Jakarta, Beritasatu.com – Nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan akibat tekanan sentimen global. Pada Selasa (25/3/2025) sore, nilai tukar rupiah sempat anjlok hingga Rp 16.611 per dolar Amerika Serikat (AS), level terendah sejak krisis ekonomi 1998. Pada Rabu (26/3/2025) sore, meskipun sedikit menguat sebesar 0,14%, nilai tukar rupiah masih tertekan pada level 16. 587 per dolar AS.
Global Markets Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menilai pergerakan rupiah ke depan masih sangat bergantung pada dinamika perang dagang antara AS dan negara mitra dagangnya.
“Selama Donald Trump memberikan pernyataan kontroversial, mata uang kita akan terdampak. Investor asing cenderung bereaksi dengan melakukan aksi jual atau profit taking di pasar emerging market, seperti Indonesia. Hal ini berimbas pada nilai tukar rupiah,” ujar Myrdal dalam wawancara dengan B-Universe, Rabu (26/3/2025).
Myrdal menjelaskan, tekanan terhadap rupiah terjadi karena meningkatnya permintaan terhadap dolar AS, serta ketidakpastian pasar terkait kebijakan perdagangan AS terhadap mitra dagangnya. Sentimen global ini menjadi faktor utama yang menghambat penguatan rupiah.
Namun, Myrdal tetap optimistis rupiah berpotensi menguat apabila data ekonomi Indonesia menunjukkan tren positif.
“Kalau saya lihat dengan posisi cadangan devisa yang berlimpah, kelihatannya juga seharusnya rupiah kita menjadi lebih solid. Meskipun, kita tidak bisa menghindari dampak dari sisi global. Kalau dari sisi domestik, saya lihat sih pengembangannya relatif positif, progresnya juga secara pelan-pelan sudah mulai terlihat, walaupun memang butuh waktu,’ tambah Myrdal terkait faktor yang akan memengaruhi nilai tukar rupiah.
