Jangan Ada Lagi Polisi yang Tolak Laporan Warga…
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com –
Kasus polisi menolak laporan warga sempat dialami oleh
Lachlan Gibson
kala menjadi korban kecelakaan pada 2023.
Kejadian yang dialami Lachlan baru viral beberapa waktu belakangan usai video kekecewaannya terhadap sikap polisi yang menolak laporan kecelakaannya tersebar di media sosial dan menarik perhatian publik.
Tak berselang lama, Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Pol Latif Usman menyampaikan permintaan maaf secara langsung kepada Lachlan usai menemuinya di Polda Metro Jaya, Senin (18/11/2024).
Setelah itu, polisi menerima laporan kecelakaan yang dialami Lachlan. Namun, Lachlan memutuskan tidak melanjutkan laporan karena minimnya bukti dan ada perubahan tempat kejadian perkara (TKP) lantaran insiden itu sudah berlalu 1 tahun 10 bulan.
Kasus polisi tolak laporan warga bukan baru kali ini saja terjadi. Kejadian ini sudah berulang kali terjadi di sejumlah wilayah Indonesia dan mungkin saja ada lebih banyak kasus yang tak terungkap ke publik.
Berdasarkan catatan
kompas.com
, peristiwa serupa dengan Lachlan juga dialami oleh wanita bernama Meta Kumala (32) yang menjadi korban pencurian di Jalan Sunan Sedayu, Rawamangun, Selasa (7/12/2021) malam.
Usai menjadi korban pencurian, Meta langsung melapor ke Polsek Pulogadung. Namun, bukannya dibantu untuk dibuatkan laporan, salah satu anggota polisi malah memarahi Meta.
Sementara itu, seorang ibu berusia 52 tahun melaporkan suaminya ke Polsek Parung Panjang atas dugaan KDRT pada Jumat (17/11/2023).
Saat melapor, ibu itu dalam keadaan luka di wajah dan mulut. Namun, laporan korban di Polsek Parung Panjang tidak diterima.
Beberapa kasus polisi tolak laporan warga tentu mencoreng institusi kepolisian dan menurunkan kepercayaan masyarakat.
Anggota polisi seharusnya memiliki jiwa tulus untuk melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat.
Berdasarkan informasi yang dihimpun
Kompas.com
, polisi yang menerima laporan tidak boleh mengabaikan atau meremehkan laporan yang dibuat warga.
Hal ini dijelaskan dalam Pasal 15 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri.
Dalam pasal tersebut, setiap anggota Polri dilarang:
• menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan, atau laporan dan pengaduan dari masyarakat yang menjadi lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya,
• mencari-cari kesalahan masyarakat yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
• menyebarluaskan berita bohong atau menyampaikan ketidakpatutan berita yang dapat meresahkan masyarakat,
• mengeluarkan ucapan, isyarat atau tindakan dengan maksud untuk mendapatkan imbalan atau keuntungan pribadi dalam memberikan pelayanan masyarakat,
• bersikap, berucap dan bertindak sewenang-wenang,
• mempersulit masyarakat yang membutuhkan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan,
• melakukan perbuatan yang dapat merendahkan kehormatan perempuan pada saat melakukan tindakan kepolisian,
• membebankan biaya tambahan dalam memberikan pelayanan di luar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Meski begitu, sebagai bentuk tindak lanjut, polisi yang menjadi penyidik atau penyidik pembantu yang menerima laporan atau pengaduan di SPKT memiliki hak untuk tidak membuat laporan polisi atas laporan atau aduan warga.
Hal ini tertuang dalam Pasal Pasal 3 Ayat 3 huruf b Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang berbunyi,
“Pada SPKT/SPK yang menerima laporan/pengaduan, ditempatkan penyidik/penyidik pembantu yang ditugasi untuk:
1. …
2. melakukan kajian awal guna menilai layak/tidaknya dibuatkan laporan polisi,
3. …”
Dalam memberikan penilaian layak atau tidak dibuatkan laporan polisi, penyidik atau penyidik pembantu harus berpedoman pada alasan hukum yang sesuai dengan aturan yang ada.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Muhammad Choirul Anam menegaskan bahwa kejadian polisi menolak laporan warga tidak boleh terulang.
“Peristiwa seperti ini (polisi menolak laporan) memang tidak boleh terjadi lagi. Siapa pun yang memberikan laporan, asalkan memang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kepolisian ya harus diterima, ditindaklanjuti,” jelas Anam kepada
Kompas.com
, Rabu (20/11/2024).
Anam berujar, tidak boleh ada perlakuan yang berbeda antara satu laporan warga dengan laporan warga lainnya.
Hal ini penting untuk diterapkan agar tidak menimbulkan ketidakadilan dalam penanganan kasus.
“Karena pembedaan itu akan memiliki implikasi yang sangat serius dalam pelayanan kepolisian,” tegas Anam.
Di lain sisi, Anam menyampaikan, saat ini polisi memiliki tantangan yang jauh lebih kompleks daripada sebelum-sebelumnya.
Salah satu tantangannya adalah masyarakat yang semakin terbuka dan masyarakat yang semakin mudah untuk menggunakan haknya bersuara di publik.
“Dan ini bagian dari kontrol masyarakat, pengawasan masyarakat, yang dalam konteks negara demokrasi memang dibutuhkan untuk profesionalitas kepolisian,” jelas Anam.
“Oleh karena tantangan seperti ini, memang satu-satunya jalan bagi teman-teman kepolisian adalah bekerjalah secara profesional dan bekerjalah secara transparan, termasuk jika ada kesalahan berani minta maaf,” sambungnya.
Menurut Anam, profesionalitas dan transparansi dibutuhkan dalam kerja-kerja kepolisian, apalagi dalam konteks masyarakat yang sangat terbuka seperti saat ini.
“Dan kami berharap siapa pun yang memberikan pengawasan, pengaduan, atas pelayanan kepolisian yang kurang maksimal, kurang profesional, ya itu juga harus diapresiasi. Jadi kita akan semakin lama semakin dewasa dan sehat,” pungkasnya.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.