Institusi: University of California

  • Polisi Tangkap Ratusan Mahasiswa Demonstran Pro-Palestina di New York

    Polisi Tangkap Ratusan Mahasiswa Demonstran Pro-Palestina di New York

    New York City

    Sekitar 300 orang ditahan pihak kepolisian di Columbia University dan City college di New York. Sementara itu, bentrokan antara kelompok pengunjuk rasa yang berseteru pecah di Los Angeles, Amerika Serikat (AS).

    Pada Rabu (01/05), pihak kepolisian mendapat panggilan dari sejumlah perguruan tinggi di Amerika Serikat menyusul gelombang aksi protes mahasiswa pro-Palestina.

    Aksi demonstrasi ini dilakukan oleh mahasiswa untuk memprotes dukungan akademik dan pemerintah di tengah gempuran serangan Israel terhadap Gaza.

    Berdasarkan klaim data dari Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas, lebih dari 34.500 orang di wilayah Palestina tewas sejak awal operasi militer Israel.

    Merespons aksi demonstrasi ini, Israel menudingnya sebagai contoh antisemitisme dari universitas-universitas di Amerika. Tuduhan Israel ini kemudian dibantah oleh sejumlah kelompok mahasiswa.

    Perkemahan mahasiswa pro-Palestina merupakan aksi demonstrasi paling luas dan berkepanjangan, yang mengguncang sejumlah kampus di Amerika Serikat sejak aksi protes menentang perang Vietnam pada tahun 1960-an dan 1970-an.

    Polisi bubarkan demonstran di Columbia University

    Pada Selasa (30/04) malam waktu setempat, polisi New York membubarkan demonstrasi yang telah melumpuhkan aktivitas di Columbia University selama hampir dua minggu. Dalam pembubaran itu, polisi menangkap puluhan orang.

    Dia mengklaim bahwa pendudukan gedung perkuliahan itu dipimpin oleh “sejumlah oknum yang tidak berafiliasi dengan pihak kampus.” Namun, dia tidak memberikan bukti untuk pernyataan ini.

    Shafik juga meminta kepolisian untuk tetap berjaga di kampus setidaknya sampai tanggal 17 Mei demi “memastikan perkemahan tidak didirikan lagi.”

    Acara wisuda Columbia University biasanya digelar di alun-alun pusat kampus, tempat di mana perkemahan demonstran didirikan. Wisuda kampus ini sendiri direncanakan berlangsung pada 15 Mei.

    Pada Rabu (01/05), Wali Kota New York, Eric Adams, turut menuding bahwa aksi massa pro-Palestina bukanlah mahasiswa. Menurutnya, demonstran tersebut merupakan para penghasut profesional. Namun, dia tidak memberikan bukti terkait hal ini.

    “Setelah saya mengetahui adanya oknum dari luar yang ikut dalam insiden ini. Seperti yang disebutkan dalam surat permintaan pihak Columbia kepada kepolisian New York, jelas bahwa kami harus mengambil tindakan yang tepat, karena divisi intelijen kami mengidentifikasi bahwa demonstran adalah profesional yang terlatih,” kata Eric Adams dalam acara CBS Morning.

    Bentrok antar pengunjuk rasa di UCLA

    Pada Rabu (01/05), pihak University of California, Los Angeles (UCLA) turut memanggil pihak kepolisian. Saat itu, dua kelompok pengunjuk rasa yang saling bermusuhan bentrok di dalam kampus.

    Dalam sebuah rekaman yang telah diverifikasi kantor berita Reuters, para demonstran yang saling berseteru itu terlihat menggunakan tongkat dan galah untuk menyerang sebuah tenda yang didirikan oleh para massa aksi pro-Palestina.

    Rektor UCLA Gene Block menyebut bahwa orang-orang yang “tidak berafiliasi dengan kampus kami” terlibat dalam insiden tersebut. Hanya saja, dia tidak memberikan bukti atas klaimnya tersebut.

    Pihak kepolisian Los Angeles kemudian mengonfirmasi bahwa mereka datang karena merespons permintaan dari pihak kampus untuk memulihkan ketertiban “lantaran adanya sejumlah tindak kekerasan terhadap perkemahan di kampus mereka.”

    Katy Yaroslavsky, seorang anggota dewan Los Angeles yang daerah pilihannya mencakup kampus UCLA, mengatakan bahwa situasi sudah tidak terkendali.

    “Setiap orang punya hak untuk bebas berbicara dan melakukan protes, tapi situasi di kampus UCLA sudah tidak terkendali dan tidak aman,” ujar dia di akun media sosial.

    Penangkapan di sejumlah kampus di seluruh Amerika Serikat

    Penangkapan telah terjadi di sejumlah kampus di Amerika Serikat dalam beberapa hari terakhir.

    Dalam sebuah rekaman yang diunggah pada Selasa (30/04), pihak kepolisian terlibat dalam bentrokan dengan para aksi massa pro-Palestina di City College of New York. Petugas terlihat menjatuhkan pengunjuk rasa ke tanah.

    Selain itu, petugas juga menurunkan bendera Palestina yang dikibarkan pada tiang bendera kampus, dan menggantinya dengan bendera Amerika.

    Pada hari yang sama di Northern Arizona University, polisi anti huru-hara berpakaian lengkap, menangkap sekitar 20 orang karena dianggap masuk tanpa izin. Satu orang dijatuhkan ke tanah.

    Polisi juga membubarkan perkemahan pro-Palestina di Tulane University, New Orleans pada Rabu (01/05). Setidaknya enam orang ditangkap, dan pihak kampus juga menskors tujuh mahasiswa.

    Sementara itu, Brown University di negara bagian East Coast, Rhode Island, membuat kesepakatan dengan aksi massa pro-Palestina. Pihak pengunjuk rasa bakal menutup perkemahan mereka dengan imbalan para administrator akan mengadakan pemungutan suara pada Oktober guna mempertimbangkan untuk melepaskan diri dari Israel.

    mh/pkp/hp (AP, AFP, Reuters)

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Benarkah Daging Buatan Laboratorium Mengandung Sel Kanker?

    Benarkah Daging Buatan Laboratorium Mengandung Sel Kanker?

    Jakarta

    Sebuah perusahaan rintisan atau startup di Jerman, yang membudidayakan daging di laboratorium telah berhasil meyakinkan badan keamanan pangan Eropa untuk kemungkinan menjual produk mereka di supermarket.

    Pertengahan September, perusahaan start up bernama The Cultivated B itu memulai diskusi awal dengan Otoritas Keamanan Pangan Eropa. Badan tersebut akhirnya menyetujui penjualan “produk sosis hibrida yang terbuat dari bahan-bahan vegan, termasuk sejumlah besar daging hasil budidaya.”

    Mungkin butuh berbulan atau tahunan untuk bisa sampai benar-benar memajang dan menjual sosis hibrida itu di rak-rak supermarket di Eropa. Tapi di bagian dunia lain, daging buatan lab sudah mulai diperjualbelikan. Juni 2023, regulator AS menyetujui penjualan daging ayam hasil budidaya laboratorium. Sementara Singapura telah jadi negara pertama yang menyetujui penjualan daging hasil budidaya sel pada 2020.

    Sejumlah orang yang skeptis menyebut produk daging itu dengan sebutan “Frankenmeat”.

    Terbuat dari sel kanker dan bisa sebabkan kanker?

    Hal ini jadi perhatian utama banyak orang yang skeptis terhadap daging hasil budidaya lab. Sejumlah orang yakin daging tersebut berasal dari sel tumor yang mampu tumbuh dengan cepat. Salah satu komentator menulis baru-baru ini dalam kolom komentar video DW, Planet A, “daging yang dihasilkan di laboratorium benar-benar menggunakan sel kanker.”

    Pada bulan Februari 2023, sebuah artikel yang diterbitkan bekerja sama dengan Bloomberg Businessweek menuliskan, “sel daging normal tidak terus membelah diri selamanya.” Laporan tersebut menyatakan, sebuah startup daging budidaya “secara diam-diam menggunakan apa yang disebut sel yang diabadikan (…) sebagai bahan utama penelitian medis (yang), secara teknis, bersifat pra-kanker dan, dalam beberapa kasus, sepenuhnya bersifat kanker.”

    Tapi itu tidak sepenuhnya benar. Ilmuwan pangan memang menggunakan sel untuk menumbuhkan daging, namun mereka bekerja dengan sel induk alias sel punca dari hewan hidup atau telur yang telah dibuahi.

    “Mirip dengan apa yang terjadi di dalam tubuh hewan, sel-sel ini diberi makan media kultur sel kaya oksigen yang terdiri dari nutrisi dasar seperti asam amino, glukosa, vitamin, dan garam anorganik, dan dilengkapi dengan faktor penumbuh dan protein lainnya,” jelas institut tersebut.

    Perubahan nutrisi kemudian memicu sel-sel untuk berdiferensiasi menjadi otot rangka, lemak, dan jaringan ikat yang membentuk daging. Jika sudah siap dipanen, dagingnya bisa diberi tekstur dan bentuk yang familiar lalu dikemas untuk dijual. Keseluruhan proses memakan waktu antara 2 hingga 8 minggu, tergantung jenis dagingnya.

    Dan sel-sel tersebut jelas tidak bersifat menyebabkan kanker, menurut Elliot Swartz, ilmuwan utama di Good Food Institute.

    “Anda tidak bisa menyamakan sel yang diabadikan dengan kanker,” tulis Swartz di Twitter. “Meskipun semua kanker bisa diabadikan, tidak semua sel yang diabadikan adalah kanker.” Dia mengatakan produsen “memiliki insentif yang besar … untuk menggunakan sel yang dapat diprediksi, dikendalikan, dan stabil,” dan tidak termasuk sel kanker.

    Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA), yang bertanggung jawab atas keamanan pangan di Amerika Serikat, juga membantah klaim penggunaan sel-sel kanker untuk memproduksi daging buatan laboratorium dan mengatakan, sel-sel ini bahkan tidak punya kemampuan untuk membentuk tumor.

    Mengenai klaim bahwa daging hasil budidaya dapat menyebabkan kanker pada orang yang memakannya, Badan Pangan Dunia (FAO) menyatakan, “pengetahuan ilmiah saat ini tidak mendukung kemungkinan penularan kanker pada manusia melalui masuknya sel bahkan dari manusia lain.”

    Daging buatan lebih ramah lingkungan?

    Peternakan tradisional diketahui menimbulkan dampak buruk bagi planet ini. Menurut FAO, peternakan bertanggung jawab atas sekitar 14,5% dari seluruh emisi gas rumah kaca global yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Memproduksi 1 kilogram daging sapi, misalnya, menghasilkan emisi yang setara dengan hampir 100 kilogram karbon dioksida, menurut perhitungan Statista tahun 2021.

    Namun pada bulan April 2023, para peneliti di University of California, Davis merilis studi pracetak yang menunjukkan, “dampak lingkungan” dari produksi daging yang dikembangkan di laboratorium “kemungkinan besar akan lebih tinggi daripada produksi daging sapi rata-rata” jika menggunakan metode produksi yang ada saat ini atau yang akan segera dikembangkan.

    Studi mereka memang belum melalui proses peer-review. Studi ini didasarkan pada energi yang diperlukan dan emisi gas rumah kaca dalam seluruh tahapan produksi daging sapi, baik untuk daging tradisional maupun di lab.

    Namun penelitian sebelumnya menyimpulkan, daging hasil budidaya dapat secara signifikan mengurangi dampak lingkungan dari peternakan konvensional. Analisis pada Januari 2023 mengenai produksi daging budidaya pada tahun 2030 menemukan, daging produksi laboratorium dapat menurunkan jejak karbon produksi daging sapi hingga 14 kilogram CO2. Namun ini juga masih tergantung pada banyak variabel, termasuk apakah energi terbarukan digunakan dalam proses produksi.

    Nutrisinya bisa diatur

    Dalam sebuah artikel pada bulan Maret 2020 yang diterbitkan di jurnal Frontiers in Nutrition, penulis menunjukkan, banyak “protein, vitamin, mineral, dan nutrisi penting lain yang berkualitas tinggi” dalam daging tradisional bukanlah diproduksi oleh otot hewan, bagian yang kita makan, melainkan berasal dari apa yang dimakan dan dicerna hewan tersebut.

    Wolfgang Gelbmann, peneliti di Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA), mengatakan, daging yang dikembangkan di laboratorium bukan lantas berarti kurang bergizi dibandingkan daging konvensional. Selain itu, Gelbmann mengatakan, daging budidaya juga dapat menghindari banyak kontaminan potensial yang ditemukan pada hewan ternak sepertip pestisida, zat aditif, antibiotik, dan polutan lingkungan. Kontaminan tersebut dapat dijauhkan dari laboratorium yang steril, jika semuanya dilakukan dengan benar.

    Beberapa peneliti bahkan mengatakan daging hasil budidaya bisa lebih sehat dibandingkan daging tradisional. “Hal ini disebabkan oleh kemampuan teknologi untuk memodifikasi profil asam amino esensial dan lemak, serta diperkaya dengan vitamin, mineral, dan senyawa bioaktif,” tulis pakar kebersihan makanan asal Yunani, Daniel Sergelidis, dalam Biomedical Journal of Scientific & Technical Research.

    Namun karena produksi daging yang dikembangkan di laboratorium masih merupakan industri yang relatif kecil, masih terlalu dini untuk mengetahui dampak buruknya terhadap lingkungan maupun manfaat nutrisinya.

    (ae/as)

    (ita/ita)

  • Planet Ekstrasurya Akhirnya Tertangkap Webb, Ada Tanda Kehidupan?

    Planet Ekstrasurya Akhirnya Tertangkap Webb, Ada Tanda Kehidupan?

    Jakarta, CNN Indonesia

    Teleskop antariksa James Webb (JWST) menangkap foto exoplanet alias planet ekstrasurya pertamanya. Bagaimana bisa menangkap objek angkasa yang amat sukar difoto langsung?

    Foto pertama itu diungkap Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) pada Kamis (1/9). Isinya adalah planet di luar tata surya kita yang bernama HIP 65426 b yang ditangkap lewat observasi teleskop inframerah.

    Planet yang disebut masih berusia muda ini memiliki massa enam hingga delapan kali massa Jupiter, planet terbesar di tata surya kita yang berdiameter 142.984 km. Sebagai perbandingan, Jupiter menurut Universe Today mampu menampung 1.300 Bumi.

    Exoplanet gas ini diketahui mengorbit bintang tipe-A yang berukuran sekitar dua kali ukuran Matahari dan berjarak sekitar 349 tahun cahaya dari Bumi di konstelasi Centaurus.

    “Ini adalah momen penting karena berbagai alasan,” ujar Aarynn Carter, penulis utama dan peneliti pascadoktoral di University of California, Santa Cruz, seperti dikutip Live Science.

    “Pertama, ini adalah pertama kalinya kami mencitrakan sebuah planet dengan panjang gelombang lebih dari 5 mikron,” tambahnya.

    Mikron atau mikrometer adalah cara para ilmuwan mengukur panjang gelombang cahaya dalam spektrum elektromagnetik. Cahaya inframerah memiliki panjang gelombang lebih panjang daripada cahaya tampak, hingga 0,75 mikron.

    Tidak seperti teleskop luar angkasa lainnya, JWST dapat mencakup kisaran 0,6 hingga 28 mikrometer. Sebagai perbandingan, Teleskop Luar Angkasa Hubble hanya dapat menangkap cahaya inframerah hingga 2,5 mikron sementara teleskop berbasis darat maksimal pada 2,2 mikron.

    JWST pun memberi astronom pandangan yang jauh lebih luas tentang objek daripada teleskop-teleskop sebelumnya.

    “Kita dapat menutupi rentang panjang gelombang bercahaya dari objek-objek ini dan mendapatkan batasan ketat pada luminositasnya, dan, pada gilirannya, sifat-sifat lain, seperti massa, suhu, dan jari-jari,” kata Carter.

    Sulit diamati

    Para astronom mengamati HIP 65426 b menggunakan tujuh filter yang masing-masing memungkinkan panjang gelombang cahaya inframerah tertentu untuk melewatinya. Hasil yang muncul dari pengamatan ini disebut mengejutkan para peneliti.

    “Teleskop ini lebih sensitif dari yang kami harapkan, tetapi juga sangat stabil,” ujar Carter.

    Carter mengatakan JWST cukup kuat untuk mendeteksi planet ekstrasurya yang lebih kecil daripada yang pernah divisualisasikan sebelumnya.

    “Sebelumnya kami terbatas pada deteksi super-Jupiter, tetapi sekarang kami memiliki potensi untuk memotret objek yang mirip dengan Uranus dan Neptunus untuk target yang tepat,” tuturnya.

    Pencitraan exoplanet secara langsung sulit dilakukan karena planet-planet mudah hilang dalam sorotan bintang. Namun, JWST bisa memblokir cahaya yang menyilaukan menggunakan disk yang disebut koronagraf pada Kamera Inframerah Dekat dan Instrumen Inframerah jarak menengah.

    HIP 65426 b awalnya terdeteksi pada Juli 2017 dalam panjang gelombang cahaya inframerah pendek oleh para ilmuwan menggunakan Very Large Telescope (VLT) milik Observatorium Eropa Selatan di Chili.

    Planet ini kemudian dipilih untuk menguji kepresisian JWST dan untuk mencari cara terbaik melakukan pencitraan langsung planet ekstrasurya dalam cahaya inframerah-menengah.

    “Kami memilih bintang ini karena kami tahu ia memiliki planet mapan yang akan matang untuk pencitraan langsung dan karena itu akan menjadi target pertama yang luar biasa untuk menguji koronagraf JWST,” terang Sasha Hinkley, seorang profesor di Departemen Fisika & Astronomi di University of Exeter dan peneliti utama untuk salah satu dari 13 Program Sains Rilis Awal JWST.

    Dalam temuan terbaru ini, NASA tak memberi informasi apakah planet gas ini memuat peradaban alien, atau setidaknya terkait dengan peradaban alien, atau bisa menunjang kehidupan.

    Lebih lanjut, gambar exoplanet yang ditangkap JWST bukanlah yang pertama dipotret oleh manusia. Sebelumnya, teleskop Hubble sudah beberapa kali memotret gambar exoplanet.

    Meski demikian, temuan ini menjadi langkah baru dalam eksplorasi planet di luar tata surya. “Saya pikir yang paling menarik baru saja akan mulai,” kata Carter, seperti dikutip dari situs NASA.

    “Ada lebih banyak gambar exoplanet yang akan datang yang akan membentuk pemahaman kita secara keseluruhan tentang fisika, kimia, dan pembentukannya. Kami bahkan mungkin menemukan planet yang sebelumnya tidak diketahui juga,” pungkasnya.

    (lom/lth)

  • Dahsyatnya Efek Polusi Karbon Jauh Lebihi Prediksi

    Dahsyatnya Efek Polusi Karbon Jauh Lebihi Prediksi

    Jakarta, CNN Indonesia

    Polusi karbon dioksida memiliki dampak yang jauh lebih brutal dari yang dibayangkan, bahkan ketika dikonversikan dalam nilai uang, dampak polusi tersebut bernilai sangat besar.

    Dalam sebuah makalah yang diterbitkan di jurnal Nature pada Kamis (1/9), peneliti menyebut setiap ton karbon dioksida yang keluar dari cerobong asap atau knalpot menyebabkan kerusakan yang jauh lebih besar daripada yang diperhitungkan oleh pemerintah.

    Intensitas perubahan iklim yang semakin besar menyebabkan badai besar, kebakaran hutan yang ekstrem, kekeringan, dan hujan lebat. Sederet kejadian alam ini berujung pada rusaknya rumah serta banyak kehidupan di seluruh dunia.

    Para peneliti menyebut dampak sains, ekonomi, dan kesehatan yang disebabkan oleh jejak karbon ini sebagai biaya sosial karbon. Artinya, harga yang mewakili total kerusakan iklim yang ditimbulkan kepada masyarakat melalui emisi karbon.

    Pemerintah Amerika Serikat (AS) memperkirakan harga US$51 (sekitar Rp752 ribu) untuk biaya sosial karbon per ton karbon dioksida yang dikeluarkan. Dengan kata lain, ada kerusakan senilai US$51 di tahun-tahun berikutnya akibat emisi karbon.

    Sementara itu, provinsi New York memiliki biaya sosial karbon yang jauh lebih tinggi, yakni US$125 untuk setiap ton emisi karbon yang dikeluarkan. Biaya ini merupakan biaya sosial karbon yang diperbarui otoritas wilayah tersebut pada 2020.

    Meski demikian, para peneliti mengatakan biaya sosial karbon yang berlaku di AS ternyata lebih tinggi, mencapai US$185 per ton emisi karbon. Angka tersebut hampir empat kali lipat lebih besar dari yang dinyatakan pemerintahan yang dipimpin Biden.

    “Hasil kami menunjukkan bahwa kami sangat meremehkan bahaya dari setiap tambahan ton karbon dioksida di atmosfer,” kata Kevin Rennert, seorang penulis studi dan direktur inisiatif kebijakan iklim federal di Resources for the Future, sebuah organisasi nirlaba lingkungan yang berbasis di Washington, D.C, seperti dikutip AP News.

    “Dan implikasinya adalah bahwa manfaat dari kebijakan pemerintah dan tindakan lain yang mengurangi polusi pemanasan global lebih besar dari yang diperkirakan,” imbuhnya.

    Rennert dan koleganya mengatakan perlu adanya tambahan seperti perhitungan yang lebih baik dari ketidakpastian kebijakan iklim di masa depan, pertumbuhan ekonomi dan fenomena lingkungan seperti kenaikan permukaan laut.

    Tambahan ini termasuk juga kerusakan ekosistem, keanekaragaman hayati, dan kesehatan manusia, yang sebelumnya tidak diperhitungkan dalam biaya sosial karbon.

    “Kerusakan paling substansial dari perubahan iklim didorong oleh tingkat kematian yang lebih besar dari peningkatan suhu dan dampak pada sektor pertanian,” kata Rennert, seperti dikutip Japan Times.

    Lebih lanjut, para peneliti mulai menghitung dampak kerusakan dari emisi karbon pada 1980-an, tetapi pembaruan terakhir untuk pemodelan ini dilakukan pada awal hingga pertengahan 1990-an.

    “Banyak hal telah terjadi dalam ilmu pengetahuan,” kata Max Auffhammer, profesor pembangunan berkelanjutan internasional di University of California, Berkeley yang tidak terlibat dalam penelitian jurnal Nature.

    “Banyak kumpulan data yang luar biasa telah datang online bagi kami untuk mempelajari bagaimana perubahan lingkungan diterjemahkan menjadi hasil yang kami pedulikan. Jadi, itu ada di sana sekarang,” imbuhnya.

    (lom/lth)