Institusi: UNPAD

  • Polisi: Dokter PPDS Cabul di RSHS Punya Fantasi dengan Orang Pingsan

    Polisi: Dokter PPDS Cabul di RSHS Punya Fantasi dengan Orang Pingsan

    Bisnis.com, JAKARTA — Polda Jawa Barat (Jabar) mengungkap motif Priguna Anugrah Pratama (PAP), dokter PPDS anestesi yang menjadi pelaku kasus pemerkosaan keluarga pasien di RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

    Dirreskrimum Polda Jawa Barat Kombes Surawan mengatakan motif dari dokter PPDS Unpad melakukan kekerasan tersebut karena berkaitan dengan fantasi seksual.

    “Semacam apa ya, punya fantasi tersendiri dengan seksualnya gitu. Padahal dia sudah punya istri juga. [Priguna] Sudah punya istri, baru-baru nikah juga,” ujar Surawan kepada wartawan, Jumat (11/4/2025).

    Dia menambahkan tersangka PAP diduga memiliki fantasi seksual untuk berhubungan dengan orang yang pingsan.

    Namun demikian, Surawan menekankan bahwa hal tersebut masih perlu dilakukan pendalaman oleh pihak-pihak terkait.

     “[Motifnya] punya fantasi sendiri lah gitu. Senang kalau orang mungkin [korbannya] pingsan gitu ya,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, kasus ini mencuat setelah korban FA (21) melaporkan peristiwa dugaan kekerasan seksual dialaminya di RSHS Bandung, pada Selasa (18/3/2025) sekitar 01.00 WIB.

    Kala itu, korban tengah menunggu ayahnya yang tengah dirawat. Kemudian, PAP menghampiri korban dan memintanya untuk melakukan transfusi darah.

    Dalam pelaksanaannya, PAP diduga telah menyuntikkan cairan yang membuat korban tak sadarkan diri.

    Singkatnya, usai peristiwa itu, korban mengalami kesakitan di area saluran kencing. Di samping itu, menemukan sisa sperma yang diduga milik PAP di tubuh korban.

    Atas perbuatannya itu, PAP dipersangkakan pasal 6 C undang-undang nomor 12 tahun 2022 dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara.

  • Kemenkes Hentikan Sementara Kegiatan PPDS Anestesi di RS Hasan Sadikin Bandung, Sebulan Dievaluasi – Halaman all

    Kemenkes Hentikan Sementara Kegiatan PPDS Anestesi di RS Hasan Sadikin Bandung, Sebulan Dievaluasi – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA– Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menginstruksikan kepada RSUP Hasan Sadikin (RSHS) untuk menghentikan sementara kegiatan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran di lingkungan RSHS selama satu bulan.

    Kemenkes menyampaikan, langkah ini diambil untuk mengevaluasi dan melakukan perbaikan pengawasan serta tata kelola setelah adanya tindak pidana kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh dr. PAP.

    Diketahui dr PAP merupakan peserta PPDS Anestesiologi yang diduga memperkosa keluarga pasien dengan modus akan diambil darahnya untuk transfusi. 

    “Penghentian sementara ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi proses evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola dan sistem pengawasan PPDS di lingkungan RSHS,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes Aji Muhawarman dilansir dari website resmi, Jumat (11/4/2025). 

    Di sisi lain, Kemenkes meminta RSHS agar bekerjasama dengan FK Unpad untuk upaya-upaya perbaikan yang diperlukan.

    Sehingga insiden serupa atau tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan etika kedokteran tidak terulang kembali.

    PELAKU PENCABULAN – Pelaku pencabulan terhadap salah seorang keluarga pasien RS Hasan Sadikin Bandung, ditampilkan oleh Ditreskrimum Polda Jabar, Rabu (9/4/2025). Oknum dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran (FK) di salah satu universitas di Sumedang, Jabar, ditetapkan sebagai tersangka. (Tangkap layar kanal YouTube Kompas TV)

    Kemenkes juga akan mewajibkan seluruh Rumah Sakit Pendidikan Kemenkes untuk melakukan test kejiwaan berkala bagi peserta PPDS di seluruh angkatan. 

    Tes berkala diperlukan untuk menghindari manipulasi test kejiwaan dan mengidentifikasi secara dini kesehatan jiwa peserta didik.

    Kemenkes sudah meminta Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) untuk segera mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) atas nama dr. PAP. 

    Pencabutan STR ini secara otomatis akan membatalkan Surat Izin Praktik (SIP) yang bersangkutan.

    “Kami akan terus memantau proses penanganan kasus ini dan mendorong seluruh institusi pendidikan serta fasilitas kesehatan untuk memperketat pengawasan, memperbaiki sistem pelaporan. Serta membangun lingkungan yang bebas dari kekerasan dalam bentuk apa pun,” tutup Aji.

  • Buntut Kasus Dokter PPDS, DPR Siap Panggil Kemenkes hingga RSHS Bandung

    Buntut Kasus Dokter PPDS, DPR Siap Panggil Kemenkes hingga RSHS Bandung

    JABAR EKSPRES – Buntut kasus dokter PPDS, Komisi IX DPR RI siap memanggil sejumlah pihak mulai dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Dekan FK Unpad, RSHS Bandung, Konsil Kedokteran Indonesia, hingga Kemendiktisaintek untuk membahas kasus pemerkosaan oleh calon dokter spesialis anastesi di RSHS.

    “Langkah ini diambil untuk meminta klarifikasi mengevaluasi sistem pembinaan dan pengawasan tenaga medis, serta memastikan kasus serupa tidak terulang di masa mendatang,” kata Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh dikutip dari ANTARA, Jumat (11/4).

    Ia menegaskan Komisi IX DPR mengecam kasus pemerkosaan itu. Kasus tersebut mencerminkan kegagalan sistem pengawasan hingga perlindungan pasien di lingkungan rumah sakit.

    BACA JUGA: DPRD Kota Bandung Sesalkan Tindakan Asusila Dokter Peserta PPDS di RSHS

    Ia juga mengatakan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh dokter residen PPDS anastesi Unpad di RSUP Hasan Sadikin Sadikin (RSHS) Bandung tersebut harus segera ditanggapi dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh dan sistemik.

    “Kami meminta Kementerian Kesehatan RI dan Konsil Kodekteran Indonesia untuk melakukan evaluasi dan tindakan disipliner terhadap tenaga medis yang terlibat,” ucapnya.

    Menurutnya, Universitas Padjajaran (Unpad) dan RSHS Bandung harus perkuat sistem pelaporan, perlindungan korban dan pengawasan terhadap peserta Pendidikan dokter spesialis.

    Tidak hanya itu, Kementerian Kesehatan perlu memberikan pendampingan psikologis, hukum dan kesehatan kepada korban sebagai bentuk pemulihan hak-hak korban, sesuai amanat Pasal 55 dan 64 Undang-Undang Kesehatan.

    BACA JUGA: Bertambah, Korban Pelecehan Dokter PPDS di RSHS Jadi 3 Orang

    Sebelumnya, Kepolisian Daerah Jawa Barat menahan seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad) berinisial PAP (31) atas dugaan kekerasaan seksual terhadap anggota keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

    Selain itu, Polisi juga mengungkapkan adanya indikasi kelainan perilaku seksual pada pelaku, yang menjadikannya tersangka kasus pemerkosaan terhadap keluarga pasien.

    Temuan itu, berdasarkan pemeriksaan awal terhadap dokter PPDS terduga pelaku pemerkosaan berinisial PAP (31).

  • Penjelasan Rektor Unpad Terkait Kasus Dokter PPDS yang Lecehkan Keluarga Pasien di RSHS Bandung – Halaman all

    Penjelasan Rektor Unpad Terkait Kasus Dokter PPDS yang Lecehkan Keluarga Pasien di RSHS Bandung – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad)  Prof. Arief S. Kartasasmita memberikan penjelasan terkait kasus dokter PAP, seorang PPDS Anestesi FK Unpad yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin atau RSHS Bandung.

    Dalam video resmi yang diterima Tribunnews.com pada Jumat (11/4/2025) Prof Arief menuturkan, pihaknya merasa prihatin terhadap kasus ini.  

    Secara umum UNPAD tidak akan mentolerir segala macam bentuk pelanggaran hukum dan pelanggaran norma yang ada di Universitas Padjadjaran.  

    “Kami lembaga pendidikan sama sekali tidak memberikan ruang bagi terjadinya pelanggaran-pelanggaran berkait dengan apa yang dilakukan oleh mahasiswa baik di tempat kerja, di tempat praktek, maupun di lingkungan UNPAD secara umum,” tegas dia.

    Pihaknya akan segera melakukan tindak lanjut  dalam bentuk pemutusan studi bagi yang bersangkutan.

    Karena yang bersangkutan sudah terindikasi dan terbukti walaupun belum dinyatakan oleh pengadilan dalam melakukan tindak pidana.

    DOKTER PPDS UNPAD – PA (31), seorang dokter PPDS Unpad, diduga mempunyai fantasi terhadap korban. PA meminta korban mengganti pakaian dengan baju operasi berwarna hijau dan memintanya melepas baju juga celana. Fantasi PA itu dilakukan sebelum dia melakukan pelecehan terhadap korban di Gedung MCHC Lantai 7 RSHS Bandung pada 18 Maret 2025 pukul 01.00 WIB. (Tribun Jabar/ Muhammad Nandri)

    “Sehingga kami akan segera mengeluarkan dan ada aturan internal di UNPAD yang menyatakan bahwa  setiap mahasiswa, dosen, maupun karyawan yang melakukan tindakan pidana akan kami berikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dan ini akan segera efektif kami keluarkan dan tidak lagi menjadi mahasiswa UNPAD dan tidak dapat melakukan lagi kegiatan baik di lingkungan rumah sakit maupun di lingkungan UNPAD,” ujar Prof Arief.

    Pihaknya juga akan melakukan pendampingan untuk korban serta berkoordinasi dengan RSHS Bandung serta polisi.

    “Mudah-mudahan dapat terjadi keadilan bagi korban dan kami mengucapkan juga prihatin dan juga penyesalan untuk korban. Semoga ini tidak terjadi lagi di masa yang datang pada mahasiswa UNPAD,” harap dia.

    Sebagai lembaga pendidikan, Prof Arief menegaskan, UNPAD akan memperketat proses pengawasan yang ada di lingkungan pendidikan baik di tingkat spesialis maupun di tingkat non-spesialis dan juga pendidikan-pendidikan lainnya untuk mencegah kasus-kasus serupa terjadi di lingkungan UNPAD termasuk rumah sakit pendidikan.

    Pihaknya juga telah berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, pasalnya kejadian ini merupakan multi-dimensi, dimana tidak hanya berbicara mengenai masalah pendidikan saja, tetapi secara lengkap adalah bagaimana pengawasan masalah didik dan juga masalah perundungan-perundungan, juga masalah-masalah lain terkait dengan proses pendidikan spesialis, di rumah sakit pendidikan.

    “Ini akan kami coba lakukan ke depan agar tidak lagi terjadi atau diminimalkan sekecil mungkin peluang-peluang terjadinya pelanggaran-pelanggaran,” kata dia.

     

  • 6
                    
                        Korban Dokter Priguna Bertambah, RSHS Diminta Ikut Bertanggung Jawab
                        Nasional

    6 Korban Dokter Priguna Bertambah, RSHS Diminta Ikut Bertanggung Jawab Nasional

    Korban Dokter Priguna Bertambah, RSHS Diminta Ikut Bertanggung Jawab
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi IX DPR RI meminta Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung turut dimintai pertanggungjawaban atas kasus
    pemerkosaan
    dan
    kekerasan seksual
    yang dilakukan oleh
    dokter residen
    anestesi Priguna Anugerah Pratama (31) terhadap sejumlah pasien dan keluarganya.
    Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKB Arzeti Bilbina menilai, peristiwa ini mencerminkan kelalaian yang sistemik, bukan semata-mata kesalahan individu pelaku.
    “Jika boleh dikatakan, ini bukan hanya ulah oknum, tapi semua ikut berperan. Baik institusi, rumah sakit, sekuriti, keamanan,” ujar Arzeti, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (11/4/2025).
    Menurut dia, rumah sakit sebagai institusi pelayanan publik seharusnya memberikan rasa aman kepada pasien dan keluarganya, terlebih saat berada dalam situasi kritis atau gawat darurat.
    “Ketika orangtua dalam kondisi kritis, kita kan berharap dengan dokter. Kemudian dia praktik di rumah sakit besar yang kredibilitasnya sudah diakui. Jadi, ada kenyamanan kita mengantarkan orangtua kita. Kita berharap akan tersembuhkan, tapi kok malah terjadi pemerkosaan,” kata Arzeti.
    Arzeti berpandangan, RSHS perlu diberi sanksi tegas jika terbukti lalai dalam memberikan pengawasan terhadap dokter yang sedang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
    “Dan Rumah Sakit harus di-
    banned
    juga, didenda! Jangan mentang-mentang mereka punya cara. Kita juga harus mengawal agar mereka punya rasa
    secure
    kepada pasien,” ujar dia.
    Arzeti juga mendesak aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan secara mendalam soal dugaan adanya korban lain dari aksi bejat Priguna.
    “Ada dugaan kan sebelumnya sudah terjadi juga. Kita minta penegak hukum melakukan penelusuran secara mendalam demi memastikan ada tidaknya lagi korban lain,” kata dia.
    Selain itu, Komisi IX juga mendorong Kementerian Kesehatan melakukan audit menyeluruh terhadap rumah sakit pendidikan dan membentuk tim inspeksi mendadak guna menyelidiki potensi praktik kekerasan seksual di lingkungan tersebut.
    “Sangat mengerikan kondisi seperti ini. Kasus harus segera diselesaikan, karena ini permasalahan yang sangat menakutkan dalam kondisi kita sangat berharap perlindungan dokter,” pungkas dia.
    Diberitakan sebelumnya, Polda Jawa Barat mengungkap bahwa jumlah korban pemerkosaan yang dilakukan oleh Priguna Anugerah Pratama (31), dokter residen anestesi dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, bertambah menjadi tiga orang.
    “Yang di kita satu (korban) masih ditangani, yang dua masih di RS, belum kita periksa,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar, Kombes Surawan, Rabu (9/4/2025).
    Korban yang saat ini sedang ditangani kepolisian berinisial FH (21), sementara dua korban lain masih menjalani perawatan di rumah sakit.
    Ketiganya diduga mengalami pelecehan oleh pelaku yang sama.
    “Informasinya begitu,” ujar Surawan, saat ditanya apakah dua pasien lain juga menjadi korban pelecehan oleh Priguna.
    Kasus ini terungkap setelah FH melapor kepada polisi.
    Peristiwa itu terjadi di lantai 7 Gedung MCHC RSHS pada pertengahan Maret 2025.
    Pelaku membawa korban ke lokasi tersebut dengan dalih melakukan pemeriksaan darah untuk transfusi, lalu menyuntikkan cairan yang diduga obat bius hingga korban tidak sadarkan diri.
    Usai sadar, korban merasakan nyeri di beberapa bagian tubuh dan menjalani visum, yang kemudian mengonfirmasi adanya kekerasan seksual.
    Untuk perkara FH, polisi telah memeriksa 11 saksi, termasuk korban, keluarga korban, perawat dan ahli.
    Pelaku dijerat Pasal 6C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
    Kekerasan Seksual
    , dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Keluarga Korban Cabut Laporan, Kasus Dokter PPDS Unpad Cabuli Anak Pasien RSHS Bandung Terhenti? – Halaman all

    Keluarga Korban Cabut Laporan, Kasus Dokter PPDS Unpad Cabuli Anak Pasien RSHS Bandung Terhenti? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Terungkap fakta bahwa keluarga korban telah mencabut laporan polisi terhadap Priguna Anugerah Pratama (31), dokter residen di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat (Jabar).

    Priguna adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad) yang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi di RSHS Bandung.

    Pria yang sudah berkeluarga itu diduga melakukan rudapaksa terhadap wanita asal Bandung inisial FH (21), anak dari pasien pria yang dirawat di RSHS Bandung, pada Selasa (18/3/2025) lalu.

    Pada hari itu juga, keluarga korban langsung melaporkan kejadian ini ke polisi berdasarkan bukti berupa hasil visum hingga rekaman CCTV.

    Namun terbaru, Penasehat hukum Priguna yakni Ferdy Rizky Adilya dan Gumilang Gatot menyampaikan bahwa keluarga korban telah mencabut laporan tersebut.

    “Kejadian (perjanjian) ini sebelum adanya penangkapan (23 Maret 2025). Itu sudah dilakukan keluarga klien kami,” kata Gumilang, Kamis (10/4/2025), dilansir TribunJabar.id.

    Lantas bagaimana kelanjutan proses hukum terhadap Priguna?

    Ferdy menjelaskan bahwa Priguna telah meminta maaf ke korban terkait perbuatan bejatnya, namun tetap menyerahkan masalah ini ke kepolisian untuk memproses hukum.

    “Intinya, kami akan kooperatif membantu memberikan hak-haknya tersangka dan kami akan kawal proses ini sampai akhirnya mempunyai keputusan,” ujar Ferdy. 

    Ferdy mengungkapan bahwa mereka telah melakukan pertemuan sebelum kasus ini mencuat ke publik untuk duduk bersama. Sehingga menurutnya, hingga kini tidak ada permasalahan.

    “Kami tadinya ingin juga mengundang dari pihak korban (keluarganya) untuk hadir. Tapi, tak bisa hadir. Mungkin nanti akan kami hubungi dan para wartawan bisa bertanya langsung dengan pihak keluarga korban,” jelas Ferdy.

    Ferdy juga mengatakan bahwa dalam pertemuan tersebut, sempat ada bukti pencabutan laporan meskipun tak akan mempengaruhi proses hukum.

    Meski telah demikian, Ferdy menegaskan bahwa proses hukum tentu akan tetap berjalan.

    “Pencabutan itu terjadi 23 Maret 2025,” sebut Ferdy.

    Tetap Minta Pelaku Dihukum

    Kakak ipar korban berinisial AG mengakui bahwa beberapa hari setelah kejadian tersebut memang ada itikad baik dari keluarga Priguna.

    Itu pun, lanjut AG, setelah dicari-cari dan akhirnya keluarga Priguna bisa mengakses keluarga korban sampai adanya pertemuan kedua belah pihak.

    “Kami tetap mengutuk perbuatan pelaku. Namun, sesama manusia tentu mesti bisa memaafkan walau itu tak akan mengembalikan kondisi adik saya,” ungkap AG saat dihubungi melalui ponsel penasehat hukum pelaku, Kamis, dilansir TribunJabar.id.

    “Saat ini, masih kami dampingi dan awasi betul kondisi psikisnya, terlepas dari pertemuan itu kami sudah saling berbicara secara kekeluargaan dan sebagai keluarga sudah memaafkan tapi secara hukum, kami ingin proses hukum tetap berlanjut,” lanjutnya.

    AG pun berharap kasus ini diusut tuntas dan berharap bisa terungkap senetral dan sebersih mungkin, agar tidak ada korban lain.

    “Semoga Polda bisa menegakkan hukum seadil-adilnya,” ujar AG.

    Disinggung terkait ayah korban yang dikabarkan telah meninggal pada 28 Maret 2025, AG pun membenarkannya.

    “Iya betul, ayah korban masuk 16 Maret, lalu ada perawatan selama beberapa hari dan direkomendasikan rumah sakit harus operasi. Namun, sebelum operasi pada 18 Maret, terjadi kejadian terhadap adik saya. Dan, pada 19 Maret dilakukan operasi oleh RS berjalan lancar. Namun, kondisi bapak semakin menurun hingga akhirnya meninggal dunia,” jelasnya.

    Kronologi

    Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Hendra Rochmawan mengungkapkan bahwa modus Priguna yaitu memanfaatkan kondisi kritis ayah korban dengan dalih akan mengecek darah untuk transfusi darah.

    Peristiwa dugaan rudapaksa ini terjadi pada 18 Maret 2025 sekitar pukul 01.00 WIB dinihari.

    Kala itu, Priguna yang sedang bertugas, meminta FH untuk diambil darahnya dan membawa korban dari ruang IGD RSHS Bandung ke Gedung MCHC lantai 7.

    Bahkan, Priguna meminta korban FH agar tidak ditemani adiknya.

    “Tersangka ini meminta korban FH untuk diambil darah dan membawa korban dari ruang IGD ke Gedung MCHC lantai 7 RSHS. Korban sempat merasakan pusing dari cairan yang disuntikkan pelaku, dan selepas siuman korban merasakan sakit pada bagian tertentu,” kata Hendra dalam konferensi pers di Polda Jabar, Bandung, Rabu (9/4/2025), dilansir TribunJabar.id.

    Untuk melancarkan aksinya, Priguna diduga membius korbannya terlebih dahulu.

    “Sesampainya di Gedung MCHC, tersangka meminta korban mengganti pakaian dengan baju operasi berwarna hijau dan memintanya melepas baju juga celananya. Lalu, pelaku memasukkan jarum ke bagian tangan kiri dan kanan korban sebanyak 15 kali,” jelas Hendra.

    Priguna lalu menghubungkan jarum tersebut ke selang infus dan menyuntikkan cairan bening ke dalamnya.

    Selang beberapa menit, korban FH mulai merasakan pusing hingga akhirnya tidak sadarkan diri.

    Ketika itulah, korban diduga dirudapaksa oleh Priguna.

    “Setelah sadar, si korban diminta mengganti pakaiannya lagi. Lalu, setelah kembali ke ruang IGD, korban baru menyadari bahwa saat itu pukul 04.00 WIB,” ungkap Hendra.

    “Korban pun menceritakan kepada ibunya bahwa pelaku mengambil darah sebanyak 15 kali percobaan dan menyuntikkan cairan bening yang membuat korban tak sadar. Ketika buang air kecil, korban merasakan perih di bagian tertentu,” sambungnya.

    Berdasarkan hasil visum, ditemukan sperma di alat vital korban yang kini masih diselidiki pihak kepolisian untuk dilakukan tes DNA.

    Polisi kemudian menangkap Priguna di apartemennya di Bandung, pada 23 Maret 2025.

    Hingga pada 25 Maret 2025, polisi akhirnya menetapkan Priguna sebagai tersangka kasus dugaan pelecehan seksual.

    Atas aksi bejatnya, Priguna dijerat dengan Pasal 6 C UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.

    “Pelaku dikenakan pasal 6 C UU no 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual dengan ancaman hukuman penjara maksimal 12 tahun,” sebut Hendra.

    Selain menangkap tersangka, Polda Jabar juga mengamankan sejumlah barang bukti dari TKP, termasuk 2 buah infus full set, 2 buah sarung tangan, 7 buah suntikan, 12 buah jarum suntik, 1 buah kondom, dan beberapa obat-obatan.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Kuasa Hukum Priguna Anugerah Sebut Keluarga Korban Sebenarnya Sudah Tak Ada Masalah, Sudah Damai

    (Tribunnews.com/Nina Yuniar) (TribunJabar.id/Muhamad Nandri Prilatama)

  • KemenPPPA Beri Pendampingan Psikologis Korban Pemerkosaan Dokter Residen RSHS

    KemenPPPA Beri Pendampingan Psikologis Korban Pemerkosaan Dokter Residen RSHS

    Jakarta

    Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi menyayangkan terjadinya kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh dokter residen anestesi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran terhadap seorang keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.

    Kejadian tersebut menurut Arifah menjadi peringatan bagi masyarakat bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, termasuk ruang publik yang seharusnya menjadi tempat aman.

    “Tidak ada satu pun perempuan pantas menjadi korban kekerasan seksual. Kami berkomitmen untuk mengawal proses hukum dan pemulihan korban, serta memastikan hak-hak korban dipenuhi secara menyeluruh. Selain itu, kami juga mendorong penguatan sistem pencegahan dan respons di rumah sakit, kampus, dan institusi pelayanan publik lainnya,” ujar Menteri PPPA dalam keterangannya, Jumat (11/4/2025).

    Lebih lanjut, Arifah mengatakan pihak Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Barat dan Kota Bandung telah memberikan pendampingan psikologis dan layanan konseling kepada korban, berkoordinasi dengan pihak kepolisian.

    Dirinya juga mengajak masyarakat yang mengalami, mendengar, melihat, atau mengetahui kasus kekerasan untuk berani melapor ke lembaga-lembaga yang telah diberikan mandat oleh UU TPKS, seperti UPTD PPA, UPTD di bidang sosial, Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan Kepolisian untuk mencegah jumlah korban bertambah banyak.

    “Kami mendukung korban dan keluarganya yang sudah berani melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan bentuk keberanian yang akan membuka jalan bagi korban lainnya untuk turut bersuara,” tegas Arifah.

    “Kita semua, sebagai bangsa, bertanggung jawab untuk memastikan kejadian seperti ini tidak terulang dan korban mendapatkan keadilan serta ruang pemulihan yang layak,” tutupnya.

    (kna/kna)

  • 7 Fakta Priguna Dokter Cabul di RSHS Bandung: Sadar Punya Kelainan Seksual, Modusnya Bius Korban – Halaman all

    7 Fakta Priguna Dokter Cabul di RSHS Bandung: Sadar Punya Kelainan Seksual, Modusnya Bius Korban – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Publik dikejutkan dengan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh Priguna Anugerah Pratama (31), dokter residen di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat (Jabar).

    Priguna merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad) yang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi di RSHS Bandung.

    Calon dokter spesialis anestesi itu merudapaksa wanita berinisial FH (21), anak dari pasien pria yang dirawat di RSHS Bandung, pada Selasa, 18 Maret 2025.

    Berikut fakta-fakta soal dokter Priguna Anugerah Pratama, tersangka kasus rudapaksa terhadap keluarga pasien RSHS Bandung:

    1. Modus

    Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Hendra Rochmawan, mengungkapkan modus Priguna yakni memanfaatkan kondisi kritis ayah korban dengan dalih akan mengecek darah untuk transfusi darah.

    Peristiwa rudapaksa ini terjadi pada 18 Maret 2025 sekitar pukul 01.00 WIB dinihari.

    Kala itu, Priguna yang sedang bertugas, meminta FH untuk diambil darahnya dan membawa korban dari ruang IGD RSHS Bandung ke Gedung MCHC lantai 7.

    Bahkan, Priguna meminta korban FH agar tidak ditemani adiknya.

    “Tersangka ini meminta korban FH untuk diambil darah dan membawa korban dari ruang IGD ke Gedung MCHC lantai 7 RSHS.”

    “Korban sempat merasakan pusing dari cairan yang disuntikkan pelaku, dan selepas siuman korban merasakan sakit pada bagian tertentu,” kata Hendra dalam konferensi pers di Polda Jabar, Bandung, Rabu (9/4/2025), dilansir TribunJabar.id.

    Untuk melancarkan aksinya, Priguna membius korbannya terlebih dahulu.

    “Sesampainya di Gedung MCHC, tersangka meminta korban mengganti pakaian dengan baju operasi berwarna hijau dan memintanya melepas baju juga celananya. Lalu, pelaku memasukkan jarum ke bagian tangan kiri dan kanan korban sebanyak 15 kali,” lanjutnya.

    Priguna lalu menghubungkan jarum tersebut ke selang infus dan menyuntikkan cairan bening ke dalamnya.

    Selang beberapa menit, korban FH mulai merasakan pusing hingga akhirnya tidak sadarkan diri. Ketika itulah, korban dirudapaksa oleh Priguna.

    “Setelah sadar, si korban diminta mengganti pakaiannya lagi. Lalu, setelah kembali ke ruang IGD, korban baru menyadari bahwa saat itu pukul 04.00 WIB.”

    “Korban pun menceritakan kepada ibunya bahwa pelaku mengambil darah sebanyak 15 kali percobaan dan menyuntikkan cairan bening yang membuat korban tak sadar. Ketika buang air kecil, korban merasakan perih di bagian tertentu,” lanjutnya.

    Pada hari itu juga, keluarga korban melaporkan kejadian ini ke polisi berdasarkan bukti berupa hasil visum hingga rekaman CCTV.

    Berdasarkan hasil visum, ditemukan sperma di alat vital korban yang kini masih diselidiki pihak kepolisian untuk dilakukan tes DNA.

    2. Terancam 12 Tahun Penjara

    Polisi kemudian menangkap Priguna di apartemennya di Bandung, pada 23 Maret 2025.

    Hingga pada 25 Maret 2025, polisi akhirnya menetapkan Priguna sebagai tersangka kasus dugaan pelecehan seksual.

    Atas aksi bejatnya, Priguna dijerat Pasal 6 C UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.

    “Pelaku dikenakan pasal 6 C UU no 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual dengan ancaman hukuman penjara maksimal 12 tahun,” ujar Hendra.

    Selain menangkap tersangka, Polda Jabar juga mengamankan sejumlah barang bukti dari TKP, termasuk dua buah infus full set, dua buah sarung tangan, tujuh buah suntikan, 12 buah jarum suntik, satu buah kondom, dan beberapa obat-obatan.

    3. Sudah Berkeluarga

    Berdasarkan data diri di KTP, Priguna beralamat di Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) dan saat ini tinggal di Bandung.

    Pria 31 tahun itu juga diketahui telah berkeluarga.

    “Kami sampaikan bahwa yang bersangkutan memang telah berkeluarga. Informasi yang kami dapatkan, dia berasal dari kota di luar dari jawa, sesuai dengan KTP tadi,” ungkap Hendra, dikutip dari YouTube KOMPASTV.

    4. Sadar Punya Kelainan Seksual

    Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jabar, Kombes Pol Surawan, mengungkapkan  Priguna memiliki kelainan perilaku seksual senang atau suka terhadap orang yang tak sadarkan diri atau pingsan.

    Menurut Surawan, Priguna tahu dirinya mengidap kelainan seksual.

    “Si pelaku memang sudah menyadari jika dia mempunyai sensasi berbeda, yakni suka dengan orang yang pingsan. Bahkan, dia mengaku sempat konsultasi ke psikologi. Jadi, dia menyadari kelainan itu. Kalau keseharian dan pergaulannya normal,” ujar Surawan di Polda Jabar, Kamis (10/4/2025), dilansir TribunJabar.id.

    Dalam istilah medis, fetish terhadap orang pingsan disebut Somnophilia.

    Somnophilia adalah orientasi seksual yang langka di mana seseorang merasa bergairah secara seksual pada orang yang tidak sadar dan tidak mampu memberikan respons.

    Somnophilia juga dikenal dengan istilah sindrom Sleeping Beauty karena seseorang merasa bergairah pada seseorang yang sedang tertidur.

    5. Korban Bertambah

    Surawan juga menyebutkan korban dugaan pelecehan seksual Priguna bertambah menjadi tiga orang.

    Selain FH, dua pasien RSHS Bandung juga mengaku menjadi korban aksi bejat dokter residen tersebut.

    “Hasil koordinasi dengan RSHS sudah ada dua korban lagi yang akan kami lakukan pendekatan untuk pemeriksaan,” kata Surawan, Kamis, dilansir TribunJabar.id.

    “Kami sangat terbuka bila ada korban-korban lain yang mungkin menjadi korban atau pernah hampir menjadi korban dari si pelaku, kami akan tampung. Silakan bisa datang ke Polda Jabar atau pihak rumah sakit,” imbuhnya.

    Surawan menegaskan, keterangan dua orang yang terindikasi menjadi korban tambahan merupakan pasien. Tetapi, dalam peristiwa juga waktu yang berbeda.

    “Kami terus lakukan pendalaman terhadap para korban. Lalu, barang bukti baik dari hasil swab atau yang ditemukan di lokasi akan diuji DNA terkait sperma yang ditemukan pada alat vital korban dan alat kontrasepsi,” paparnya.

    Surawan mengatakan korban yang melapor ke polisi ada satu orang. Namun, penyidik juga sedang mendalami keterangan dari dua korban tambahan informasi RSHS.

    6. Sempat Bunuh Diri

    Sebelumnya, Surawan mengungkap Priguna sempat mencoba untuk mengakhiri hidupnya di apartemen saat akan diamankan pihak kepolisian.

    “Pelaku kami amankan di apartemennya di Bandung. Bahkan, si pelaku ternyata sempat mau bunuh diri juga dengan memotong nadi di tangannya,” ungkap Surawan, Rabu, dilansir TribunJabar.id.

    “Kami amankan pelaku pada 23 Maret 2025 setelah pelaku ketahuan. Dia sempat dirawat baru ditangkap,” sambungnya.

    7. Dilarang Praktik

    Direktur Utama RSHS Bandung, Rachim Dinata Marsidi, menjelaskan pihaknya langsung mengambil tindakan tegas setelah menerima laporan terkait dugaan tindak pelecehan oleh dokter residen tersebut.

    “Langsung dia dikeluarkan dari ini. Berarti kalau dikeluarkan dari sini, dia tidak boleh lagi praktik di sini,” ujar Rachim saat dihubungi, Rabu.

    Priguna juga telah dikembalikan ke institusi pendidikannya, yaitu FK Unpad.

    Menurut Rachim, kelanjutan status pendidikan dokter tersebut akan menjadi kewenangan pihak kampus.

    “Saya kembalikan ke FK. Kalau kata FK ini memang ini pelanggaran berat, itu terserah mereka,” terangnya.

    Rachim pun menegaskan Priguna bukanlah pegawai RSHS Bandung, melainkan mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan spesialis di bidang anestesi.

    “Tapi anak tersebut itu belajar di sini. Terserah dari FK-nya mau dibelajarin di rumah sakit yang lain. Ini PPDS itu residen, lagi belajar anestesi. Ya, jadi lagi sekolah anestesi,” jelasnya.

    Bahkan kabarnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI turut memberi tanggapan atas kasus ini dengan meminta agar Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) Priguna.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul KRONOLOGI Dokter Predator Cabuli Keluarga Pasien di RSHS Bandung, Diminta Ganti Baju Saat Cek Darahi

    (Tribunnews.com/Nina Yuniar) (TribunJabar.id/Muhamad Nandri Prilatama)

  • Kasus Pemerkosaan oleh Dokter PPDS: DPR Panggil Kemenkes, FK Unpad, dan RSHS

    Kasus Pemerkosaan oleh Dokter PPDS: DPR Panggil Kemenkes, FK Unpad, dan RSHS

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi IX DPR RI bakal memanggil sejumlah pihak, mulai dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Dekan FK Unpad, Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Konsil Kedokteran Indonesia, hingga Kemendiktisaintek untuk membahas kasus pemerkosaan yang dilakukan dokter PPDS RSHS kepada keluarga pasien. 

    “Langkah ini diambil untuk meminta klarifikasi, mengevaluasi sistem pembinaan dan pengawasan tenaga medis, serta memastikan kasus serupa tidak terulang di masa mendatang,” kata Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh dilansir dari Antara, Jumat (11/4/2025). 

    Dia juga menegaskan Komisi IX DPR mengecam kasus pemerkosaan terhadap keluarga pasien yang dilakukan oleh dokter PPDS yang berjaga di RSHS Bandung. Menurutnya, kasus tersebut mencerminkan kegagalan sistem pengawasan hingga perlindungan pasien di lingkungan rumah sakit.

    Dia juga mengatakan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh dokter residen PPDS anestesi Unpad di RSHS Bandung itu harus segera ditanggapi dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh dan sistemik.

    “Kami meminta Kementerian Kesehatan RI dan Konsil Kedokteran Indonesia untuk melakukan evaluasi dan tindakan disipliner terhadap tenaga medis yang terlibat,” ucapnya.

    Menurut dia, Unpad dan RSHS Bandung harus memperkuat sistem pelaporan, perlindungan korban, dan pengawasan terhadap peserta pendidikan dokter spesialis.

    Selain itu, Kementerian Kesehatan perlu memberikan pendampingan psikologis, hukum, dan kesehatan kepada korban sebagai bentuk pemulihan hak-hak korban, sesuai amanat Pasal 55 dan 64 Undang-Undang Kesehatan.

    Sebelumnya, Kepolisian Daerah Jawa Barat menahan seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) berinisial PAP (31) atas dugaan kekerasan seksual terhadap anggota keluarga pasien di RSHS Bandung.

    Polisi juga mengungkapkan adanya indikasi kelainan perilaku seksual pada pelaku, yang menjadi tersangka kasus pemerkosaan terhadap keluarga pasien. Temuan itu berdasarkan pemeriksaan awal terhadap dokter PPDS terduga pelaku pemerkosaan berinisial PAP (31).

  • Ciri-ciri Pengidap Kelainan Seksual, Bisakah Dikenali dari Luar?

    Ciri-ciri Pengidap Kelainan Seksual, Bisakah Dikenali dari Luar?

    Jakarta

    Seorang dokter residen dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad), Priguna Anugerah P (PAP), memerkosa pendamping pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Dokter yang telah berstatus tersangka tersebut diduga memiliki kelainan seksual.

    Dirreskrimum Polda Jabar, Kombes Pol Surawan mengatakan, dari hasil pemeriksaan sementara, pelaku diketahui memiliki fetish terhadap orang yang tak sadarkan diri.

    “Fantasinya senang (lihat) yang pingsan saja,” kata Surawan, dikutip dari detikJabar, Kamis (10/5/2025).

    Pemeriksaan terhadap Priguna masih terus dilakukan untuk pendalaman lebih lanjut. Pihak kepolisian juga akan melibatkan ahli psikologi dan forensik guna memperkuat dugaan adanya penyimpangan seksual pada diri pelaku.

    Lantas, apakah seseorang yang mengalami kelainan seksual bisa bisa dikenali dari tanda-tandanya?

    Psikiater dr Lahargo Kembaren, SpKJ, mengatakan kelainan perilaku seksual tidak bisa langsung dikenali hanya dari tampilan luar atau diagnosa instan. Menurutnya, yang bisa diamati adalah perilaku seksual seseorang, karena seksualitas itu sendiri biasanya tercermin melalui tindakan atau aktivitas seksual yang dilakukan.

    dr Lahargo mengatakan perilaku seksual bisa mencakup berbagai hal, mulai dari konsumsi konten pornografi, masturbasi, fetisisme, ekshibisionisme, hingga hubungan seksual yang dilakukan secara sukarela maupun melalui paksaan atau cara-cara yang membuat orang lain tidak berdaya. Semua aktivitas tersebut merupakan bagian dari perilaku seksual yang dapat diamati secara nyata.

    “Dan umumnya, orang melakukan perilaku seksual yang berulang-ulang, memang punya masalah dengan kesehatan mentalnya. Ada stres, ada anxious, ada mungkin problematika dalam kehidupan sosial, relasi dengan istri, keluarga, suami, ataupun masalah di tempat kerja, pendidikan, akademi,” kata dr Lahargo saat ditemui di Gedung Trans TV, Kamis (10/4/2025).

    Sering kali, lanjutnya, perilaku seksual seperti itu digunakan sebagai bentuk pelarian atau coping mechanism untuk mengatasi tekanan batin atau masalah emosional yang tidak terselesaikan.

    Sayangnya, cara yang dilakukan dokter residen tersebut termasuk bentuk penanganan yang negatif karena menimbulkan dampak buruk, bukan hanya bagi pelaku, tapi juga bagi orang lain, institusi tempatnya bekerja, bahkan kepercayaan publik secara umum. Hal ini, menurutnya, dapat merusak reputasi profesi dan memperdalam krisis kepercayaan masyarakat terhadap tenaga medis.

    (suc/up)