Jenis Media: Internasional

  • AS Sebut Hamas Tak Bisa Jadi Masa Depan Pemerintahan Gaza

    AS Sebut Hamas Tak Bisa Jadi Masa Depan Pemerintahan Gaza

    Kirby dalam pernyataannya menyebut bahwa Hamas tidak mewakili warga Palestina yang ada di Jalur Gaza. Dia mencetuskan bahwa pemerintahan yang memiliki kepentingan terbaik dan memperhatikan aspirasi warga Palestina yang pantas memimpin Jalur Gaza di masa depan.

    “Apa pun itu, tidak bisa Hamas, dan itu harus pemerintahan yang memiliki kepentingan terbaik dan aspirasi rakyat Gaza, warga Palestina di Gaza, pada intinya, sebagai landasan, karena begitu banyak dari mereka, mereka tidak berkaitan dengan Hamas,” tegasnya.

    “Hamas tidak mewakili mereka. Kami tidak memiliki jawaban-jawaban tersebut, namun saya dapat meyakinkan Anda bahwa kami menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sama kepada diri kami sendiri dan mitra-mitra kami, dan kami sedang berusaha melakukan upaya besar untuk memikirkan Gaza pascakonflik, dan seperti apa bentuknya,” jelas Kirby dalam pernyataannya.

    Sementara itu, saat ditanya lebih lanjut soal apakah AS berencana mengirim pasukan ke Jalur Gaza sebagai penjaga perdamaian jika Hamas disingkirkan dari daerah kantong Palestina itu, Kirby memberikan jawaban tegas.

    “Tidak ada rencana atau niat untuk menempatkan pasukan militer AS di Gaza baik sekarang atau pun di masa depan,” tegasnya.

    Sebelumnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Antony Blinken menuturkan bahwa pemerintah Washington dan beberapa negara lainnya sedang mempertimbangkan ‘berbagai kemungkinan permutasi’ untuk masa depan Jalur Gaza, jika Hamas sepenuhnya disingkirkan dari kekuasaan.

    Blinken, seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, mengatakan kepada Komite Alokasi Senat yang menggelar rapat pada Selasa (31/10) waktu setempat, bahwa status quo Hamas yang bertanggung jawab atas Jalur Gaza tidak bisa dilanjutkan. Di sisi lain, ujar Blinken, Israel juga tidak ingin menguasai Jalur Gaza.

    (nvc/idh)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Netanyahu Bertekad Tumpas Hamas, Apa Rencana Israel Usai Operasi Darat?

    Netanyahu Bertekad Tumpas Hamas, Apa Rencana Israel Usai Operasi Darat?

    Tel Aviv

    Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menolak gencatan senjata dan siap bertempur dalam waktu lama demi mewujudkan sumpahnya menumpas kelompok Hamas. Namun, pakar menilai Israel tak punya rencana pasti mencapai tujuan itu.

    Pemandangan horor yang terus menggentayangi Jalur Gaza usai perang pecah pada 7 Oktober lalu memang sekilas menunjukkan tekad Israel untuk menumpas habis Hamas.

    Tak peduli tekanan para kepala negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Netanyahu menolak seruan gencatan senjata dalam pernyataannya pada Senin (30/10).

    “Seruan gencatan senjata terhadap Israel sama dengan seruan bagi Israel untuk menyerah kepada Hamas, menyerah kepada terorisme,” ujar Netanyahu.

    Ia kemudian berkata, “Alkitab mengatakan, ‘Ada waktu untuk berdamai, dan ada waktu untuk berperang.’ Ini adalah waktu untuk berperang.”

    Di tengah retorika Netanyahu yang berapi-api itu, para pakar mempertanyakan rencana Israel untuk mewujudkan sumpahnya memberantas Hamas setelah perang berakhir.

    “Anda tidak dapat menggembar-gemborkan sebuah gerakan bersejarah seperti itu tanpa rencana ke depannya,” ujar kepala Studi Palestina di Pusat Moshe Dayan Universitas Tel Aviv, Michael Milshtein.

    “Anda harus melakukannya sekarang,” tuturnya.

    Sejumlah diplomat Barat mengaku sudah berdiskusi dengan Israel mengenai rencana ke depan itu, tapi hingga kini belum ada wujud konkretnya.

    “Betul-betul bukan rencana yang pasti. Anda bisa menggambarkan beberapa gagasan di atas kertas, tapi untuk mewujudkannya bakal membutuhkan waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan diplomasi,” ujar seorang diplomat.

    Baca juga:

    Dari segi militer, sebenarnya sudah ada beberapa rencana, mulai dari mengerdilkan kemampuan militer Hamas hingga mengambil alih kendali sebagian besar wilayah Jalur Gaza.

    Namun, orang-orang yang berpengalaman menangani krisis-krisis sebelumnya ragu rencana-rencana tersebut dapat terlaksana.

    “Saya rasa tak ada solusi yang mungkin dilakukan bagi Gaza sehari setelah kita mengevakuasi pasukan,” ucap Haim Tomer, seorang mantan pejabat badan intelijen Israel, Mossad.

    Secara politik, Israel satu suara: Hamas harus dikalahkan. Menurut mereka, serangan pada 7 Oktober lalu terlampau mengerikan sehingga Hamas tak boleh lagi menguasai Gaza.

    Kendati demikian, Milshtein menekankan bahwa Hamas adalah sebuah pemikiran sehingga Israel tak bisa menghapus Hamas begitu saja.

    “Ini tidak seperti Berlin pada 1945, ketika Anda menancapkan bendera di Reichstag dan selesai,” katanya.

    Ia menganggap situasi Israel ini lebih mirip dengan Irak pada 2003 silam, ketika pasukan pimpinan Amerika Serikat berupaya menghapus jejak rezim Sadam Hussein.

    Upaya yang dikenal sebagai De-Baathifikasi itu bak bencana. Selama upaya itu digalakkan, ratusan ribu pegawai sipil Irak dan anggota pasukan bersenjata kehilangan pekerjaan, menabur benih pemberontakan yang akhirnya subur.

    Para veteran Amerika dari konflik itu saat ini berada di Israel, berbincang dengan militer setempat mengenai pengalaman mereka di titik-titik panas di Irak, seperti Falluja dan Mosul.

    “Saya berharap mereka menjelaskan kepada orang-orang Israel bahwa mereka membuat kesalahan besar di Irak. Contohnya, jangan berilusi memberangus partai berkuasa atau mengubah pikiran orang. Itu tak akan terjadi,” tutur Milshtein.

    Baca juga:

    Tak hanya pakar dari Israel, pengamat-pengamat Palestina juga memiliki pandangan serupa.

    “Hamas merupakan organisasi akar rumput. Jika mereka ingin menumpas Hamas, mereka harus melakukan pembersihan etnis di seluruh Gaza,” kata Presiden Inisiatif Nasional Palestina, Mustafa Barghouti.

    Gagasan pembersihan etnis dan pengusiran ratusan ribu warga Palestina dari Jalur Gaza ke negara tetangga, Mesir, pun mulai mengemuka.

    Sejumlah pihak Israel, termasuk mantan-mantan pejabat senior, sudah mulai sering membahas betapa penting memindahkan sementara warga Palestina dari Gaza ke Sinai.

    Mantan kepala Dewan Keamanan Nasional Israel, Giora Eiland, mengatakan satu-satunya jalan bagi Israel untuk memenuhi ambisinya tanpa membunuh banyak orang tak bersalah adalah dengan mengevakuasi warga Palestina dari Gaza.

    “Mereka harus menyeberang perbatasan ke Mesir secara sementara atau permanen,” ucapnya.

    Gagasan semacam ini lah yang paling ditakuti orang Palestina. Sebagai populasi yang punya rekam jejak panjang menjadi pengungsi, kemungkinan eksodus besar-besaran memantik ingatan akan kejadian traumatis pada 1948.

    “Kabur berarti hanya punya satu tiket pergi. Mereka tak akan mungkin bisa kembali,” ujar mantan juru bicara Organisasi Pembebasan Palestina, Diana Buttu.

    Ketakutan orang Palestina kian menjadi setelah Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, pada 20 Oktober lalu meminta Kongres menyetujui pemberian dana bantuan untuk Israel dan Ukraina.

    Hingga saat ini Israel memang belum menyatakan secara gamblang keinginan mereka agar warga Palestina melintasi perbatasan.

    Pasukan Pertahanan Israel (IDF) hanya berulang kali mendesak warga sipil ke “area-area” aman di kawasan selatan.

    Namun, Presiden Mesir, Abdel Fattah el-Sissi, sudah mewanti-wanti bahwa perang Israel di Gaza dapat menjadi “upaya untuk menekan warga sipil untuk bermigrasi ke Mesir.”

    Jika berasumsi masih ada warga Gaza di Jalur Gaza ketika perang berakhir, siapa yang akan memerintah mereka?

    “Itu pertanyaan sulit,” kata Milshtein.

    Milshstein menilai Israel harus mendukung pembentukan pemerintahan baru yang dikuasai oleh orang Gaza. Namun, orang-orang dalam pemerintahan itu harus mendukung AS, Mesir, dan mungkin Arab Saudi.

    Baca juga:

    Formasi pemerintahan itu juga harus diperkuat dengan Fatah, faksi rival Hamas di Palestina yang didepak dari Gaza setahun setelah pemilu pada 2006 silam.

    Fatah merupakan pengendali Otoritas Palestina (PA), yang berbasis di Ramallah, kota di Tepi Barat.

    Diana Buttu mengatakan PA kemungkinan secara diam-diam ingin kembali ke Gaza, tapi mereka tentu ogah “ikut menunggangi tank Israel.”

    Seorang politikus veteran Palestina yang sempat menjadi pejabat PA pada 1990-an, Hanan Ashrawi, juga tak mau pihak asing, termasuk Israel, lagi-lagi berupaya mendikte kehidupan Palestina.

    “Orang yang berpikiran bahwa ini merupakan percaturan dan mereka dapat menggerakkan beberapa pion ke sana ke mari dengan harapan gerakan checkmate pada akhirnya, itu tak akan terjadi,” ujar Ashrawi.

    “Anda mungkin bisa mendapatkan beberapa kolaborator, tapi warga Gaza tak akan menyambut baik mereka.”

    Di tengah kebuntuan ini, orang-orang yang sempat menangani perang-perang di Gaza sebelumnya pun memunculkan indikasi bahwa hampir semua solusi sudah pernah dicoba.

    Mantan pejabat Mossad, Haim Tomer, mengungkap pengalamannya setelah salah satu pertempuran di Gaza pada 2012 lalu.

    Saat itu, ia menemani direktur Mossad ke Kairo untuk pembicaraan rahasia yang berujung pada kesepakatan gencatan senjata.

    Ia bercerita bahwa saat itu, perwakilan Hamas berada “di seberang jalan”. Sebagai penengah, pejabat Mesir mondar-mandir untuk menyampaikan pesan.

    Menurutnya, mekanisme serupa dapat diterapkan lagi dalam upaya pembebasan warga yang disandera Hamas, tapi Israel kemungkinan bakal membayar lebih mahal.

    “Saya tidak peduli jika kita harus membebaskan beberapa ribu tahanan Hamas. Saya ingin warga kita kembali pulang,” tutur Tomer.

    Setelah warga berhasil diselamatkan, barulah Israel dapat memilih bakal melanjutkan operasi militer skala penuh atau gencatan senjata jangka panjang.

    Namun, pembatas fisik antara wilayah Gaza dan Israel sangat minim. Tomer pun menganggap Israel memang sudah ditakdirkan berurusan dengan Gaza selamanya.

    “Seperti duri di tenggorokan kita,” katanya.

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Pemimpin Hamas Tuduh Israel Bantai Warga Gaza Demi Tutupi Kekalahan

    Pemimpin Hamas Tuduh Israel Bantai Warga Gaza Demi Tutupi Kekalahan

    Haniyeh, dalam pernyataannya, menegaskan tidak akan ada stabilitas regional kecuali warga Palestina mendapatkan ‘hak-hak sah atas kebebasan, kemerdekaan, dan kembalinya mereka’ ke wilayah Palestina — merujuk pada keturunan 760.000 warga Palestina yang melarikan diri atau diusir dari rumah-rumah mereka saat terjadinya perang tahun 1948 yang menyertai terbentuknya negara Israel.

    “Kawasan ini tidak akan aman atau stabil selama rakyat kita tidak mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan mereka, dan bisa kembali,” tegasnya.

    Hamas Salahkan Netanyahu Atas Perang Gaza

    Haniyeh yang mengasingkan diri ke Qatar ini menyalahkan Netanyahu atas perang yang berlangsung di Jalur Gaza selama lebih dari tiga pekan terakhir. Dia menyebut Netanyahu mengelilingi dirinya dengan koalisi sayap kanan ‘untuk mengalihkan pandangan dunia dari kesalahannya’.

    Dia mengatakan bahwa menjelang serangan 7 Oktober lalu, Hamas telah melontarkan peringatan soal Netanyahu dan ‘pemerintahan fasisnya’ yang akan melanjutkan ‘kebijakan kontroversial mereka’.

    Netanyahu mulai menjabat kembali sebagai PM Israel pada akhir tahun lalu, setelah memimpin koalisi pemerintahan yang beranggotakan para menteri beraliran sayap ekstrem kanan yang tinggal di permukiman Yahudi di Tepi Barat, yang dianggap ilegal menurut hukum internasional.

    Dalam pernyataannya, Haniyeh juga menyinggung soal perluasan permukiman Israel di Tepi Barat, tindak kekerasan oleh para pemukim Yahudi, dan serangan terhadap tempat-tempat suci, termasuk Masjid Al-Aqsa yang ada di Yerusalem Timur.

    “Yang terbaru adalah korban pembantaian Jabalia,” cetusnya, seperti dilansir Al Jazeera.

    Dia merujuk pada serangan udara Israel terhadap kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza bagian utara pada Selasa (31/10) dan Rabu (1/11) waktu setempat. Otoritas Gaza melaporkan sedikitnya 195 orang dikonfirmasi tewas, 120 orang lainnya hilang dan 777 orang lainnya mengalami luka-luka akibat serangan di kamp tersebut.

    Hamas mengklaim tujuh sandera ikut tewas dalam gempuran Israel di kamp pengungsi Jabalia, dengan tiga orang di antaranya merupakan pemegang paspor asing, namun asal kewarganegaraannya tidak disebutkan lebih lanjut. Klaim-klaim Hamas ini belum bisa diverifikasi kebenarannya secara independen.

    (nvc/idh)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Siapa Itu Houthi di Yaman yang Ikut Serang Israel?

    Siapa Itu Houthi di Yaman yang Ikut Serang Israel?

    Jakarta

    Kelompok Houthi di Yaman bergabung dalam perang Israel-Hamas di Gaza, Palestina, yang terletak lebih dari seribu mil dari pusat kekuasaan mereka di ibukota Yaman, Sanaa. Mereka bersumpah akan terus melancarkan serangan terhadap Israel, jika perang terhadap terus berlanjut.

    “Angkatan Bersenjata Yaman…mengkonfirmasi bahwa mereka akan terus melakukan serangan kualitatif dengan rudal dan drone sampai agresi Israel berhenti,” kata pernyataan militer Houthi yang disiarkan di TV Al-Masirah milik kelompok tersebut, sebagaimana dilansir kantor berita AFP, Rabu (1/11/2023).

    Kelompok Houthi di Yaman itu menyatakan bahwa pihaknya telah “meluncurkan sejumlah besar rudal balistik… dan sejumlah besar pesawat bersenjata (drone)” ke arah Israel pada hari Selasa (31/10/2023), yang merupakan operasi ketiga sejak perang berkecamuk di Gaza.

    Merujuk sejarahnya, seperti dilansir Reuters, Rabu (1/11/2023), pada akhir 1990-an, keluarga Houthi di ujung utara Yaman mendirikan gerakan kebangkitan agama untuk Zaydi Islam Syiah, yang pernah memerintah Yaman. Namun kemudian wilayah utara Yaman menjadi miskin dan terpinggirkan.

    Ketika gesekan dengan pemerintah semakin meningkat, kelompok Houthi bertempur dalam serangkaian perang gerilya dengan tentara nasional dan konflik perbatasan singkat dengan kekuatan Sunni Arab Saudi.

    Pada akhir 2014 terjadi perang di Yaman, ketika Kota Sanaa direbut oleh Houthi. Khawatir dengan meningkatnya pengaruh Syiah Iran di sepanjang perbatasannya, Arab Saudi turun tangan dengan memimpin koalisi yang didukung Barat pada bulan Maret 2015 untuk mendukung pemerintah yang didukung Arab Saudi.

    Houthi menguasai sebagian besar wilayah utara dan pusat-pusat populasi besar lainnya, sementara pemerintah yang diakui secara internasional berpusat di Aden. Sebagai bagian dari “Poros Perlawanan”, Houthi turut bergabung menyerang Israel.

    Abdelaziz bin Habtour, perdana menteri pemerintahan Houthi, pada Selasa (31/10/2023) mengatakan bahwa Houthi adalah “bagian dari poros perlawanan” terhadap Israel, yang mencakup kelompok-kelompok yang didukung Iran di Lebanon, Suriah dan Irak.

    Lihat Video: Pilu Dokter di Gaza Histeris Melihat Putrinya Jadi Korban Serangan Israel

    (wia/imk)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Profil Craig Mokhiber, Direktur HAM PBB Mundur terkait Palestina

    Profil Craig Mokhiber, Direktur HAM PBB Mundur terkait Palestina

    Jakarta

    Direktur Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berbasis di New York, Craig Mokhiber, mundur dari jabatannya. Pengunduran dirinya lantaran menganggap PBB gagal mencegah genosida di Palestina.

    Seperti dilansir The Guardian, Rabu (1/11/2023), Mokhiber mengajukan surat pengunduran diri pada 28 Oktober lalu. Dalam suratnya kepada Komisaris Tinggi PBB di Jenewa, Volker Turk, Mokhiber kecewa PBB tidak bisa menghentikan genosida yang terjadi di Palestina.

    “Sekali lagi kita melihat genosida terjadi di depan mata kita dan organisasi yang kita layani tampaknya tidak berdaya untuk menghentikannya,” kata Craig Mokhiber.

    Kecewa PBB Gagal Cegah Genosida di Palestina

    Menurut Mokhiber, ini bukan kali pertama PBB gagal dalam mencegah genosida. Craig Mokhiber mengatakan PBB sebelumnya juga telah gagal mencegah genosida terhadap Tutsi di Rwanda, Muslim di Bosnia, Yazidi di Kurdistan Irak dan Rohingya di Myanmar.

    “Pembantaian besar-besaran terhadap rakyat Palestina saat ini, yang berakar pada ideologi pemukim kolonial etno-nasionalis, merupakan kelanjutan dari penganiayaan dan pembersihan sistematis yang telah berlangsung selama beberapa dekade, sepenuhnya didasarkan pada status mereka sebagai orang Arab … tidak ada keraguan,” ujarnya.

    “Ini adalah contoh kasus genosida,” imbuh Mokhiber.

    Mokhiber juga menuding Amerika Serikat, Inggris, dan sebagian besar negara Eropa tidak hanya “menolak untuk memenuhi kewajiban perjanjian mereka” berdasarkan Konvensi Jenewa tetapi juga mempersenjatai serangan Israel dan memberikan perlindungan politik dan diplomatik terhadap konflik tersebut.

    Mokhiber telah mengabdi kepada PBB sejak tahun 1992, sebagai seorang pengacara dan spesialis dalam hukum, kebijakan, dan metodologi hak asasi manusia internasional. Sebagai ketua Tim Hak Asasi Manusia dan Pembangunan pada tahun 1990-an, beliau memimpin pengembangan karya asli OHCHR tentang pendekatan berbasis hak asasi manusia terhadap pembangunan dan definisi kemiskinan yang peka terhadap hak asasi manusia.

    Craig Mokhiber juga pernah menjabat sebagai Penasihat Senior Hak Asasi Manusia PBB di Palestina dan Afghanistan, memimpin tim spesialis hak asasi manusia yang tergabung dalam Misi Tingkat Tinggi untuk Darfur, mengepalai Unit Aturan Hukum dan Demokrasi, dan menjabat sebagai Kepala Bagian Masalah Ekonomi dan Sosial, serta Kepala Cabang Pembangunan dan Masalah Ekonomi dan Sosial di Markas Besar OHCHR.

    Craig Mokhiber Telah Mundur dari Jabatannya

    Seorang juru bicara PBB di New York mengirimkan pernyataan kepada The Guardian tentang kabar Craig Mokhiber. Dia mengatakan bahwa Mokhiber telah pensiun mulai hari ini.

    “Saya dapat mengonfirmasi bahwa dia akan pensiun hari ini. Dia memberi tahu PBB pada bulan Maret 2023 tentang masa pensiunnya yang akan datang, yang akan berlaku besok. Pandangan dalam suratnya yang dipublikasikan hari ini adalah pandangan pribadinya,” ujarnya.

    Dalam perannya sebagai direktur HAM PBB di New York, Mokhiber kadang-kadang mendapat kecaman dari kelompok pro-Israel karena komentarnya di media sosial. Dia dikritik karena memberikan dukungan terhadap gerakan boikot, divestasi, sanksi (BDS) dan menuduh Israel melakukan apartheid – sebuah tuduhan yang dia ulangi dalam suratnya.

    (wia/imk)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • 76 Warga Palestina yang Luka dan 335 Warga Asing Masuk ke Mesir dari Gaza

    76 Warga Palestina yang Luka dan 335 Warga Asing Masuk ke Mesir dari Gaza

    Kairo

    Sebanyak 76 warga Palestina yang mengalami luka-luka dan 335 warga negara asing atau berkewarganegaraan ganda diperbolehkan menyeberang dari Jalur Gaza menuju ke Mesir, melalui perlintasan perbatasan Rafah, pada Rabu (1/11) waktu setempat.

    Seperti dilansir AFP, Kamis (2/11/2023), itu menjadi penyeberangan warga sipil pertama yang diizinkan masuk ke Mesir dari Jalur Gaza sejak Israel menerapkan ‘pengepungan total’ terhadap daerah kantong Palestina usai serangan mengejutkan Hamas pada 7 Oktober lalu.

    Hingga Rabu (1/11) sore, sekitar pukul 16.30 waktu setempat, menurut seorang pejabat Mesir di Rafah, beberapa ambulans mengangkut 76 warga Palestina yang mengalami luka-luka dan enam bus membawa 335 pemegang paspor asing ke wilayah Mesir.

    Otoritas Mesir mengatakan pihaknya akan mengizinkan 90 warga Palestina yang luka-luka dan sekitar 545 warga negara asing dan berkewarganegaraan ganda untuk melintasi perbatasan pada Rabu (1/11) waktu setempat.

    “Terminal Rafah akan dibuka kembali pada Kamis (2/11) untuk memungkinkan masuknya lebih banyak warga asing dan warga berkewarganegaraan ganda,” ucap seorang sumber keamanan kepada AFP.

    Empat warga Italia termasuk di antara daftar warga negara asing yang meninggalkan Jalur Gaza pada Rabu (1/11) waktu setempat.

    “Saya baru saja berbicara dengan empat warga Italia pertama yang meninggalkan Jalur Gaza. Mereka lelah namun dalam kondisi kesehatan yang baik, dibantu oleh Konsul Italia di Kairo. Kami terus berupaya agar semua orang bisa keluar,” ucap Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani dalam pernyataan via media sosial X.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Israel Sebut 16 Tentaranya Tewas Dalam Pertempuran Lawan Hamas di Gaza

    Israel Sebut 16 Tentaranya Tewas Dalam Pertempuran Lawan Hamas di Gaza

    Gaza City

    Militer Israel mengakui sedikitnya 16 tentaranya tewas dalam pertempuran yang terjadi di dalam dan dekat wilayah Jalur Gaza. Pasukan Israel terlibat pertempuran sengit dengan kelompok Hamas setelah semakin memperluas operasi darat ke Jalur Gaza.

    Seperti dilansir AFP, Kamis (2/11/2023), militer Israel secara detail merilis informasi soal tentaranya yang tewas via situs resminya, dengan menyebut nama, usia dan lokasi tentara itu tewas saat pertempuran berlangsung.

    Pasukan Israel bertempur melawan Hamas di dalam wilayah Jalur Gaza sejak Jumat (27/10) lalu, setelah mengumumkan perluasan operasi darat yang didukung serangan udara dan serangan artileri besar-besaran. Disebutkan militer Israel bahwa angka 16 tentara tewas itu tercatat sejak Selasa (31/10) pekan ini.

    Dalam pernyataannya, militer Israel menyebut 15 tentaranya tewas saat bertempur dengan Hamas di dalam wilayah Jalur Gaza, sedangkan satu tentara lainnya tewas di luar wilayah tersebut. Tidak disebutkan lebih lanjut soal bagaimana tentara-tentara Israel itu tewas.

    Diketahui bahwa bentrokan juga terjadi dengan Hizbullah dan kelompok-kelompok militan lainnya di sepanjang perbatasan utara Israel dengan Lebanon, yang sejauh ini menewaskan sedikitnya delapan tentara.

    Israel menggempur Jalur Gaza tanpa henti dalam upaya membalas serangan Hamas pada 7 Oktober lalu, yang dilaporkan menewaskan lebih dari 1.400 orang, Laporan otoritas Gaza menyebut lebih dari 8.700 orang tewas akibat serangan udara Israel selama tiga pekan terakhir.

    Pekan lalu, Israel meningkatkan operasi darat terhadap Jalur Gaza, dengan laporan sejumlah wartawan AFP di lapangan menyebut lebih banyak tank bergerak melintasi perbatasan ke wilayah Jalur Gaza bagian utara.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Pertama Kali, Biden Nyatakan Dukung Jeda Kemanusiaan di Jalur Gaza

    Pertama Kali, Biden Nyatakan Dukung Jeda Kemanusiaan di Jalur Gaza

    Dalam pernyataan di hadapan pendukungnya, Biden berbicara lebih jauh dengan wanita tersebut. Biden bahkan menyebut Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu dengan nama panggilannya, Bibi.

    “Saya adalah orang yang meyakinkan Bibi untuk menyerukan gencatan senjata agar para tahanan bisa bebas. Saya adalah orang yang berbicara dengan (Presiden Mesir Abdel Fattah al-) Sisi untuk meyakinkan dia agar membuka pintu (perbatasan Gaza dengan Mesir-red),” ucap Biden dalam pernyataannya.

    Biden mengindikasikan dirinya sedang membahas pembebasan dua sandera AS yang ditahan oleh militan Palestina baru-baru ini.

    Wanita yang berteriak kepada Biden itu akhirnya dibawa keluar ruangan dan mengidentifikasi dirinya kepada wartawan sebagai Rabi Jessica Rosenberg.

    Gedung Putih sebelumnya menyerukan ‘jeda kemanusiaan’ untuk memungkinkan bantuan kemanusiaan disalurkan ke Jalur Gaza, atau untuk memungkinkan evakuasi warga sipil dan korban luka. Namun sejauh ini, AS menolak untuk membahas soal gencatan senjata, yang diyakini hanya akan menguntungkan Hamas.

    Meskipun tidak ada seruan gencatan senjata dari Biden, namun menurut Al Jazeera, Presiden AS untuk pertama kalinya menyatakan dukungan untuk jeda kemanusiaan.

    Dua pekan lalu, AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan jeda kemanusiaan untuk memungkinkan akses bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. AS pada saat itu menyoroti draf resolusi yang diajukan Brasil itu tidak mengakui soal hak Israel untuk membela diri, meskipun resolusi itu juga mengecam apa yang disebut sebagai ‘serangan teroris keji oleh Hamas’.

    Di sisi lain, menurut Al Jazeera, pernyataan terbaru Biden ini bisa menuai banyak penafsiran setelah dia menyatakan dirinya sangat bersimpati dengan penderitaan di Jalur Gaza, menggunakan istilah yang sangat pribadi untuk menggambarkan anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan orang tua yang kehilangan anaknya.

    Namun dari segi kebijakan, sebut Al Jazeera dalam laporannya, pernyataan Biden ini bukanlah langkah pasti menuju gencatan senjata, terutama karena AS belum menyelidiki serangan Israel terhadap kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza untuk melihat apakah gempuran itu melanggar hukum internasional.

    Perang antara Israel dan Hamas memasuki hari ke-27 pada Kamis (2/11) waktu setempat. Untuk membalas serangan Hamas pada 7 Oktober lalu, Israel melancarkan serangan udara besar-besaran dan tanpa henti ke Jalur Gaza, bahkan mengerahkan operasi darat yang semakin ekstensif ke wilayah tersebut.

    (nvc/idh)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • 7 Sandera Tewas Akibat Gempuran Israel ke Kamp Pengungsi Gaza

    7 Sandera Tewas Akibat Gempuran Israel ke Kamp Pengungsi Gaza

    Gaza City

    Kelompok Hamas yang menguasai Jalur Gaza menyebut ada tujuh sandera tewas dalam serangan udara Israel terhadap kamp pengungsi Jabalia pekan ini. Tiga sandera di antaranya disebut sebagai pemegang paspor asing.

    Seperti dilansir Al Jazeera dan AFP, Kamis (2/11/2023), kamp pengungsi Jabalia dihantam serangan udara Israel pada Selasa (31/10) dan Rabu (1/11) waktu setempat. Otoritas Gaza menyebut sedikitnya 195 orang dikonfirmasi tewas, 120 orang lainnya masih hilang dan sebanyak 777 orang lainnya mengalami luka-luka.

    Sayap militer Hamas, Brigade Ezzedine al-Qassam, dalam pernyataannya menyebut korban tewas termasuk beberapa sandera yang dibawa ke Jalur Gaza.

    “Tujuh tahanan tewas dalam pembantaian Jabalia kemarin, termasuk tiga pemegang paspor asing,” sebut Brigade Ezzedine al-Qassam, merujuk pada serangan pertama Israel terhadap kamp pengungsi terbesar di Jalur Gaza tersebut.

    Tidak ada informasi detail soal sandera-sandera itu yang diberikan Hamas, termasuk soal asal kewarganegaraan tiga sandera pemegang paspor asing itu.

    Klaim Hamas itu juga tidak bisa diverifikasi secara independen. Brigade Ezzedine al-Qassam sebelumnya mengklaim ‘nyaris 50’ sandera tewas dalam rentetan serangan Israel lainnya.

    Belum ada tanggapan dari Israel atas klaim terbaru Hamas tersebut. Otoritas Tel Aviv juga belum mengonfirmasi jumlah korban tewas dalam serangannya ke kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Sejarah dan Arti Semangka Simbol Dukungan untuk Palestina

    Sejarah dan Arti Semangka Simbol Dukungan untuk Palestina

    Jakarta

    Ramai soal buah semangka yang dijadikan sebagai simbol dukungan untuk Palestina, di tengah perang melawan Israel. Ternyata di balik buah semangka yang disebut sebagai simbol ‘the fruit of Palestine’ ini ada sejarah dan maknanya.

    Seperti akhir-akhir ini, ramai di media sosial berbagai bentuk ilustrasi buah semangka yang digunakan masyarakat sebagai ekspresi untuk menunjukkan dukungan terhadap Palestina. Baik digambarkan dalam karya seni hingga unggahan emoji.

    Lantas apa makna semangka Palestina yang menjadi simbol solidaritas atau dukungan terhadap Palestina itu? Kenapa semangka jadi simbol Palestina, dan bagaimana sejarahnya? Untuk mengetahui lebih lanjut, simak uraiannya berikut ini:

    Arti Semangka Simbol Palestina

    Dilansir Al Jazeera, sejatinya tidak hanya semangka, ada pula buah-buahan lain seperti jeruk, zaitun, dan terong yang juga dianggap sebagai buah-buahan yang mewakili identitas Palestina, namun semangka mungkin adalah yang paling ikonik.

    Melambangkan Budaya dan Identitas Palestina

    Bagi masyarakat Palestina, simbol semangka melambangkan budaya dan identitas Palestina. Sebagai bentuk protes, pertanian, kuliner dan sastra, masyarakat Palestina menggunakan semangka untuk merepresentasikan identitas nasional, yang berhubungan dengan tanah dan perlawanan mereka.

    Warna yang Sama dengan Bendera Palestina

    Selain itu, buah Semangka tumbuh di seluruh Palestina, dari Jenin hingga Gaza. Semangka juga memiliki warna yang sama dengan bendera Palestina, yang terdiri dari warna merah, hijau, putih, dan hitam. Sehingga digunakan untuk memprotes penindasan Israel terhadap bendera dan identitas Palestina.

    Bendera Palestina. (Foto: Getty Images/iStockphoto/Joel Carillet)

    Dilansir media Time, penggunaan semangka sebagai simbol Palestina bukanlah hal yang baru. Pertama kali muncul setelah Perang Enam Hari pada tahun 1967, ketika Israel menguasai Tepi Barat, Jalur Gaza, dan mencaplok Yerusalem Timur.

    Dari Larangan Pengibaran Bendera Palestina

    Untuk menghindari larangan penggunaan bendera tersebut, warga Palestina mulai menggunakan semangka karena ketika dibelah, buah ini memiliki warna-warna yang mewakili warna bendera nasional Palestina, yakni merah, hitam, putih, dan hijau.

    Pemerintah Israel tidak hanya menindak bendera tersebut. Seniman Sliman Mansour mengatakan kepada The National pada tahun 2021 bahwa pada tahun 1980, para pejabat Israel menutup sebuah pameran di Galeri 79 di Ramallah yang menampilkan karyanya dan karya-karyanya yang lain, termasuk Nabil Anani dan Issam Badrl.

    Kemudian pada tahun 1993, Israel mencabut larangan terhadap bendera Palestina, sebagai bagian dari Perjanjian Oslo (Oslo Accords), yang mensyaratkan pengakuan timbal balik antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (Palestinian Liberation Organization/PLA).

    Perjanjian itu merupakan perjanjian formal pertama yang mencoba menyelesaikan konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Bendera tersebut pun diterima sebagai simbol Otoritas Palestina, yang akan mengelola Gaza dan Tepi Barat.

    Setelah perjanjian tersebut, New York Times mengisyaratkan pada peran semangka sebagai simbol pengganti selama pelarangan bendera. “Di Jalur Gaza, di mana para pemuda pernah ditangkap karena membawa irisan semangka-yang menunjukkan warna merah, hitam, dan hijau khas Palestina-tentara berdiri dengan tenang saat pawai mengibarkan bendera yang pernah dilarang,” tulis jurnalis Times, John Kifner.

    Pada tahun 2007, tepat setelah Intifada Kedua, seniman Khaled Hourani menciptakan The Story of the Watermelon untuk sebuah buku berjudul Subjective Atlas of Palestine. Pada tahun 2013, dia mengisolasi satu cetakan dan menamainya The Colours of the Palestinian Flag, yang sejak saat itu telah dilihat oleh banyak orang di seluruh dunia.

    Penggunaan semangka sebagai simbol Palestina juga muncul kembali pada tahun 2021. Setelah pengadilan Israel memutuskan bahwa keluarga Palestina yang tinggal di lingkungan Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur akan digusur dari rumah mereka untuk memberi jalan bagi para pemukim.

    Penggunaan Simbol Semangka Palestina Hari Ini

    Pada bulan Januari 2023, Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, memberikan wewenang kepada polisi untuk menyita bendera Palestina. Hal ini lantas diikuti dengan pemungutan suara pada bulan Juni atas rancangan undang-undang (RUU) tentang larangan mengibarkan bendera di lembaga-lembaga yang didanai negara, termasuk universitas.

    Kemudian pada bulan Juni, Zazim, sebuah organisasi masyarakat Arab-Israel, meluncurkan kampanye untuk memprotes penangkapan dan penyitaan bendera Palestina. Gambar semangka ditempelkan di 16 taksi yang beroperasi di Tel Aviv, dengan tulisan yang berbunyi, “Ini bukan bendera Palestina.”

    “Pesan kami kepada pemerintah sudah jelas: kami akan selalu menemukan cara untuk menghindari larangan yang tidak masuk akal dan kami tidak akan berhenti memperjuangkan kebebasan berekspresi dan demokrasi,” ujar direktur Zazim, Raluca Ganea.

    Amal Saad, seorang warga Palestina dari Haifa yang bekerja dalam kampanye Zazim, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa mereka memiliki pesan yang jelas: “Jika Anda ingin menghentikan kami, kami akan menemukan cara lain untuk mengekspresikan diri kami.”

    Saad juga mengatakan bahwa dukungan yang dia terima sangat besar, dengan lebih dari 1.300 aktivis menyumbangkan dana untuk memperjuangkan kampanye Zazim. Donasi tersebut memungkinkan Zazim untuk menyimpan semangka lebih lama dari yang direncanakan, dan kampanye ini sekarang bergeser ke pembagian kaos simbol semangka.

    (wia/imk)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu