Universitas Padjadjaran (Unpad) menyatakan komitmennya untuk menegakkan hukum dan norma yang berlaku menyusul adanya kasus dugaan tindak pidana dugaan pelecehan seksual yang melibatkan salah satu mahasiswa program pendidikan spesialisnya.
Ringkasan
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5184369/original/018217600_1744279713-Unpad_Tegaskan_Tidak_Beri_Toleransi_ke_Pelaku_Pelecehan__2_.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Universitas Padjadjaran (Unpad) menyatakan komitmennya untuk menegakkan hukum dan norma yang berlaku menyusul adanya kasus dugaan tindak pidana dugaan pelecehan seksual yang melibatkan salah satu mahasiswa program pendidikan spesialisnya.
Ringkasan

Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat menilai rencana pemerintah untuk mengerek impor liquefied petroleum gas (LPG) dan minyak mentah dari Amerika Serikat (AS) cukup rasional.
Langkah pemerintah itu berkaitan dengan upaya negosiasi tarif impor timbal balik (reciprocal tariff) sebesar 32% yang diterapkan Presiden AS Donald Trump kepada RI.
Selain meningkatkan impor LPG dan minyak mentah, pemerintah juga berjanji akan membeli drilling rig atau peralatan yang digunakan untuk mengebor sumur migas dari AS. Peningkatan impor itu bertujuan mengurangi defisit dagang AS dari Indonesia sehingga diharapkan dapat melunakkan kebijakan tarif AS.
Founder dan Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, upaya meningkatkan impor LPG dan minyak mentah dari AS cukup memungkinkan. Menurutnya, hal ini juga tak bertolak belakang dengan upaya pemerintah mengerek produksi dalam negeri.
Dia menjelaskan, peningkatan impor LPG bisa menjadi daya tawar RI kepada AS. Apalagi, jika pemerintah mau membuka lebih lebar keran investasi untuk perusahaan migas AS.
“Jika itu memang menjadi bagian dari negosiasi-diplomasi dagang kita dengan AS terkait tarif Trump ini. Itu langkah rasional dari pemerintah,” ucap Pri Agung kepada Bisnis, Kamis (10/4/2025).
Pri Agung juga menilai peningkatan impor migas tak jadi sandungan rencana pemerintah mengerek produksi dalam negeri. Khususnya, peningkatan produksi dari Blok Masela dan reaktivasi 10.000 sumur idle yang direncanakan Presiden Prabowo Subianto.
Menurut Pri Agung, produksi dari Masela dan reaktivasi sumur idle itu tidak akan menaikkan produksi migas RI secara signifikan.
“Jadi, ya bisa dikatakan malah [peningkatan impor migas AS] tidak ada kaitan dan pengaruhnya dengan langkah menaikkan impor migas dari AS ini,” kata Pri Agung.
Senada, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti menilai langkah pelibatan teknologi AS dalam reaktivasi sumur idle dan kilang minyak menjadi pilihan realistis.
“Saya kira bagus ya, karena memang AS, merupakan negara yang kompeten untuk teknologi migas. Tetapi harus hati-hati dari sisi kontrak dan adjustment cost akibat pergeseran tersebut,” ucap Yayan.
Dia menjelaskan, adjustment cost ini berhubungan dengan biaya kesiapan regulasi dan rekalkulasi proyek. Yayan juga menyebut, pada dasarnya AS lebih kompeten untuk migas dibandingkan pemain yang sekarang ada.
“Jika kita lihat teknologi migas relatif efisien walaupun memang yang menjadi tanda tanya apakah pemain baru atau pemain lama. Karena kalau pemain lama AS sudah tahu kondisi cadangan migas yang mungkin lebih akurat dibandingkan kita sendiri,” tuturnya.
Kendati demikian, Yayan mengingatkan pemerintah tetap menghitung dengan baik sebagai bahan renegosiasi dan mengukur multiplier effect dengan akurat terhadap tarif resiprokal Trump.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mulai menghitung kebutuhan impor LPG dan minyak mentah dari AS. Dia menjelaskan, impor minyak dan LPG selama ini datang dari Singapura, Timur Tengah, Afrika, hingga Amerika Latin.
Demi meningkatkan impor dari AS, pembelian LPG dan minyak dari negara-negara tadi pun bakal dikurangi. Hingga saat ini, Bahlil mengatakan, pemerintah masih menghitung berapa banyak impor LPG dan minyak yang bisa diambil dari AS.
“Dalam exercise, kami lagi menghitung,” ucap Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Rabu (9/4/2025).
Dia pun memastikan pihaknya juga menghitung tingkat keekonomian impor dari AS. Pasalnya, impor dari AS kemungkinan membutuhkan biaya lebih besar. Menurut Bahlil, hal ini terjadi karena biaya transportasi dari AS lebih tinggi dibandingkan Timur Tengah.
“Harga LPG dari Amerika sama dengan dari Middle East. Jadi, saya pikir semua ada cara untuk kita menghitung dalam bisnis kan yang penting adalah produk yang diterima di negara kita adalah dengan harga yang kompetitif,” tutur Bahlil.

Jakarta –
Kementerian Kesehatan RI dinilai perlu melakukan pemantauan lanjutan kesehatan jiwa peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (FK Unpad). Hal ini diutarakan pengamat manajemen kesehatan lulusan Universitas Airlangga dr Puspita Wijayanti.
Pasalnya, satu kali skrining kesehatan jiwa dinilai tidak cukup untuk benar-benar memastikan kondisi psikis PPDS atau dokter residen secara menyeluruh.
“Pemeriksaan psikologis saat seleksi hanya memberikan foto diam (static snapshot) dari kondisi mental kandidat pada titik waktu tertentu. Ia berguna sebagai filter awal, tapi tidak memiliki fungsi prediktif terhadap kondisi psikis di kemudian hari,” sorot dr Puspita dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom Kamis (10/5/2025).
Kondisi mental peserta PPDS dalam sistem pendidikan kedokteran yang dikenal penuh dengan tekanan, tingginya jam kerja, beban emosional dari pendidikan maupun pasien, relasi hierarkis yang terkadang keras, serta kultur kompetisi, disebut bisa berubah secara drastis.
“Kesehatan jiwa dalam pendidikan klinik bukan perkara lolos tes awal, tapi bagaimana sistem secara aktif memantau, mendeteksi, dan merespons dinamika psikologis yang berkembang selama proses pembelajaran,” terangnya.
Sayangnya, menurut dia, banyak rumah sakit pendidikan dan institusi akademik yang belum menjalani tes pemantauan psikis secara lebih lanjut maupun sistematis.
Nihil evaluasi dan intervensi yang dilakukan di lapangan. Bahkan, dalam beberapa kasus, benar-benar tidak ada tempat aman untuk melaporkan kerentanan psikis tanpa stigma dan kesan ‘judging’.
“Ini bukan hanya celah pendidikan, tapi kebutaan sistemik terhadap kesehatan jiwa dalam dunia medis. Ironisnya, kita yang mengadvokasi kesehatan masyarakat justru gagal menjaga kesehatan mental internal kita sendiri,” sesal dia.
“Di titik ini, kita perlu menggeser paradigma: dari pendekatan seleksi sebagai ‘pembuktian kelayakan masuk’, menjadi sistem pemantauan sebagai perlindungan keberlanjutan.”
Sedikitnya ada beberapa catatan yang dinilai perlu dilakukan pemerintah. Pertama, evaluasi psikologis perlu dilakukan setiap enam bulan sekali atau setiap ada transisi rotasi SDM secara besar-besaran.
RS pendidikan juga disebut perlu membentuk unit kesehatan mental yang independen, serta adanya mekanisme self reporting dan peer alert system, yang dalam hal ini, peserta bisa mengakui beban mental atau melaporkan rekan yang mengalami tekanan berat tanpa risiko diskriminasi.
“Program residen harus dibekali dengan pelatihan pengenalan coping mechanism, emotional regulation, dan ethics under stress sebagai bagian dari kompetensi no klinik. Karena ketika tekanan tidak dikawal, burnout bisa menjelma menjadi disosiasi. Ketika kesehatan jiwa diabaikan, luka internal bisa berubah menjadi kekerasan eksternal,” pungkasnya.
(naf/up)