Jenis Media: Ekonomi

  • Pangan kuat, negara berdaulat

    Pangan kuat, negara berdaulat

    Petani memilah jerami hasil giling padi saat panen di kawasan Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah, Selasa (24/6/2025). Menurut data Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Tengah pertumbuhan ekonomi Jateng tercatat pada triwulan satu 2025 sebesar 4,96 persen year on year (yoy) lebih tinggi dari pertumbuhan nasional sebesar 4,87 persen (yoy). Pertumbuhan tersebut didorong panen raya padi pada bulan Maret dan April. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/nz.

    Pangan kuat, negara berdaulat
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Senin, 28 Juli 2025 – 07:28 WIB

    Elshinta.com – Ketika Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo menutup sambutannya dalam acara penganugerahan inovasi benih dan bibit beberapa waktu lalu, satu kalimat sederhana namun menggugah dilontarkannya bahwa “Pangan kuat, negara berdaulat.”

    Pernyataan ini bukan sekadar slogan. Namun mencerminkan visi besar tentang betapa pentingnya kemandirian pangan dalam menjamin kedaulatan dan stabilitas sebuah negara.

    Pangan yang kuat berarti kemampuan bangsa untuk memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya sendiri, tanpa ketergantungan berlebih terhadap impor.

    Ketika ketahanan ini dibangun secara sistematis dan berkelanjutan, negara tidak hanya mampu menjaga kestabilan harga, tetapi juga mampu mengantisipasi krisis global dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.

    Kemandirian pangan memungkinkan negara menjaga kendali atas kebijakan pangannya sekaligus menjadi fondasi bagi tercapainya kedaulatan pangan.

    Ini sebuah kondisi ketika negara mampu secara mandiri mengatur sistem pangannya, menjamin hak rakyat atas pangan, serta memberi ruang bagi masyarakat untuk mengembangkan sistem pangan berbasis kearifan lokal.

    Peringatan ini sesungguhnya telah disuarakan jauh sebelumnya oleh Bung Karno. Sang Proklamator pernah menyatakan bahwa urusan pangan adalah soal hidup dan matinya sebuah bangsa. Hari ini, bangsa ini melihat betapa relevan dan visionernya peringatan itu.

    Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) bahkan telah berulang kali mengingatkan dunia akan ancaman krisis pangan global, terutama pascapandemi COVID-19 yang mengguncang sistem produksi dan distribusi pangan dunia.

    Faktor-faktor seperti perubahan iklim ekstrem, ledakan jumlah penduduk, hingga konflik sosial dan bencana kemanusiaan semakin memperkuat urgensi kita untuk bersiap dan berbenah.

    Sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbanyak di dunia, Indonesia tidak boleh lengah. Ambisi untuk menjadi Lumbung Pangan Dunia 2045 tidak akan tercapai bila cadangan pangan nasional tidak diperkuat.

    Salah satu strategi krusial adalah memastikan cadangan pangan pemerintah tetap aman dan dikelola secara profesional.

    Indonesia patut belajar dari pengalaman dua tahun lalu, ketika cadangan beras pemerintah menipis drastis. Situasi itu menunjukkan ada yang tidak beres dalam tata kelola cadangan pangan.

    Perum Bulog sebagai operator pun dipertanyakan kapasitasnya dalam merespons kebutuhan negara akan cadangan pangan strategis.

    Apakah persoalannya hanya soal manajemen? Ataukah ada beban keuangan yang mengganggu fokus institusi ini dalam menjalankan fungsinya?

    Masalah seperti ini tidak boleh dianggap remeh. Ketika tata kelola cadangan beras saja belum optimal, belum lagi tantangan produksi dalam negeri yang mulai melemah, serta daya beli petani yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi, maka sudah saatnya semua pihak bersinergi mencari solusi sistemik, bukan sekadar tambal sulam.

    Di sinilah peran Badan Pangan Nasional menjadi sangat strategis. Sesuai amanat Perpres Nomor 66 Tahun 2021, lembaga ini mengemban tanggung jawab besar dalam urusan pangan nasional.

    Sukses pelaksanaan

    Badan Pangan Nasional harus menjadi penggerak utama, merancang Grand Desain Pencapaian Kedaulatan Pangan yang dilengkapi roadmap dan tahapan teknokratik partisipatif.

    Namun desain yang baik tidak cukup tanpa pelaksanaan yang kuat. Karena itu, prinsip “Sukses Perencanaan sama dengan Sukses Pelaksanaan” harus menjadi mantra dalam setiap tahapan kerja.

    Untuk itu, dibutuhkan kepemimpinan dengan komitmen tinggi dan kompetensi mumpuni, bukan sekadar mengulang retorika lama yang belum menyentuh akar persoalan.

    Menariknya, saat ini juga sedang berkembang wacana strategis dari Presiden Prabowo mengenai transformasi kelembagaan Perum Bulog, dari Badan Usaha Milik Negara menjadi lembaga otonom pemerintah.

    Gagasan ini menunjukkan keseriusan pemerintah untuk mengembalikan Bulog ke marwah aslinya: sebagai alat negara dalam menjaga stabilitas pangan, bukan sekadar entitas bisnis.

    Selama 36 tahun, Bulog pernah berfungsi sebagai lembaga pemerintah non-departemen. Ketika status itu hendak dikembalikan, artinya negara tengah merajut kembali kepercayaan pada mekanisme negara dalam urusan pangan.

    Namun, perubahan ini harus segera dirumuskan secara tepat melalui regulasi yang jelas agar Bulog dapat langsung melaksanakan fungsi-fungsi strategisnya di lapangan.

    Jika ditelisik lebih dalam, kedaulatan pangan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 memiliki tiga elemen penting mencakup hak negara dalam menentukan kebijakan pangan secara mandiri, jaminan hak rakyat atas pangan, serta hak masyarakat menentukan sistem pangan sesuai potensi lokal. Ketiganya adalah satu kesatuan. Tidak bisa dipisahkan.

    Sayangnya, hingga kini Indonesia belum mampu mewujudkan swasembada pangan secara utuh. Yang ada baru swasembada beras, itu pun fluktuatif, tergantung pada musim dan cuaca.

    Jagung, kedelai, gula, bawang putih, hingga daging sapi masih kita impor. Sementara pengertian pangan menurut UU sangat luas mencakup seluruh produk pertanian, kehutanan, perikanan, peternakan, baik olahan maupun segar, termasuk air dan bahan tambahan pangan.

    Ketahanan pangan di negeri ini juga sedang diuji. Ketersediaan mengalami penurunan, sementara harga di pasar melonjak tanpa kendali. Pemerintah tampak kesulitan menstabilkan harga.

    Padahal, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan dalam jumlah, mutu, dan akses yang aman, bergizi, terjangkau, serta tidak bertentangan dengan budaya dan agama masyarakat. Ini bukan perkara sederhana.

    Begitu pula dengan kemandirian pangan, yang diartikan sebagai kemampuan negara memproduksi pangan dari dalam negeri dengan memanfaatkan potensi sumber daya secara bermartabat.

    Sayangnya, hingga kini, kemandirian pangan masih terasa sebagai wacana yang lebih sering menjadi hiasan pidato, ketimbang realitas yang bisa dibuktikan di lapangan.

    Jika swasembada, ketahanan, dan kemandirian pangan masih belum dicapai, tentu terlalu jauh membicarakan kedaulatan pangan sebagai tujuan akhir.

    Maka langkah terbaik adalah menjadikan ketiga fondasi tersebut sebagai pijakan menuju cita-cita besar itu.

    Dengan memperkuat sinergi antarinstansi, merombak sistem kelembagaan seperti Bulog, dan menyusun kebijakan pangan berbasis data dan kearifan lokal, bukan tidak mungkin Indonesia akan berdiri tegak sebagai negara yang benar-benar berdaulat secara pangan.

    Kedaulatan pangan bukan sekadar target pembangunan, tetapi hak hidup seluruh rakyat Indonesia. Dan dalam semangat itulah, kita perlu bergerak bersama. Karena pangan kuat, berarti negara berdaulat.

    Sumber : Antara

  • Gas Bumi untuk Rumah Tangga Langkah Nyata Menuju Swasembada Energi

    Gas Bumi untuk Rumah Tangga Langkah Nyata Menuju Swasembada Energi

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah terus mendorong transisi energi nasional melalui pemanfaatan gas bumi sebagai sumber energi utama untuk rumah tangga. Langkah ini menjadi bagian dari strategi jangka panjang Indonesia menuju swasembada energi, sekaligus menekan ketergantungan terhadap impor liquefied petroleum gas (LPG) bersubsidi.

    PGN mencatat hingga 2025 sudah lebih dari 820.000 Sambungan Rumah Tangga (SR) gas bumi terpasang di 18 provinsi dan 74 kabupaten/kota.

    Kehadiran jaringan gas bumi (jargas) ini bukan hanya mempermudah akses energi bersih, tapi juga menjadi solusi penghematan subsidi negara yang selama ini tersedot untuk LPG. Dalam catatan PGN, jargas rumah tangga telah menyumbang penghematan subsidi negara hingga Rp 1,7 triliun per tahun.

    Salah satu warga yang telah merasakan manfaat langsung dari penggunaan gas bumi adalah Dadang Sudana, warga Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Ia telah menggunakan gas bumi di rumahnya selama kurang lebih lima bulan terakhir.

    “Awalnya ada pendataan dari RT dan RW, setelah itu baru dilakukan pemasangan pipa ke rumah,” ujar Dadang saat ditemui Beritasatu.com.

    Menurutnya, penggunaan gas bumi memberikan kenyamanan dan efisiensi dalam aktivitas rumah tangga, terutama karena pasokan gas tersedia 24 jam tanpa resiko kehabisan saat dibutuhkan. “Lebih efisien, tidak takut kehabisan gas saat memasak, atau harus isi ulang di waktu yang tidak pas,” jelasnya.

  • Penurunan Komisi Bagi Hasil Bisa Bikin Aplikator Ojol Bangkrut

    Penurunan Komisi Bagi Hasil Bisa Bikin Aplikator Ojol Bangkrut

    Jakarta, Beritasatu.com – Industri ojek online (ojol) membutuhkan regulasi komprehensif demi melindungi kepentingan semua pihak, termasuk konsumen, pengemudi, aplikator, pemerintah, serta pelaku UMKM yang bergantung.

    Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengatakan peraturan yang tengah digodok pemerintah terkait dengan ojek online perlu memperhatikan banyak hal.

    “Apapun solusi yang dikeluarkan, harus mempertimbangkan kepentingan seluruh stakeholder, yaitu konsumen, driver, pemerintah dan aplikator. Pembahasan harus komprehensif, tidak boleh sepotong-sepotong,” kata Wijayanto dalam keterangan tertulisnya.

    Menurutnya, transportasi online saat ini berperan penting membantu menghubungkan para pelaku ekonomi, sehingga ikut dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Akan tetapi, pada saat daya beli masyarakat menurun, ekosistem transportasi online juga terganggu sehingga sektor ini perlu mendapatkan dukungan.

    Dia menilai, usulan penurunan besaran bagi hasil atau komisi ojol dari 20% menjadi 10% dinilai berisiko bagi semua ekosistem, tak hanya bagi perusahaan aplikasi, driver, tapi juga konsumen dan UMKM yang bergantung di sektor ini. “Usulan tersebut (penurunan komisi) perlu dikaji ulang, karena bisa membangkrutkan aplikator ojol,” katanya.

    Dia mengatakan, perlu regulasi yang menjadi acuan karena sektor itu akan menjadi andalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan pekerjaan, dan mengurangi ketimpangan.

    “Kita semua, tidak hanya pemerintah, perlu belajar dari pengalaman negara lain dalam memajukan industri transportasi online. Juga belajar dari sektor-sektor di Indonesia yang sudah berhasil melakukan transformasi; dua sektor yang bisa dijadikan referensi adalah perbankan dan telekomunikasi,” katanya.

  • Indonesia Perlu Kembangkan Sistem Pelacakan Beras Berbasis Teknologi

    Indonesia Perlu Kembangkan Sistem Pelacakan Beras Berbasis Teknologi

    Jakarta, Beritasatu.com – Masalah beras memang sudah terjadi sejak lama. Terbaru, masalah beras bukan lagi sekadar impor saja, tapi juga beras kualitas rendah yang dioplos.

    Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Eliza Mardian merekomendasikan untuk mengoptimalkan teknologi digital sebagai upaya memberantas peredaran beras oplosan di dalam negeri.

    “Bisa kembangkan sistem pelacakan beras berbasis teknologi untuk memantau rantai pasok dari petani hingga konsumen, memastikan transparansi dan mencegah manipulasi, serta memudahkan pengawasan,” kata Eliza seperti dilansir dari Antara, Minggu (27/7/2025).

    Seiring dengan itu, perlu diperkuat pengawasan dan melakukan koordinasi lintas kementerian/lembaga (K/L) guna menangani peredaran beras oplosan. “Ini tidak hanya melibatkan Kementerian Pertanian, tapi juga Kementerian Perdagangan. Jadi, perlunya harmonisasi antarinstansi agar efektif menangani kasus ini,” ujar Eliza.

    Selain itu, dia mengatakan diperlukan sanksi tegas untuk menimbulkan efek jera, yang meliputi pemberian denda hingga pencabutan izin usaha atau pelarangan distribusi bagi produsen yang terbukti melakukan pelanggaran.

    Dia pun merekomendasikan untuk menetapkan regulasi ketat terkait standarisasi kualitas beras premium, yang mencakup pengujian rutin terhadap kadar air, butir kepala, serta kepatuhan takaran. Dia melanjutkan, sertifikasi untuk produsen beras premium juga diperlukan yang bisa melibatkan jasa pemastian demi memastikan mutu beras agar konsumen beras premium tidak dirugikan.

    “Perlu perkuat regulasi pelabelan buat memastikan ada informasi yang lengkap di kemasan misalnya, kelas mutu, berat bersih, komposisi dan kalau bisa bisa menelusuri asalnya atau ‘traceability’ yang mudah dipahami oleh konsumen. Sehingga, konsumen akan tahu apa yang mereka beli,” ujar Eliza.

  • Kasus Beras Oplosan Bisa Hambat Upaya Pemerintah Atasi Kemiskinan

    Kasus Beras Oplosan Bisa Hambat Upaya Pemerintah Atasi Kemiskinan

    Jakarta, Beritasatu.com – Beras oplosan kualitas rendah dengan beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) Bulog disebut dapat mengganggu program pemerintah mengatasi kemiskinan.

    Peneliti dari Centre of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, menilai pengoplosan beras kualitas rendah ke dalam kemasan SPHP sangat merugikan negara, karena menggagalkan misi utama program subsidi pangan untuk membantu masyarakat berpendapatan rendah keluar dari jerat kemiskinan.

    “Ini merugikan negara dan juga konsumen kalangan menengah bawah. Negara mengalami kerugian karena programnya tidak efektif untuk mengurangi kemiskinan,” kata Eliza seperti dilansir dari Antara, Minggu (27/7/2025).

    Padahal, program tersebut dirancang sebagai intervensi pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat miskin terhadap bahan pangan pokok. Namun praktik oplosan membuat beras murah sulit diakses oleh penerima manfaat sebenarnya.

    Akibatnya, keluarga miskin tidak mendapatkan beras SPHP sesuai harga dan kualitas yang ditetapkan, sehingga terpaksa membeli beras mahal yang menggerus belanja mereka untuk kebutuhan pokok lainnya.

    “Konsumen rugi karena SPHP ini kan standarnya lebih bagus dari pada (beras) ‘reject’ (kualitas buruk). Dan beras SPHP murah karena disubsidi pemerintah,” tutur Eliza.

    Karena itu, dia pun menyarankan agar distribusi SPHP dilakukan langsung kepada penerima manfaat melalui operasi pasar keliling atau koperasi berbasis komunitas, guna mencegah kebocoran dan penyelewengan.

    “Itu mengapa menyalurkan SPHP harus resmi oleh pemerintah agar tidak terjadi lagi kebocoran dan pemalsuan beras reject jadi SPHP,” kata Eliza.

  • Perlu Efek Jera bagi Penjual Beras Oplosan Nakal

    Perlu Efek Jera bagi Penjual Beras Oplosan Nakal

    Jakarta, Beritasatu.com – Praktik pengoplosan beras dikhawatirkan dapat merusak efektivitas kebijakan pangan, menciptakan distorsi pasar, hingga membahayakan stabilitas sosial apabila dibiarkan meluas.

    Kepala Pusat Makroekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufiqurrahman mengungkapkan, ketika masyarakat menemukan bahwa beras yang mereka beli tidak sesuai, maka akan timbul ketidakpercayaan.

    “Bahkan dari program subsidi yang pernah dilakukan uji tidak sesuai mutu atau bobot, maka kepercayaan publik terhadap negara sebagai penyedia pangan akan runtuh,” ujar dia seperti dilansir dari Antara, Minggu (27/7/2025).

    Dalam jangka panjang, dia mengatakan praktik ini dapat menciptakan ketidakstabilan harga dan memperbesar jurang antara regulasi dan kenyataan pasar. “Negara harus hadir secara tegas, tidak hanya dengan retorika, tetapi dengan sistem yang mampu menutup seluruh celah penyimpangan,” ujar Rizal.

    Menurutnya, modus beras oplosan terus hidup karena lemahnya pengawasan pada titik distribusi akhir, tidak adanya sistem pelacakan yang kredibel, serta longgarnya mekanisme kontrol atas mitra distribusi Perum Bulog.

    Dia menambahkan, rantai distribusi Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang panjang dan tidak transparan, menciptakan ruang bagi aktor-aktor di hilir untuk menyisipkan praktik pengoplosan secara sistematis.

    “Ini diperburuk oleh absennya early warning system berbasis data, serta tidak adanya pembenahan menyeluruh dalam tata kelola logistik dan sertifikasi penyalur. Selama logika ekonomi masih menguntungkan pelaku, dan sanksi tidak memberikan efek jera, sistem ini akan terus berputar,” ujar Rizal.

  • Harga Emas Melejit Pembeli Sepi, Pedagang India hingga Tiongkok Beri Diskon Besar-besaran – Page 3

    Harga Emas Melejit Pembeli Sepi, Pedagang India hingga Tiongkok Beri Diskon Besar-besaran – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Lonjakan harga emas dunia membuat konsumen di Asia mulai berpikir dua kali sebelum membeli logam mulia. Akibatnya, permintaan emas fisik anjlok, memaksa pedagang dari India hingga Tiongkok menawarkan diskon besar-besaran demi menarik pembeli.

    Dilansir dari Kitco.com, Minggu (27/7/2025), harga emas sempat melonjak tajam di awal pekan. Emas di pasar spot dibuka di level USD 3.347,05 per ons dan terus naik hingga menyentuh puncak USD 3.433 pada Selasa malam waktu setempat. Namun, level ini menjadi titik resistensi kuat yang gagal ditembus meski sudah dicoba berkali-kali.

    Setelah beberapa kali gagal melampaui USD 3.400, emas mulai terkoreksi. Pada Jumat, emas diperdagangkan di kisaran USD 3.340 per ons, masih tinggi jika dibandingkan dengan awal tahun, namun cukup untuk membuat pembeli mulai menjauh.

    Diskon Besar di India

    Di India—negara konsumen emas terbesar kedua di dunia—pedagang mulai memberikan diskon hingga USD 15 per ons dari harga resmi domestik. Jumlah ini meningkat dari minggu lalu yang hanya USD 10.

    Harga emas lokal sempat menyentuh 100.555 rupee per 10 gram, tetapi turun menjadi sekitar 98.500 rupee pada akhir pekan. Seorang penjual perhiasan di Chennai menyebut banyak pembeli kebingungan karena harga bergerak terlalu liar dalam waktu singkat.

    “Awalnya naik, lalu turun tajam. Sekarang pelanggan jadi ragu membeli,” ujarnya.

    Permintaan yang melemah bahkan membuat sejumlah pengrajin perhiasan menunda pembelian emas untuk produksi mereka.

     

  • Ada Kesempatan Kerja di Luar Negeri, Siapa Minat? – Page 3

    Ada Kesempatan Kerja di Luar Negeri, Siapa Minat? – Page 3

    Selain mendukung pencari kerja, Cari Kerja juga menyediakan dashboard rekruter yang memudahkan perusahaan, baik lokal maupun internasional, dalam menjaring kandidat secara cepat, tepat, dan terstruktur.

    Dalam tahap awal peluncurannya, platform ini menargetkan dapat terhubung dengan 10 hingga 30 perusahaan, terutama dari sektor UMKM, agensi penempatan kerja, dan perusahaan yang aktif merekrut.

    Sementara dalam jangka 6–12 bulan ke depan, seiring pengembangan fitur dan jaringan, Cari Kerja menargetkan terhubung dengan lebih dari 100 hingga 250 perusahaan nasional dan internasional yang bergerak di berbagai sektor, seperti perhotelan, kesehatan, logistik, dan teknologi.

     

  • BSU 2025 Segera Dicairkan untuk 1,2 Juta Pakerja yang Belum Kebagian – Page 3

    BSU 2025 Segera Dicairkan untuk 1,2 Juta Pakerja yang Belum Kebagian – Page 3

    Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci kelancaran penyaluran BSU di wilayahnya. Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin menambahkan bahwa Pemerintah Kota Makassar telah menyiapkan berbagai fasilitas pendukung di lapangan dan bekerja sama erat dengan kantor pos untuk mempercepat proses penyaluran.

    “Kami di Pemerintah Kota Makassar berkomitmen mendukung penuh proses verifikasi dan pendataan agar bantuan ini benar-benar tepat sasaran, terutama untuk pekerja informal dan UMKM,” ujar Wali Kota Munafri.

    Distribusi Efisien oleh Pos Indonesia

    Direktur Bisnis Jasa Keuangan PT Pos Indonesia (Persero), Haris, menegaskan bahwa pihaknya telah menyiapkan lebih dari 4.000 titik layanan nasional, termasuk pembukaan layanan khusus di hari libur serta sistem pemantauan real-time untuk memastikan distribusi berjalan aman dan transparan.

    “Kami berkomitmen menyalurkan bantuan ini dengan prinsip 3T: Tepat Waktu, Tepat Guna, dan Tepat Sasaran. Layanan Kantorpos di Makassar dan seluruh Sulsel sudah dalam status siaga penuh,” ujar Haris.

    Haris menambahkan bahwa PosIND terus bekerja memenuhi amanah dari Kemnaker dan khususunya BPJS Ketenagakerjaan dalam menyalurkan uang BSU ini hingga ke pelosok. 

     

  • Cak Imin Ingin 210.000 Orang yang Tak Lagi Miskin Kian Sejahtera

    Cak Imin Ingin 210.000 Orang yang Tak Lagi Miskin Kian Sejahtera

    Jakarta, Beritasatu.com – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 mengalami penurunan 210.000 orang dibandingkan September 2024.

    Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengatakan, pihaknya terus memperkuat upaya pemberdayaan masyarakat menyusul angka kemiskinan di Indonesia yang menunjukkan penurunan.

    “Sebanyak 210.000 orang yang telah keluar dari belenggu kemiskinan akan kita fokuskan untuk menjadi berdaya dan sejahtera,” kata Menko Muhaimin Iskandar dalam keterangan tertulisnya, Minggu (27/7/2025).

    Dia mengatakan, Kemenko Pemberdayaan Masyarakat akan mempercepat transformasi masyarakat miskin menjadi sejahtera dan mandiri. Muhaimin Iskandar menjelaskan, upaya pemberdayaan juga akan difokuskan terhadap 2,38 juta orang yang termasuk dalam kemiskinan ekstrem.

    Cak Imin pun menjelaskan, upaya pemberdayaan terus dilakukan dengan mengkoordinasikan kementerian/lembaga sebagaimana amanat Inpres 8/2025 tentang Optimalisasi Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.

    “Model-model upaya pengentasan kemiskinan terus kami perkuat dan kembangkan dengan mengorkestrasikan kementerian/lembaga terkait agar target kemiskinan ekstrem 0% pada 2026 dapat tercapai,” katanya.

    Berdasarkan Inpres tersebut, model pengentasan kemiskinan berbasis pemberdayaan yang dilakukan antara lain dengan optimalisasi dana keumatan melalui kerja sama dengan lembaga filantropi seperti Baznas dan Forum Zakat, serta kerja sama dengan swasta/perusahaan untuk optimalisasi program tanggung jawab sosial (CSR) berdampak.

    Muhaimin Iskandar menambahkan, angka kemiskinan terbaru akan menjadi landasan data bagi Kemenko Pemberdayaan Masyarakat dalam membuat kebijakan pengentasan kemiskinan yang lebih terpadu, tepat sasaran, dan berkelanjutan.

    Menurutnya, pengambilan kebijakan berbasis data krusial agar upaya pengentasan kemiskinan, utamanya mengurangi kantong kemiskinan dan peningkatan ekonomi masyarakat, berjalan tepat sasaran.