Liputan6.com, Yogyakarta – Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah sosok pemimpin Keraton Yogyakarta yang mendapatkan pendidikan Eropa sejak usia dini. Sejak berusia 4 tahun, ia tinggal bersama keluarga Mulder, seorang kepala sekolah Belanda di daerah Gondokusuman.
Mengutip dari beberapa sumber, pendidikannya dimulai di HBS Semarang, kemudian dilanjutkan di HBS Bandung, dan akhirnya di Belanda. Pada 1934, ia melanjutkan pendidikan di Universitas Leiden meskipun tidak sampai menyelesaikannya.
Meskipun mendapatkan pendidikan Barat, Sri Sultan Hamengkubuwono IX tetap memegang teguh budaya dan adat Jawa. Ia memiliki peran penting dalam sejarah perpolitikan Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan.
Pada 1940, dalam sebuah perundingan dengan Lucien Adam dari Pemerintah Hindia Belanda, Sultan HB IX mengalami pengalaman yang unik. Ia mendapatkan bisikan mistis yang membuatnya yakin untuk menandatangani perjanjian.
Bisikan tersebut berbunyi “Nak, tanda tangani saja, Belanda akan segera pergi dari sini” dalam bahasa Jawa. Setelah empat bulan perdebatan, ia mendadak menyetujui seluruh poin perjanjian tanpa revisi.
Keputusan ini terbukti memiliki makna strategis. Dua tahun kemudian, Jepang datang dan mengusir Belanda dari Indonesia. Pada 1947, Belanda pernah kembali, namun akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949.
Posisi strategis Kesultanan Yogyakarta pada awal kemerdekaan memungkinkannya mempertahankan status istimewa hingga saat ini. Sultan Hamengkubuwono IX berperan penting dalam proses perundingan dan perjuangan kemerdekaan.
Pendidikan Eropa yang diterimanya tidak membuatnya kehilangan identitas budaya Jawa. Ia tetap menjunjung tinggi tradisi Kraton Yogyakarta sambil berpikiran modern dan terbuka.
Kemampuannya bernegosiasi dan memahami situasi politik membuatnya menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia. Ia berhasil menjembatani antara tradisi kerajaan dan semangat kemerdekaan.
Penulis: Ade Yofi Faidzun