Israel Akui Bunuh Ismail Haniyeh: Bom Ditaruh di Bantal, Iran Bobol Total
TRIBUNNEWS.COM – Media Israel berbahasa Ibrani, Channel 12 pada Kamis pekan kemarin mengungkapkan informasi baru tentang pembunuhan kepala biro politik Hamas, almarhum Ismail Haniyeh.
Haniyeh gugur di Teheran, ibu kota Iran, pada 31 Juli 2024 karena ledakan bom di kamar tempat dia menginap.
Dalam laporan terbaru soal detail pembunuhan Haniyeh, media Israel itu mengatakan kalau bom yang menewaskan Ismail Haniyeh di kamarnya diletakkan di bantalnya sendiri.
Laporan media Israel itu diklaim berasal dari narasumber dengan label informasi eksklusif.
Ismail Haniyeh dan rekannya meninggal pada 31 Juli tahun ini setelah berpartisipasi dalam upacara pelantikan Presiden Iran, Masoud Pezeshkian.
Penampakan lokasi Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh, diserang pada Rabu (31/7/2024), di dekat Kompleks Saadabad, Teheran utara, Iran. (Anadolu Ajansi)
Intelijen Iran Bobol Total
Pada Senin, 23 Desember 2024 kemarin, Menteri Pertahanan Israel Yisrael Katz mengakui Tel Aviv bertanggung jawab atas pembunuhan kepala biro politik Hamas tersebut.
Pengakuan Katz, dalam klaim resmi pertama Israel atas pembunuhan yang dilakukan di ibu kota Iran, Teheran.
Dalam pidatonya pada upacara penghormatan terhadap sekelompok perwira cadangan yang diselenggarakan oleh Kementerian Keamanan dan Angkatan Darat Israel, Katz mengakui pembunuhan Haniyeh saat mengeluarkan ancaman kepada Houthi.
“Kami akan memukul mereka (Houthi) dengan keras, menargetkan infrastruktur strategis mereka, dan kami akan memenggal kepala para pemimpin mereka, seperti yang kami lakukan terhadap Haniyeh, mantan pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, dan mantan Sekretaris Jenderal Hizbullah, Hassan Nasrallah. Seperti di Teheran, Gaza dan Lebanon, kami akan melakukan itu di Hodeidah dan Sanaa,” kata Katz.
Pernyataan Katz itu sekaligus menampar Iran dengan menunjukkan lemahnya sistem pengamanan mereka hingga mudah disusupi yang berujung pada kematian Haniyeh, tamu negara Iran saat itu.
Haniyeh tiba di Teheran pada Selasa (30/7/2024).
Ia telah bertemu dengan Pezeshkian dan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Laporan Iran mengatakan bahwa serangan udara terjadi sekitar pukul 2 pagi waktu setempat.
Dalam sebuah pernyataan, Hamas berduka atas kematian Haniyeh, yang menurutnya terbunuh dalam “serangan berbahaya Zionis di kediamannya di Teheran”.
Hamas mengatakan mereka yakin Haniyeh terbunuh, bersama salah satu pengawalnya, oleh serangan udara Israel di kediamannya.
Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran, yang bertanggung jawab melindungi Haniyeh, mengatakan pada awal Agustus bahwa Haniyeh dibunuh dengan “proyektil jarak pendek dengan hulu ledak sekitar 7 kilogram”.
“Tindakan ini dirancang dan dilaksanakan oleh rezim Zionis dan didukung oleh pemerintah kriminal Amerika,” jelas IRGC.
Sementara media barat mengatakan bahwa Haniyeh terbunuh oleh alat peledak yang ditanam jauh-jauh hari di kamarnya, kemungkinan oleh agen yang direkrut oleh Mossad, badan intelijen Israel.
Sebuah laporan oleh The Telegraph mengatakan alat peledak itu ditempatkan di tiga kamar terpisah di wisma tamu, yang menunjukkan operasi yang direncanakan dengan sangat cermat.
Saat itu, tidak ada yang langsung mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan itu tetapi kecurigaan langsung tertuju pada Israel.
Haniyeh tinggal di pengasingan dan membagi waktunya antara Turki dan Qatar.
Dia telah melakukan misi diplomatik ke Iran dan Turki selama perang, bertemu dengan Presiden Turki dan Iran.
Menteri Luar Negeri Israel Israel Katz (Tehran Times)
Israel Ancam Hancurkan Houthi
Dalam pidato yang sama, Israel Katz juga menyinggung betapa Israel mampu menetralisir sistem pertahanan Iran.
“Pada hari-hari ini ketika Houthi menembakkan rudal ke Israel, saya ingin menyampaikan pesan yang jelas kepada mereka. Di awal pidato saya, kami mengalahkan Hamas, kami mengalahkan Hizbullah, kami menonaktifkan sistem pertahanan Iran dan menyerang jaringan produksi.
Katz juga menyiratkan peran Israel dalam penggulingan rezim Bashar al-Assad di Suriah yang menurutnya adalah pukulan telak bagi ‘Poros Perlawanan’, jaringan proksi milisi perlawanan yang dikendalikan Iran.
“Kami menghancurkan rezim Assad di Suriah dan memberikan pukulan telak terhadap Poros Kejahatan. Kami juga akan menyerang dengan keras organisasi Houthi, yang masih menjadi kelompok terakhir yang bertahan dan menembaki Israel. Siapa pun yang mengangkat tangannya melawan Israel akan dipotong tangannya, tentara Israel akan memukulnya dan meminta pertanggungjawabannya,” kata Katz.
Latihan militer Houthi Yaman menggunakan rudal jelajah pada 12 Maret 2024, di Sana’a, Yaman. (dok. Gerakan Houthi via Getty Images/Middle East Monitor)
Pejabat Israel: Teknologi Houthi Lebih Canggih dari yang Diperkirakan
Seorang pejabat Israel mengakui bahwa teknologi yang dimiliki Houthi lebih canggih daripada yang diperkirakan banyak orang.
Oleh karena itu, upaya Israel untuk melawan kelompok dari Yaman itu barangkali akan lebih sulit.
Kepada media terkenal asal Amerika Serikat, The New York Times, pejabat yang enggan disebutkan namanya itu mengatakan Houthi tak seharusnya diremehkan.
Menurutnya, berkat bantuan Iran, Houthi mampu mengambil “langkah praktis” dalam mengejar tujuannya, yakni menghancurkan Israel.
Sementara itu, Yoel Guzansky, mantan pejabat Dewan Keamanan Nasional Israel, menyebut Houthi hendak melancarkan perang atrisi melawan Israel.
“Houthi menginginkan perang atrisi melawan Israel dengan terus menembak sehingga mereka bisa berkata, ‘Kami adalah perlawanan nyata,’” kata Guzansky.
Dia berujar sebagian rencana Houthi didasarkan pada ekonomi sederhana.
Rudal dan pesawat nirawak atau drone yang diluncurkan Houthi mungkin hanya berbiaya beberapa ribu dolar. Namun, biaya yang dikeluarkan Israel untuk menangkisnya mencapai puluhan ribu dolar.
Sejarawan militer Danny Orbach di Universitas Ibrani mengungkapkan tantangan lain yang harus dihadapi Israel.
Tantangan itu ialah jarak yang begitu jauh. Houthi berada di Yaman yang berjarak lebih dari seribu mil dari Israel.
Jarak jauh itu juga disinggung oleh Amatzia Baram, seorang guru besar sejarah Timur Tengah dan Direktur Pusat Kajian Irak di Universitas Haifa.
“Jaraknya sangat jauh, hampir 2.000 km. Ini bukan Tartus, Latakia, atau Beirut, ini dunia yang sepenuhnya berbeda,” kata Baram saat diwawancarai Maariv.
Menurutnya, Israel butuh lima jam penerbangan pulang pergi untuk menyerang Houthi.
“Houthi mengetahui ini, mereka punya rudal. Rudal mereka bisa menjangkau kita. Kita tak punya rudal yang cocok untuk tugas ini. Kita hanya punya angkatan udara.”
“Dengan sebuah rudal, kalian menekan tombol, mengirimnya, dan pergi tidur. Rudal akan membereskan yang lainnya. Angkatan udara tidak bekerja seperti itu. Hampir tiga jam untuk berangkat, tiga jam kembali.”
Kelompok Ansarallah Houthi Yaman meneguhkan dukungan ke Perlawanan Palestina dengan meningkatkan serangan ke Israel. (Khaberni)
Baram juga mengomentari serangan terbaru Israel ke Bandara Sanaa di Yaman. Menurutnya serangan itu sangat efektif karena merusak menara kendali sehingga menyusahkan pendaratan pesawat angkut Iran.
Meski demikian, dia berkata pesawat masih bisa mendarat. “Tetapi akan sangat susah, itu akan problematis.”
Houthi ‘The Last Man Standing’
Seth J. Frantzman, seorang analis di Jerusalem Post, menyebut Houthi sebagai the last man standing atau pihak terakhir yang masih bertahan dalam kelompok Poros Perlawanan yang dipimpin Iran.
Berbeda dengan Houthi, Hizbullah sebagai salah satu anggota poros itu sudah sepakat untuk melakukan gencatan senjata dengan Israel.
“Houthi yang didukung Iran tampaknya sendirian dalam upaya menyerang Israel karena Iran dan kelompok proksi Iran lainnya telah melemah,” kata Frantzman pertengahan bulan ini.
“Mereka belum mengalami kemunduran besar sejak memulai serangan mereka terhadap Israel dan kapal-kapal setelah serangan Hamas tanggal 7 Oktober.”
Dia mengklaim Houthi bisa melancarkan serangan jauhnya kemudian bersembunyi di gunung-gunung sekitar Sanaa, Yaman.
Serangan Houthi itu sampai membuat sekutu dekat Israel, AS, harus campur tangan.
AS menjalankan Operasi Penjaga Kemakmuran pada bulan Desember 2023 guna melawan serangan Houthi terhadap kapal-kapal dagang di Laut Merah. Operasi AS itu tidak membuahkan kesuksesan besar.
Kawah besar tercipta di Israel setelah rudal yang ditembakkan Houthi menghantam Tel Aviv, Sabtu dini hari, 21 Desember 2024. (Jack GUEZ / AFP)
Adapun Israel menyebut serangan Houthi sebagai salah satu front dalam perang perang tujuh front.
Serangan rudal dan drone Houthi terus berlanjut, bahkan ketika Hamas dilaporkan didera kemunduran di Gaza dan Hizbullah sepakat untuk mengadakan gencatan senjata dengan Israel.
“Rezim mantan Presiden Suriah Bashar al-Assad telah tumbang. Milisi di Irak yang didukung Iran juga saat ini tampaknya telah berhenti menyerang Israel,” kata Frantzman.
(oln/fbr/khbrn/*)