Ironi Warga Miskin Ekstrem di Palopo, Terlambat Dapat Bantuan Pemerintah karena Masalah Administrasi
Tim Redaksi
PALOPO, KOMPAS.com
– Di sebuah rumah kontrakan sederhana di Kelurahan Ponjalae, Kota Palopo, Sulawesi Selatan, Asriani (40) berjuang menjalani hidup dengan penuh keterbatasan.
Sehari-hari ia bekerja sebagai pengikat rumput laut untuk menafkahi lima orang anak dan dua cucunya yang masih kecil.
Penghasilan dari pekerjaan itu jauh dari cukup.
“Pendapatanku tidak menentu, kadang ada, kadang juga tidak. Tapi apa boleh buat, harus tetap kerja demi anak-anak,” kata Asriani saat ditemui, Rabu (10/9/2025).
Anak pertamanya sudah menikah namun masih tinggal bersama di rumah kontrakan seharga Rp 450 ribu per bulan.
Empat anak lainnya berhenti sekolah karena terkendala biaya.
“Tidak sekolah karena tidak ada uangku belikan baju sekolah sama keperluan lainnya,” kata Asriani lirih.
Kondisi makin memprihatinkan ketika anak keempatnya diduga mengalami stunting.
“Kecil sekali badannya, meski umurnya sudah tujuh tahun. Saya khawatir kesehatannya,” ucap Asriani.
Di kontrakan kecil itu, ia bersama anak dan cucunya hanya tidur beralaskan matras tipis.
“Yang penting bisa tidur, walaupun di lantai. Anak-anak sudah biasa begitu,” ujarnya.
Lurah Ponjalae, Gerhani Djafar, mengakui keluarga Asriani masuk kategori miskin ekstrem. Namun, ia kerap terlewat dalam penyaluran bantuan.
“Waktu diverifikasi, ternyata dokumennya bermasalah. Ia tidak punya dokumen perkawinan yang lengkap sehingga anaknya hanya tercatat sebagai tanggungan ibu. Akhirnya, kami bantu buatkan SPTJM (Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak) agar bisa terbit Kartu Keluarga,” jelas Gerhani.
Setelah dokumen diperbaiki, Asriani mulai mendapat akses bantuan, mulai dari pangan hingga BPJS.
Tetapi hambatan baru muncul. Kuota bantuan beras Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) atau Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dikurangi drastis.
Dari semula 430 penerima, kini berkurang sekitar 140 orang.
“Kami kewalahan. Banyak warga yang memang benar-benar membutuhkan. Tapi setiap ada bantuan tambahan, misalnya dari Polres atau donatur lain, biasanya kami carikan nama warga yang paling layak, termasuk ibu Asrianii,” terang Gerhani.
Keterbatasan biaya juga membuat anak bungsu Asriani yang berusia tujuh tahun belum bersekolah.
“Waktu ada program pemberantasan anak putus sekolah, ibunya datang dan cerita kalau anaknya belum sekolah. Alasannya sederhana, tidak ada biaya untuk beli seragam,” imbuh Gerhani.
Pihak sekolah sebenarnya sudah menerima anak itu meski tanpa seragam, sambil menunggu donasi warga.
Namun, rasa malu membuat bocah tersebut enggan masuk sekolah dan sudah hampir dua pekan absen.
Meski dihimpit kemiskinan, Asriani tetap berharap anak-anaknya bisa bersekolah dan memiliki masa depan yang lebih baik.
“Kalau bisa, ada bantuan supaya anakku bisa lanjut sekolah. Saya tidak mau mereka berhenti sampai di sini saja,” tuturnya.
Kisah Asriani menunjukkan ironi kemiskinan ekstrem yang masih terjadi di daerah. Bukan hanya soal terbatasnya penghasilan, tetapi juga peliknya urusan administrasi dan keterbatasan kuota bantuan yang membuat keluarga miskin kesulitan mendapat hak mereka.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Ironi Warga Miskin Ekstrem di Palopo, Terlambat Dapat Bantuan Pemerintah karena Masalah Administrasi Regional 10 September 2025
/data/photo/2025/09/10/68c127566bfd0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)