Jatuh Bangun Mata Elang Bertahan Demi Keluarga di Tengah Stigma Buruk
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Di sudut-sudut jalan Ibu Kota Jakarta, para
debt collector
—yang lebih dikenal sebagai
mata elang
—bersiap mengawasi setiap kendaraan yang melintas di hadapan mereka.
Dengan ponsel di tangan, mereka mencatat nomor polisi kendaraan, mengandalkan ketajaman mata dan kecepatan jari untuk mengidentifikasi unit-unit yang diduga bermasalah kredit.
Untuk membantu proses identifikasi, para mata elang menggunakan aplikasi yang dapat diunduh dengan mudah di berbagai platform digital.
Di dalam aplikasi tersebut tersimpan jutaan data kendaraan yang tercatat memiliki tunggakan kredit di perusahaan pembiayaan atau
leasing
.
Para mata elang bermitra dengan
leasing
untuk mengambil alih kendaraan milik debitur yang tak mampu membayar cicilan, apabila kendaraan tersebut ditemukan di jalan.
Namun, praktik mengambil alih kendaraan di ruang publik inilah yang kerap membuat profesi mata elang mendapat stigma buruk di mata masyarakat.
Tak jarang, masyarakat langsung menghakimi para mata elang karena dicurigai hendak melakukan tindak kejahatan terhadap debitur.
Stigma tersebut melekat kuat, meski para mata elang mengklaim bekerja berdasarkan prosedur dan surat tugas resmi.
Alex (35), bukan nama sebenarnya, salah satu mata elang yang ditemui
Kompas.com,
mengaku kerap merasa sedih menghadapi stigma negatif terhadap profesinya.
“Perasaan saya sedih dan tidak percaya diri ada. Tapi, kembali lagi yang kita jalankan tidak ada pilihan lain, karena sesuai keahlian dan kemampuan,” ucap Alex ketika diwawancarai
Kompas.com
, Senin (22/12/2025).
Alex mengungkapkan, pilihannya menjadi mata elang bukanlah tanpa pertimbangan. Ia mengaku terpaksa menjalani pekerjaan tersebut setelah kesulitan mendapatkan pekerjaan lain di Jakarta, meski telah berupaya keras mencarinya.
Selama 16 tahun menjalani profesi ini, Alex mengaku sudah terbiasa menghadapi risiko tinggi. Keributan verbal hingga baku hantam dengan debitur maupun warga sekitar kerap menjadi bagian dari kesehariannya.
Meski demikian, Alex tetap bertahan karena tuntutan ekonomi dan kewajiban menafkahi keluarga di kampung halaman.
“Karena kami jalani pekerjaan ini pun, kami cari nafkah untuk keluarga kami di kampung,” tutur Alex.
Dalam menjalankan tugas, Alex menegaskan dirinya tidak bekerja sembarangan. Ia mengaku harus mematuhi Standar Operasional Prosedur (SOP) perusahaan.
Salah satu SOP yang wajib ditaati adalah larangan melakukan kekerasan saat menarik kendaraan debitur di jalan.
Selain itu, setiap mata elang diwajibkan memiliki Sertifikasi Profesi Pembiayaan Indonesia (SPPI) yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi di bawah naungan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI).
Untuk memperoleh sertifikasi tersebut, para mata elang harus mengikuti tes daring yang ketat, termasuk materi tentang cara menagih debitur secara tepat dan sesuai aturan.
Alex mengaku, meski telah berpengalaman, ia tidak langsung lulus dalam ujian sertifikasi tersebut. Ia harus mengikuti tes hingga tiga kali untuk akhirnya mendapatkan sertifikat.
“Saya sampaikan bahwa, mata elang zaman sekarang tidak ada yang tidak punya KTA dan SPPI itu wajib punya semua, karena PT-PT yang merekrut tenaga lepas seperti mata elang di lapangan itu mereka harus memberikan surat tugas, dan wajib punya namanya SPPI, tidak semudah zaman dulu,” ujar Alex.
Tanpa SPPI, seorang mata elang tidak dapat dipekerjakan oleh perusahaan
debt collector
yang bermitra dengan leasing. Sertifikasi ini menjadi jaminan bahwa penagihan dilakukan sesuai SOP dan tanpa kekerasan.
Karena itu, Alex dan rekan-rekannya berupaya menagih debitur secara persuasif agar tidak memicu keributan di jalan.
Meski bekerja untuk perusahaan yang bermitra dengan leasing, para mata elang tidak menerima gaji bulanan tetap sebagaimana pekerja formal lainnya.
“Kalau PT ini kami sistemnya bermitra tapi mitra lepas
freelance
. Kami sebenarnya enggak ada gaji tergantung dapatnya (kendaraan) kalau dapat di situ ada yang namanya sistem fee,” tutur Alex.
Besaran
fee
yang diterima berbeda-beda, tergantung kebijakan masing-masing leasing, berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta per unit kendaraan yang berhasil diamankan.
Dalam satu bulan, Alex mengaku bisa mendapatkan lima hingga 10 kendaraan. Namun, penghasilan tersebut masih harus dibagi karena ia bekerja secara berkelompok.
Selain itu, pendapatan tersebut juga dipotong oleh perusahaan
debt collector
dan pajak sebesar dua persen.
Kriminolog Haniva Hasna menilai, para mata elang pada dasarnya juga menjadi korban sistem dalam bisnis pembiayaan.
Menurut Haniva, tekanan dari atasan dan ancaman kehilangan pekerjaan sering kali memaksa mata elang melakukan penarikan kendaraan di jalan, meski berisiko memicu konflik.
Di sisi lain, upah yang mereka terima dinilai tidak sebanding dengan risiko pekerjaan yang tinggi.
Meski demikian, Haniva menegaskan status sebagai korban sistem tidak menghapus tanggung jawab hukum ketika terjadi kekerasan.
“Tapi, penting digarisbawahi adalah, menjadi korban sistem tidak menghapus tanggung jawab pidana,” tutur Haniva saat dihubungi
Kompas.com
, Senin (22/12/2025).
Ia juga menilai, mata elang kerap menjadi pihak yang paling disasar hukum ketika terjadi persoalan penagihan, sementara perusahaan leasing atau perusahaan yang menaungi mereka jarang dimintai pertanggungjawaban.
Selama aktor utama dalam bisnis pembiayaan tidak tersentuh hukum, praktik kekerasan dalam penagihan dinilai akan terus berulang.
Bertahannya praktik mata elang di Indonesia, meski dilarang secara hukum, menurut Haniva, bukan sekadar kegagalan penegakan hukum.
Ia menilai hal tersebut juga mencerminkan kegagalan fungsi pencegahan, akibat ketidakseimbangan antara regulasi dan praktik di lapangan.
“Secara normatif dilarang, tetapi secara struktural masih ‘dibutuhkan’ oleh sistem penagihan yang mengejar efisiensi,” ucap dia.
Kondisi ini membuat hukum kehilangan efek jera dan tidak mampu menghentikan praktik yang berulang.
Untuk mencegah kekerasan dalam
penagihan utang
, Haniva menilai penindakan terhadap mata elang di jalan saja tidak cukup.
Pemerintah dan aparat penegak hukum juga perlu melakukan pembenahan sistem, terutama dengan memperketat pengawasan terhadap perusahaan leasing.
Selain itu, penggunaan
debt collector
informal perlu dilarang secara tegas, disertai sanksi administratif hingga pencabutan izin bagi perusahaan yang membiarkan praktik kekerasan.
Pemerintah juga didorong memastikan penagihan utang dilakukan melalui mekanisme hukum resmi, agar tidak lagi menimbulkan korban, baik dari sisi debitur maupun mata elang.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Jatuh Bangun Mata Elang Bertahan Demi Keluarga di Tengah Stigma Buruk Megapolitan 24 Desember 2025
/data/photo/2025/12/24/694b3d7269709.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)