Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – PT Jasa Marga (Persero) Tbk menunggu keputusan lebih lanjut dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mengenai tindak lanjut terhadap temuan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) soal kondisi Tol Cipularang.
Salah satu temuan utama KNKT adalah terkait kelandaian jalan yang cukup tajam dengan kemiringan mencapai 5 hingga 8 persen.
“Kami menunggu sebenarnya aturan lebih lanjut yang akan diputuskan oleh kementerian terkait baik itu dari Kementerian PU maupun dari rekomendasi dari KNKT gitu ya,” kata Operation and Maintenance Management (OMM) Group Head Jasa Marga Atika Dara Prahita dalam konferensi pers Jasa Marga Siaga: Kesiapan Operasional Libur Nataru 2024/2025 di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (13/12/2024).
Meski sedang menunggu aturan lebih lanjut dari Kementerian PU serta rekomendasi dari KNKT, ia memastikan Jasa Marga tetap mengutamakan pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM) dalam operasional tol Cipularang.
Ia memastikan bahwa semua fasilitas yang ada di jalan tol seperti saluran drainase sudah memenuhi SPM yang telah ditetapkan.
“Kemudian tidak ada lubang dan sebagainya. Itu harus memenuhi SPM,” ujar Atika.
“Terkait dengan penambahan aspek keselamatan juga kita sudah memastikan bahwa serangkaian perlengkapannya seperti guard rail, MCB, dan sebagainya itu dipasang sesuai dengan ketentuan,” lanjutnya.
Atika juga menekankan pentingnya narasi yang dipajang pada rambu-rambu yang ada juga bisa dimengerti oleh pengguna jalan.
Ia mengatakan Jasa Marga bekerja sama dengan pihak kepolisian juga melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas.
Sebelumnya, Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono mengungkap temuan sementara hasil tinjauan terhadap kondisi jalan tol Cipularang KM 100 sampai dengan KM 90.
Tinjauan yang dilakukan KNKT ini berkaitan dengan kecelakaan beruntun di KM 92 Ruas Tol Cipularang arah Jakarta beberapa waktu lalu.
Soerjanto menjelaskan bahwa antara KM 100 hingga KM 90, di beberapa titik terdapat kelandaian jalan yang cukup tajam dengan kemiringan mencapai 5 hingga 8 persen.
Meskipun kelandaian ini sesuai dengan regulasi yang ada pada tahun 1997, yang memperbolehkan jalan dengan kemiringan hingga 8 persen pada kecepatan 60 km per jam, peraturan terbaru menetapkan batas kemiringan maksimal hanya 5 persen.
Selain itu, di KM 97 terdapat sebuah rest area tipe A yang disebut radius tikungnya untuk kendaraan besar masuk itu terlalu tajam.
Kapasitas rest area itu disebut juga hanya mampu menampung 8 unit kendaraan besar.
Kapasitas itu di bawah standar yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) PUPR Nomor 28 Tahun 2021 tentang Tempat Istirahat dan Pelayanan Pada Jalan Tol.
“Artinya tidak sesuai dengan peraturan yang ada,” kata Soerjanto saat rapat bersama Komisi V DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/12/2024).
Di lokasi lainnya, tepatnya di KM 95, terdapat drainase pada bahu dalam, tetapi hanya di beberapa tempat.
Di beberapa bagian jalan tol di antara KM 94 hingga KM 90+400 B, tidak terdapat drainase di bahu dalam jalan.
“Jalan menikung ke kanan, superelevasi 8 persen ke kanan, sehingga ketika hujan, air akan mengumpul di kanan dan ini akan menyebabkan masalah aqua planning atau hydro planning,” ujar Soerjanto.
Bahu di luar sudah terdapat drainase, tetapi di bahu dalam tak terdapat drainase. Secara peraturan seharusnya ada drainase untuk membuang limpahan yang mengarah ke kanan.
Soerjanto juga mengungkap di KM 93 dan KM 96+800 terdapat masalah pada bahu jalan yang tidak sesuai dengan standar.
Dari hasil tinjauannya bersama Komisi V DPR RI, terdapat perbedaan tinggi antara bahu jalan dan sisi luar jalan mencapai 30 hingga 40 cm, jauh melebihi batas maksimal 5 cm yang ditetapkan oleh peraturan.
Perbedaan ketinggian yang begitu besar ini berpotensi membahayakan pengemudi, karena bisa menyebabkan kendaraan terguling jika tidak sengaja keluar dari jalur.
Salah satu temuan penting lainnya ada di jalur penghentian darurat di KM 92+600. Meskipun ini sudah dibangun sesuai dengan ketentuan Kementerian Perhubungan, sudut masuk jalur darurat tersebut terlalu tajam, membuat kendaraan besar sulit untuk masuk, terutama dalam kondisi darurat.
Sesuai dengan peraturan Surat Edaran Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR Nomor 13/SE/Db/2022 dan Permenhub nomor 48 Tahun 2023, KNKT merekomendasikan agar sudut masuk jalur darurat dibatasi maksimal 5 derajat agar kendaraan dapat lebih mudah masuk ke jalur penghentian darurat.
Selain itu, permukaan jalur penghentian darurat seharusnya menggunakan material gravel, bukan pasir atau tanah.
Di jalur penghentian darurat ini juga ada masalah lain yang ditemukan, yaitu ketidaksesuaian guardrail dengan yang standar yang sudah ditetapkan.
Seharusnya, terdapat transisi antara beton dan guardrail, namun kenyataannya di lokasi tersebut tidak ada.
Ada juga crashcushion yang dinilai terlalu menonjol, yang justru membahayakan pengemudi.
“Terus kemudian lajur layanan sebaiknya di sebelah kiri karena kecenderungan kalau mobil dalam kondisi darurat akan memepet ke kanan, sehingga kalau seperti ini akan membahayakan akan naik ke jalur layanan, tidak masuk ke jalur yang penyelematnya,” ucap Soerjanto.
Ia juga mencatat adanya masalah pada perlengkapan jalan seperti rambu lalu lintas yang bertumpuk di sepanjang jalan tol Cipularang.
Rambu lalu lintas yang menumpuk ini seperti di KM 95, KM 95+200, dan KM 93+200.
Ia mengusulkan kepada Kementerian Perhubungan agar mengevaluasi penempatan rambu-rambu ini, sehingga efektif pesan apa yang ingin disampaikan di lokasi ini.
“Nah ini contoh ada satu kilo sebelum jalur darurat ini, ada beberapa tanda sebetulnya tidak perlu. Contohnya seperti jarak aman, titik awal, di sini ada kamera, terus batas kecepatan,” jelas Soerjanto.
“Sebaiknya kalau sudah jalur darurat, tandanya khususnya jalur darurat, sehingga tidak membingungkan para pengemudi mana tanda yang harus diikuti,” sambungnya.
Soerjanto juga menyoroti penempatan rumblestrip yang ada di KM 92, KM 93+200, dan KM 94+200, justru dapat mengganggu kinerja sistem pengereman, terutama pada kendaraan dengan teknologi ABS, dan bisa menyebabkan kecelakaan.
Ada juga di KM 99+000 terdapat MCB concrete di ramp Gate Darangdan. Ini dipandang sangat membahayakan.
Terkait dengan kecelakaan matu yang melibatkan truk beberapa waktu lalu, Soerjanto mengungkap truk tersebut memang sudah kelebihan muatan sekitar 18 persen, tetapi secara administratif masih dalam batas toleransi.
Di KM 92+800, ia menyebut truk tersebut sudah terlipat atau mengalami yang namanya jackknifing.
KNKT pun menyoroti bagaimana pengemudi truk seharusnya tahu bagaimana cara mengatasi kondisi darurat seperti itu.
Namun, kenyataannya banyak pengemudi yang tidak terlatih dengan baik untuk menghadapi situasi semacam itu.
“Itu bisa dilaksanakan ketika seorang pengemudi itu telah dilatih dan diinformasikan mengenai apa yang harus dilakukan, sehingga dalam kondisi darurat mereka bisa bertindak seperti apa yang kita inginkan,” kata Soerjanto.
“Nah untuk masalah pengemudi ini kan kalau pilot ada sekolahnya, nahkoda ada, masinis ada, pengemudi enggak ada. Sehingga, kita tidak bisa mengharapkan pengemudi yang profesional,” sambungnya.
Soerjanto menambahkan bahwa faktor yang turut memengaruhi keselamatan adalah kondisi kesehatan pengemudi.
Ia mengungkapkan bahwa banyak pengemudi angkutan barang yang mengalami masalah kesehatan.
KNKT merekomendasikan agar pengemudi angkutan barang mendapatkan fasilitas untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, setidaknya sekali setahun.
Soerjanto mengusulkan kepada DPR agar para pengemudi angkutan barang maupun angkutan penumpang bisa difasilitasi BPJS.
“Sehingga kalau mereka menglamai masalah kesehatan, mereka bisa melakukan pengobatan dan bisa mengemudi dengan baik. Banyak masalah kesehatan ini berpengaruh terhadap human performance seorang pengemudi,” tukas Soerjanto.
“Jadi kami harapkan hal ini bisa dibantu untuk bisa melakukan pengecekan kesehatan dan kami harap nanti ada standarisasi medical check up untuk pengemudi angkutan barang maupun angkutan penumpang,” pungkasnya.