Institusi: UNPAD

  • Ikuti Saran Wapres Pakai AI, Virdian Aurelio Sindir Instruksi Jokowi ke Relawannya: Kesan Kuat Konflik Kepentingan

    Ikuti Saran Wapres Pakai AI, Virdian Aurelio Sindir Instruksi Jokowi ke Relawannya: Kesan Kuat Konflik Kepentingan

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pembahasan soal instruksi Jokowi ke relawannya untuk kembali memenangkan Gibran Rakabuming Raka di Pemilu 2029 memang sudah jadi sorotan hangat.

    Jokowi berharap agar Wapres Gibran bisa menduduki posisinya itu selama dua periode lamanya. Padahal belum sampai setahun putra sulungnya itu jadi Wapres.

    Merespon hal ini, Eks Ketua BEM Universitas Padjajaran (Unpad) sekaligus konten kreator, Virdian Aurelio memberikan sorotan.

    Lewat unggahan di akun Instagram pribadinya, ia mengunggah konten yang mengikuti saran dari Wapres Gibran.

    Dimana, dari saran tersebut Gibran meminta untuk lebih sering menggunakan AI.

    “Saya ingin membuka dengan mengikuti anjuran mas Wapres yang bilang coba sering-sering menggunakan AI,” katanya.

    Mengikut saran tersebut, Virdian kemudian menggunakan Chat GPT untuk mempertanyakan soal kemungkinan Gibran dua periode.

    “Etis atau tidak kalau mantan Presiden sudah bicara dua periode untuk anaknya di tengah baru setahun sudah menjabat dan masih banyak masalah bangsa?,” tanyanya.

    Dari pertanyaan tersebut, Chat GPT kemudian memberikan respon jawaban yang hasilnya berupa sindiran keras.

    “Kata Chat GPT sebagai mantan Presiden sekaligus ayah dari Wakil Presiden yang baru menjabat satu tahun dukungan tersebut menimbulkan kesan kuat konflik kepentingan dan upaya melanggengkan dinasti politik,” ungkapnya.

    “Alih-alih menunjukkan sikap negarawan yang menjaga jarak demi memberi ruang evaluasi kinerja anaknya,” terangnya.

    Diketahui, Gibran saat ini juga dihadapkan terkait persoalan hukum soal ijazahnya. Pernyataan Jokowi yang ingin anaknya kembali berpaket dengan Prabowo dinilai blunder. (Erfyansyah/Fajar)

  • Jokowi Sudah Bahas Pilpres Padahal Anaknya Belum Setahun Jadi Wapres, Eks Ketua BEM Unpad: Mereka Tidak Peduli Generasi Muda

    Jokowi Sudah Bahas Pilpres Padahal Anaknya Belum Setahun Jadi Wapres, Eks Ketua BEM Unpad: Mereka Tidak Peduli Generasi Muda

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Eks Ketua BEM Universitas Padjajaran (Unpad) sekaligus konten kreator, Virdian Aurelio sepertinya geram dengan pembahasan Pemilu 2029.

    Apalagi, muncul statemen Jokowi yang menyebut Ingin kembali menjadikan anaknya yang kini jabat Wakil Presiden kembali maju di Pilpres berikutnya.

    Lewat salah satu unggahan di akun media sosial X pribadinya, Virdian kemudian mengungkapkan keresahan yang khususnya terjadi di masyarakat.

    Menurutnya ada banyak permasalahan yang seharusnya dan lebih dulu di selesaikan ketimbang langsung membahas soal Pemilu.

    “Hari ini ada 4.700 lebih total keracunan Makan Bergizi Gratis, ada 900 teman-teman kami yang ditersangkakan di seluruh Indonesia karena demontrasi kemarin,” katanya.

    “Ada 10 teman kami yang meninggal dipukul oleh polisi, ada 7 juta pengangguran di Indonesia tiga jutanya adalah usia 15-24 tahun,” sebutnya.

    “Ada lingkungan rusak, raja ampat yang beroperasi lagi tambangnya itu yang kami bicarakan, kami tidak mau dulu bicara pemilu,” tambahnya.

    Hanya saja, elite-elite politik ini disebutnya enggan untuk membahas soal permasalahan ini.

    Dan Virdian pun menyebut sepertinya mereka tidak peduli lagi dengan masa depan para generasi muda.

    “Warga negara hari ini bicara soal masalah-masalah kebangsaan, artinya mau Jokowi kek atau siapa yang bicara soal ini tidak peduli soal generasi muda ke depannya,” terangnya.

    (Erfyansyah/Fajar)

  • Kelakar Pramono di Unpad, Tak Rayakan Pakai Kaos Oblong Jika Persija Juara

    Kelakar Pramono di Unpad, Tak Rayakan Pakai Kaos Oblong Jika Persija Juara

    Jakarta

    Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung berkelakar saat memberikan kuliah umum di Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung. Pramono sempat menyinggung rivalitas Persija Jakarta dan Persib Bandung yang kerap jadi perhatian publik sepakbola nasional.

    Hal itu ia sampaikan Pramono pada Kuliah Umum Universitas Padjajaran, Bandung, Jumat (26/9/2025). Mulanya, ia menceritakan bagaimana Jakarta International Stadium (JIS) kini resmi menjadi homebase Persija.

    Ia menegaskan, salah satu langkahnya adalah memastikan stadion megah itu benar-benar dimanfaatkan maksimal, termasuk menyelesaikan masalah Kampung Bayam yang sempat jadi polemik.

    “Sekarang karena JIS jadi homebasenya Persija, persoalan Kampung Bayam terselesaikan, maka semua orang ingin datang ke JIS,” kata Pramono.

    Pramono lalu berkelakar soal rivalitas Persija Jakarta dan Persib Bandung. Dia mengatakan jika Persija juara, perayaannya tidak akan menggunakan kaos oblong.

    “Walaupun Persija sama Maung Bandung (Persib) selalu berkompetisi, tetapi kalau Persija juara saya nggak akan pakai kaos oblong,” ucapnya sambil disambut tawa mahasiswa.

    Dalam kesempatan itu juga, Pramono menegaskan bahwa ia melanjutkan berbagai proyek peninggalan gubernur sebelumnya, termasuk JIS. Ia menekankan, semua fasilitas publik harus dikembangkan agar benar-benar bermanfaat bagi warga.

    “JIS tetap legasi Mas Anies, tapi tugas saya memastikan bisa digunakan optimal, baik untuk olahraga maupun konser. Sekarang semua konser bisa pakai Jakarta, semua olahraga juga bisa pakai Jakarta,” pungkasnya.

    (bel/idn)

  • Menelaah Keracunan Massal MBG dari Kacamata Hukum
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        25 September 2025

    Menelaah Keracunan Massal MBG dari Kacamata Hukum Bandung 25 September 2025

    Menelaah Keracunan Massal MBG dari Kacamata Hukum
    Tim Redaksi
    BANDUNG, KOMPAS.com
    – Keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) di wilayah Jawa Barat tidak hanya dialami oleh siswa, tetapi juga telah menyasar kelompok rentan, khususnya ibu menyusui.
    Program yang merupakan niatan baik dari pemerintah untuk rakyatnya ini malah berakibat pada keracunan massal yang jumlahnya tidak sedikit.
    Ironisnya, berdasarkan data Dinas Kesehatan Bandung Barat, sementara ini korban keracunan telah mencapai 1.333 orang dari tiga kejadian di Cipongkor dan Cihampelas.
    Korban keracunan akibat program MBG juga sempat terjadi di wilayah Kabupaten Bogor, Pelabuhan Ratu Sukabumi, Garut, hingga Tasikmalaya.
    Dosen Fakultas Hukum Unpad, Dr. Somawijaya, menelaah peristiwa keracunan massal ini dari kacamata hukum.
    Dikatakan, bila merujuk dari berbagai laporan serta temuan, pelaksanaan program MBG belakangan ini menuai sorotan tajam.
    Alih-alih membawa manfaat, pelaksanaan program justru diwarnai keracunan massal dengan jumlah korban yang tidak sedikit.
    Merujuk berbagai laporan dan temuan, lanjutnya, faktor-faktor yang diduga menjadi pemicu antara lain berupa kualitas bahan baku yang tidak terjamin, proses pengolahan yang tidak sesuai standar higienitas, lamanya penyimpanan dan distribusi sehingga makanan basi atau terkontaminasi, hingga lemahnya pengawasan pemerintah daerah terhadap penyedia jasa katering atau dapur penyedia MBG.
    “Semua hal tersebut pada dasarnya merupakan bentuk kelalaian apabila dapat dibuktikan bahwa pihak penyedia atau pengawas tidak menjalankan kewajiban sesuai standar operasional (SOP),” ucap Soma dalam keterangan tertulisnya, Kamis (25/9/2025).
    Soma menyebut bahwa kelalaian atau culpa dapat diartikan sebagai sikap kurang hati-hati atau tidak cermat yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, sementara kesengajaan atau dolus dapat terjadi apabila terdapat pihak-pihak yang ternyata sudah mengetahui risiko tetapi tetap membiarkan atau bahkan menghendaki akibat yang membahayakan.
    “Pada kasus keracunan dalam program MBG, jika terbukti hanya ada unsur kurang hati-hati (misalnya penyimpanan yang tidak sesuai prosedur), pihak-pihak yang terlibat dalam program MBG, baik pihak yang mengolah, menyiapkan, dan hingga mengirim makanan ke sekolah serta pemerintah, dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum atas program serta akibat yang terjadi,” terangnya.
    Dalam perspektif hukum pidana, lanjut Soma, kasus keracunan massal akibat program MBG dapat dipandang sebagai suatu tindak pidana jika terbukti terdapat kesalahan berupa adanya kelalaian (culpa) atau bahkan kesengajaan (dolus) eventualis dari pihak penyedia makanan atau pihak yang bertanggung jawab dalam proses pengolahan dan distribusi.
    Misalnya, apabila dapur penyedia atau pihak distribusi mengetahui bahwa makanan sudah tidak layak konsumsi, atau tidak mematuhi standar keamanan pangan yang diwajibkan, tetapi tetap mendistribusikannya ke sekolah, tindakan tersebut dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum secara pidana.
    “Apabila dalam proses investigasi ditemukan bukti atau petunjuk yang dapat membuktikan adanya hubungan kausalitas dan relevansi antara pihak penanggung jawab program MBG maupun penyedia makanan dengan masyarakat/siswa yang terdampak akibat dugaan keracunan, hal tersebut dapat menjadi dasar untuk menuntut pertanggungjawaban hukum baik secara pidana maupun perdata,” ujarnya.
    Menurutnya, dalam ranah hukum pidana, aparat penegak hukum dapat menerapkan atau berlandaskan pada ketentuan Pasal 359–360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang sakit atau meninggal, serta pasal-pasal dalam Undang-Undang Pangan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur keamanan pangan.
    Adapun dalam perspektif hukum perdata, bukti hubungan kausalitas tersebut dapat menjadi dasar bagi para korban atau orang tua siswa untuk mengajukan gugatan ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) maupun pelanggaran kewajiban pelaku usaha dalam UU Perlindungan Konsumen.
    “Gugatan ini dapat dilakukan secara individu maupun secara kolektif (
    class action
    ) untuk menuntut penggantian kerugian materiil seperti biaya pengobatan serta kerugian immateriil berupa penderitaan dan trauma,” tuturnya.
    Menurutnya, pemerintah daerah selaku penyelenggara program juga dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terbukti lalai dalam melakukan pengawasan atau pemilihan penyedia makanan yang tidak memenuhi standar keamanan pangan.
    “Dengan demikian, adanya bukti serta petunjuk berupa kausalitas tidak hanya memperkuat pembuktian unsur kelalaian atau kesengajaan dalam proses pidana, tetapi juga menjadi landasan yuridis yang kuat bagi para korban untuk menuntut pemulihan hak dan memperoleh ganti rugi melalui mekanisme perdata,” ucapnya.
    Karena itu, ke depannya, kata Soma, program MBG harus dirancang dan dijalankan dengan dasar regulasi yang jelas serta standar operasional ketat pada setiap tahap, mulai dari pengadaan bahan, pengolahan, distribusi, hingga penyajian makanan.
    “Selain itu, pemerintah daerah selaku penyelenggara wajib membuat kontrak pengadaan yang akuntabel dengan penyedia makanan, memuat kewajiban menjaga mutu dan klausul ganti rugi bila terjadi keracunan, serta melakukan pengawasan rutin,” tuturnya.
    Ia berharap, pemerintah memfokuskan evaluasi pada pengetatan seleksi penyedia makanan, peningkatan sistem distribusi dan penyimpanan, pengawasan lapangan yang lebih intensif, transparansi hasil audit kepada publik, serta penyediaan mekanisme kompensasi atau asuransi bagi korban sebagai bentuk perlindungan hukum.
    “Dengan cara ini, diharapkan program MBG tetap dapat berjalan dan menjamin makanan-makanan yang disajikan telah tepat dan sesuai dengan visi dan misi awal diadakannya program MBG ini,” tuturnya.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 40 calon anggota KI DKI jalani psikotes

    40 calon anggota KI DKI jalani psikotes

    Jakarta (ANTARA) – Sebanyak 40 calon anggota Komisi Informasi (KI) Provinsi DKI Jakarta periode 2025–2029 menjalani psikotes untuk mengukur potensi individu, meliputi kemampuan kognitif, interaksi sosial, kepemimpinan, komunikasi, hingga pemecahan masalah, pada Rabu.

    Ketua Tim Seleksi (Timsel) KI DKI Jakarta, John Fresly Hutahahean di Jakarta, Rabu, menyampaikan selain psikotes, calon anggota KI DKI juga mengikuti tes dinamika kelompok atau Leaderless Group Discussion (LGD) untuk menilai kemampuan kerja sama dan kepemimpinan peserta.

    Adapun dalam tahapan-tahapan tersebut, KI DKI difasilitasi tim asesor dari Unit Layanan Penilaian Kompetensi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (ULPKSDM) Universitas Padjadjaran (Unpad).

    “Kami diberi kesempatan untuk melakukan asesmen potensi dan kompetensi, apakah profesionalitas dan integritas para calon sesuai harapan. Penilaian dilakukan secara objektif oleh tim asesor Unpad,” kata John.

    Dia mengatakan dengan adanya Komisi Informasi, hak-hak masyarakat untuk memperoleh data dan informasi dapat terpenuhi. Oleh karena itu, calon anggota KI harus memiliki integritas, kompetensi, pengalaman, keterampilan komunikasi, serta keahlian di bidang hukum dan kebijakan publik.

    Sementara itu, tim asesor Unpad, Nuh Kartanagara, menyampaikan sesi pertama seleksi berupa psikotes dilakukan dengan sistem computerized yang dipandu petugas.

    Selanjutnya, dinamika kelompok berjalan lancar dengan diskusi aktif yang memperlihatkan kemampuan kepemimpinan dan kerja sama para peserta.

    Setelah tahapan ini, akan dilakukan tes wawancara yang dijadwalkan berlangsung pada 30 September–1 Oktober 2025.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bisnis Indonesia Goes to Campus (BGTC) Buka Kreativitas Generasi Muda Unpad

    Bisnis Indonesia Goes to Campus (BGTC) Buka Kreativitas Generasi Muda Unpad

    Bisnis.com, BANDUNG — Bisnis Indonesia Goes to Campus (BGTC) yang digelar di Bale Sartika Universitas Padjajaran (Unpad) diharapkan dapat memacu generasi muda dalam meningkatkan literasi, kreativitas, sekaligus mengembangkan potensi diri. 

    Dengan mengusung tagline The Future Is Yours, BGTC di Unpad ini diharapkan menjadi ruang belajar bersama untuk membuat langkah besar di kemudian hari.

    Wakil Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Fahmi Achmad mengatakan, sudah sejak 2022, Bisnis Indonesia selalu menggelar BGTC sebagai upaya membangun semangat bersama generasi muda untuk membuat lompatan besar.

    “Forum ini adalah langkah kecil untuk melakukan lompatan besar di masa yang akan datang,” jelasnya, saat memberikan sambutan.

    Fahmi menjelaskan, dalam gelaran yang dihadiri ratusan mahasiswa ini, tidak hanya dibahas mengenai literasi saja. Tapi juga akan banyak membicarakan soal kepemimpinan, entrepreneurship dan bagaimana mengembangkan kreativitas generasi muda.

    “Acara ini tidak bisa dilakukan hanya oleh Bisnis Indonesia saja, tapi harus dilakukan bersama,” ungkap dia.

    Untuk itu, forum ini juga diharapkan bisa menjadi ajang lahirnya gagasan dan ide baru sehingga menjadi titik awal regenerasi pemuda tangguh yang memiliki integritas dan daya saing global.

    Di tempat yang sama Wakil Dekan Bidang Sumber Daya dan Organisasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpad Dina Sartika menyampaikan rasa terima kasih karena Unpad kembali dipilih menjadi lokasi penyelenggaraan BGTC tahun ini.

    Menurutnya, Unpad memiliki banyak talenta muda yang siap untuk dikembangkan hingga memiliki integritas dan data saing di tengah tantangan perkembangan teknologi informasi yang masif.

    “Kami bangga telah dipilih Bisnis Indonesia, karena Unpad punya mahasiswa yang potensial untuk diberikan literasi berbagai hal tidak hanya soal literasi, tapi juga soal kepemimpinan dan lain-lain,” ungkapnya.

    Saat ini, di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpad memiliki lebih dari 4.200 mahasiswa di empat angkatan. Dan seluruhnya dipastikan memiliki talenta yang baik untuk dikembangkan:

    “Mudah-mudahan dengan adanya [BGTC] ini menambah insight untuk [mahasiswa] mempersiapkan diri, mencari peluang di era digital,” jelasnya.

    Pasalnya, di era perkembangan digital yang cepat, mahasiswa harus memiliki kemampuan beradaptasi yang baik untuk tetap mempunyai peluang untuk berkembang.

    “Kami juga menghadapi tantangan itu, infrastruktur, sarana prasarana, ini tantangannya untuk mahasiswa mungkin berbeda, apa yang harus dipersiapkan agar skill kita tetap relevan dengan perkembangan teknologi informasi,” jelasnya.

    Dalam Bisnis Indonesia Goes To Campus 2025 ini, materi diisi oleh Commercial Director PT Garuda Beverage Sukses Sugeng Suharyono, Direktur People & Corporate Affairs Batumbu Ega Dwi Maresthy dan Wakil Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Fahmi Achmad.

  • Polemik Pembatasan Satu Orang Satu Akun Medsos
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        20 September 2025

    Polemik Pembatasan Satu Orang Satu Akun Medsos Nasional 20 September 2025

    Polemik Pembatasan Satu Orang Satu Akun Medsos
    Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
    GAGASAN
    pembatasan setiap warga negara hanya boleh memiliki satu akun media sosial untuk setiap platform, menimbulkan perdebatan.
    Keinginan yang didasari kekhawatiran banyaknya akun anonim atau akun ganda yang digunakan untuk penyebaran hoaks, penipuan digital, ujaran kebencian, dan ketersesatan opini publik, memantik pertanyaan konsekuensinya secara teknis, hukum dan dampaknya pada ekosistem digital.
    Di tataran wacana, regulasi pembatasan ini dimaksudkan untuk menerapkan akuntabilitas dan ekosistem digital yang sehat. Namun, implementasi gagasan ini sangat tak sederhana.
    Implementasi teknis, keterkaitan dengan pelindungan data pribadi, responsabile ekosistem digital yang terlanjur terbangun, dan belum lagi berbagai alasan praktis seperti banyak orang yang sudah memiliki lebih dari satu akun untuk berbagai kepentingan termasuk
    back up
    data.
    Regulasi satu orang satu akun akan terkait dengan mekanisme verifikasi identitas data pribadi pengguna ke dalam platform digital media sosial. Hal ini, misalnya, dilakukan melalui integrasi data KTP atau NIK.
    Verifikasi NIK dan Nomor KTP oleh platform media sosial secara masif memiliki risiko terkait pelindungan data pribadi yang saat ini dilindungi oleh UU 27/2022.
    Hal yang perlu diingat, verifikasi data digital untuk media sosial sangat berbeda dengan verifikasi aktivasi kartu prabayar telepon seluler atau Mobile Station International Subscriber Directory Number (MSISDN).
    Perusahaan media sosial adalah entitas global “Over The Top” yang tidak identik dengan operator telekomunikasi yang dikelola secara domestik dan wajib memiliki izin penyelenggaraan telekomunikasi berdasarkan hukum Indonesia.
    Meskipun secara wacana gagasan “Single social media account” bisa mengurangi akun palsu, dalam praktiknya tak mudah.
    Kebijakan ini juga akan identik dengan penerapan regulasi baru seperti kewajiban platform media sosial untuk melakukan verifikasi identitas berbasis data kependudukan nasional, melalui verifikasi database Dukcapil.
    Platform Medsos harus melakukannya dengan ketat agar informasi pribadi pengguna tidak bocor. Akan ada integrasi data besar-besaran antara data pemerintah dan perusahaan teknologi.
    Ekosistem digital saat ini sudah terlanjur terbentuk. Medsos digunakan secara masif tak semata untuk ruang ekspresi dan kreativitas konten.
    Bahkan, media sosial saat ini disebut sudah “kurang sosial” dibanding tujuan awalnya, karena sudah digunakan berbagai aktivitas dan tujuan, termasuk
    social commerce.
    Regulasi semacam ini harus diantisipasi dampaknya karena bisa memantik isu pembatasan ruang digital warga negara.
    Seperti dipahami, kerap terjadi penyalahgunaan identitas atau adanya akun anonim yang digunakan untuk serangan digital, penipuan, atau manipulasi opini publik.
    Terkait dengan hal ini, pertanyaannya adalah, apakah kebijakan satu orang satu akun medsos akan efektif atau malah menimbulkan maraknya penggunaan data pribadi milik orang lain tanpa izin?
    Sebenarnya hal yang paling diperlukan adalah literasi digital dan kosistensi penegakan hukum. Peningkatan literasi digital, termasuk pengawasan keluarga untuk anak-anak, efektivitas penegakan hukum, dan konsistensi ketaatan hukum platform media sosial dalam menjaga iklim kondusif dengan menggunakan teknologinya adalah kuncinya.
    Media sosial saat ini telah menjadi bagian interaksi individu dan masyarakat secara global yang kerap menimbulkan dampak, termasuk pelindungan anak-anak.
    Pada uraian ini, saya ingin menjelaskan bahwa upaya verifikasi meskipun dengan menggunakan teknologi mutakhir tidaklah sederhana, seperti yang kini dihadapi Australia dalam mengatasi dampak plaform medsos.
    Australia adalah salah satu pelopor yang telah membuat regulasi tentang pembatasan pengguna anak-anak di medsos berbasis pembatasan usia.
    Regulasi Australia yang selama ini dipuji berbagai kalangan, ternyata juga tidak bisa dimplementasikan secara ideal sesuai ide awalnya.
    Hal ini seperti dilaporan
    The Conversation
    “Details on how Australia’s social media ban for under-16s will work are finally becoming clear” (16/9/2025).
    Pemerintah Australia merilis panduan regulasi terkait undang-undang usia minimum media sosial, yang akan mulai berlaku pada 10 Desember.
    Namun, ditegaskan bahwa pemerintah tidak meminta platform untuk memverifikasi usia semua pengguna karena verifikasi menyeluruh semacam itu dianggap tidak masuk akal, terutama terkait penarikan kesimpulan identifikasi usia pengguna secara akurat.
    Dalam praktiknya memang tak sederhana, ketika ada anak yang mungkin bisa tetap menggunakan akun mereka, karena teknologi pemindaian wajah memperkirakan usia mereka di atas 16 tahun yang tak sesuai dengan usia sebenarnya.
    Kebijakan ini pun mash bisa diakali, kemungkinan adanya anak tetap bisa mendaftar dengan identitas palsu, atau meminjam akun orang tua.
    Penjelasan pedoman ini juga dilaporkan
    ABC News
    berjudul “
    Final Rules for Social Media Ban Revealed, with No Legally Enforceable Effectiveness Standard
    ” (15/9/2025).
    Dilaporkan bahwa perusahaan media sosial tidak perlu memverifikasi usia setiap pengguna terkait standar minimum usia yang harus dikeluarkan dari platform, saat ketentuan berlaku pada bulan Desember tahun ini.
    Platform media sosial hanya wajib menunjukkan bahwa mereka telah mengambil langkah-langkah wajar untuk menghapus akun pengguna di bawah 16 tahun, tanpa ada kewajiban memverifikasi semua pengguna.
    Pemerintah Australia pun tidak menginginkan platform Medsos untuk menyimpan data pribadi terkait pemeriksaan usia individu pengguna. Pemerintah Australia hanya menekankan agar platform menyimpan catatan yang terkait sistem dan prosesnya saja.
    Hal ini menunjukan dipilihnya pendekatan yang lebih ringan terkait usia, di mana platform cukup membuktikan bahwa langkah-langkah wajar sudah diambil secara lebih realistis. Berbeda dengan pemikiran sebelumnya yang terlalu ambisius dan sulit diterapkan.
    Kebijakan verifikasi usia yang lebih ringan menekankan tanggung jawab platform dan bukan pengawasan total. Dari sisi praktis, tentu lebih realistis, karena tidak membebani pengguna dengan verifikasi identitas berlapis.
    Berkaca pada berbagai hal di atas, kembali ke wacana satu orang satu akun Medsos, dapat disimpulkan bahwa wacana itu bukan solusi praktis yang ideal.
    Inti persoalan saat ini bukan pada jumlah akun, melainkan bagaimana agar akun itu digunakan secara benar dan bertanggung jawab tanpa melanggar hukum. Literasi digital, regulasi jelas, dan tegasnya penegakan hukum adalah langkah yang lebih penting.
    Pelacakan tindak kejahatan dan pelanggaran hukum secara kasus per kasus, saat ini relatif sudah banyak dilakukan dengan metode
    digital tracking
    . Memperkuat sistem seperti ini lebih realistis dibanding dengan menggeneralisasinya.
    Negara sebaiknya lebih berkonsentrasi pada penguatan literasi digital masyarakat, transparansi algoritma, dan menekankan kepatuhan perusahaan platform medsos dan penggunanya.
    Siapa pun harus konsisten dan patuh terhadap UU 1/2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi dan regulasi terkait lainnya sebagai
    Cyberlaw
    yang berlaku sebagai hukum positif negeri ini.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 10
                    
                        Pemimpin yang Terisolasi dari Kabar Rakyatnya
                        Nasional

    10 Pemimpin yang Terisolasi dari Kabar Rakyatnya Nasional

    Pemimpin yang Terisolasi dari Kabar Rakyatnya
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

    The great enemy of the truth is very often not the lie, but the myth, persistent, persuasive, and unrealistic.
    ” (John F. Kennedy)
    SEORANG
    presiden, siapa pun dia, bergantung pada informasi yang diterimanya setiap hari. Artinya, realitas masyarakat tidak terlihat secara langsung, tapi melalui laporan, ringkasan, atau bisikan lingkaran dalam seorang presiden.
    Jika informasi yang diterima utuh, analisisnya tepat, maka keputusan bisa presisi. Namun, jika terdistorsi, negara bisa tergiring ke arah yang salah, bahkan berbahaya.
    Akhir-akhir ini, terdapat kesan bahwa sebagian besar publik nampaknya merasa pemerintah agak terlambat merespons aspirasi warganya, sehingga dibutuhkan demonstrasi besar atau menunggu isu-isu tertentu viral terlebih dahulu.
    Boleh jadi kesan ini tidak sepenuhnya tepat, tetapi beberapa bulan terakhir, muncul persepsi bahwa langkah Presiden Prabowo Subianto kerap tertinggal dari tuntutan masyarakat.
    Ketika rakyat berharap kebijakan A, yang hadir justru kebijakan B, itu pun datang terlambat. Situasi ini menimbulkan kesan bahwa data dan fakta yang seharusnya menjadi fondasi keputusan tidak sepenuhnya tersaji di meja presiden. Akibatnya, kebijakan yang mestinya dapat diputuskan cepat dan tepat justru tersendat.
    Pertanyaan yang tak terhindarkan muncul di benak publik, benarkah orang-orang di sekitar Presiden Prabowo menyampaikan informasi apa adanya?
    Ataukah sebagian fakta ditutup-tutupi, dipoles, bahkan disisihkan demi menjaga kenyamanan politik?
    Jika yang sampai ke meja Presiden hanyalah laporan yang sudah disaring, bagaimana mungkin keputusan pemerintah bisa selaras dengan aspirasi rakyat?
    Tak peduli bagaimana teknis penyampaian informasi, atau dalam kondisi apa pun Presiden berada, ia seharusnya tetap memperoleh asupan informasi yang bergizi mengenai keadaan rakyatnya.
    Pemerintahan bukanlah mesin yang boleh berhenti sejenak, melainkan institusi yang bekerja dua puluh empat jam tanpa jeda.
    Karena itu, keterlambatan atau distorsi informasi tidak bisa ditoleransi. Terlambat atau tedistorsi sama saja dengan membiarkan keputusan diambil dalam ruang gelap, sementara rakyat menunggu keadilan yang seharusnya hadir tepat waktu.
    Dalam tradisi administrasi publik, gagasan bahwa negara harus bekerja tanpa henti sudah lama ditekankan.
    Woodrow Wilson (1887) dalam
    The Study of Administration
    menyebut pemerintahan sebagai “the most continuous of human concerns,” yang menegaskan bahwa urusan publik tidak pernah berhenti dan karenanya administrasi harus beroperasi secara konstan serta berkelanjutan.
    James Madison dalam
    Federalist Papers No. 37
    (1788) menulis bahwa pemerintahan “must be adequate to the exigencies of the nation,” sebuah pengingat bahwa kebutuhan rakyat tidak mengenal batas waktu.
    Kajian kontemporer juga menguatkan hal ini. Farazmand (2001) dalam H
    andbook of Crisis and Emergency Management
    memperkenalkan konsep pemerintahan sebagai institusi “24-hour emergency system”, di mana eksekutif harus siap mengambil keputusan kapan pun krisis datang.
    OECD (2018) bahkan menyebut negara modern sebagai
    always-on state,
    pemerintahan yang tidak mengenal jeda karena kompleksitas global menuntut respons setiap saat.
    Dari perspektif ini, tidak ada alasan teknis yang dapat membenarkan keterlambatan informasi di meja Presiden.
    Pemerintahan adalah kerja dua puluh empat jam, tujuh hari sepekan. Setiap penyumbatan informasi sama saja dengan memutus denyut nadi negara.
    Prinsip
    the right man in the right place
    harus berlaku mutlak. Untuk informasi yang urgen dan darurat, Presiden harus dapat mengandalkan lembaga yang memang berwenang, seperti Badan Intelijen Negara maupun lembaga strategis terkait intelijen lainnya.
    Lembaga itupun dituntut menyajikan laporan yang utuh dan berdaging, bukan potongan kabar yang terdistorsi.
    Dalam konteks ini, tidak boleh ada pihak yang tidak berkepentingan ikut mencampuri, apalagi mengambil alih peran di luar tugas pokok dan fungsinya.
    Hirarki eksekutif harus dihormati agar informasi yang sampai ke Presiden benar-benar murni, tepat waktu, dan relevan dengan kebutuhan negara.
    Jangan sampai kedekatan personal dijadikan alasan untuk melangkahi kewenangan institusi yang sah.
    Literatur ilmu politik modern menekankan pentingnya
    institutionalization of power
    (Huntington, 1968), yaitu kekuasaan yang dijalankan harus melalui prosedur kelembagaan, bukan hubungan pribadi. Ketika jalur formal diabaikan, prinsip spesialisasi runtuh, dan muncullah nepotisme.
    Robert Klitgaard (1988) dalam kajiannya tentang korupsi juga menegaskan bahwa ketika kewenangan bercampur dengan kedekatan personal, peluang penyalahgunaan menjadi lebih besar.
    Itulah yang sering menyalakan kemarahan rakyat di banyak negara, dari Amerika Latin hingga Asia, karena publik menyaksikan negara dijalankan oleh jaringan kekerabatan dan loyalitas pribadi, bukan oleh kompetensi dan otoritas institusional.
    Dalam literatur ekonomi politik, penyumbatan informasi sering dijelaskan lewat kerangka
    bureaucratic politics model
    (Allison & Zelikow, 1999).
    Di sini, kebijakan tidak lahir dari satu komando tunggal, melainkan dari tarik menarik antar aktor birokrasi yang masing-masing membawa agenda.
    Informasi yang akhirnya sampai ke Presiden bukanlah cermin murni kondisi lapangan, melainkan hasil tawar-menawar kepentingan.
    Douglas North (1990) menyebut fenomena ini sebagai bukti rapuhnya institusi, aturan main negara dikalahkan oleh kalkulasi sempit aktor yang berkuasa atas aliran informasi.
    Dalam kondisi seperti ini, keputusan publik rawan bias, bahkan salah arah, bukan karena Presiden tidak mau bertindak, melainkan karena bahan baku keputusan sudah terdistorsi sejak awal.
    Risikonya tidak berhenti pada kemungkinan lahirnya keputusan yang keliru. Lebih dari itu, pemimpin dapat terjebak dalam ruang gema, merasa keadaan terkendali sementara masyarakat justru menanggung beban yang berat.
    Situasi semacam ini membuat negara lamban merespons krisis, sekaligus menggerus kepercayaan publik yang melihat ketidaksetaraan antara pernyataan pemimpin dan pengalaman sehari-hari mereka.
    Fenomena seperti ini sebenarnya sudah menjadi bagian integral politik pemerintahan. Sejarah pemerintahan modern memberi banyak bukti bagaimana pemimpin bisa terjebak dalam gelembung data.
    Di Cina, penelitian King, Pan, & Roberts (2013) menunjukkan bagaimana sistem sensor dan kontrol arus informasi membuat pimpinan hanya menerima gambaran tertentu dari realitas sosial.
    Kritik publik kerap disaring, sementara informasi yang menekankan stabilitas diperbesar. Akibatnya, pemimpin bisa merasa masyarakat terkendali, padahal di bawah permukaan ketidakpuasan terus menumpuk.
    Hal itu terlihat di Nepal baru-baru ini. Perdana Menteri Khadga Prasad Sharma Oli menerima pasokan informasi yang terbatas mengenai keresahan rakyat atas kondisi ekonomi dan praktik korupsi. Lingkaran dalam yang sarat nepotisme justru menutupi gejolak publik.
    Akibatnya, Sharma tidak sepenuhnya mengetahui kemarahan masyarakat, terutama generasi muda yang resah menatap masa depan, sementara para pejabat dan keluarganya justru memamerkan kemewahan di berbagai media sosial.
    Alih-alih memperbaiki ekonomi dan menertibkan perilaku pejabatnya, pemerintah justru memilih menutup 26 platform media sosial. Alasannya untuk mengatasi hoaks, ujaran kebencian, dan penipuan daring.
    Namun, langkah itu diambil karena Sharma diyakinkan bahwa sumber kegaduhan publik adalah maraknya berita palsu, bukan krisis nyata yang dirasakan rakyat.
    Kebijakan itu berbalik arah. Generasi muda, yang kehidupannya lekat dengan dunia digital, turun ke jalan dan mengepung rumah para pejabat, termasuk kediaman perdana menteri.
    Salah informasi berujung pada salah langkah, dan salah langkah berakhir pada perlawanan rakyat.
    Di Myanmar, sejak kudeta militer 2021, Human Rights Watch (2022) mencatat bagaimana junta berusaha mengendalikan aliran informasi baik ke publik maupun ke pucuk pimpinan.
    Laporan tentang krisis ekonomi dan protes sosial disaring ketat. Hasilnya, kebijakan rezim kerap terputus dari realitas dan memperparah krisis politik.
    Contoh lain datang dari Sri Lanka. Menurut International Crisis Group (2022), lingkaran keluarga Rajapaksa menutup-nutupi data fiskal dari Presiden Gotabaya Rajapaksa. Krisis devisa yang sebenarnya genting dipoles seolah terkendali.
    Begitu cadangan menipis dan rakyat turun ke jalan menuntut pangan dan energi, Presiden pun kehilangan legitimasi.
    Tak ada kesangsian, keterlambatan informasi berdampak langsung pada kebijakan.
    Mari ambil contoh sederhana dari kasus jaminan sosial. Jika Presiden terlambat tahu ada pekerja informal meninggal karena kecelakaan kerja, misalnya, maka sinyal untuk memperbaiki sistem jaminan ketenagakerjaan juga ikut tertunda.
    Padahal satu nyawa yang hilang bisa menjadi peringatan dini untuk menyelamatkan ribuan nyawa lain.
    Dalam konteks politik, pemimpin yang terus-menerus disuguhi laporan manis akan berisiko kehilangan legitimasi.
    Rakyat mudah menangkap ketidaksinkronan antara apa yang diucapkan pemimpin dengan apa yang mereka alami sehari-hari. Situasi semacam ini merupakan resep klasik bagi lahirnya krisis kepercayaan.
    Pertanyaan pentingnya adalah mengapa lingkaran dalam cenderung menyaring informasi. Ada yang berangkat dari motif protektif, yaitu keinginan menjaga agar pemimpin tidak terlalu terbebani dengan kabar buruk.
    Ada pula yang bermula dari motif politik, demi mengamankan posisi dengan menampilkan keadaan seolah terkendali.
    Tidak jarang juga muncul motif ekonomi, ketika informasi berubah menjadi sumber rente yang hanya dapat diakses dan diolah oleh pihak tertentu.
    Seluruh motif tersebut beroperasi dalam ruang yang sama, yakni ketiadaan mekanisme kontrol yang efektif.
    Selama Presiden tidak memiliki kanal alternatif untuk mendengar suara rakyat secara langsung, lingkaran dalam akan tetap menjadi penyaring tunggal yang menentukan versi realitas apa yang sampai ke pucuk kekuasaan.
    Menghadapi masalah sekompleks ini, langkah perbaikan sebaiknya ditempuh secara bertahap dan realistis.
    Satu, meningkatkan transparansi atas data publik yang sudah tersedia, tanpa perlu membangun sistem baru yang rumit dan tanpa menambah personel yang tidak relevan.
    Banyak kementerian dan lembaga sebenarnya telah mengumpulkan data penting, tetapi informasi itu masih tersebar dan tidak terintegrasi.
    Tugas utama pemerintah adalah menyatukan data tersebut dalam sistem yang dapat diakses lintas lembaga, lalu memastikan ringkasannya sampai ke Presiden tanpa jeda.
    Dua, memperkuat fungsi penasihat Presiden yang bersifat independen, bukan dengan membentuk lembaga baru, melainkan dengan mengoptimalkan mekanisme yang sudah ada seperti Kantor Staf Presiden atau Dewan Pertimbangan Presiden.
    Yang diperlukan adalah memastikan kursi di dalamnya ditempati oleh sosok dengan keahlian teruji, bukan sekadar representasi politik.
    Pada kenyataannya, pemerintah sudah memiliki segambreng unit dan lembaga pengumpul informasi, mulai dari kementerian teknis, lembaga survei, hingga badan intelijen.
    Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apakah semua informasi itu benar-benar sampai ke
    end user
    , yaitu pejabat yang berwenang mengambil keputusan, atau justru berhenti di lapisan birokrasi menengah yang menyaring sesuai kepentingannya?
    Tiga, membangun saluran aspirasi publik yang sederhana dan fungsional. Alih-alih membuat portal baru yang berisiko mandek, pemerintah dapat memaksimalkan kanal pengaduan yang sudah ada seperti SP4N-LAPOR! dengan kewajiban agar ringkasan keluhan utama disampaikan langsung dalam rapat kabinet mingguan.
    Cara ini lebih mudah diterapkan daripada menciptakan sistem baru yang justru kompleks.
    Selama ini, saluran semacam itu justru sering terabaikan. Tidak jelas apakah situs-situs pengaduan benar-benar dimanfaatkan sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah, atau sekadar dijadikan formalitas belaka.
    Tanpa mekanisme yang memastikan keluhan sampai ke pengambil kebijakan, kanal tersebut hanya menjadi etalase digital yang menghabiskan anggaran tanpa daya guna.
    Empat, menumbuhkan budaya birokrasi yang berani menyampaikan kabar buruk. Perubahan budaya tentu tidak bisa instan, tetapi dapat dimulai dengan memberi perlindungan bagi pejabat menengah yang berani melaporkan informasi tidak populer.
    Dengan perlindungan itu, informasi yang sampai ke pucuk pimpinan tidak hanya berupa kabar baik, tetapi juga peringatan dini yang penting bahkan genting.
    Masalahnya, birokrasi kita tidak terbiasa menghadapi risiko, tidak terbiasa membicarakan skenario terburuk, dan tidak terbiasa menyusun langkah antisipasi sejak dini.
    Kalaupun dibahas, percakapan itu biasanya berlangsung terbatas di ruang internal, tidak melibatkan masyarakat sebagai pihak yang paling terdampak.
    Padahal, mengenali risiko justru penting agar dampak yang lebih buruk dapat dicegah. Ketiadaan tradisi ini membuat perangkat antisipatif kita minim dan rapuh ketika berhadapan dengan guncangan besar.
    Maka jangan berharap Indonesia bisa seketika meniru Jepang atau negara lain yang telah membangun
    early warning system
    yang mumpuni.
    Untuk sampai ke sana, keberanian menyampaikan kabar buruk, baik di dalam birokrasi maupun secara terbuka kepada rakyat, harus lebih dulu menjadi budaya.
    Jika kita bicara apa adanya, perangkat apa yang tidak dimiliki pemerintah untuk menghimpun informasi? Semuanya sesungguhnya sudah dimiliki.
    Pemerintah memiliki berlapis instrumen yang mampu menangkap data dari masyarakat, lembaga riset, hingga teknologi digital yang semakin canggih. Tidak ada alasan bagi negara modern untuk merasa terisolasi dari arus informasi.
    Tantangannya justru terletak pada bagaimana informasi itu dikelola dan disampaikan. Lingkaran terdekat pemimpin bisa menjadi jembatan yang memperlancar, tetapi juga berpotensi menjadi tembok yang menahan.
    Di titik inilah ujian kepemimpinan sesungguhnya, apakah Presiden mendapatkan gambaran utuh dari realitas rakyat, atau hanya versi yang telah dipilah-pilah oleh lingkaran dalamnya.
    Terakhir, wacana pembatasan satu orang satu akun media sosial, misalnya, mudah dianggap publik sebagai upaya membatasi kebebasan berekspresi.
    Alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan semacam itu justru berisiko menurunkan kepercayaan dan memicu resistensi.
    Dalam hal ini, pemerintah perlu juga berhati-hati atas rencana penerapan kebijakan tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PSI Respons Serius Pembahasan RUU Perampasan Aset, Harap Segera Disahkan – Page 3

    PSI Respons Serius Pembahasan RUU Perampasan Aset, Harap Segera Disahkan – Page 3

    Sementara itu, Akademisi Universitas Padjadjaran, Mudiyati Rahmatunnisa, yang hadir sebagai narasumber menilai RUU Perampasan Aset bisa jadi terobosan dalam penegak kasus korupsi di Indonesia.

    “RUU ini memberi efek jera, tapi harus tetap menjaga hak asasi manusia,” yakin Mudiyati.

    Namun narasumber lain, Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, menilai regulasi atau RUU ini masih bermasalah. Alasannya, kajian RUU perampasan aset sangat rawan disalahgunakan dan bisa berbenturan dengan hukum yang ada.

    “Ada kontradiksi aturan, aset bisa diambil tanpa peradilan pidana. Ini rawan disalahgunakan,” nilai Sugeng.

    Kemudian lain, Wakil Ketua DPW PSI Jawa Barat Ronald Aristone Sinaga alias Bro Ron menyebut tidak mempermasalahkan terkait kekurangan draf RUU perampasan aset. Menurut dia, Indonesia harus berani memulai demi menindak para koruptor.

    “Rakyak gak mau tau, yang rakyat mau para koruptor itu dimiskinkan, ditangkap. Jadi urgensinya RUU perampasan aset ini adalah kita mulai dari sekarang, terlepas ada kekurangan nanti ke depan akan perbaiki,” desak Bro Ron.

    Pemantik diskusi lainnya, Presiden BEM Unisba Kamal Rahmatullah menilai, RUU persampasan aset merupakan solusi dari kurangnya mekanisme tindak pidana korupsi. Namun dia sependapat beleid itu bisa menjadi pisau bermata dua.

    “Di sisi lain bisa memberik efek jera, tapi bisa menjadi alat kekuasaan,” ujarnya.

     

  • Kerugian Israel Jika Negara Arab dan Muslim Putuskan Hubungan Diplomatik

    Kerugian Israel Jika Negara Arab dan Muslim Putuskan Hubungan Diplomatik

    Jakarta

    Para pemimpin Arab dan Muslim menyerukan untuk meninjau ulang hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Israel menyusul serangan mematikan Israel ke Doha, Qatar. Apa dampak bagi Israel bila negara-negara Arab dan Muslim memutus hubungan dengan Israel?

    Pakar hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Teuku Rezasyah mengatakan ada beberapa dampak yang akan diterima Israel. Menurutnya, Israel akan terkucilkan.

    “Israel akan terkucil di wilayah terdekatnya sendiri, sehingga pengucilan ini dapat secara perlahan meluas keberbagai belahan bumi,” ujar Rezasyah kepada wartawan, Rabu (17/9/2025).

    Selanjutnya, Israel bisa tercitra sebagai negara yang membahayakan dan mengancam perdamaian dunia. Sehingga, Israel perlu dijauhi oleh negara-negara lain.

    Kemudian, pemutusan hubungan diplomatik dan ekonomi diprediksi berimbas ke dunia pariwisata Israel. “Terdapat potensi runtuhnya industri pariwisata Israel, dan membuat warga negara Israel tidak nyaman, dan merasa diri mereka terancam di luar negeri,” kata Rezasyah.

    Lalu, kandasnya hubungan diplomatik dengan negara-negara Arab membuat hubungan perdagangan akan berlangsung lewat pihak ketika. Hal ini dinilai akan membuat harga barang di Israel semakin mahal.

    Harga barang yang serba mahal memicu terjadinya demonstrasi. “(Efek lainnya) Akan banyak perjanjian bilateral yang dibatalkan secara sepihak oleh para mitra Israel,” sambungnya.

    Israel, kata Rezasyah, membutuhkan energi yang luar biasa untuk memulihkan nama baiknya yang dianggap sudah tercemar terutama soal hak asasi manusia. Tentu hal-hal ini dinilai akan membuat Israel semakin tertekan.

    “Akan bermunculan negara dan kelompok yang mengkritik dan menekan negara-negara yang memberikan status dwi-kenegaraan pada penduduk Israel,” ujar Rezasyah.

    Sebelumnya, para pemimpin Arab dan Muslim menyerukan untuk meninjau ulang hubungan dengan Israel. Hal itu diutarakan dalam pertemuan darurat oleh Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang digelar di Doha pada Senin (15/9) waktu setempat.

    Pertemuan gabungan yang mempertemukan hampir 60 negara itu, berupaya mengambil tindakan tegas setelah Israel melancarkan serangan mengejutkan di Doha, yang diklaim menargetkan pemimpin senior Hamas, saat perundingan gencatan senjata berproses.

    Pernyataan bersama yang dihasilkan pertemuan itu mendesak “semua negara untuk mengambil semua langkah hukum dan efektif yang memungkinkan untuk mencegah Israel melanjutkan tindakannya terhadap rakyat Palestina”, termasuk “meninjau kembali hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara tersebut, dan memulai proses hukum terhadapnya”.

    Simak Video ‘Israel Lancarkan Serangan Darat-Udara ke Gaza, Ini Respons PBB’:

    Halaman 2 dari 3

    (isa/eva)