Jenis Media: Internasional

  • Jadi Mata-mata Ukraina, Pria Rusia Divonis 16 Tahun Bui

    Jadi Mata-mata Ukraina, Pria Rusia Divonis 16 Tahun Bui

    Moskow

    Pengadilan militer Rusia menjatuhkan vonis hukuman 16 tahun penjara terhadap seorang pria yang dituduh menjadi mata-mata Ukraina. Pria Rusia ini dituduh memberikan data soal situs militer di dekat Moskow kepada Ukraina dan mempersiapkan serangan di negara tersebut.

    Komite Investigasi Rusia dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP, Selasa (25/2/2025), menyebut pria yang tidak disebut identitasnya itu memfilmkan sistem pertahanan udara di area Podolsk, yang berjarak sekitar 40 kilometer sebelah selatan Moskow, pada April tahun lalu.

    Pria itu kemudian mengirimkan gambar-gambar sistem pertahanan udara itu, yang disertai data geografis, sebut Komite Investigasi Rusia, kepada “mentornya di Ukraina untuk memandu serangan drone terhadap situs militer ini”.

    Komite Investigasi Rusia mengatakan bahwa pria yang diadili itu juga membawa senjata dari Ukraina ke wilayah Rusia tahun 2017 lalu, untuk mempersiapkan serangan di beberapa wilayah, termasuk Bryansk, Kursk, dan Belgorod, yang semuanya berbatasan dengan Ukraina.

    Pengadilan militer Rusia juga memutuskan pria itu bersalah atas dakwaan mempersiapkan serangan, penyelundupan senjata, dan keterlibatan dalam aktivitas teroris.

    Lihat juga Video ‘Intelijen Militer Ukraina: 50% Amunisi Rusia Dipasok oleh Korut’:

    Rusia telah melancarkan tindakan keras terhadap pihak-pihak yang mengkritik apa yang mereka sebut sebagai operasi militer khusus Moskow di Ukraina sejak Februari 2022 lalu.

    Para pengkritik itu disidang atas berbagai tuduhan, mulai dari pengkhianatan, terorisme, ekstremisme, sabotase, hingga spionase. Semakin hari, persidangan terhadap para pengkritik operasi militer atau invasi Rusia ke Ukraina itu semakin meningkat.

    Sejak tahun 2022, ribuan orang telah dijatuhi sanksi, diancam atau dijebloskan ke penjara di berbagai wilayah Rusia karena menunjukkan perlawanan mereka terhadap invasi yang dipicu Moskow di Ukraina.

    Lihat juga Video ‘Intelijen Militer Ukraina: 50% Amunisi Rusia Dipasok oleh Korut’:

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Israel Bilang Pernah Sodorkan Peta ke Palestina, Solusi Ciptakan Perdamaian

    Israel Bilang Pernah Sodorkan Peta ke Palestina, Solusi Ciptakan Perdamaian

    PIKIRAN RAKYAT – Pada 16 September 2008, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert pernah meminta pemimpin Palestina untuk menyetujui solusi dua negara. Kala itu, dia berharap agar pemimpin Palestina menyetujuinya.

    Peta itu ditunjukkan kepada Mahmoud Abbad, Ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Olmert yakin, peta yang disodorkan ke pemimpin Palestina itu bisa membawa perdamaian Timur Tengah.

    Ehud Olmert bersumbar, selama 50 tahun ke depan, tak akan menemukan satu pun pemimpin Israel yang akan mengusulkan usulannya tersebut. Dia bahkan mendesak agar pemimpin Palestina menandatanganinya.

    “Tandatangani! Tandatangani dan mari kita ubah sejarah!” kata Ehud Olmert, seperti dilaporkan BBC, Selasa, 25 Februari 2025.

    Peta usulan Olmert yang disodorkan kepada Mahmoud Abbas.

    Dalam peta yang dibikin Olmert itu, negara Palestina memiliki wilayah lebih dari 94 persen wilayah Tepi Barat. BBC bilang, peta yang disusun eks PM Israel itu kini statusnya bak mitos.

    Dalam serial Israel and the Palestinians: The Road to 7th October, tersedia di iPlayer mulai 24 Februari 2025, Olmert bilang kalau momen menunjukkan peta itu adalah kali pertama dia memperlihatkannya ke media.

    Peta tersebut menunjukkan wilayah yang diusulkannya untuk dianeksasi ke Israel, sebesar 4,9 persen dari Tepi Barat. Wilayah itu akan mencakup blok permukiman Yahudi utama.

    BBC menyebut, mirip dengan sejumlah proposal sebelumnya, berasal dari akhir tahun 1990-an.

    Adapun, sebagai imbalan, Olmert bilang kalau pihaknya bakal menyerahkan jumlah wilayah Israel yang setara, yakni di sepanjang tepi Tepi Barat dan Jalur Gaza, kedua wilayah itu bakal terhubung melalui terowongan atau jalan raya.

    Dia pun menyampaikan kalau pemimpin Palestina menanggapi sodoran tersebut. “Dia berkata: Perdana Menteri, ini sangat serius. Ini sangat sangat, sangat serius.”

    Rencana tersebut mencakup usulan solusi untuk masalah di Yerusalem.

    Implikasi peta itu berdampak besar untuk permukiman Yahudi. Bila diterapkan, maka komunitas yang tersebar di seluruh Tepi Barat dan Lembah Yordania bakal dievakuasi.

    Usulan Olmert Tak Terealisasi

    Walakin, di akhir pertemuan, Olmert menolak salinan peta yang disodorkan itu diserahkan ke Mahmoud Abbas. Kecuali, bila ditandatangani.

    Kala itu, Mahmoud Abbas menolak. Dia mengatakan, perlu menunjukkan peta yang disodorkan Olmert kepada para ahli, sehingga memahami apa yang ditawarkan.

    Abbas dan Olmert lantas bersepakat untuk bertemu kembali dengan para ahli peta. Namun, kedua belah pihak tak pernah bertemu lagi.

    Peta Olmert tak tampak lagi. Rencana itu tak terealisasi. Olmert bilang, menunggu jawaban Abbas.

    “Namun rencananya kini telah bergabung dengan daftar panjang peluang yang terlewat untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina,” kata BBC.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Korban Tewas Jembatan Ambruk di Korsel Bertambah Jadi 4 Orang

    Korban Tewas Jembatan Ambruk di Korsel Bertambah Jadi 4 Orang

    Seoul

    Korban tewas dalam insiden ambruknya sebuah proyek jembatan jalan raya di salah satu area di Seoul, ibu kota Korea Selatan (Korsel), bertambah menjadi sedikitnya empat orang. Dua korban tewas di antaranya merupakan warga negara China.

    Laporan kantor berita Yonhap, seperti dilansir Reuters, Selasa (25/2/2025), menyebut insiden itu terjadi di area Anseong, yang berjarak sekitar 70 kilometer dari Seoul, pada Selasa (25/2) pagi, sekitar pukul 09.49 waktu setempat.

    Lima struktur beton berukuran 50 meter yang menopang jembatan jalan raya itu, menurut Yonhap, tiba-tiba runtuh satu demi satu setelah diangkat ke tempatnya dengan derek. Penyebab runtuhnya struktur beton itu belum diketahui secara jelas.

    Seorang pejabat dinas pemadam kebakaran Anseong, Ko Kyung Man, menyatakan sedikitnya empat orang tewas dalam insiden tersebut. Dua korban tewas di antaranya merupakan warga negara China.

    Enam orang lainnya mengalami luka-luka, dengan lima orang di antaranya dalam kondisi kritis di rumah sakit setempat. Salah satu korban luka yang kritis itu juga berkewarganegaraan China.

    “Mereka sedang memasang penopang di jembatan itu. Semuanya sepuluh orang itu berada di atas penopang tersebut… dan terjatuh dari kedua sisi ketika penopang itu runtuh,” tutur Ko dalam konferensi pers yang disiarkan televisi setempat.

    Laporan televisi lokal YTN menayangkan rekaman video dramatis yang memperlihatkan penopang jembatan itu, yang ada di ketinggian, runtuh di lokasi pembangunan.

    Para petugas penyelamat di lokasi insiden terlihat memeriksa penyangga logam yang ringsek dan lempengan beton yang retak di bawah kolom jembatan jalan raya yang masih dalam proses pembangunan tersebut.

    Presiden sementara Korsel, Choi Sang Mok, menyerukan pengerahan semua personel dan sumber daya yang ada untuk menyelamat orang-orang yang masih hilang dan memastikan langkah-langkah keamanan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

    Badan Pemadam Kebakaran Nasional Korsel mengatakan pihaknya telah mengerahkan tiga helikopter dan hampir 150 petugas untuk membantu operasi pencarian dan penyelamatan. Kementerian Transportasi Korsel, secara terpisah, mengatakan bahwa mereka telah mengerahkan tim pejabat ke lokasi kejadian.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Ancaman Kekerasan Terhadap Jurnalis Meningkat Pesat di Pakistan – Halaman all

    Ancaman Kekerasan Terhadap Jurnalis Meningkat Pesat di Pakistan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dalam perjuangan kebebasan pers dan berekspresi, Pakistan disebut menjadi salah satu negara belum ramah untuk jurnalis. 

    Dikutip dari Daily Asian Age, Selasa (25/2/2025), kekerasan terhadap jurnalis, dan bahkan juga pembunuhan, meningkat pesat di negara tersebut.

    Peningkatan terjadi di tengah kekacauan politik dan sensor media di Pakistan.

    Menurut laporan Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), Pakistan berada di peringkat kedua dalam jumlah pembunuhan jurnalis secara global.

    CPJ, yang berbasis di New York, telah mendokumentasikan enam kematian jurnalis di Pakistan pada 2024.

    Hal tersebut menjadi pengingat suram perihal nasib jurnalis dan pekerja media di negara tersebut.

    Sejarah kelam penyerangan terhadap jurnalis

    Pakistan telah lama terkenal karena permusuhannya terhadap jurnalis. Pegiat media sering menjadi sasaran kekerasan, pelecehan, dan intimidasi. 

    Negara ini menghadapi tantangan terkait ketidakstabilan politik, korupsi, dan kontrol militer. Bobroknya ketiga unsur itu berkontribusi menciptakan lingkungan yang tak ramah media.

    Jurnalis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, operasi militer, atau elit berkuasa sering kali menghadapi ancaman. Mulai dari penyerangan fisik hingga penghilangan paksa, dan dalam banyak kasus mereka dibunuh.

    CPJ rutin memasukkan Pakistan ke dalam daftar negara di mana jurnalis menghadapi risiko tertinggi. Selama bertahun-tahun, puluhan jurnalis dibunuh atau dihilangkan, dan banyak lainnya terpaksa meninggalkan negara tersebut karena ancaman terhadap nyawa mereka. 

    Laporan pada 2024 ini merupakan indikasi nyata. Yakni, betapa sedikitnya perubahan yang terjadi pada media di Pakistan, bahkan ketika perhatian global terhadap kebebasan pers semakin meningkat.

    Laporan CPJ menyoroti meningkatnya ancaman

    Pada 2024, CPJ melaporkan enam pembunuhan jurnalis di Pakistan. Hal ini menandai tren meresahkan atas penurunan kebebasan pers secara global. 

    Laporan tahunan CPJ menyoroti bahaya yang dihadapi jurnalis di seluruh dunia. Termasuk, penangkapan sewenang-wenang, ancaman, sensor, dan, yang paling meresahkan, pembunuhan. 

    Meskipun jumlah pembunuhan jurnalis secara global menurun, situasi di Pakistan masih tetap memprihatinkan. Jurnalis yang bekerja di negara ini terus bergulat dengan kombinasi ketegangan politik, sensor media, dan impunitas sistemik. 

    Laporan CPJ mencatat bahwa banyak dari pembunuhan ini tidak terselesaikan, dan pelakunya jarang diadili. Impunitas bagi pelaku kejahatan terhadap media di Pakistan, telah menciptakan budaya ketakutan.

    Kopndisi itu menghalangi banyak orang untuk bersuara menentang korupsi, ketidakadilan, dan kekerasan oleh negara. Kurangnya akuntabilitas ini memperkuat gagasan bahwa wartawan dapat disingkirkan, dan suara mereka dapat dibungkam tanpa mendapat hukuman.

    Kerusuhan politik dan dampaknya terhadap jurnalisme

    Situasi politik di Pakistan bergejolak dalam beberapa tahun terakhir, dengan seringnya pergantian pemerintahan, pengaruh militer terhadap kepemimpinan sipil, dan sejarah protes dan kerusuhan. Ketidakstabilan politik ini berdampak buruk pada kebebasan pers, karena jurnalis seringkali terjebak dalam baku tembak antara berbagai faksi yang berebut kekuasaan. 

    Media di Pakistan sering kali digunakan sebagai medan pertempuran bagi kekuatan politik yang ingin mengendalikan narasi dan mereka yang berani menentang status quo berisiko menjadi sasarannya. Selama periode kerusuhan politik, jurnalis menjadi sasaran karena liputan mereka mengenai protes, korupsi pemerintah, dan aksi militer.

    Dalam beberapa kasus, wartawan dituduh bias atau bekerja melawan kepentingan nasional, sehingga berujung pada pelecehan atau bahkan kekerasan. Salah satu faktor utama yang mendorong penargetan jurnalis adalah meningkatnya pengaruh militer di bidang politik dan sosial Pakistan. 

    Militer, yang telah memerintah Pakistan dalam sebagian besar sejarahnya, dikenal karena kontrolnya yang ketat terhadap media dan dituduh menyensor liputan-liputan kritis. Jurnalis yang melaporkan operasi militer, seperti konflik yang sedang berlangsung di Balochistan atau situasi di sepanjang perbatasan Afghanistan, berisiko tinggi menghadapi intimidasi, penangkapan, atau hal yang lebih buruk lagi.

    Sensor media

    Faktor lain yang berkontribusi terhadap meningkatnya bahaya bagi jurnalis di Pakistan adalah meningkatnya sensor media. Selama bertahun-tahun, pemerintah Pakistan, militer, dan badan intelijen telah melakukan upaya signifikan untuk mengendalikan arus informasi dan menekan jurnalisme independen.

    Lanskap media di negara ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan pemerintah untuk mempertahankan citra positif, yang sering kali mengorbankan kebebasan pers. Jurnalis di Pakistan menghadapi berbagai tekanan untuk menyesuaikan diri dengan narasi resmi. Tekanan-tekanan tersebut datang dalam bentuk pembatasan hukum, ancaman, dan sensor langsung. 

    Pemerintah dan militer sering menggunakan undang-undang penodaan agama, undang-undang penghasutan, dan undang-undang anti-terorisme untuk membungkam perbedaan pendapat dan menghukum wartawan yang melaporkan hal-hal buruk tentang pihak berwenang.

    Media yang gagal mematuhi batasan sering kali ditutup, dan jurnalis yang menolak mematuhinya akan dipaksa melakukan sensor mandiri atau menghadapi konsekuensi serius.

    Otoritas Pengaturan Media Elektronik Pakistan (PEMRA) diketahui mengeluarkan perintah kepada media, mendikte apa yang boleh dan tidak boleh disiarkan. Perintah ini seringkali tidak jelas dan dapat digunakan untuk membenarkan penyensoran terhadap liputan kritis.

    Ketakutan akan dampak buruknya telah menyebabkan banyak jurnalis menghindari liputan topik-topik sensitif, seperti operasi militer, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka yang berani menyelidiki masalah ini berisiko menjadi sasaran otoritas negara, kelompok militan, atau unsur kriminal.

    Nasib jurnalis di lapangan

    Bagi banyak jurnalis di Pakistan, lingkungan menjadi semakin tidak bersahabat, dengan ancaman datang dari segala arah. Pekerja lepas dan reporter investigatif merupakan kelompok yang paling rentan karena mereka sering kali tidak mendapatkan perlindungan yang diberikan oleh organisasi berita besar.

    Banyak reporter yang terpaksa bekerja di bawah tekanan berat, karena mengetahui bahwa mereka bisa menjadi target berikutnya. Meski terdapat risiko, banyak jurnalis yang terus melaporkan isu-isu penting, seringkali dengan kerugian pribadi yang besar. 

    Namun, pekerjaan mereka sering kali tidak dihargai, dan pengorbanan mereka dilupakan begitu mereka dibunuh atau dibungkam. Organisasi internasional seperti CPJ telah berulang kali menyerukan perlindungan yang lebih besar bagi jurnalis dan akuntabilitas yang lebih besar bagi mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan terhadap pers. 

    Pembunuhan jurnalis di Pakistan bukanlah satu-satunya insiden, namun merupakan bagian dari tren otoritarianisme dan penindasan media yang semakin meningkat di wilayah tersebut. Komunitas internasional mengutuk meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis di Pakistan, dan mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah berarti dalam melindungi kebebasan pers.

    Perserikatan Bangsa-Bangsa, Reporters Without Borders (RSF), dan organisasi hak asasi manusia lainnya telah meminta Pakistan untuk menyelidiki pembunuhan jurnalis, memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab harus bertanggung jawab, dan menciptakan lingkungan di mana jurnalis dapat beroperasi tanpa rasa takut akan kekerasan atau sensor.

    Ada seruan untuk melakukan reformasi terhadap kerangka hukum dan kelembagaan Pakistan untuk menjaga kebebasan pers.

    Situasi di Pakistan menjadi pengingat akan pentingnya kebebasan pers dan peran jurnalisme independen dalam demokrasi yang sehat. 

    Ketika jurnalis dibungkam, masyarakat kehilangan kemampuannya untuk meminta pertanggungjawaban pihak yang berkuasa, dan korupsi, kekerasan, dan ketidakadilan tidak terkendali.

    Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, jurnalis di Pakistan terus menjadi mercusuar perlawanan, berdiri teguh dalam menghadapi kesulitan, bahkan ketika mereka mempertaruhkan nyawa untuk melaporkan kebenaran.

    Posisi Pakistan sebagai negara kedua yang paling mematikan bagi jurnalis pada 2024 merupakan cerminan suram dari ancaman yang terus berlanjut terhadap kebebasan pers dan keselamatan jurnalis.

    Kerusuhan politik, meningkatnya sensor media, dan kurangnya akuntabilitas atas kekerasan terhadap wartawan, berkontribusi terhadap lingkungan yang tidak bersahabat bagi pers.

    SUMBER

  • Mengapa Pakistan Mengusir Para Pengungsi Afghanistan?

    Mengapa Pakistan Mengusir Para Pengungsi Afghanistan?

    Jakarta

    Seorang wanita yang kita sebut Fatima melarikan diri dari Afganistan bersama keluarganya pada Desember 2021. Ia sempat bekerja untuk sebuah organisasi nirlaba Amerika Serikat di Kabul. Namun, setelah penarikan pasukan AS pada musim panas 2021 dan Taliban kembali berkuasa, dia terpaksa meninggalkan negaranya.

    Sekarang ia tinggal di Islamabad, Pakistan, tetapi masa berlaku visa-nya hampir habis dan masih dalam proses perpanjangan.

    “Saya khawatir tentang pembaruan visa saya dan jika tidak diperbarui tepat waktu, pihak berwenang akan menangkap saya dan keluarga karena tinggal secara ilegal di negara ini,” kata Fatima kepada DW.

    Aparat kepolisian termasuk polisi wanita, menggerebek gedung tempat tinggal Fatima untuk mencari pengungsi Afganistan tanpa dokumen. Fatima tidak berada di sana saat itu, tetapi saudara laki-lakinya ditahan.

    “Kami menunjukkan tanda terima dan bukti pengajuan perpanjangan visa, tetapi polisi tetap tidak mau bekerja sama,” kata Fatima, yang kini bersembunyi dari pihak berwenang.

    Waktu semakin menipis bagi para pengungsi di Islamabad dan Rawalpindi

    Pada tahun 2023, Pakistan memulai inisiatif untuk memulangkan sekitar empat juta warga Afganistan yang telah memasuki negara itu selama 40 tahun terakhir. Pemerintah menetapkan batas waktu hingga 31 Maret untuk mengusir warga asing yang tinggal secara ilegal, dengan operasi pencarian yang berlangsung pada Januari dan Februari.

    Umer Gillani, seorang ahli hukum dan aktivis hak asasi manusia, kepada DW mengatakan, pengungsi Afganistan yang tinggal di Islamabad dan kota terdekat Rawalpindi “telah diminta secara lisan untuk meninggalkan Pakistan sebelum tanggal 28 Februari.”

    Moniza Kakar, seorang pengacara yang bekerja untuk advokasi pengungsi di Pakistan, juga menyatakan kepada DW terdapat “ketidakpastian dan ketakutan” di antara warga Afganistan di wilayah tersebut.

    “Sejak awal tahun ini, lebih dari 1.000 warga Afganistan telah ditahan di Islamabad, dan lebih dari 18.000 orang dipaksa meninggalkan Islamabad dan Rawalpindi akibat instruksi pemerintah di Islamabad,” tambahnya.

    Selama bertahun-tahun bekerja sama dengan Amerika

    Amin, seorang pria berusia 28 tahun asal Kabul, telah menghabiskan waktu bertahun-tahun berkolaborasi dengan Amerika Serikat dalam upaya memerangi Taliban di Afganistan. Namun, ia akhirnya terpaksa melarikan diri ke Pakistan dengan menyeberangi perbatasan.

    Dia mengungkapkan, awalnya hanya tinggal menunggu beberapa hari lagi untuk dievakuasi ke Amerika Serikat. Namun, rencana tersebut tertunda bulan lalu setelah Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang menangguhkan program penempatan kembali pengungsi.

    Kini, hampir 20.000 warga Afganistan menunggu di Pakistan untuk mendapatkan persetujuan bermukim kembali di AS melalui program pemerintah Amerika.

    “Kami telah bekerja sama dengan Amerika selama bertahun-tahun. Kami membantu dan mendukung mereka di Afganistan, bahkan memberikan sebagian dari hidup kami. Sekarang, mereka seharusnya mendukung kami agar kami bisa hidup dengan damai,” kata Amin kepada DW.

    Ketegangan antara Kabul dan Islamabad makin panas

    Selama tiga tahun terakhir, hubungan antara Pakistan dan Afganistan, negara tetangganya, semakin memburuk.

    Islamabad menuding otoritas Taliban di Afganistan tidak mampu mengendalikan operasi kelompok militan Tehreek-e-Taliban Pakistan (TTP), yang didirikan pada tahun 2007 dan telah melancarkan berbagai serangan terhadap pasukan keamanan Pakistan.

    Ketegangan lintas perbatasan dengan rezim Taliban yang semakin meningkat juga memicu kekhawatiran mengenai kesejahteraan warga Afganistan di Pakistan. Hal ini muncul di tengah laporan-laporan tentang dugaan intimidasi dan penangkapan. Pelapor khusus PBB telah menyuarakan keprihatinannya dan menegaskan, warga Afganistan di wilayah tersebut berhak mendapatkan perlakuan yang lebih manusiawi.

    Aktivis Gilani menyatakan, jutaan pengungsi Afganistan di Pakistan sering dijadikan “sandera untuk menekan setiap kali terjadi ketegangan antara kedua negara.”

    Minggu lalu, Kementerian Luar Negeri Pakistan membantah klaim yang diajukan oleh kuasa usaha Afganistan mengenai perlakuan buruk terhadap pengungsi Afganistan di Pakistan. Mereka menyebut tuduhan tersebut sebagai “tidak berdasar” dan mendesak Kabul untuk memfasilitasi pemulangan warga Afganistan secara lancar.

    Terpaksa Mengungsi Kembali Setelah Puluhan Tahun Tinggal di Pakistan

    Pakistan telah menjadi tempat berlindung bagi ratusan ribu pengungsi dari negara tetangganya, sebuah situasi yang dipicu oleh ketidakstabilan regional selama beberapa dekade. Warga Afganistan yang tiba di Pakistan setelah Taliban merebut kekuasaan pada Agustus 2021, bergantung pada perpanjangan visa untuk tetap tinggal di negara tersebut. Namun, proses ini mahal, penuh ketidakpastian, dan sering kali mengalami penundaan yang lama.

    “Kisah para pengungsi ini sangat memilukan. Keluarga-keluarga yang telah menetap di Pakistan selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, kini terpaksa mengungsi lagi akibat ketegangan antara kedua negara. Anak-anak, perempuan, dan laki-laki yang telah mengalami begitu banyak penderitaan diperlakukan seolah-olah mereka tidak bernilai. Ini bukan hanya krisis pengungsi, melainkan krisis kemanusiaan,” ungkap pengacara Kakar.

    Artikel ini diadaptasi dari bahasa Inggris

    Lihat juga Video ‘Mendobrak Jalan Buntu Penantian Pengungsi ke Negara Impian’:

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Menteri Selandia Baru Mundur Usai Diadukan karena Sentuh Lengan Staf

    Menteri Selandia Baru Mundur Usai Diadukan karena Sentuh Lengan Staf

    Wellington

    Seorang menteri dalam pemerintahan Selandia Baru mengundurkan diri dari jabatannya setelah diadukan karena meletakkan tangannya ke lengan seorang staf saat mereka terlibat dalam diskusi yang bersemangat.

    Menteri Perdagangan dan Urusan Konsumen Selandia Baru, Andrew Bayly, mengatakan kepada wartawan bahwa perilakunya terhadap staf tersebut, yang tidak disebut jenis kelamin atau namanya, tergolong “berlebihan”.

    “Untuk itu, saya sangat meminta maaf,” ucap Bayly dalam pengumuman pengunduran dirinya, seperti dilansir AFP, Selasa (25/2/2025).

    “Seperti yang Anda ketahui, saya tidak sabar untuk mendorong perubahan dalam portofolio jabatan menteri saya,” ujarnya.

    Pekan lalu, saya melakukan diskusi bersemangat dengan seorang anggota staf tentang pekerjaan. Saya membawa diskusi terlalu jauh, dan saya meletakkan tangan saya pada lengan atas mereka, dan itu tidak pantas,” kata Bayly dalam pernyataannya.

    Aduan telah diajukan mengenai perilaku Bayly dalam insiden yang terjadi pekan lalu. Namun Bayly menolak untuk memberikan komentar lebih lanjut soal apa yang sebenarnya terjadi dalam insiden itu.

    Ini menjadi permintaan maaf kedua yang disampaikan Bayly atas perilakunya sebagai menteri. Dalam insiden terpisah pada Oktober lalu ketika mengunjungi sebuah tempat bisnis setempat, Bayly diadukan karena mengumpat dan berulang kali menyebut seorang pekerja di sana sebagai “pecundang”.

    Bayly juga disebut sempat membentuk huruf “L” dengan jari di dahinya saat berbicara dengan pekerja di sana.

    Aduan yang disampaikan seorang pekerja di tempat bisnis itu, pada saat itu, menyebut sang menteri tampaknya minum minuman beralkohol dalam kunjungan tersebut.

    Bayly menyampaikan dua permintaan maaf pada saat itu, dengan mengatakan dirinya “salah membaca momen” dan menyebut komentar-komentarnya dimaksudkan sebagai komentar ringan. Dia juga menegaskan dirinya “tidak sedang mabuk” saat bertemu pekerja itu.

    Meski mundur dari jabatannya sebagai menteri, Bayly masih tetap menjadi anggota parlemen Selandia Baru.

    Perdana Menteri (PM) Selandia Baru, Christopher Luxon, dalam pernyataannya menyebut insiden Bayly itu terjadi pada 18 Februari lalu dan dirinya telah menerima pengunduran diri menterinya itu pada Jumat (21/2) waktu setempat.

    Luxon sengaja menunda pengumuman pengunduran diri Bayly untuk memberikan waktu kepadanya untuk berbicara kepada keluarga dan staf-stafnya.

    Dituturkan Luxon bahwa Bayly mengatakan kepada dirinya jika dia merasa perilakunya “tidak sesuai dengan harapan yang dia tetapkan untuk dirinya sendiri”. Luxon mengatakan dirinya mengapresiasi Bayly yang ingin terus menjadi anggota parlemen dan berterima kasih padanya karena telah melakukan “pekerjaan luar biasa” sebagai menteri.

    Bayly digantikan oleh Scott Simpson yang menjabat Menteri Perdagangan dan Urusan Konsumen yang baru. Simpson merupakan pejabat senior dalam parlemen yang bertanggung jawab atas penegakan disiplin partai-partai.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Trump Minta Zelensky Balikin Bantuan AS, Ukraina Menolak dan Tuntut Jaminan Suplai Militer – Halaman all

    Trump Minta Zelensky Balikin Bantuan AS, Ukraina Menolak dan Tuntut Jaminan Suplai Militer – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Amerika Serikat  (AS), Donald Trump, meminta Ukraina untuk mengembalikan miliaran dolar bantuan untuk membantu memerangi invasi Rusia.

    “Kami berusaha mendapatkan kembali uang itu, atau setidaknya mengamankannya,” ucap Trump saat berpidato di Konferensi Aksi Politik Konservatif (CPAC) yang diadakan dekat Washington.

    “Saya ingin mereka memberi kami sesuatu sebagai imbalan atas semua uang yang telah kami keluarkan,” imbuhnya.

    “Kami meminta mineral tanah langka dan minyak—apa pun yang bisa kami dapatkan,” jelasnya.

    Komentar Trump ini muncul di tengah berlangsungnya negosiasi antara Washington dan Kyiv terkait akses terhadap tambang mineral tanah langka.

    Ukraine menolak desakan tersebut dan menuntut jaminan suplai militer untuk memerangi Rusia.

    Tanah langka adalah sumber daya mineral yang sangat dibutuhkan dalam berbagai industri.

    Lebih lanjut, Trump menginginkan akses ke mineral langka sebagai kompensasi atas bantuan yang diberikan kepada Ukraina selama konflik dengan Rusia.  

    Beberapa jam sebelum pidato Trump, sebuah sumber yang berbicara kepada AFP mengungkapkan bahwa Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, “belum siap” untuk menandatangani kesepakatan dengan Amerika Serikat mengenai akses ke tambang tanah langka.

    Zelensky Belum Siap

    Utusan khusus Trump, Keith Kellogg, yang bertemu dengan Zelensky pekan ini, mengatakan Presiden Ukraina memahami betul pentingnya kesepakatan dengan AS.  

    “Menandatangani kesepakatan dengan AS adalah hal yang krusial,” kata Kellogg.  

    Sementara itu, menurut data resmi yang dirilis oleh pemerintah AS, sejak invasi Rusia dimulai, Amerika Serikat telah memberikan lebih dari $60 miliar dalam bentuk bantuan militer kepada Ukraina.

    Angka ini menjadikannya sebagai pemberi bantuan terbesar kepada Ukraina, meskipun masih jauh dari angka yang diklaim oleh Trump.  

    Institut Kiel, sebuah lembaga riset ekonomi di Jerman, juga melaporkan bahwa sejak 2022 hingga akhir 2024, total bantuan yang diberikan oleh AS kepada Ukraina—termasuk bantuan finansial, kemanusiaan, dan militer—bernilai 114,2 miliar euro ($119,8 miliar).  

    Meskipun bantuan tersebut sangat besar, sumber Ukraina menyatakan bahwa Kyiv masih membutuhkan jaminan lebih lanjut terkait bantuan tersebut.

    Selain itu, menurut data resmi yang dilansir AFP, mantan Presiden AS Joe Biden telah menyalurkan lebih dari 500 miliar dolar AS (sekitar Rp 8,13 kuadriliun) dalam bentuk bantuan militer kepada Ukraina sejak invasi Rusia.  

    Menurut informasi yang dilaporkan oleh Reuters pada Senin (24/2/2025), Zelensky sempat menolak untuk menandatangani kesepakatan pekan lalu yang mengharuskan Ukraina menyerahkan 50 persen dari mineral penting yang dimilikinya kepada Washington.  

    Mineral-mineral yang dimaksud mencakup grafit, uranium, titanium, dan litium, yang sangat dibutuhkan dalam berbagai industri global.  

    “Saya tidak akan menandatangani kesepakatan yang harus dibayar oleh sepuluh generasi Ukraina berikutnya,” ucap Zelensky, dikutip dari CNN.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Presiden Korsel Hadapi Sidang Terakhir Pemakzulan

    Presiden Korsel Hadapi Sidang Terakhir Pemakzulan

    Seoul

    Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol, yang berstatus nonaktif usai dimakzulkan parlemen, menghadapi sidang terakhir yang akan menentukan nasib jabatannya. Hakim akan memutuskan apakah akan secara resmi memberhentikan Yoon terkait darurat militer kontroversial, atau mengembalikan jabatannya.

    Penetapan darurat militer singkat oleh Yoon pada Desember lalu telah menjerumuskan Korsel ke dalam kekacauan politik. Tak lama setelah itu, Yoon dimakzulkan oleh parlemen Korsel.

    Namun nasib jabatan Yoon ada di tangan Mahkamah Konstitusi Korsel, yang menggelar sidang selama beberapa pekan terakhir untuk mempertimbangkan pemakzulan yang diloloskan parlemen.

    Mahkamah Konstitusi Korsel, seperti dilansir AFP, Selasa (25/2/2025), menggelar sidang terakhir di Seoul pada Selasa (25/2) waktu setempat, dengan delapan hakim konstitusi akan memberikan pertimbangan secara tertutup untuk memutuskan nasib jabatan Yoon.

    Sidang terakhir untuk pemakzulan Yoon dimulai pukul 14.00 waktu setempat, namun menurut laporan jurnalis AFP, Yoon tidak hadir di ruang sidang.

    Justru sejumlah anggota parlemen dari Partai Kekuatan Rakyat, yang berkuasa di Korsel dan menaungi Yoon, tampak hadir dalam persidangan itu. Di luar gedung pengadilan, para pendukung Yoon meneriakkan slogan berbunyi: “Hentikan pemakzulan!”

    Dalam sidang terakhir ini, Yoon diperkirakan akan menyampaikan argumen penutup dalam pembelaannya, dengan perwakilan parlemen diberi tahu untuk menyampaikan argumen soal pemakzulannya.

    Putusan untuk sidang pemakzulan di Mahkamah Konstitusi Korsel ini diperkirakan akan disampaikan pada pertengahan Maret.

    Beberapa Presiden Korsel sebelumnya yang juga dimakzulkan, Park Geun Hye dan Roh Moo Hyun harus menunggu masing-masing 11 hari dan 14 hari untuk mengetahui nasib mereka.

    Jika Yoon secara resmi dicopot dari jabatannya, maka Korsel harus menggelar pemilihan presiden (pilpres) terbaru dalam waktu 60 hari.

    Yoon yang berusia 64 tahun telah berada di balik jeruji besi sejak dia ditahan bulan lalu atas tuduhan pemberontakan, dalam penyelidikan pidana terkait penetapan darurat militer tersebut. Dalam kasus pidana ini, Yoon terancam hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati.

    Persidangan kasus pidana ini baru dimulai pekan lalu.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Eropa Usulkan Pasukan Perdamaian di Ukraina, Trump Bilang Putin Setuju

    Eropa Usulkan Pasukan Perdamaian di Ukraina, Trump Bilang Putin Setuju

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin telah menerima gagasan Eropa untuk mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Ukraina, sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata nantinya.

    Pernyataan itu, seperti dilansir Reuters, Selasa (25/2/2025), disampaikan Trump saat melakukan pertemuan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang berkunjung ke Gedung Putih, Washington DC, pada Senin (24/2) waktu setempat.

    Macron menambahkan bahwa Eropa siap untuk membantu mewujudkan gagasan tersebut.

    Trump dan Macron menguraikan upaya-upaya untuk menegosiasikan diakhirinya perang Ukraina dalam pembicaraan di Ruang Oval Gedung Putih, setelah keduanya melakukan video conference dengan para pemimpin G7 lainnya untuk menandai peringatan tiga tahun perang Ukraina, yang dipicu invasi militer Rusia.

    “Ya, dia akan menerimanya,” kata Trump ketika ditanya soal apakah Putin akan menerima kehadiran pasukan penjaga perdamaian di Ukraina.

    “Saya secara khusus menanyakan pertanyaan itu kepadanya. Dia tidak mempermasalahkannya,” ujar Trump.

    Meskipun berbeda pandangan, Trump dan Macron menyepakati untuk bekerja bersama dalam mewujudkan perdamaian di Ukraina. Macron menjadi pemimpin Eropa pertama yang mengunjungi Trump sejak dia kembali ke Gedung Putih bulan lalu.

    Dalam pertemuan itu, Macron mengatakan bahwa dirinya dan Trump sama-sama menginginkan “perdamaian jangka panjang yang solid”. Dia juga menyebut Eropa memiliki peran dalam memberikan jaminan keamanan.

    Menurut Macron, pertama-tama, gencatan senjata perlu dinegosiasikan, dan kemudian perjanjian damai yang didukung oleh jaminan keamanan diwujudkan.

    “Kami siap dan bersedia memberikan jaminan keamanan, yang mungkin mencakup pasukan, tapi mereka akan berada di sana untuk menjaga perdamaian,” cetus Macron saat menjawab pertanyaan wartawan bersama Trump di Ruang Oval Gedung Putih.

    “Pasukan itu tidak akan berada di garis depan. Mereka tidak akan menjadi bagian dari konflik apa pun. Mereka akan berada di sana untuk memastikan perdamaian dihormati,” tegasnya.

    Ditambahkan Marcon bahwa dirinya juga menginginkan keterlibatan AS yang “kuat” dalam rencana tersebut.

    “Saya kira kita bisa mengakhirinya dalam beberapa minggu — jika kita cerdas. Jika kita tidak cerdas, hal ini akan terus berlangsung,” ucap Trump dalam pertemuan dengan Macron tersebut, seperti dilansir AFP.

    Selain Macron, Perdana Menteri (PM) Inggris Keir Starmer juga mengatakan negaranya siap mengerahkan pasukan penjaga perdamaian di Ukraina jika ada kesepakatan. Starmer dijadwalkan berkunjung ke Gedung Putih dan bertemu Trump pada Kamis (27/2) mendatang.

    Baik Macron maupun Starmer dinilai berupaya meyakinkan Trump untuk tidak terburu-buru dalam mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan Putin dengan cara apa pun, juga untuk tetap melibatkan Eropa dan mendiskusikan jaminan militer untuk Ukraina.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Kondisi Terkini Paus Fransiskus Usai Dikabarkan Meninggal, Vatikan Singgung Telepon ke Gaza

    Kondisi Terkini Paus Fransiskus Usai Dikabarkan Meninggal, Vatikan Singgung Telepon ke Gaza

    PIKIRAN RAKYAT – Vatikan mengungkapkan kondisi terbaru Paus Fransiskus yang dinyatakan kritis sejak Sabtu 22 Februari 2025. Mereka mengungkapkan bahwa Paus Fransiskus masih dalam kondisi kritis pada hari Senin 24 Februari 2025.

    Akan tetapi, dia menunjukkan sedikit perkembangan dalam tes laboratorium dan melanjutkan beberapa pekerjaan, termasuk menelepon sebuah paroki di Kota Gaza yang telah dia hubungi sejak genosida di sana dimulai.

    Buletin malam Vatikan lebih optimistis daripada beberapa hari terakhir, ketika Paus Fransiskus yang berusia 88 tahun berjuang melawan pneumonia di kedua paru-paru di rumah sakit Gemelli Roma.

    Laporan dikeluarkan sesaat sebelum Vatikan No. 2 memimpin umat beriman dalam pembacaan doa Rosario di malam hari yang suram di Lapangan Santo Petrus yang membangkitkan berjaga-jaga ketika St. Yohanes Paulus II sekarat.

    “Selama 2.000 tahun umat Kristen telah berdoa untuk paus ketika dia dalam bahaya atau sakit,” kata Kardinal Pietro Parolin kepada piazza di tengah rintik hujan.

    Berdiri di panggung yang sama tempat Paus Fransiskus biasanya memimpin, Pietro Parolin mengatakan bahwa sejak Paus Fransiskus dirawat di rumah sakit, paduan suara doa untuk pemulihannya telah membengkak dari seluruh dunia.

    “Mulai malam ini, kami ingin menyatukan diri secara terbuka untuk doa ini di sini, di rumahnya,” ucapnya, berdoa agar Paroos “di saat sakit dan cobaan ini” akan pulih dengan cepat.

    Kondisi Paus Fransiskus

    Paus Fransiskus, yang memiliki bagian dari satu paru-paru yang diangkat saat masih muda, telah dirawat di rumah sakit sejak 14 Februari 2025. Dokter mengatakan bahwa kondisinya tidak dapat disentuh, mengingat usia, kerapuhan, dan penyakit paru-paru yang sudah ada sebelumnya.

    Akan tetapi, dalam pembaruan pada Senin 24 Februari 2025, mereka mengatakan bahwa Paus Fransiskus tidak mengalami krisis pernapasan lagi sejak Sabtu 22 Februari 2025, dan oksigen tambahan yang dia gunakan terus berlanjut tetapi dengan aliran dan konsentrasi oksigen yang sedikit berkurang.

    Sedikit insufisiensi ginjal yang terdeteksi pada Minggu 23 Februari 2025 tidak menyebabkan kekhawatiran saat ini, kata dokter, sambil mengatakan prognosisnya tetap dijaga.

    Paus Fransiskus dilaporkan menerima Ekaristi Senin 24 Februari 2025 pagi dan kembali bekerja pada sore hari.

    “Pada malam hari dia menelepon pastor paroki di paroki Gaza untuk mengungkapkan kedekatan kebapaannya,” kata pernyataan itu.

    ‘Misa yang Suram’

    Selama lebih dari setahun, Paus Fransiskus telah melakukan panggilan video dengan imam Argentina, Pendeta Gabriel Romanelli, yang memimpin komunitas Katolik di gereja, yang selama genosida Israel penjajah telah berfungsi sebagai tempat berlindung bagi warga Palestina.

    Romanelli telah melaporkan, mendengar kabar dari Paus Fransiskus segera setelah dia dirawat di rumah sakit, tetapi tidak sejak itu. Dia telah mengirim video kepada Fransiskus, dan paus menelepon untuk berterima kasih kepadanya.

    “Paus Fransiskus dalam semangat yang baik, tidak kesakitan, dan tidak menerima nutrisi buatan, ujar Vatikan.

    Pekerjaan yang dia lakukan termasuk membaca dan menandatangani dokumen, dan memang buletin siang harian Vatikan telah memasukkan nominasi uskup baru hampir setiap hari, meskipun sebagian besar diputuskan sebelumnya.

    Di rumah sakit Gemelli, suasananya tetap suram. Uskup Claudio Giuliodori memimpin Misa yang emosional dan hanya berdiri di kapel yang dinamai Yohanes Paulus, yang dirawat di rumah sakit di sana berkali-kali.

    Beberapa dari sekitar 200 orang yang hadir mengenakan jas dokter putih atau scrub bedah hijau; beberapa berlutut dalam doa.

    “Kami sangat menyesal. Paus Fransiskus adalah paus yang baik, mari kita berharap bahwa dia berhasil. Mari kita berharap,” tutur Filomena Ferraro yang tersedak, yang mengunjungi seorang kerabat di Gemelli.

    “Kami bergabung dengannya dengan doa kami, tetapi apa lagi yang bisa kami lakukan?” ucapnya menambahkan, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari AP News.

    Dokter telah memperingatkan bahwa ancaman utama yang dihadapi Francis adalah sepsis, infeksi serius yang dapat terjadi sebagai komplikasi pneumonia. Sampai saat ini belum ada referensi tentang timbulnya sepsis dalam pembaruan medis yang diberikan oleh Vatikan.

    Pada 10 hari penuh, rawat inap ini sekarang berdiri sebagai yang terlama bagi Fransiskus sebagai paus. Dia menghabiskan 10 hari di rumah sakit Gemelli Roma pada tahun 2021 setelah dia mengangkat 33 sentimeter (13 inci) usus besarnya.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News