat merebut kembali wilayahnya di medan perang meskipun mendapat bantuan miliaran dolar dari Barat,” papar ulasan tersebut.

    “Namun, dengan menyingkirkan isu-isu tersebut dari meja perundingan, Trump, yang seharusnya menjadi pembuat kesepakatan tertinggi, telah merampas kesempatan Ukraina untuk mendapatkan konsesi dari teman lamanya, Putin,” kata ulasan tersebut. 

    “Seperti yang terjadi saat ini, Trump tampaknya tidak keberatan Rusia mempertahankan hasil rampasan invasi yang tidak beralasan itu,” lanjut tulisan tersebut.

    Sikap AS terhadap negosiasi yang cenderung menguntungkan Rusia ini dinilai bukan hal yang mengejutkan.

    “Sebab, seperti Rusia, Amerika sekarang memiliki presiden yang percaya bahwa negara-negara besar berhak melakukan ekspansionisme di wilayah pengaruh regional mereka. Namun, memberi Rusia penyelesaian yang menguntungkan akan menjadi preseden yang buruk,” kata ulasan tersebut.

    Kemesraan yang Mengerikan

    Panggilan telepon AS-Rusia dan pertemuan puncak mendatang dengan Putin di Arab Saudi, yang menurut Trump akan segera terjadi, bisa jadi kode kalu Trump tidak hanya mengeluarkan Zelensky dari kesepakatan – tetapi Eropa juga.

    Dalam sebuah pernyataan, Prancis, Jerman, Polandia, Italia, Spanyol, Uni Eropa, Komisi Eropa, ditambah Inggris dan Ukraina, memperingatkan kalau “Ukraina dan Eropa harus menjadi bagian dari setiap negosiasi.”

    Dan mereka memperingatkan Trump, yang tampaknya menginginkan kesepakatan damai dengan cara apa pun, bahwa “perdamaian yang adil dan abadi di Ukraina merupakan syarat yang diperlukan untuk keamanan transatlantik yang kuat.”

    Mantan Perdana Menteri Swedia Carl Bildt merasa khawatir dengan panggilan telepon yang mesra antara Trump dan Putin. 

    “Yang mengganggu tentu saja adalah kita memiliki dua orang besar, dua ego besar… yang percaya bahwa mereka dapat mengatur semua masalah sendiri,” katanya kepada Richard Quest di CNN International.

    Bildt membangkitkan analogi sejarah yang paling memberatkan yang mungkin terjadi — peredaan Adolf Hitler oleh Inggris yang memungkinkan Nazi untuk mencaplok Sudetenland.

    “Bagi telinga orang Eropa, ini terdengar seperti Munich. Kedengarannya seperti dua pemimpin besar yang menginginkan perdamaian di zaman kita, (atas) negara yang jauh yang tidak mereka ketahui. Mereka sedang mempersiapkan untuk membuat kesepakatan di atas kepala negara tertentu. Banyak orang Eropa tahu bagaimana film itu berakhir.”

    Strategi Trump Masih belum Jelas

    Hancurnya banyak keinginan dan harapan Zelensky berarti bahwa persetujuan Kyiv terhadap kesepakatan Putin-Trump tidak dapat dianggap remeh. 

    Dan setelah kemenangannya yang stabil di medan perang, tidak ada kepastian bahwa pemimpin Rusia itu sangat menginginkan penyelesaian yang cepat seperti Trump, yang telah lama mendambakan Hadiah Nobel Perdamaian.

    Namun, kerangka penyelesaian yang memungkinkan telah menjadi topik pembicaraan pribadi di Washington dan ibu kota Eropa selama berbulan-bulan, bahkan selama pemerintahan Biden.

    Seperti yang dijelaskan Hegseth, harapan Ukraina untuk mendapatkan kembali semua tanahnya yang hilang tidaklah realistis.

    Yang mungkin muncul adalah solusi yang sejalan dengan pemisahan Jerman setelah Perang Dunia II, dengan wilayah yang diduduki Rusia dibekukan di bawah kendalinya sementara wilayah Ukraina lainnya — di sisi lain perbatasan yang keras — tetap menjadi negara demokrasi.

    Mungkin wilayah barat akan diizinkan untuk bergabung dengan Uni Eropa, seperti Jerman Barat lama. Namun kali ini, pasukan AS tidak akan membuatnya aman untuk kebebasan.

    “Posisi AS terhadap Ukraina sebagaimana diutarakan hari ini seharusnya tidak mengejutkan siapa pun di Eropa: itu hanyalah apa yang telah dikatakan oleh orang dalam Eropa kepada saya secara rahasia, di saluran rahasia, di balik layar selama dua tahun: Ukraina Barat dan Ukraina Timur, seperti Jerman Barat dan Jerman Timur, tetapi dalam kasus ini – Uni Eropa Ya, NATO Tidak,” kata Dungan.

    “Solusi semacam itu akan memunculkan ironi sejarah yang kejam. Putin, yang menyaksikan dengan putus asa dari jabatannya sebagai perwira KGB di Dresden saat Uni Soviet bubar, mungkin akan segera menciptakan Jerman Timur baru di Eropa abad ke-21 dengan bantuan Amerika,” tulis kesimpulan Collinson dalam ulasannya.
     
     

  • Imbas Kebijakan Imigrasi Donald Trump, 4.276 WNI di Amerika Serikat Terancam Dideportasi – Halaman all

    Imbas Kebijakan Imigrasi Donald Trump, 4.276 WNI di Amerika Serikat Terancam Dideportasi – Halaman all

    TRIBUNNEWS, JAKARTA – Sebanyak 4.276 Warga Negara Indonesia (WNI) di Amerika Serikat terancam dideportasi.

    Mereka terancam dideportasi dari negara tersebut imbas kebijakan imigrasi yang lebih ketat di Amerika Serikat pasca-dilantiknya kembali Donald Trump menjadi presiden.

    Direktur Perlindungan WNI Kemlu RI, Judha Nugraha mengatakan, hingga November 2024, ada 4.276 WNI di Amerika Serikat yang tercatat dalam Final Order of Removal.

    Final order of removal atau perintah pengusiran terakhir adalah putusan hukum yang memerintahkan seseorang meninggalkan suatu negara.

    “Jadi ini dapat kami sampaikan bahwa berdasarkan informasi yang diterima oleh perwakilan RI per tanggal 24 November 2024, ada 4.276 warga negara Indonesia yang tercatat dalam Final Order of Removal,” kata Judha dalam press briefing Kemlu RI di kantor Kemlu RI, Jakarta, Kamis (13/2/2025).

    “Ini tahun 2024 ya, tahun 2024 dahulu memang bagi warga negara kita yang berstatus undocumented dan kemudian masuk dalam list namanya Non-Citizen, Non-Detain with Final Order of Removal. Jadi tidak ditangkap, tidak ditahan, namun masuk dalam list Final Order of Removal. Itu ada 4.276 dari total 1,4 juta warga negara asing yang ada di Amerika Serikat yang masuk dalam Final Order tersebut. Ini sebagai contoh kasus BK yang ditangkap di New York, itu sebetulnya dia sudah masuk ke dalam Final Order,” jelas Judha.

    Judha menjelaskan, Kementerian Luar Negeri dan 6 perwakilan RI di AS telah berkoordinasi mengantisipasi dan menyiapkan langkah-langkah perlindungan yang diperlukan.

    Hingga saat ini, ada dua WNI yang dilaporkan ditangkap, satu di Atlanta, Georgia, dan satu di New York. Sisanya masih dalam pemantauan.

    “Kita terus pantau. Saat ini kan hanya dua yang kami dapat informasi ditahan. Kita akan terus monitor. Sekali lagi kita terus mengimbau kepada masyarakat jika terjadi kasus penangkapan, segera hubungi hotline perwakilan RI kita yang terdekat. Kemudian pahami hak-hak yang mereka miliki dalam sistem hukum Amerika Serikat dan KBRI ataupun KJRI akan memberikan pendampingan hukum yang diperlukan,” lanjutnya.

    Sementara itu Wakil Menteri Luar Negeri RI, Arrmanatha Nasir, mengatakan, kebijakan imigrasi yang lebih ketat di Amerika Serikat itu tidak hanya menyasar WNI, tetapi juga warga negara asing lainnya, terutama dari Amerika Latin, Tengah, dan Selatan.

    “Terkait kebijakan (Presiden Donald) Trump, ini kan memang khusus ditujukan kepada para warga negara asing di Amerika Serikat secara ilegal, dan ini bukan WNI saja, tapi justru dari negara-negara lain, terutama dari negara-negara Amerika Latin, Tengah dan Selatan,” kata Arrmanatha Nasir.

    Sebagai langkah antisipasi, pemerintah Indonesia mengimbau kepada para WNI untuk selalu membawa kartu identitas agar dapat segera menyampaikan status legalitas mereka saat ada razia.

    Jika ada WNI yang tertangkap, kata dia, Perwakilan RI di Amerika Serikat dapat meminta kepulangan mereka atau memberikan bantuan hukum yang diperlukan.

    “Antisipasi yang dilakukan termasuk terus mengimbau WNI untuk selalu membawa kartu identitas. Jadi apabila ada razia, mereka bisa segera menyampaikan status legal/ilegal. Dan apabila kita ketahui WNI yang terkena razia, kita perwakilan bisa meminta segera atas kepulangan, itu upaya kita bisa membantu mereka apakah ada upaya untuk bisa melakukan bantuan hukum yang diperlukan,” kata Armanantha.(Grace Sanny Vania)

  • Usul Trump soal ‘Riviera’ di Gaza Disambut tapi Tidak Usir Warga

    Usul Trump soal ‘Riviera’ di Gaza Disambut tapi Tidak Usir Warga

    Jakarta

    Usulan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump soal ‘Riviera’ di Gaza disambut baik. Usulan soal ‘Riviera’ itu asalkan tidak mengusir orang-orang Palestina.

    Dirangkum detikcom, Kamis (13/2/2025), seorang diplomat senior Arab Saudi mengatakan pemerintahnya akan menyambut baik ‘Riviera’ di Gaza. Diplomat tersebut, Duta Besar Saudi untuk Inggris Pangeran Khalid bin Bandar menanggapi usulan terbaru Presiden AS Donald Trump agar Amerika Serikat mengambil alih Gaza dan mengembangkannya menjadi ‘Riviera Timur Tengah’. Riviera merupakan kawasan wisata terkenal di Italia.

    “Posisi pemerintah saya adalah bahwa kami akan menyambut Riviera di Gaza. Saya pikir itu akan luar biasa,” kata Pangeran Khalid bin Bandar, dilansir Al Arabiya. “Tetapi kami tidak akan melakukannya dengan mengusir orang-orang Palestina, tentu saja tidak memindahkan mereka ke Saudi; mereka tidak ingin pindah,” ujarnya.

    “Anda tahu, itu tanah mereka, itu wilayah mereka. Mereka berhak mendapatkan semua yang terbaik yang dapat kita berikan untuk mereka di sana, dan kami akan menyambut baik upaya Amerika untuk memperbaiki situasi mereka di lapangan,” kata Pangeran Khalid dalam sebuah wawancara dengan London Broadcasting Company (LBC).

    Usulan Trump agar AS mengendalikan Gaza dan mengusir warga Palestina telah memicu kecaman keras di seluruh dunia Arab dan sebagian besar Eropa. Selama konferensi pers dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu minggu lalu, Trump menyebut Gaza sebagai lokasi pembongkaran dan menyarankan agar warga Palestina direlokasi ke negara lain untuk mendapatkan kondisi kehidupan yang lebih baik.

    Sikap Pemerintah Saudi terhadap Konflik Arab-Israel

    Foto: Donald Trump (Jim Watson/AFP/Getty Images).

    Israel dan Netanyahu melangkah lebih jauh dengan menyarankan agar Arab Saudi mendirikan negara bagi warga Palestina di dalam kerajaan itu, yang memicu reaksi keras dan kecaman di seluruh dunia Arab.

    Ketika ditanya apakah Arab Saudi akan menyediakan relokasi sementara bagi warga Palestina, Pangeran Khalid mengatakan bahwa itu adalah keputusan yang harus diambil warga Palestina.

    “Anda tahu, kami senang menerima orang-orang dan kami adalah negara yang ramah. Jika ada situasi yang mengharuskan mereka datang ke Saudi, maka mereka dipersilakan untuk datang, tetapi saya rasa mereka tidak ingin pergi,” katanya.

    Diplomat Saudi itu menegaskan kembali sikap pemerintah Saudi terhadap konflik Arab-Israel yang telah konsisten selama beberapa dekade: “Sangat sederhana, solusi dua negara berdasarkan perbatasan tahun 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.”

    Namun, katanya, ini adalah perspektif Saudi. “Namun, perspektif yang penting adalah perspektif Palestina dan Israel. Mereka berdua perlu sepakat tentang solusi yang tepat. Dari sudut pandang kami, kami tidak melihat pilihan lain,” ujarnya.

    Tonton juga Video Trump Mau Ambil Alih Gaza, Liga Arab: Siklus Baru Konflik Intens Arab-Israel

    Halaman 2 dari 2

    (whn/isa)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu