Institusi: UPN Veteran Jakarta

  • Klaim Sukses Makan Bergizi Gratis Perlu Data Terukur – Page 3

    Klaim Sukses Makan Bergizi Gratis Perlu Data Terukur – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai program Makan Bergizi Gratis (MBG) memang menjadi lokomotif baru pembangunan manusia sejak diluncurkan Presiden Prabowo Subianto.

    Dalam pidato kenegaraan 15 Agustus 2025, Presiden menyebut dalam tujuh bulan pelaksanaan telah dicapai capaian yang “negara lain butuh belasan tahun”, mulai dari penciptaan 290 ribu lapangan kerja, keterlibatan 1 juta petani hingga peningkatan prestasi siswa. Achmad menyebut klaim tersebut tidak sepenuhnya keliru.

    “Pertanyaannya: sejauh mana klaim-klaim itu realistis? Saya melihat dua hal yang sama-sama benar,” kata Achmad dalam keterangannya dikutip Liputan6.com, Rabu (20/8/2025).

    Dari sisi skala dan kecepatan, MBG memang menunjukkan lompatan signifikan. Dapur-dapur SPPG yang tersebar luas, kapasitas porsi yang meningkat, serta antusiasme pemerintah daerah membuktikan kebijakan ini benar-benar bergerak, bukan sekadar wacana.

    Namun, ia menegaskan bahwa percepatan ini harus diikuti dengan tata cara pengukuran yang lebih cermat. Klaim 290 ribu lapangan kerja, misalnya, akan lebih dapat diterima publik bila definisi pekerja jelas, apakah full time, paruh waktu, musiman, atau termasuk relawan.

    Transparansi definisi akan menghindarkan publik dari kesan “sulap statistik”. Hal serupa berlaku pada klaim keterlibatan satu juta pelaku hulu. Menurut Achmad, kata “terlibat” bisa berarti memasok sekali, berkala, atau menjadi mitra tetap.

    “Di sinilah pentingnya panel data pemasok yang menampilkan frekuensi pasok, nilai transaksi, dan jarak pemasok–SPPG, sehingga “ekonomi desa tumbuh” dapat ditunjukkan bukan hanya melalui testimoni, melainkan deret waktu yang rapi,” ujarnya.

     

  • Refleksi Kemerdekaan: Bule dan Demokrasi

    Refleksi Kemerdekaan: Bule dan Demokrasi

    Jakarta

    Seorang dosen senior mengatakan “Jangan panggil saya dengan Pak, cukup panggil saja dengan nama saya,” ujarnya dengan setengah memaksa. Namun seorang dosen muda menyahut “Waduh, maaf sepertinya permintaan itu sulit sekali bisa dilakukan… Pak.”

    Penggalan interaksi itu saya dapati secara langsung di kehidupan kampus, tidak lama ini. Kata sapaan Bapak atau Ibu untuk dosen yang lebih senior adalah hal yang lumrah saja, kadang juga diselipi dengan panggilan atas gelarnya.

    Namun apa yang ingin disampaikan dosen senior itu saya memahaminya–mungkin–sebagai ekspresi keinginan mendobrak relasi kuasa yang menurutnya tidak seharusnya. Bagi seorang dosen muda memanggil dengan sapaan Bapak atau Ibu kepada dosen senior, selain sebagai bentuk penghormatan juga merupakan sopan santun yang harus dijaga.

    Entah, saya sendiri belum memahami betul, apakah itu baik atau buruk sebagai iklim akademis di kampus. Tapi umumnya bagi masyarakat dengan adat ketimuran seringkali kita dengar “adab lebih utama dari ilmu”.

    Hal itu mungkin yang menjadi dasar bagi sebagian besar dosen, termasuk dosen muda untuk lebih menjunjung dan menjaga adab.

    Kisah Ben Anderson Soal Istilah ‘Bule’

    Saya jadi teringat dengan sebuah kisah dari seorang Indonesianis, Benedict Anderson (Ben), yang memberikan kontribusi kecil dalam bahasa Indonesia (tapi bertahan hingga kini). Ben mempopulerkan kata “bule”.

    Bagi sebagian orang mungkin sapaan itu adalah terdengar rasis. Faktanya justru sebaliknya, Ben hanya tidak suka seringkali dipanggail dengan sapaan “Tuan” oleh orang-orang Indonesia pada masa itu hanya karena warna kulitnya putih. Ia juga membenci ketika orang Indonesia terkesan menunduk-nunduk hormat kepadanya, hanya karena warna kulitnya.

    Bagi orang Indonesia yang baru bebas dari kolonialisme, pada masa itu sekitar 1960-an, memang tidak mudah untuk mengubah kebiasaan memanggil “Tuan” kepada orang-orang kulit putih. Karena bagi orang Belanda, pada masa kolonial itu, keinginan untuk dipanggil “Tuan” karena merasa derajatnya yang lebih tinggi dibandingkan orang Indonesia.

    Akhirnya Ben menemukan jalan keluar. Ia menyadari bahwa warna kulitnya sebenarnya bukan putih melainkan lebih mendekati warna merah muda kelabu. Akhirnya ia memberi tahu kawan-kawannya orang Indonesia, bahwa ia seharusnya dipanggil bule karena warna kulitnya mendekati seperti hewan albino yang biasa disebut oleh orang Indonesia sebagai “bulai” atau “bule”.

    Dari sini kita memahami bahwa kata sapaan saja mengandung relasi kuasa. Ben hanya mencoba untuk membuat dirinya diterima sebagaimana adanya, sebagai dirinya tanpa embel-embel warna kulit.

    Saya memahami itu karena Ben seringkali adalah pendukung mereka yang tak diperhitungkan atau underdog.

    Pada masa kelam, Oktober 1966, Ruth McVey, Fred Bunnell, dan Ben menyusun sebuah preliminary analysis yang dikenal sebagai Cornell Paper. Judulnya adalah “Premimenary Analysis of the October 1, 1966, Coup in Indonesia”, kurang lebih argumentasi awalnya adalah “percobaan kudeta” pada masa itu sebenarnya bisa dilacak pada konflik internal di tubuh militer sendiri, dan bukan PKI, sebagaimana yang luas tersiar pada masa itu.

    Karena bocornya dokumen tersebut Ben dicekal masuk ke Indonesia selama 27 tahun, dan ia baru bisa kembali saat Soeharto tumbang.

    Saya jadi teringat dengan kisah seorang pahlawan nasional, Sutan Syahrir. Ia adalah Perdana Menteri Indonesia pertama, termasuk orang yang secara aktif ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di dalam negeri maupun forum-forum internasional. Namun naas bagi Syahrir, ia harus menghembuskan nafas terakhirnya sebagai tahanan politik di Zurich, Swiss. Syahrir seperti dikhianati oleh bangsanya sendiri.

    Berbeda dengan Syahrir, Ben wafat di Kota Batu sebelum akhirnya abunya di Larung di laut utara Jawa. Sementara itu, jasad Syahrir dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

    Demokrasi Masa Depan

    “Dimana-mana dewasa ini, demokrasi mengecewakan banyak orang” tulis William Liddle. Saya kira apa yang menjadi kalimat pembuka sebuah naskah orasi ilmiah yang pernah diberikan William Liddle, pada 2011 silam, masih sangat relevan dengan kondisi dunia hari ini, termasuk Indonesia. Sebagai sebuah orasi ilmiah pada masa itu, muncul beragam perdebatan atasnya, dapat membacanya pada masa itu saya merasa beruntung.

    Gelombang otokrasi seperti merebak. Banyak negara mulai menunjukkan gejala apa yang disebutkan oleh Levitsky dan Way (2002) sebagai competitive
    authoritarianism. Tanda-tandanya bisa banyak dan beragam, seperti adalah terjadi represi kepada pihak-pihak “oposisi” atau mereka yang mengkritik pemerintah.

    Penggunaan kekuasaan untuk mengkooptasi dan melumpuhkan organisasi masyarakat sipil, tujuannya agar suara kritis tidak terdengar nyaring.

    Hukum digunakan sebagai senjata untuk mengadili lawan dan mengamankan kawan adalah tanda lainnya. Selain itu, mengamankan kursi mayoritas di parlemen menjadi bagian penting untuk memastikan setiap kebijakan berjalan lancar, serta membungkam suara sumbang. Dalih yang sering digunakan adalah sebuah bangsa yang besar butuh persatuan dan kesatuan. Dengan demikian, koalisi gemuk adalah jalan yang pasti ditempuh.

    Namun sadarkah kita? Bahwa koalisi gemuk, bahkan ketiadaan oposisi, justru mempercepat kita menuju jurang competitive authoritarianism. Hal ini membuat koreksi atas kebijakan yang keliru seringkali awalnya tidak datang awal meja-meja parlemen. Namun apakah kita harus meninggalkan demokrasi karena kekecewaan-kekecewaan kita terhadapnya?

    Pernah suatu sore di akhir pekan dalam sebuah obrolan ringan seorang kawan dengan nada setengah bercanda menuturkan, “Demokrasi itu bikinan barat, nggak cocok buat kita.” Kawan lain ikut menyahut, “Lalu yang origin kita apa? Kerajaan atau monarki”, tiba-tiba suasana menjadi hening.

    Refleksi Kemerdekaan

    Menjelang hari kemerdekaan, pada 17 Agustus 2025, di pingir-pingir jalanan mulai menjamur penjual bendera dan umbul-umbul merah putih dengan beragam ukuran dan jenis. Kita Bersiap untuk merayakannya dengan beragam acara.

    Namun apakah hari kemerdekaan ini hanya akan kita maknai sebatas ritual pengibaran bendera, acara perlombaan, atau seremonial?

    Memang tidak salah merayakannya dengan cara demikian. Tapi mengingat usia republik yang sudah tidak lagi muda-80 tahun-upaya perayaan secara reflektif penting untuk dilakukan.

    Refleksi memungkinkan kita untuk meneropong jauh ke depan, sekaligus memaknai masa lalu secara kontemplatif. Karena berbagai persoalan bangsa hari ini, tidak muncul tiba-tiba, ia merupakan penjelmaan dari beragam artikulasi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

    Dari Ben kita bisa belajar bahwa bangsa Indonesia harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kita harus menghilangkan puing-puing kolonialisme, termasuk neo-kolonialisme yang menjangkiti bangsa kita sekian lama. Ben menunjukkan seharusnya politik juga berpihak pada mereka yang tak dihitung, mereka yang lemah, atau mereka yang terpinggirkan.

    Selanjutnya dari Syahrir kita juga memahami, bahwa terkadang cinta dan ketulusan terhadap Republik tidak selalu berbalas sebagaimana mestinya, dan kita mesti siap dengan segala konsekuensi. Namun bagaimanapun kecintaan terhadap Republik tidak boleh luntur.

    Liddle menunjukkan kepada kita, meskipun demokrasi itu terkadang mengecewakan dan tidak seperti yang kita harapkan, namun langkah-langkah perbaikan atas mutu demokrasi harus selalu diupayakan. Karena melalui demokrasi pelbagai kepentingan dan pertisipasi warga negara menjadi dimungkinkan, serta demokrasi memungkinkan terwujudnya mekanisme perbaikan diri yang bisa terus tumbuh.

    Selanjutnya, ketidakjelasan oposisi dalam pemerintahan kita hari ini, bisa menjadi pertanda buruk. Karena ketiadaan mitra kritis pemerintah, parlemen hanya akan jadi tukang stempel bagi setiap kebijakan pemerintah. Hal itu menjadikan setiap kebijakan tidak melalui perdebatan yang bermakna, sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak evidence-based policy atau lebih buruk lagi hanya didasarkan pada selera penguasa.

    Adakah jalan lainnya? Mungkin yang kita butuhkan adalah meradikalkan demokrasi, seperti yang pernah disampaikan Laclau dan Mouffe (1985) dalam bukunya “Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics”. Setidaknya dalam demokrasi radikal, ‘perbedaan’ tidak hanya diterima, tetapi demokrasi juga hanya berfungsi melalui adanya ‘perbedaan’.

    Laclau dan Mouffe menekankan pentingnya mengakui dan memainkan antagonisme dalam politik. Sehingga melaluinya demokrasi radikal perbedaan dalam politik “kita” dan “mereka” akan selalu tumbuh, dan dengan demikian demokrasi menjadi hidup dan dinamis.

    Faris Widiyatmoko. Direktur Eksekutif Politika Research & Consulting, Dosen Ilmu Politik FISIP UPN Veteran Jakarta.

    (rdp/imk)

  • Pemda perlu kreatif cari cara tingkatkan penerimaan daerah

    Pemda perlu kreatif cari cara tingkatkan penerimaan daerah

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Ekonom: Pemda perlu kreatif cari cara tingkatkan penerimaan daerah
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 14 Agustus 2025 – 20:23 WIB

    Elshinta.com – Ekonom UPN Veteran Jakarta Ferry Irawan mengatakan pemerintah daerah (pemda) perlu mencari cara kreatif untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), alih-alih menaikkan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) yang membebani masyarakat.

    Ia menyoroti keresahan warga di sejumlah daerah akibat lonjakan tarif PBB-P2, seperti di Kabupaten Pati, Jateng, yang sempat naik hingga 250 persen sebelum dibatalkan, sampai Kabupaten Jombang yang bahkan menembus 1.000 persen.

    “Mungkin, bagi yang memiliki sumber daya alam, bisa dioptimalisasi sumber daya alamnya atau misalkan ada industri pariwisata di daerah tersebut yang bisa digali, bisa diintensifikasi, selain meningkatkan atau menaikkan tarif PBB,” ujar Ferry kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.

    Ferry menjelaskan sebenarnya dasar hukum pengenaan PBB-P2 telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), yang menetapkan tarif maksimal sebesar 0,5 persen dari nilai jual objek pajak (NJOP) kena pajak.

    Penentuan tarif di bawah batas tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota.

    “Memang, kalau dari sisi kewajaran, melihat perkembangan perekonomian saat ini saya kira kurang tepat ya pengenaan (kenaikan) PBB yang sampai ratusan persen,” ungkapnya.

    Saat ditanya apakah kebijakan kenaikan PBB berkaitan dengan efisiensi pemerintah pusat, Ferry menilai hal itu bisa menjadi salah satu kemungkinan.

    Pemda memang menerima dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) dari pemerintah pusat.

    Namun, dengan adanya kebijakan efisiensi anggaran di tingkat pusat, daya ungkit pembangunan daerah dapat terdampak, sehingga pemda mencari sumber pendanaan tambahan.

    “Kita tahu bahwa saat ini pemerintah di pusat sedang melakukan efisiensi anggaran, sehingga mungkin daya ungkit untuk pembangunan di daerah menjadi terdampak. Dan, pemerintah harus mengambil tindakan di daerah, apa yang harus dilakukan untuk pembiayaan di daerah melalui APBD,” katanya.

    Maka, untuk mengatasi tantangan fiskal, Ferry menyarankan pemda mengoptimalkan potensi PAD lain.

    Ia juga menekankan perlunya koordinasi antara pemda dan pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri serta Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan di Kementerian Keuangan.

    Sumber : Antara

  • Kena Tarif Impor 32%, Indonesia Harus Ubah Strategi Nego Dagang – Page 3

    Kena Tarif Impor 32%, Indonesia Harus Ubah Strategi Nego Dagang – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, menilai sudah saatnya Indonesia mengubah strategi negosiasi perdagangan internasional, utamanya terkait negosiasi tarif impor Amerika Serikat kepada Indonesia.

    Achmad menyebut, bahwa sudah bertahun-tahun negosiasi Indonesia dengan Amerika Serikat untuk menurunkan tarif Trump berjalan tanpa kepastian.

    Tarif tinggi yang diberlakukan sejak era Presiden Donald Trump melalui kebijakan Section 301 masih membebani ekspor Indonesia. Padahal beberapa negara lain, termasuk Cina, berhasil mencapai kesepakatan untuk menurunkan tarif mereka secara signifikan.

    “Pertanyaannya, mengapa Indonesia gagal meniru keberhasilan Cina? Apa sebenarnya yang membuat Cina bisa melakukan negosiasi dengan sangat efektif, sementara Indonesia hanya menunggu di pinggir lapangan global, berharap belas kasih negara maju?,” kata Achmad dikutip dari keterangannya, Minggu (13/7/2025).

    Ibaratkan Permainan Catur

    Menurutnya, negosiasi perdagangan internasional ibarat permainan catur. Setiap langkah harus strategis, penuh perhitungan, dan terintegrasi. Sayangnya, Indonesia masih memainkannya seperti permainan Engklek Melompat yakni hanya melompat-lompat tanpa rencana besar, mudah ditebak, dan mudah dimatikan langkahnya.

    Cina mampu menurunkan tarif melalui Phase One Deal, karena mereka memahami bahwa negosiasi dagang bukan sekadar soal permohonan penurunan tarif.

    “Mereka menyiapkan paket kesepakatan komprehensif, memiliki daya tawar yang beda dan menawarkan pembelian produk AS khususnya teknologi sebagai trade-off atas penurunan tarif sektor industrinya. Pendekatan barter strategis inilah yang tidak pernah dilakukan Indonesia,” ujarnya.

     

  • Ekonom Sebut Subsidi Listrik Perlu Diatur Ulang – Page 3

    Ekonom Sebut Subsidi Listrik Perlu Diatur Ulang – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Pemerintah mengusulkan subsidi listrik 2026 sebesar Rp 97,37 triliun-Rp 104,97 triliun. Subsidi listrik ini naik dibandingkan 2025 sebesar Rp 87,72 triliun.

    Jika realisasi kurs melemah ke Rp16.900 per dolar AS dan ICP bertahan di USD 80 per barel, subsidi bisa melambung hingga Rp105 triliun.

    Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai angka tersebut sangat besar, setara hampir 5% dari total belanja negara untuk kesehatan dan pendidikan di RAPBN.

    Namun, yang ia pertanyakan apakah tambahan subsidi listrik sebesar itu akan membantu mereka yang benar-benar membutuhkan yaitu masyarakat miskin dan rentan atau justru dinikmati kelompok menengah-atas yang memiliki daya beli lebih tinggi.

    “Pertanyaan ini bukan sekadar menyoal angka anggaran, melainkan menyoal keadilan distribusi fiskal dan efektivitas kebijakan publik kita,” ujar Achmad, di Jakarta, Senin (7/7/2025).

    Berdasarkan data World Bank (2017) dan Asian Development Bank (2021) menunjukkan 40% rumah tangga terkaya (desil 7–10) menikmati 50–60% subsidi listrik, sedangkan 40% rumah tangga termiskin hanya menikmati sekitar 20–25% subsidi.

    “Mengapa bisa demikian? Karena desain subsidi kita berbasis tarif dan golongan, bukan berbasis kondisi sosial ekonomi riil,” ujarnya.

    Sebagai contoh, banyak rumah tangga kaya di perumahan elite yang masih menggunakan golongan subsidi 900VA atau bahkan 450VA dengan nama kerabat atau staf rumah tangga mereka.

    Di sisi lain, rumah tangga miskin di wilayah rural terpencil kerap belum teraliri listrik PLN sama sekali, atau jika pun ada, konsumsinya sangat kecil sehingga subsidi yang mereka nikmati pun minimal.

     

  • MRT Jakarta akan PHK pegawai yang terbukti gunakan ijazah palsu

    MRT Jakarta akan PHK pegawai yang terbukti gunakan ijazah palsu

    Arsip foto – Penumpang turun dari kereta Moda Raya Terpadu (MRT) setibanya di Stasiun Blok M BCA, Jakarta, Selasa (4/2/2025). ANTARA FOTO/Fauzan/tom.

    MRT Jakarta akan PHK pegawai yang terbukti gunakan ijazah palsu
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Jumat, 04 Juli 2025 – 13:26 WIB

    Elshinta.com – PT MRT Jakarta (Perseroda) akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai hukuman maksimal bagi pegawai yang terbukti menggunakan ijazah palsu dalam proses rekrutmen.

    Corporate Secretary Division Head PT MRT Jakarta Ahmad Pratomo dalam keterangan di Jakarta, Jumat mengatakan pihaknya masih melakukan pemeriksaan internal atas dugaan penggunaan ijazah palsu oleh salah satu karyawannya.

    “Jika setelah proses investigasi internal terbukti karyawan bersangkutan menggunakan ijazah palsu, maka akan ditindak sesuai peraturan internal yang berlaku dengan tingkatan hukuman paling berat yaitu PHK,” tegasnya.

    Namun, lanjut dia, jika dalam hasil investigasi tidak terbukti adanya pelanggaran itu, maka pihaknya akan menindak tegas pihak internal yang terbukti menyebarkan informasi keliru atau fitnah, sesuai ketentuan yang berlaku.

    “Kami akan melakukan investigasi terhadap karyawan yang menyebarkan berita fitnah atau keliru hingga pencemaran nama baik, dan akan ada konsekuensi berdasarkan peraturan internal,” ujar dia.

    Sementara itu, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat merekomendasikan sejumlah langkah strategis yang perlu segera dilakukan MRT Jakarta dalam kasus tersebut.

    Pertama, menyelesaikan investigasi internal secara menyeluruh dan mengumumkan hasilnya secara transparan kepada publik karena masyarakat sebagai pengguna dan pembayar pajak berhak mengetahui kebenaran kasus tersebut.

    Langkah kedua yaitu melakukan audit ulang atas keaslian ijazah seluruh pegawai, terutama yang menduduki posisi strategis dan teknis, guna mencegah terulangnya kasus serupa.

    Ketiga, perbaiki sistem rekrutmen dengan verifikasi digital ke DIKTI melalui SIVIL, bukan hanya menerima fotokopi ijazah.

    Selanjutnya, MRT Jakarta juga perlu menegakkan integritas sebagai syarat utama dalam proses rekrutmen dan promosi jabatan, karena kompetensi tanpa integritas hanya akan menjadi potensi moral hazard di masa depan.

    Kelima, melakukan komunikasi publik yang jujur, tegas, dan empatik, tidak menunggu isu membesar dan menghancurkan reputasi institusi.

    Menurut dia, reputasi institusi tidak dibangun hanya dari infrastruktur yang megah, melainkan dari kepercayaan publik terhadap profesionalisme dan kejujuran para pengelolanya.

    “Jika MRT Jakarta gagal menanganinya dengan cepat dan terbuka, maka investasi triliunan rupiah akan sia-sia karena hilangnya kepercayaan publik adalah kerugian terbesar transportasi publik manapun,” kata Achmad.

    Sumber : Elshinta.Com

  • Pemerintah RI Harus Belajar dari Kanada soal Pajak E-Commerce – Page 3

    Pemerintah RI Harus Belajar dari Kanada soal Pajak E-Commerce – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Pemerintah Indonesia berencana memberlakukan PPh Pasal 22 untuk pedagang e-commerce, di mana marketplace seperti Tokopedia dan Shopee akan ditunjuk sebagai pemungut pajak atas transaksi pedagang yang beromzet di atas Rp500 juta per tahun.

    Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, menyebut kebijakan ini bukan pajak baru, melainkan perubahan skema pelaporan pajak dari mandiri menjadi pemungutan otomatis di sumber transaksi.

    Seperti halnya pedagang pasar tradisional yang membayar retribusi pasar, pedagang digital kini dikenakan pungutan langsung oleh pengelola platform.

    Tujuannya jelas, menyederhanakan administrasi, meningkatkan kepatuhan, serta menutup celah shadow economy yang selama ini lolos dari radar fiskus.

    “Namun pertanyaannya, mengapa hanya marketplace lokal yang disasar? Bukankah revenue digital Indonesia sebagian besar dinikmati oleh raksasa global seperti Google, Meta, Apple, Amazon, dan Netflix?,” kata Achmad dikutip Selasa (1/7/2025).

    Ia pun mempertanyakan bukankah keadilan fiskal menuntut kontribusi seimbang dari semua pelaku ekonomi digital tanpa memandang batas negara.

    Adapun masalah ini mengemuka seiring langkah Kanada memberlakukan Digital Services Tax (DST) pada Juni 2024.

     

  • Pertumbuhan Ekonomi RI Diprediksi Hanya 4 Persen Imbas Perang Iran-Israel

    Pertumbuhan Ekonomi RI Diprediksi Hanya 4 Persen Imbas Perang Iran-Israel

    JAKARTA – Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4 persen di tahun 2025 imbas konflik Iran dan Israel.

    “Padahal sebelumnya diproyeksikan bertahan di kisaran 4,5 hingga 4,7 persen. Kenaikan harga minyak akan menekan daya beli, meningkatkan inflasi, dan memperberat anggaran negara,” ungkapnya, Minggu, 22 Juni.

    Dia menjelaskan, perang Iran dan Israel bukan sekadar perang regional tapi berpotensi menjadi perang global yang mengancam kestabilan ekonomi global dan nasional.

    Contohnya, dampak yang langsung dirasakan adalah kenaikan harga minyak mentah Brent hingga 5 persen, sementara minyak WTI melonjak lebih dari 6 persen.

    Sumber utama kekhawatiran berada di Selat Hormuz, jalur pelayaran strategis yang dilintasi sekitar 20 persen pasokan minyak dunia.

    Jika konflik berlanjut dan jalur ini terganggu, lonjakan harga minyak akan merembet ke semua sektor.

    Menurut Achmad, angka pertumbuhan ekonomi telah menjadi tantangan di tengah pemulihan paska pandemi dan tekanan inflasi global, kini terancam semakin tertekan oleh gejolak eksternal yang diakibatkan oleh konflik di Timur Tengah.

    Sebab, bila harga kebutuhan pokok melambung karena kenaikan harga minyak, daya beli keluarga akan terkikis, inflasi domestik akan melonjak, dan beban hidup masyarakat akan meningkat secara signifikan.

    Demikian juga dengan investasi asing langsung (FDI) yang menjadi motor penggerak pertumbuhan terancam tersendat karena meningkatnya ketidakpastian global dan investor yang memilih menunda ekspansi.

    Selain itu, pendapatan negara dari ekspor komoditas, yang sempat menjadi penyelamat di masa krisis sebelumnya, juga akan terpengaruh jika permintaan global menurun atau rantai pasok terganggu akibat biaya logistik yang melonjak dan disrupsi pengiriman.

    Di sisi lain, sektor pariwisata Indonesia yang mulai bangkit paska pandemi dan sangat bergantung pada mobilitas internasional, akan terpukul keras jika masyarakat global menunda perjalanan akibat ketidakpastian dan kenaikan biaya.

    “Sektor manufaktur yang bergantung pada impor bahan baku dan ekspor produk jadi juga akan terkena dampak. Peningkatan biaya bahan baku dan kesulitan pengiriman dapat menghambat produksi dan daya saing,” tutup Achmad.

  • Ekonomi Global Tak Pasti, Wamendag Jagokan Perjanjian Dagang dengan Negara Lain – Page 3

    Ekonomi Global Tak Pasti, Wamendag Jagokan Perjanjian Dagang dengan Negara Lain – Page 3

    Diberitakan sebelumnya, dentuman konflik Iran dan Irael mengguncang fondasi perekonomian global yang selama ini sudah rapuh. Dampaknya tidak hanya terasa di wilayah Timur Tengah, tetapi menjalar hingga ke Indonesia dan berbagai negara lainnya yang terhubung dalam sistem ekonomi dunia.

    Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengingatkan bahwa Indonesia menghadapi ancaman serius akibat gejolak ini. Dia menuturkan, provokasi Israel bukan hanya peristiwa besar yang sulit diprediksi akhirnya, tetapi juga pemicu dari krisis pertumbuhan ekonomi global yang nyata.

    “Bagi Indonesia, sebagai bagian tak terpisahkan dari perekonomian global, badai ini datang pada saat yang tidak tepat. Kita sedang berjuang untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi yang menantang,” kata Achmad kepada Liputan6.com, Selasa (17/6/2025).

    Proyeksi Ekonomi RI

    Di mana proyeksi ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 sudah berada di level 4,7% dan diprediksi akan mencapai 4,5% dan sulit melampaui angka ini, bahkan cenderung menurun ke level 4,0%.

    Ia menjelaskan proyeksi tersebut sudah menantang sejak awal, mengingat tekanan inflasi global dan proses pemulihan ekonomi pasca-pandemi yang belum sepenuhnya stabil. Kini, dengan meletusnya konflik di Timur Tengah, tekanan itu bertambah berat.

    “Jika investasi asing langsung (FDI) yang menjadi motor penggerak pertumbuhan tersendat karena ketidakpastian global yang meningkat dan investor memilih menunda ekspansi, maka lapangan kerja yang bisa tercipta akan berkurang,” jelasnya.

     

  • Ekonomi dunia tak pasti, Indonesia harus pasti

    Ekonomi dunia tak pasti, Indonesia harus pasti

    Jakarta (ANTARA) – Gejolak ekonomi global kembali menunjukkan taringnya. Kenaikan tajam imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) menandai kekhawatiran pasar atas ketidakseimbangan fiskal negeri adidaya tersebut.

    Dalam waktu kurang dari satu bulan, imbal hasil obligasi Treasury AS bertenor sepuluh tahun melonjak dari 4 persen menjadi 4,5 persen, sementara obligasi bertenor 30 tahun nyaris menyentuh 5 persen. Kenaikan ini bukan semata respons atas fluktuasi jangka pendek, melainkan sinyal pergeseran struktural mendalam dalam perekonomian global.

    Indonesia tidak bisa memandang gejolak ini dari kejauhan. Ketika negara-negara maju mengalami tekanan fiskal dan moneter, negara berkembang seperti Indonesia cenderung mengalami transmisi tekanan tersebut dalam bentuk pelemahan nilai tukar, keluarnya arus modal asing, serta kenaikan beban bunga utang luar negeri.

    Ada lima risiko struktural global dan implikasinya bagi Indonesia. Pertama, ketidakseimbangan fiskal Amerika Serikat telah mencapai titik kritis. Congressional Budget Office (CBO) memperkirakan defisit fiskal AS akan meningkat dari 6,2 persen PDB pada 2025 menjadi 7,3 persen pada 2055.

    Rasio utang terhadap PDB AS saat ini berada di angka 124,3 persen dan diproyeksikan melonjak menjadi 156 persen jika tren belanja fiskal agresif dan suku bunga tinggi terus berlanjut.

    Indonesia, dengan utang pemerintah sekitar Rp8.400 triliun per Mei 2025 atau 38 persen dari PDB, memang masih tergolong moderat. Namun, bila bunga global terus naik, beban pembayaran bunga utang Indonesia yang saat ini sudah menembus Rp500 triliun per tahun akan semakin memberatkan anggaran negara.

    Kedua, meningkatnya biaya lindung risiko (hedging) terhadap gagal bayar AS melalui instrumen credit default swaps (CDS) menjadi sinyal penting. CDS AS kini diperdagangkan di atas CDS Inggris dan mendekati level CDS Yunani dan Italia. Biaya untuk mengasuransikan utang AS bahkan lebih tinggi dibandingkan China, meski China hanya berperingkat A1. Jika pasar menganggap obligasi pemerintah AS bukan lagi aset bebas risiko, maka imbasnya bisa berupa penurunan minat terhadap aset berdenominasi dolar—termasuk obligasi negara berkembang seperti Indonesia.

    Ketiga, pasar kredit swasta (private credit) yang tidak transparan semakin membesar. BlackRock memperkirakan aset private credit akan mencapai 4,5 triliun dolar AS pada 2030. Pasar ini tidak diawasi otoritas seperti pasar obligasi publik, sehingga risiko leverage tersembunyi meningkat.

    Bagi Indonesia yang tengah mendorong pembiayaan infrastruktur melalui skema KPBU dan dana swasta, dinamika ini harus diwaspadai. Keterlibatan investor swasta global dalam pembiayaan proyek-proyek strategis Indonesia bisa terdampak jika kepercayaan terhadap stabilitas sektor kredit menurun.

    Keempat, relasi antara dolar dan suku bunga yang berubah menambah lapisan ketidakpastian baru. Biasanya, suku bunga tinggi memperkuat dolar. Namun, sejak Maret, dolar justru melemah 6 persen terhadap euro walaupun imbal hasil obligasi AS naik. Ini menunjukkan bahwa investor global meminta premi lebih tinggi untuk memegang dolar AS.

    Jika tren ini berlanjut, Indonesia bisa menghadapi tekanan nilai tukar yang lebih kuat. Nilai tukar rupiah yang saat ini berkisar Rp16.200 per dolar AS bisa melampaui Rp17.000 bila terjadi penarikan dana asing dari pasar obligasi dan saham domestik.

    Kelima, ketergantungan rumah tangga Amerika pada pasar saham juga berisiko. Lebih dari 70 persen kekayaan keuangan rumah tangga AS terikat dalam saham. Jika terjadi koreksi besar di pasar saham AS, maka dampaknya bisa menyebar global melalui penurunan konsumsi dan investasi.

    Sementara itu, di Indonesia, jumlah investor pasar modal meningkat tajam, mencapai 13,4 juta investor di awal 2025. Bila volatilitas pasar global memicu aksi jual massal, pasar keuangan domestik pun bisa terguncang.

    Dalam teori makroekonomi modern, ketidakpastian ekonomi global mempengaruhi aktivitas domestik melalui beberapa saluran: nilai tukar, arus modal, suku bunga, dan ekspektasi bisnis. Menurut Bloom (2009) dalam “The Impact of Uncertainty Shocks,” lonjakan ketidakpastian global menyebabkan pelaku usaha menunda investasi dan perekrutan karena risiko menjadi tak terukur. Ini sejalan dengan kondisi saat ini: pelaku usaha Indonesia semakin berhati-hati dalam ekspansi, meskipun inflasi tetap rendah dan konsumsi membaik pasca pandemi.

    Sementara itu, Knightian uncertainty, yang membedakan antara risiko terukur dan ketidakpastian yang tak bisa diukur, semakin relevan. Di tengah fragmentasi geopolitik, perang dagang AS-China, dan konflik Ukraina, investor menghadapi skenario-skenario yang tidak bisa dimodelkan secara statistik. Indonesia harus memahami bahwa fondasi stabilitas ekonomi bukan hanya pada angka inflasi dan pertumbuhan, tetapi juga pada kemampuan merespons ketidakpastian.

    Dalam konteks Indonesia, data terbaru menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 hanya mencapai 4,9 persen, sedikit di bawah ekspektasi 5,1 persen. Sektor ekspor menurun akibat pelemahan permintaan global, sementara beban utang dalam APBN semakin meningkat. Di sisi lain, konsumsi domestik masih menjadi penopang utama, menyumbang lebih dari 54 persen PDB.

    Tantangan lain adalah pelemahan nilai tukar yang memperbesar biaya impor dan subsidi energi. Bila harga minyak dunia bertahan di atas 85 dolar AS per barel, pemerintah harus menggelontorkan lebih dari Rp400 triliun subsidi BBM tahun ini yang menekan ruang fiskal untuk belanja produktif. Ketergantungan terhadap pembiayaan eksternal (utang luar negeri dan FDI) juga membuat Indonesia rentan terhadap perubahan sentimen investor global.

    Namun demikian, peluang tetap terbuka. Cadangan devisa Indonesia yang masih cukup kuat yakni 136 miliar dolar AS per Mei 2025 yang memberikan bantalan jika terjadi gejolak. Selain itu, kebijakan hilirisasi nikel dan bauksit bisa mendongkrak penerimaan ekspor dalam jangka menengah, meski harus diiringi dengan penguatan teknologi dan SDM industri.

    Situasi ini tentunya membawa implikasi bagi kebijakan Indonesia. Pertama, pemerintah perlu mengelola risiko fiskal dengan lebih disiplin. Ini bisa dilakukan melalui efisiensi belanja, reformasi subsidi energi, serta peningkatan rasio pajak yang saat ini masih di bawah 10persen PDB. Penerapan pajak karbon dan optimalisasi PPN dapat memperkuat basis pendapatan negara tanpa membebani sektor produktif.

    Kedua, stabilisasi nilai tukar dan pasar keuangan harus menjadi prioritas. Bank Indonesia perlu melanjutkan intervensi ganda dan memperkuat koordinasi dengan pemerintah dalam menjaga kepercayaan investor. Kebijakan suku bunga harus memperhitungkan sentimen global, namun tetap mendukung pertumbuhan domestik.

    Ketiga, diversifikasi pembiayaan infrastruktur perlu didorong. Ketergantungan pada utang luar negeri dan investor global dapat dikurangi melalui penguatan pasar modal domestik dan pembentukan dana abadi infrastruktur yang melibatkan BUMN, swasta, dan pemerintah daerah.

    Keempat, penguatan ketahanan pangan dan energi harus dipercepat agar tekanan global tidak mengganggu kestabilan sosial. Ketahanan nasional menjadi kunci dalam menghadapi ekonomi global yang semakin tak pasti dan terfragmentasi.

    Indonesia tengah berada dalam pusaran ketidakpastian global yang kompleks. Pergeseran struktural ekonomi dunia menuntut ketahanan domestik yang kuat, respons kebijakan yang adaptif, dan koordinasi yang solid antara lembaga fiskal, moneter, dan sektor riil.

    Kita tak bisa mengendalikan arah angin global, tapi kita bisa memperkuat layar ekonomi nasional agar tetap melaju ke tujuan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

    *) Dr. Aswin Rivai, SE., MM adalah Pengamat Ekonomi, Dosen FEB UPN Veteran Jakarta

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.