Jendela Jejake, Ciri Khas Arsitektur Rumah Betawi yang Jadi Simbol Romantisme Tempo Dulu

Jendela Jejake, Ciri Khas Arsitektur Rumah Betawi yang Jadi Simbol Romantisme Tempo Dulu

Liputan6.com, Jakarta – Bagi masyarakat Betawi, jendela bukan sekadar lubang udara. Jendela telah menjadi saksi bisu kisah cinta yang dapat dilihat dari keberadaan jendela jejake di era Betawi tempo dulu.

Mengutip sari Seni & Budaya Betawi, era Betawi tempo dulu menjadikan jendela sebagai media utama bagi para jejaka untuk menyampaikan perasaan kepada pujaan hati. Dari sanalah nama jendela jejake (bujang) berasal.

Romantisme dan ekspresi kasih sayang orang Betawi tempo dulu sangat berbeda dengan era sekarang. Dahulu, jejaka harus meminta izin dan menunjukkan sikap baik pada ayah sang gadis sebelum sekadar berbincang dengan gadis pujaan.

Ayah para gadis mayoritas memiliki sikap ketegasan yang menjadi bagian dari refleksi nilai-nilai Islam yang terinternalisasi dalam nilai dan tradisi masyarakat Betawi. Oleh sebab itu, para jejaka hanya bisa berbincang dari luar dengan dibatasi jendela jejake. Mereka tak diperkenankan membawa keluar anak gadis pemilik rumah.

Saat berkunjung ke rumah si gadis, ada beberapa etika bertamu yang harus dilakukan jejake. Laki-laki akan ‘ngglancong’ bersama-sama kawannya dan berkunjung ke rumah calon istrinya.

Hal ini tidak dilakukan secara langsung, tetapi melalui jendela bujang atau jejake. Si laki-laki akan duduk atau tiduran di peluaran (ruang depan), sedangkan si perempuan ada di dalam rumah mengintip dari balik jendela.

Adapun untuk si gadis, ada syarat khusus yang harus dilakukan, yakni dilarang duduk di trampa (ambang pintu). Masyarakat Betawi memegang teguh ‘perawan dilamar urung, laki-laki dipandang orang’, yang artinya perempuan susah bertemu jodoh dan laki-laki bisa disangka berbuat jahat.

Ada juga istilah ngebruk, yaitu laki-laki yang berani melangkahi trampa rumah (terutama rumah yang ada anak gadisnya). Jika ia melakukan ngebruk, maka ia harus menikahi gadis yang tinggal di rumah tersebut.

Jendela jejake kemudian berkembang menjadi salah satu ciri khas rumah Betawi. Jendela ini memiliki bukaan besar pada bagian dinding.

Terkadang, jendela tidak berdaun sama sekali. Biasanya jendela ini berbahan kayu nangka atau sawo.

Jendela jejake yang berdaun biasanya juga dilengkapi dengan balustrade atau kisi. Selain agar pandangan mata penghuni kamar bisa terbentang luas ke luar, balustrade juga berfungsi mencegah orang yang tidak diundang masuk ke dalam.

Dahulu, balustrade pada jendela jejake terbuat dari kayu yang dicat dengan warna kuning dan hijau. Kemudian mulai dikenal kusen besi seiring masuknya Belanda ke Batavia.

Penulis: Resla