Otoritarianisme Finansial dan Logika Serampangan Pemblokiran Rekening oleh PPATK
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
PEMBLOKIRAN
rekening masyarakat sipil yang tidak aktif (dormant) mulai dilonggarkan. Namun, jangan buru-buru spontan memuji.
Pelonggaran ini bukanlah tanda bahwa kebijakan membaik, melainkan merupakan pengakuan diam-diam atas logika serampangan yang pernah, dan mungkin masih, dijalankan negara atas nama intelijen keuangan (
financial intelligence
).
Kita pernah, dan tampaknya masih, hidup dalam rezim pengawasan keuangan yang menyamakan rekening pasif dengan potensi kriminal, menukar prinsip kehati-hatian dengan paranoia institusional.
Tak pernah terbesitkah di benak
PPATK
bahwa sebagian rekening yang mereka blokir itu mungkin milik seseorang yang sedang sakit dan tengah menyimpan dana untuk membayar tagihan medis?
Sebab, sekalipun menggunakan BPJS, tetap ada biaya tambahan (
out of pocket
) yang harus ditanggung sendiri.
Bagaimana jika rekening itu adalah tempat orang menabung untuk kuliah anaknya lima tahun ke depan? Atau dana darurat yang memang sesuai namanya tidak akan digunakan dalam waktu dekat?
Negara, melalui PPATK, tampak menjalankan kebijakan seolah semua orang wajib menjadi makhluk transaksional harian agar tidak dianggap menyimpan uang jahat.
Logika sekelas lembaga negara ini bukan hanya tidak manusiawi, tapi juga tidak mengenal atau pura-pura tidak paham kompleksitas perilaku ekonomi warga.
Pemerintah menolak realitas bahwa dalam realitasnya, orang tidak hidup untuk bertransaksi setiap minggu. Ada kehati-hatian, ada perencanaan, ada jeda. Dan jeda semacam itu bukanlah sebuah kejahatan.
PPATK berdalih bahwa pemblokiran ini merupakan respons atas lonjakan transaksi judi online. Namun, hingga kini, tidak ada data resmi yang dirilis ke publik.
Sementara di lapangan, rekening milik pelajar, ibu rumah tangga, petani, dan pensiunan turut dibekukan.
Apakah mereka semua penjudi, atau justru korban dari logika administratif yang malas membedakan mana kehati-hatian dan mana pelanggaran hukum?
Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin memerangi judi online, maka yang dibutuhkan adalah penelusuran berbasis bukti, audit menyeluruh terhadap sistem pembayaran ilegal, pemantauan digital yang cermat, serta koordinasi lintas aparat penegak hukum.
Bukannya justru menyebar jaring besar ke seluruh nasabah pasif dan berharap pelaku kejahatan tertangkap di antara jutaan warga yang bersih.
Hingga Mei 2025, PPATK melaporkan telah memblokir 31 juta rekening nasabah yang berstatus dormant dengan nilai total Rp 6 triliun, sebagai tindak lanjut atas data yang dilaporkan oleh 107 bank.
Dari jumlah itu, sebanyak 10 juta rekening penerima bantuan sosial tidak pernah digunakan, dengan dana mengendap sebesar Rp 2,1 triliun.
Sementara lebih dari 2.000 rekening milik instansi pemerintah dan bendahara pengeluaran juga dinyatakan dormant, dengan total dana hampir Rp 500 miliar (
Kompas.id
, 30/7/2025).
Namun angka-angka ini seolah tak punya bobot, karena dalam logika PPATK, yang dinilai bukan siapa yang menyalahgunakan, tetapi siapa yang tidak bergerak.
Rekening-rekening ini dibekukan hanya karena terlalu “diam”, terlalu lama tidak menyentuh ATM, terlalu jarang bertransaksi, terlalu sunyi bagi algoritma yang mencurigai apa pun yang tak bergerak.
Kini, PPATK menyatakan rekening pasif bisa diaktifkan kembali jika tidak terindikasi tindak pidana, seolah melupakan bahwa negara pernah merasa berhak membekukan dana yang secara hukum bukan miliknya, hanya atas dasar kecurigaan massal.
Inilah kekacauan logika yang kini kita hadapi, kehati-hatian finansial dianggap sebagai penyamaran kriminal; tabungan disamakan dengan pencucian uang; dan warga dipaksa membuktikan bahwa keheningan rekening bukanlah konspirasi jahat.
Negara tidak lagi bekerja berdasarkan asas praduga tak bersalah (
presumption of innocence
), melainkan dengan logika curiga dahulu, mengumpulkan bukti kemudian (
presumption of suspicion
).
Dan seperti biasa, yang paling mudah dicurigai adalah yang paling lemah, rakyat biasa yang hanya menabung, bukan terikat pencucian uang.
Dari semua yang terjadi, satu pertanyaan paling mengganggu dan tak bisa dihindari, mengapa PPATK begitu cepat dan berani memblokir rekening milik rakyat biasa, tapi begitu lamban dan hati-hati, bahkan tidak bernyali saat berhadapan dengan rekening milik pejabat, politisi, atau tokoh berpengaruh?
Bukankah pada tahun 2024 PPATK telah melaporkan adanya transaksi mencurigakan senilai Rp 80,1 triliun yang melibatkan partai politik, calon anggota legislatif, petahana, dan pejabat aktif? (
Kompas.id
, 27 Juni 2024).
Laporan itu bahkan telah diserahkan ke aparat penegak hukum, tapi tidak ada pemblokiran. Tidak ada pembekuan rekening. Tidak ada tindakan langsung. Hanya menjadi laporan yang dibiarkan menguap di antara kepentingan.
Sementara itu, jutaan rekening milik masyarakat sipil dibekukan secara cepat dalam hitungan minggu, tanpa perlindungan hukum, tanpa pembuktian, dan tanpa ruang klarifikasi.
Dalam wajah kebijakan yang seperti ini, kita tak sedang melihat lembaga intelijen keuangan yang profesional, melainkan lembaga yang menjalankan logika ketakutan vertikal dan keberanian horizontal.
Takut ke atas, berani ke bawah, tajam ke bawah tumpul ke atas.
Terhadap pejabat yang memutar uang dalam gelap, PPATK cukup mengirim dokumen. Terhadap rakyat kecil yang diam menabung, PPATK langsung bertindak.
Jika standar keberanian ditentukan oleh posisi sosial, maka yang sedang dijalankan bukan lagi analisis risiko, melainkan politik kepatuhan yang pincang.
PPATK, yang seharusnya menjadi benteng akuntabilitas dalam lalu lintas keuangan nasional, justru berpotensi menjadi alat seleksi siapa yang layak ditekan dan siapa yang aman dibiarkan.
Lebih parah dari sekadar salah logika, tindakan PPATK juga menabrak batas kewenangan yang secara eksplisit telah diatur oleh hukum.
Dalam konstruksi hukum positif Indonesia, PPATK bukanlah aparat penegak hukum. Ia bukan polisi, bukan jaksa, bukan hakim.
Ia adalah lembaga intelijen keuangan yang tugas utamanya adalah menganalisis, melaporkan, dan memberikan rekomendasi. Bukan mengambil tindakan pemblokiran sepihak atas rekening warga negara tanpa prosedur hukum yang sah.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, PPATK hanya dapat meminta pemblokiran kepada lembaga keuangan apabila terdapat dugaan kuat keterkaitan dengan tindak pidana pencucian uang atau pendanaan terorisme.
Itu pun bersifat sementara, dibatasi waktu maksimal 30 hari, dan harus ditindaklanjuti oleh penyidik melalui mekanisme hukum yang benar.
Artinya, PPATK sebenarnya tidak memiliki kewenangan langsung untuk mengeksekusi pemblokiran rekening secara mandiri, apalagi terhadap jutaan rekening milik warga sipil yang bahkan tidak sedang diperiksa dalam perkara pidana.
Jika pemblokiran dilakukan tanpa keterlibatan aparat penegak hukum dan tanpa perintah pengadilan, maka itu bukan sekadar pelanggaran administratif, itu adalah bentuk penyalahgunaan wewenang.
Apa yang dilakukan PPATK tidak hanya keliru secara hukum nasional, tetapi juga menyimpang dari prinsip-prinsip internasional yang mengatur kerja lembaga intelijen keuangan.
Dalam bukunya,
Anti-Money Laundering: A Comparative and Critical Analysis
, Alhosani (2016) mengingatkan bahwa Financial Intelligence Unit (FIU), termasuk seperti PPATK, bukanlah lembaga penegak hukum, melainkan unit analitik yang tugas utamanya adalah mengolah data, menyusun laporan intelijen keuangan, dan menyerahkannya kepada penegak hukum yang berwenang.
Memberi kewenangan langsung kepada FIU untuk membekukan rekening tanpa perintah pengadilan atau proses yuridis adalah penyimpangan struktural yang membuka ruang bagi otoritarianisme finansial.
Lebih lanjut, Alhosani menyebutkan bahwa banyak negara yang kini justru terjebak dalam kecenderungan menyerahkan kewenangan eksekutif kepada FIU dengan dalih efisiensi, padahal yang sebenarnya terjadi adalah perampasan prosedur hukum atas nama pencegahan kejahatan.
Inilah yang disebutnya sebagai “function creep”, saat sebuah lembaga yang semestinya berperan sebagai penganalisis, justru perlahan-lahan berubah menjadi eksekutor, mengaburkan garis batas antara intelijen dan penegakan hukum.
Dalam konteks Indonesia, tindakan PPATK memblokir 31 juta rekening, tanpa prosedur hukum, tanpa pembuktian, tanpa mekanisme klarifikasi adalah bentuk paling ‘konyol’ dari penyalahgunaan wewenang administratif yang melampaui batas fungsi kelembagaan.
Ini bukan lagi kerja intelijen keuangan, ini adalah penghakiman sepihak yang diselubungi jargon keamanan.
Negara seolah sedang membangun logika, “Kami curiga, maka Anda bersalah, dan kami tak perlu pengadilan untuk membenarkannya”.
Padahal, dalam logika negara hukum, bahkan terhadap seorang tersangka korupsi pun negara tetap wajib memberikan proses yang sah, ruang pembelaan, dan kesempatan untuk menjelaskan.
Mengapa prinsip yang sama tidak berlaku bagi, perintis usaha kecil, pengemudi ojek online, ibu rumah tangga, pensiunan, atau pelajar yang hanya sebatas menabung? Mengapa asas praduga tak bersalah hanya berlaku bagi pejabat, tapi justru tidak bagi rakyat biasa?
Inilah yang menjadikan kebijakan pemblokiran massal terhadap
rekening dormant
bukan hanya ngawur secara ekonomi, tapi juga cacat secara hukum.
Negara tidak boleh bertindak atas dasar asumsi sambil mengabaikan prosedur hukum yang menjadi fondasi perlindungan hak sipil.
Jika PPATK bisa membekukan dana seseorang hanya karena tidak aktif bertransaksi, tanpa indikasi tindak pidana dan tanpa proses hukum, maka kita sedang berhadapan dengan lembaga yang menjelma menjadi hakim, jaksa, dan algojo sekaligus, tanpa pengawasan yudisial.
Negara hukum tidak memberi tempat bagi logika bahwa dugaan bisa menggantikan bukti, dan kekuasaan administratif bisa menggantikan proses peradilan.
Bahkan dalam konteks kejahatan keuangan yang kompleks sekalipun,
legal authority
tidak pernah lahir dari otoritas fungsional semata.
Tidak cukup bahwa PPATK tahu, atau menduga, atau mengamati, mereka harus tunduk pada proses, harus tunduk pada pembuktian, harus tunduk pada hukum.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Institusi: UNPAD
-
/data/photo/2023/10/12/65276d0ca3bb9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Otoritarianisme Finansial dan Logika Serampangan Pemblokiran Rekening oleh PPATK Nasional 2 Agustus 2025
-

2.000 Peneliti dari Kampus Top Diterjunkan Petakan Kawasan Transmigrasi
Jakarta –
Kementerian Transmigrasi akan mengerahkan 2.000 peneliti dari tujuh perguruan tinggi terbaik di Indonesia melalui program Tim Ekspedisi Patriot (TEP). Program ini bertujuan memetakan potensi kawasan lokal agar memiliki nilai daya saing tinggi sehingga dapat mendorong peningkatan perekonomian masyarakat.
Menteri Transmigrasi, M. Iftitah Sulaiman Suryanagara mengatakan TEP akan turun langsung ke lapangan guna mengidentifikasi sumber daya unggulan, peluang investasi, serta kebutuhan infrastruktur di kawasan transmigrasi dan sekitarnya.
“Kami ingin memastikan setiap daerah memiliki peta potensi yang jelas. Dengan begitu, kawasan transmigrasi bisa berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru,” ujar Iftitah dalam keterangan tertulis, Rabu (30/7/2025)
Hal itu ia sampaikan di sela-sela kunjungannya ke Balai Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Transmigrasi (BPPMT) Denpasar, Selasa (29/7).
Lebih rinci Iftitah menjelaskan para peneliti yang terlibat berasal dari tujuh universitas ternama di Indonesia yaitu ITB, UNPAD, ITS, UI, UGM, IPB, dan UNDIP dengan latar belakang keilmuan yang beragam, mulai dari pertanian, perikanan, ekonomi, hingga teknologi. Kementerian Transmigrasi menargetkan hasil pemetaan ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk mengembangkan potensi lokal secara optimal.
Distribusi dalam program transmigrasi saat ini bukan hanya sekedar pemerataan penduduk namun fokusnya adalah menjadikan strategi menuju Indonesia maju. Yaitu distribusi pengetahuan kepada masyarakat transmigrasi untuk memetakan potensi lokal untuk meningkatkan kesejahteraan dan tingkat perekonomiannya, sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi skala nasional.
(akn/ega)
-

Ahli Sebut Transfer Data Pribadi RI ke AS Keniscayaan Era Digital
Jakarta, Beritasatu.com – Guru Besar Ilmu Hukum Cyber dan Digital Universitas Padjajaran (Unpad) Ahmad M Ramli menilai, transfer data pribadi Indonesia ke Amerika Serikat (AS) merupakan suara keniscayaan di era digital. Menurut Ramli, transfer data pribadi tersebut sudah menjadi fenomena lumrah dan tak terhindarkan dalam transaksi bisnis internasional.
“Hal yang harus dipahami adalah, transfer data pribadi tak berarti kita mengalihkan pengelolaan seluruh data pribadi WNI kepada Pemerintah AS,” ujar Ramli kepada wartawan, Sabtu (26/7/2025).
Ramli mengatakan, di era digital, mekanisme transfer data pribadi baik domestik maupun antarnegara sejatinya sudah berlangsung lama.
Menurut dia, transfer data pribadi ke AS tak hanya dilakukan Indonesia, tetapi sudah dilakukan negara lain. Bahkan, negara-negara Uni Eropa yang melindungi data pribadinya secara ketat juga sudah membuat kesepakatan terkait data pribadi dengan Pemerintah AS.
“Berkaca dari apa yang dilakukan Uni Eropa, mereka telah menjalin kesepakatan dengan AS dengan transaksi perdagangan senilai US$ 7,1 triliun. Bahkan, Komisi Eropa telah mengadopsi EU-US Data Privacy Framework (DPF) yang mulai berlaku sejak 10 Juli 2023,” tutur Ramli.
Sementara, terkait kerja sama RI dengan Amerika, transfer data pribadi itu secara eksplisit disebut move personal data out dalam fact sheet (lembar fakta) Gedung Putih berjudul The United States and Indonesia Reach Historic Trade Deal. Dalam lembar Fakta, kata Ramli, secara jelas menyebut langkah menghapus Hambatan Perdagangan Digital antara Indonesia dan AS.
“Poinnya adalah, Indonesia akan mempermudah transfer data pribadi ke AS dengan mengakui AS sebagai negara yang memiliki perlindungan data memadai di bawah hukum Indonesia,” ungkap dia.
Menurut Ramli, hal tersebut merujuk pada mekanisme transfer data pribadi lintas negara secara kasus per kasus, untuk memastikan aliran data tetap sah dan terlindungi dalam era ekonomi digital.
Dia menegaskan, transfer data pribadi telah berlangsung di mana-mana. Misalnya, seseorang yang akan terbang ke New York dari Jakarta, maka akan terjadi transfer data pribadi yang bahkan bisa melibatkan bukan hanya satu negara. Belum lagi jika menggunakan maskapai yang berbeda.
Contoh lain, misalnya pengguna internet di Indonesia yang menurut data APJII 2025 sebanyak 221,56 juta jiwa juga telah memberikan data pribadinya ke berbagai platform digital global untuk diproses dan ditransfer antarteritorial dan yurisdiksi.
Pemberian data pribadi itu dilakukan mulai saat membuat akun email, Zoom, Youtube, WhatsApp, ChatGPT, Google Maps, atau lainnya.
Ramli menegaskan, transfer data pribadi adalah keniscayaan. Menurutnya, tanpa proses ini, tidak akan ada layanan dan transaksi digital.
“Dengan kesepakatan RI-AS ini, maka pekerjaan rumah besarnya adalah bagaimana negara melakukan pengawasan, monitoring, dan evaluasi dan menegakan kepatuhan UU PDP. Tujuannya, agar transfer data ke mana pun di dunia, tetap dilakukan secara akuntabel dan patuh hukum,” tegas Prof Ramli.
Lebih lanjut, Ramli mengatakan pekerjaan rumah pemerintah setelah adanya kesepakatan dengan AS ini adalah bagaimana mengawasi praktik transfer data pribadi ke berbagai negara agar patuh pada ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
“Dalam kaitan ini, Lembaga Pelindungan Data Pribadi berperan sangat strategis untuk menjalankan ketentuan UU PDP secara optimal. Pemerintah sebaiknya tak menunda lagi terbentuknya Lembaga PDP ini,” pungkas Ramli.
-

Kesepakatan AS-Indonesia Bawa Dampak Positif ke Dunia Usaha
Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat resmi menyepakati sebuah kerangka kerja untuk negosiasi Perjanjian Perdagangan Timbal Balik kedua negara.
Kerangka ini membuka jalan bagi penghapusan hampir seluruh tarif impor Indonesia terhadap produk-produk industri, pangan, dan pertanian dari Amerika Serikat. Sementara itu, AS akan menurunkan tarif produk Indonesia menjadi 19%, jauh lebih rendah dibandingkan tarif awal sebesar 32%.
Kesepakatan ini dinilai banyak pihak bakal membawa dampak positif terhadap dunia usaha, salah satunya terkait perdagangan digital, jasa dan investasi.
Seperti diketahui dalam kesepakatan ini Indonesia berkomitmen untuk mengatasi hambatan yang mempengaruhi perdagangan digital, jasa, dan investasi. Indonesia akan memberikan kepastian atas kemampuan untuk mentransfer data pribadi ke luar wilayahnya ke Amerika Serikat.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prof. Ahmad M. Ramli, praktik transfer data pribadi lintas negara di era perdagangan digital adalah hal tak terhindarkan. Bahkan ia mengatakan selama ini hal tersebut telah berlangsung, terutama data pribadi pengguna platform digital.
“Tanpa proses transfer data, tidak akan ada layanan dan transaksi digital lintas negara. Dengan adanya UU PDP (Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi), maka transfer data pribadi pun harus dilakukan dengan dasar pemrosesan yang sah,” ungkap dia kepada CNBC Indonesia, Sabtu (26/7/2025).
Namun ujar Ramli, kesepakatan antara Indonesia dan Amerika Serikat terkait hal itu harus ditindaklanjuti dengan melakukan pengawasan, monitoring evaluasi, dan menegakkan kepatuhan UU PDP. Hal ini agar transfer data ke mana pun di dunia tetap dilakukan secara akuntabel dan patuh hukum.
“Panduan teknis terkait hal ini seharusnya dibuat oleh Lembaga Pelindungan Data Pribadi. Pemerintah perlu membentuk Lembaga ini sesuai amanat UU PDP,” tegas dia.
Lebih lanjut dia menyampaikan kesepakatan ini membawa manfaat kepastian hukum bagi pelaku usaha Indonesia dalam pertukaran data lintas batas. Sehingga akan turut mendorong pertumbuhan perdagangan digital dan e-commerce.
“Pada prinsipnya kita mengakui bahwa AS memiliki perlindungan data yang sepadan sesuai UU 27/2022 tentang PDP,” kata Prof. Ramli.
(dpu/dpu)
[Gambas:Video CNBC]
-

Perang Thailand vs Kamboja, Apa Dampaknya bagi Indonesia?
Bangkok –
Pertempuran antara tentara Thailand dan Kamboja sejak Kamis (24/07) telah menewaskan setidaknya 16 orang dan puluhan ribu lainnya dievakuasi dari perbatasan kedua negara. Sejumlah pengamat menganggap Indonesia akan terkena dampak jika konflik antara Thailand dan Kamboja semakin parah.
Aksi saling serang ini menunjukkan eskalasi sengketa antara dua negara bertetangga di Asia Tenggara yang telah berlangsung selama satu abad.
Thailand telah menutup wilayah perbatasannya dengan Kamboja.
Sementara itu, Kamboja telah memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Thailand seraya menuduh negara tetangganya itu menggunakan “kekuatan berlebihan”.
Masing-masing negara telah meminta warganya yang tinggal dekat perbatasan untuk mengungsi dari wilayah tersebut.
Seorang saksi mata bercerita tentang pertempuran yang intens.
“Ini benar-benar serius. Kami sedang dalam proses evakuasi,” kata Sutian Phiwchan, seorang warga lokal di distrik Ban Dan, Provinsi Buriram, Thailand, yang berbatasan dengan Kamboja, kepada BBC.
Dalam pernyataan terdahulu, pemimpin Thailand mengatakan, pertempuran sengit dengan Kamboja, dapat “bergerak menuju perang”.
Apa dampaknya terhadap Indonesia jika konflik Thailand-Kamboja terus memanas?
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan, Wempy Pasaribu, mengatakan dampak yang paling jelas dari konflik Thailand dan Kamboja adalah kemungkinan Indonesia kebanjiran pengungsi dari daerah konflik.
“Kita khawatirkan bisa terjadi banjir pengungsi, seperti perang Vietnam dulu. Spill out dari pengungsi ini kan bisa juga mengakibatkan yang tidak baik dalam hubungan Indonesia dengan kedua negara,” kata Wempy, Jumat (25/07).
Jika benar terjadi, kata Wempy, kondisi di Indonesia akan semakin buruk karena saat ini saja, pemerintah masih kewalahan mengurus pengungsi Rohingya dan Afghanistan.
Sementara itu, pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, memperingatkan agar Indonesia mewaspadai pihak-pihak luar yang ingin memanfaatkan keadaan di Thailand dan Kamboja.
Ia mengambil contoh sindikat perdagangan senjata yang mungkin ingin memasukkan barang ke daerah konflik melalui negara-negara tetangga Thailand dan Kamboja, termasuk Indonesia.
“Mereka tidak mau langsung membawa barang ke wilayah konfliknya, tapi mungkin lewat Indonesia dulu untuk menyamarkan senjata itu sebenarnya dari siapa. Nanti seolah-olah Indonesia yang terlibat,” kata Teuku.
“Itu harus kita hindari. Jangan sampai kelengahan kita berujung pada kita dipermalukan.”
Namun, Wempy dan Teuku mengatakan, konflik ini baru saja pecah, jadi belum dapat diketahui pasti dampaknya buat Indonesia.
Untuk saat ini, mereka hanya mengingatkan pemerintah dan masyarakat Indonesia agar tidak terlihat membela salah satu pihak.
“Jangan merasa harus mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang enggak perlu karena bisa dianggap oleh mereka sebagai upaya ikut campur atau ikut memengaruhi,” kata Teuku.
Mengapa Thailand dan Kamboja bertempur?
Percekcokan wilayah perbatasan ini bermula lebih dari 100 tahun lalu saat batas-batas kedua negara ditetapkan setelah penjajahan Prancis di Kamboja.
Hubungan keduanya menjadi tegang pada 2008. Saat itu Kamboja mencoba mendaftarkan sebuah kuil abad ke-11 yang berada di wilayah sengketa sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Langkah ini disambut protes keras dari Thailand
Getty ImagesSeorang tentara Thailand sedang berjaga di kuil kuno Khmer yang disengketakan, Prasat Ta Muen Thom, di wilayah sengketa perbatasan Thailand-Kamboja.
Selama bertahun-tahun terjadi bentrokan secara sporadis yang menewaskan tentara dan warga sipil di kedua belah pihak.
Pertempuran yang saat ini berlangsung berawal ketika pada Mei lalu seorang tentara Kamboja tewas dalam bentrokan. Hal ini membuat hubungan bilateral Thailand-Kamboja mencapai titik terendah dalam lebih dari satu dekade.
Dalam dua bulan terakhir, kedua negara memberlakukan pembatasan di perbatasan satu sama lain. Kamboja melarang impor dari Thailand seperti buah-buahan dan sayuran, serta menghentikan impor layanan listrik dan internet.
Kedua negara juga telah memperkuat kehadiran pasukan di sepanjang perbatasan dalam beberapa minggu terakhir.
Sejarah hubungan Thailand-Kamboja
Ini bukan pertama kalinya terjadi ketegangan antara Thailand dan Kamboja. Setiap kali tensi meningkat, biasanya disebabkan oleh sengketa perbatasan atau ketegangan politik, seperti:
Pada 1958 dan 1961, Kamboja mengakhiri hubungan diplomatik dengan Thailand terkait sengketa Kuil Preah Vihear.
Pada 2003, menyusul kerusuhan dan serangan terhadap Kedutaan Besar Thailand di Phnom Penh, Perdana Menteri Thailand saat itu, Thaksin Shinawatra, melancarkan Operasi Pochentong. Operasi ini mengirimkan pesawat militer untuk mengevakuasi semua warga negara dan diplomat Thailand dari Kamboja dan mengusir diplomat Kamboja sebagai balasan.
Pada 2008 dan 2011, bentrokan militer pecah di Kuil Preah Vihear.
Pada 2009, Thailand menurunkan hubungan sebagai tanggapan atas dukungan Kamboja terhadap mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, yang saat itu sedang diasingkan.
Ke mana arah konflik ini?
Perdana Menteri sementara Thailand, Phumtham Wechayachai, mengatakan sengketa dengan Kamboja tetap “sensitif” dan harus ditangani dengan hati-hati, serta sesuai dengan hukum internasional.
Di sisi lain, Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, mengatakan negaranya ingin menyelesaikan sengketa secara damai. Mereka mengaku “tidak punya pilihan” selain “menanggapi agresi bersenjata dengan kekuatan bersenjata”.
Pada masa lalu, meskipun telah terjadi saling serang yang serius, situasi-situasi tersebut mereda relatif cepat.
Pada pertikaian saat ini, kedua negara kekurangan pemimpin yang punya kekuatan dan keyakinan untuk mundur dari konfrontasiwalau tampaknya pertempuran terkini tak akan meluas menjadi perang besar-besaran.
Hun Manet, putra dari seorang mantan penguasa yang kuat, belum benar-benar punya otoritasnya sendiri. Ayah Hun Manet, Hun Sen, tampaknya bersedia memperdalam konflik ini untuk memperkuat reputasi nasionalisnya.
Di Thailand, pemerintahan koalisi saat ini tampak rapuh.
Meskipun Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra disokong ayahnya, Thaksin Shinawatra, dan Thaksin punya hubungan pribadi yang dekat dengan Hun Sen dan keluarganya, namun dia merasa dikhianati keputusan Hun Sen untuk membocorkan percakapan pribadi yang mengakibatkan Paetongtarn diskors sebagai perdana menteri oleh Mahkamah Konstitusi Thailand.
Reportase tambahan oleh May Titthara di Phnom Penh.
Lihat juga Video: DPR Minta Pemerintah Evakuasi WNI di Area Perang Thailand-Kamboja
(nvc/nvc)
-

Pakar sebut lembaga penyiaran dan platform digital dua spesies berbeda
Jakarta (ANTARA) – Pakar hukum Universitas Padjadjaran Prof. Ahmad M. Ramli mengatakan bahwa lembaga penyiaran dan platform digital merupakan dua spesies berbeda sehingga tidak mungkin mengeneralisasikan dalam sebuah definisi materi muatan regulasi yang sama.
“Berdasar anatomi digitalnya, lembaga penyiaran dan platform digital adalah dua spesies yang berbeda, sehingga tidak mungkin mengeneralisasikannya dalam sebuah definisi materi muatan regulasi. Berbeda dengan lembaga penyiaran, platform digital beroperasi di luar persyaratan Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Pers,” kata Ahmad Ramli.
Hal itu disampaikannya dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) Komisi I DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.
Untuk itu, dia menyebut apabila akan menggabungkan lembaga penyiaran dan platform digital ke dalam satu pengaturan di bawah undang-undang yang sama maka harus secara proporsionalitas membedakan mana-mana yang akan menjadi hak dan kewajiban dari kedua lembaga tersebut.
Dia pun menyebut dari sisi statusnya, platform digital tidak dapat disamakan dengan lembaga penyiaran karena memiliki karakter dan fungsi yang berbeda secara fundamental.
Dia menjelaskan lembaga penyiaran bersifat kuratif, mengelola dan mengontrol isi siaran berdasarkan prinsip jurnalistik dan etika profesi, serta bertanggung jawab atas isi kontennya.
Sedangkan, platform digital berbasis user-generated content (UGC), seperti YouTube, Instagram, TikTok juga membuka peluang bagi siapa saja menjadi kreator konten hanya dengan bermodal perangkat dan koneksi internet.
Untuk itu, dia menggarisbawahi bahwa menyamakan platform digital dengan lembaga penyiaran tidak produktif bagi industri penyiaran itu sendiri, industri pers, ataupun untuk publik yang mengkonsumsi informasi.
Dia juga mengingatkan pentingnya prinsip equal playing field dalam mengatur regulasi antara platform digital dan lembaga penyiaran.
“Regulasi berbasis prinsip equal playing field bisa mencakup hal-hal sebagai berikut. Pertama, regulasi proporsional berbasis karakteristik teknologi yang membedakan lembaga penyiaran dan platform digital,” tuturnya.
Dia lantas berkata, “Kedua, menegaskan bahwa lembaga penyiaran dapat menggunakan model platform, model multiplatform dalam memenuhi saluran konten berkualitas dan terpercayanya kepada audiens”.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4217764/original/091917600_1667820314-Pemerintah_Targetkan_14_juta_pekerja_menerima_BSU-ANGGA_7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)