Institusi: Universitas Pelita Harapan

  • Sebanyak 1.989 Wisudawan UPH Siap Mengukir Dampak bagi Indonesia

    Sebanyak 1.989 Wisudawan UPH Siap Mengukir Dampak bagi Indonesia

    Tangerang, 28 November 2025 – Universitas Pelita Harapan (UPH) kembali meneguhkan komitmennya dalam menghasilkan lulusan yang berdaya saing, adaptif, dan berdampak melalui Wisuda Genap Tahun Akademik 2024/2025.

    Acara yang berlangsung pada 27–28 November 2025 di Grand Chapel, UPH Kampus Lippo Village, Karawaci, Tangerang, ini melantik sebanyak 1.989 winisuda dari empat jenjang pendidikan: Doktor, Magister, Sarjana, hingga Diploma Tiga.

    Kualitas angkatan tahun ini tercermin dari capaian akademis. Lebih dari 500 winisuda berhasil meraih predikat kelulusan dengan pujian, mulai dari Cum Laude hingga Summa Cum Laude. Mengangkat tema “For I Know to Whom I Have Believed,” wisuda ini menekankan bahwa keberhasilan lulusan tidak hanya dibentuk oleh pencapaian akademis, tetapi juga oleh karakter, iman, serta ketangguhan dalam menghadapi dinamika zaman.

    Dalam sambutannya, Rektor UPH, Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc., menjelaskan bahwa tema wisuda sejalan dengan panggilan misi UPH untuk menghadirkan pendidikan yang unggul, holistik, dan transformasional. Beliau menegaskan bahwa gelar yang diraih merupakan pintu masuk menuju panggilan yang lebih besar, dan meminta para winisuda untuk membawa nilai-nilai UPH serta memberi kontribusi positif bagi masyarakat.

    Pesan mendalam juga disampaikan oleh Pendiri Yayasan Pendidikan Pelita Harapan (YPPH), Dr. (H.C.) James Riady. Ia menekankan bahwa kelulusan adalah pintu masuk menuju kedewasaan dan tanggung jawab sesungguhnya, khususnya dalam dua dunia yang menentukan hidup: keluarga dan pekerjaan.

    “Fokuslah bukan hanya pada pekerjaan, tetapi juga pada keluarga,” pesannya. Dr. James juga menyoroti pentingnya karakter dan kepedulian sosial di tengah pesatnya perkembangan teknologi, seraya menegaskan bahwa keberhasilan sejati diukur dari seberapa besar dampak yang diberikan.

    Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, turut hadir dan menyampaikan Orasi Ilmiah. Beliau menyampaikan pesan inspiratif bahwa pekerjaan seharusnya menjadi medium untuk menghadirkan nilai, makna, dan kontribusi nyata bagi sesama, bukan sekadar sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup.

    Sementara itu, Kepala LLDIKTI Wilayah III, Dr. Henri Togar Hasiholan Tambunan, S.E., M.A., mengapresiasi para lulusan dan mengingatkan mereka untuk menjadi pelajar sepanjang hayat dan tidak melupakan jasa orang tua. Ia juga mengajak mereka menjadi lulusan yang berdampak sesuai semangat “Diktisaintek Berdampak”.

    Kesiapan para lulusan untuk berkontribusi terlihat dari profil mereka. Lebih dari 73% lulusan jenjang D3/D4/S1 dan hampir 76% lulusan S2/S3 telah aktif berkarier atau mengembangkan usaha bahkan sebelum wisuda.

    Dengan dilantiknya para lulusan, mereka resmi bergabung dalam Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UPH, sebuah jejaring profesional yang siap memfasilitasi kolaborasi dan pertumbuhan untuk menjadi pemimpin yang membawa perubahan di dunia profesional, baik di tingkat nasional maupun global.

    Tangerang, 28 November 2025 – Universitas Pelita Harapan (UPH) kembali meneguhkan komitmennya dalam menghasilkan lulusan yang berdaya saing, adaptif, dan berdampak melalui Wisuda Genap Tahun Akademik 2024/2025.
     
    Acara yang berlangsung pada 27–28 November 2025 di Grand Chapel, UPH Kampus Lippo Village, Karawaci, Tangerang, ini melantik sebanyak 1.989 winisuda dari empat jenjang pendidikan: Doktor, Magister, Sarjana, hingga Diploma Tiga.
     
    Kualitas angkatan tahun ini tercermin dari capaian akademis. Lebih dari 500 winisuda berhasil meraih predikat kelulusan dengan pujian, mulai dari Cum Laude hingga Summa Cum Laude. Mengangkat tema “For I Know to Whom I Have Believed,” wisuda ini menekankan bahwa keberhasilan lulusan tidak hanya dibentuk oleh pencapaian akademis, tetapi juga oleh karakter, iman, serta ketangguhan dalam menghadapi dinamika zaman.

    Dalam sambutannya, Rektor UPH, Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc., menjelaskan bahwa tema wisuda sejalan dengan panggilan misi UPH untuk menghadirkan pendidikan yang unggul, holistik, dan transformasional. Beliau menegaskan bahwa gelar yang diraih merupakan pintu masuk menuju panggilan yang lebih besar, dan meminta para winisuda untuk membawa nilai-nilai UPH serta memberi kontribusi positif bagi masyarakat.
     
    Pesan mendalam juga disampaikan oleh Pendiri Yayasan Pendidikan Pelita Harapan (YPPH), Dr. (H.C.) James Riady. Ia menekankan bahwa kelulusan adalah pintu masuk menuju kedewasaan dan tanggung jawab sesungguhnya, khususnya dalam dua dunia yang menentukan hidup: keluarga dan pekerjaan.
     
    “Fokuslah bukan hanya pada pekerjaan, tetapi juga pada keluarga,” pesannya. Dr. James juga menyoroti pentingnya karakter dan kepedulian sosial di tengah pesatnya perkembangan teknologi, seraya menegaskan bahwa keberhasilan sejati diukur dari seberapa besar dampak yang diberikan.
     
    Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, turut hadir dan menyampaikan Orasi Ilmiah. Beliau menyampaikan pesan inspiratif bahwa pekerjaan seharusnya menjadi medium untuk menghadirkan nilai, makna, dan kontribusi nyata bagi sesama, bukan sekadar sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup.
     
    Sementara itu, Kepala LLDIKTI Wilayah III, Dr. Henri Togar Hasiholan Tambunan, S.E., M.A., mengapresiasi para lulusan dan mengingatkan mereka untuk menjadi pelajar sepanjang hayat dan tidak melupakan jasa orang tua. Ia juga mengajak mereka menjadi lulusan yang berdampak sesuai semangat “Diktisaintek Berdampak”.
     
    Kesiapan para lulusan untuk berkontribusi terlihat dari profil mereka. Lebih dari 73% lulusan jenjang D3/D4/S1 dan hampir 76% lulusan S2/S3 telah aktif berkarier atau mengembangkan usaha bahkan sebelum wisuda.
     
    Dengan dilantiknya para lulusan, mereka resmi bergabung dalam Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UPH, sebuah jejaring profesional yang siap memfasilitasi kolaborasi dan pertumbuhan untuk menjadi pemimpin yang membawa perubahan di dunia profesional, baik di tingkat nasional maupun global.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News

    (MMI)

  • Profil Tedi Bharata, Lulusan Columbia University Kini Jadi Wakil Kepala BP BUMN

    Profil Tedi Bharata, Lulusan Columbia University Kini Jadi Wakil Kepala BP BUMN

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto resmi menunjuk Tedi Bharata sebagai Wakil Kepala Badan Pengaturan Badan Usaha Milik Negara atau BP BUMN untuk mendampingi Dony Oskaria selaku Kepala BP BUMN. 

    Sebelum penunjukan, Tedi dikenal sebagai pejabat muda berpengalaman di lingkungan Kementerian BUMN. Dia sebelumnya menjabat sebagai Deputi Bidang Sumber Daya Manusia, Teknologi, dan Informasi Kementerian BUMN sejak 5 Agustus 2021 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 112/TPA Tahun 2021.

    Dalam perjalanan kariernya, Tedi pernah menjadi Staf Khusus V Menteri BUMN pada 2021, Vice President Office of The Board MIND ID pada 2019–2020, serta Investment Planning Manager di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 2016–2019.

    Pria kelahiran 31 Mei 1983 ini merupakan lulusan Universitas Pelita Harapan jurusan Komputer dan Sistem Manajemen Informasi (2005) dan meraih gelar Master of Public Administration dari Columbia University, Amerika Serikat, pada 2016.

    Sementara itu, mengutip data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) periodik KPK untuk laporan tahun 2024, Tedi tercatat memiliki harta kekayaan sebesar Rp17,30 miliar hingga Maret 2025. 

    Jumlah itu terdiri atas aset tanah dan bangunan Rp10 miliar, kendaraan Rp1 miliar, surat berharga Rp 2,22 miliar, kas setara kas Rp 2,47 miliar, harta bergerak lainnya RP 355 juta dan harta lainnya 1,30 miliar. Tedi diketahui memiliki utang Rp 50 juta.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto resmi melantik Chief Operating Officer (COO) Danantara Indonesia, Dony Oskaria, sebagai Kepala BP BUMN.

    BP BUMN lahir setelah pemerintah dan DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam rapat paripurna, Kamis (2/10/2025).

    Beleid itu menjadi payung hukum perubahan nomenklatur dari Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan BUMN yang selanjutnya disebut BP BUMN. 

    Sementara itu, berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU, pemerintah dan DPR menyepakati status Kementerian BUMN dihapus dalam RUU BUMN terbaru. Sejalan dengan itu, frasa Menteri BUMN turut diganti menjadi Kepala Lembaga. 

    “Kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang BUMN selaku wakil pemerintah pusat sebagai regulator bertugas menetapkan kebijakan, mengatur, membina, mengoordinasikan, dan mengawasi penyelenggaraan kebijakan pengelolaan BUMN,” tertulis di Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) nomor 51.

    Selanjutnya, dalam DIM nomor 53 Pasal 3C RUU BUMN disebutkan bahwa Kepala Lembaga memiliki sejumlah wewenang antara lain menetapkan arah kebijakan umum, tata kelola, peta jalan, hingga mengatur penugasan perusahaan pelat merah. 

  • 7
                    
                        Komisi III DPR Coret Hakim yang Vonis Mati Ferdy Sambo, Tetapkan 10 Calon Hakim Agung
                        Nasional

    7 Komisi III DPR Coret Hakim yang Vonis Mati Ferdy Sambo, Tetapkan 10 Calon Hakim Agung Nasional

    Komisi III DPR Coret Hakim yang Vonis Mati Ferdy Sambo, Tetapkan 10 Calon Hakim Agung
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi III DPR RI menetapkan 10 dari 16 calon hakim agung dan hakim ad hoc hak asasi manusia (HAM) yang telah mengikuti
    fit and proper test.
    Keputusan Komisi III mencoret 6 calon hakim agung diketok dalam Rapat Pleno Pemilihan dan Penetapan Calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc HAM pada Mahkamah Agung (MA) tahun 2025.
    Pada rapat tersebut, semua fraksi di Komisi III DPR RI mengungkapkan pandangan mereka terhadap para calon hakim agung.
    Setelah itu, Ketua Komisi III DPR RI Habiburrokhman, menanyakan apakah para forum menyetujui 10 calon hakim agung dan ad hoc HAM.
    “Apakah nama-nama calon hakim agung tersebut dapat disetujui?” kata Habiburrokhman, di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/9/2025).
    Menjawab pertanyaan ini, semua anggota Komisi III DPR RI menyatakan setuju.
    Palu sidang pun diketok oleh Habiburrokhman sebagai simbol penetapan keputusan Komisi III DPR RI.
    Kamar Perdata
    1. Ennid Hasanuddin, S.H., CN., M.H. – Hakim Tinggi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
    2. Dr. Heru Pramono, S.H., M.Hum. – Hakim Tinggi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
    Kamar Agama
    3. Dr. Hj. Lailatul Arofah, M.H. – Hakim Tinggi Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI.
    4. Dra. Hj. Muhayah, S.H., M.H. – Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Samarinda.
    Kamar Pidana
    5. Suradi, S.H., S.Sos., M.H. – Hakim Tinggi Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI.
    Kamar Tata Usaha Negara
    6. Dr. Hari Sugiharto, S.H., M.H. – Hakim Tinggi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara.
    Kamar Militer
    7. Dr. Agustinus Purnomo Hadi, S.H., M.H. – Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi Mahkamah Agung RI.
    Kamar Tata Usaha Negara (Khusus Pajak)
    8. Dr. Budi Nugroho, S.H., S.E., M.Hum. – Hakim Pengadilan Pajak.
    9. Dr. Diana Malemita Ginting, Ak., S.H., M.Si., M.H. – Auditor Utama Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.
    Ad Hoc HAM
    10. Dr. Moh Puguh Haryogi, S.H., Sp.N., M.H. – Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.
    Sementara itu, calon hakim agung dan ad hoc HAM yang dicoret Komisi III DPR RI adalah sebagai berikut:
    1. Alimin Ribut Sujono, Hakim Tinggi Pengadilan Banjarmasin. Ia merupakan hakim yang menjatuhkan hukuman mati kepada eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.
    2. Annas Mustaqim, Hakim Tinggi Badan Pengawas MA.
    3. Julius Panjaitan, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Bengkulu.
    4. Triyono Martanto, Hakim Pengadilan Pajak.
    5. Agus Budianto, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.
    6. Bonifasius Nadya Arybowo, Hakim Ad Hoc Tipikor pada PN Bandung.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Politik sebagai Konten: Transformasi Gerakan Sosial di Era Digital
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        8 September 2025

    Politik sebagai Konten: Transformasi Gerakan Sosial di Era Digital Nasional 8 September 2025

    Politik sebagai Konten: Transformasi Gerakan Sosial di Era Digital
    Profesor di Unika Atmajaya, Full Member Sigma Xi, The Scientific Research Honor Society, Magister Hukum di IBLAM School of Law dan Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan
    FENOMENA
    yang merebak di ruang publik Indonesia dalam beberapa minggu terakhir, memperlihatkan bagaimana dinamika politik kini tidak lagi sekadar berkutat pada ruang rapat parlemen, ruang sidang pengadilan, atau jalan-jalan kota yang penuh demonstran, tapi juga muncul sebagai konten digital yang dikonsumsi, dibagikan, dan diperdebatkan secara masif.
    Ketika gagasan politik dirangkum dalam simbol sederhana berupa angka, warna, dan infografis lalu beredar cepat melalui ponsel jutaan orang, kita menyaksikan kelahiran bentuk artikulasi politik baru.
    Tidak hanya di Indonesia, fenomena serupa telah terjadi di berbagai belahan dunia, dari Amerika Serikat dengan tagar
    #BlackLivesMatter
    , Hong Kong dengan
    Umbrella Movement
    , hingga Eropa dengan
    Fridays for Future.
    Semua menghadirkan satu pola yang semakin jelas: politik tidak lagi sekadar proses formal institusional, melainkan juga performa visual dan naratif yang dirancang agar cocok dengan logika algoritme media sosial.
    Kasus 17+8 Tuntutan Rakyat yang meledak di Indonesia adalah contoh paling mutakhir, di mana 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang disusun dengan ringkas, tapi resonan, dikemas dalam warna pink yang lembut, namun penuh makna, dan dipopulerkan oleh influenser digital yang sebelumnya tidak dikenal sebagai aktivis politik.
    Fenomena ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang masa depan demokrasi, hubungan antara estetika digital dengan substansi politik, dan sejauh mana masyarakat bisa bergantung pada gerakan berbasis viralitas untuk menyelesaikan problem struktural yang dalam.
    Masalah yang tersirat dari semua ini adalah bagaimana politik sebagai praksis kolektif kini menghadapi tantangan ganda.
    Di satu sisi, keberhasilan gerakan
    digital-first
    menunjukkan bahwa partisipasi rakyat masih sangat hidup, bahkan justru menemukan ruang ekspresi baru di luar kanal formal.
    Di sisi lain, keterbatasan struktur, kerapuhan organisasi, dan risiko superfisialitas mengintai, sebab logika media sosial cenderung lebih menyukai konten singkat, emosional, dan mudah dibagikan ketimbang argumentasi panjang yang penuh nuansa.
    Di sinilah problem konseptual muncul: apakah gerakan yang lahir dari viralitas dapat bertahan melampaui siklus trending?
    Apakah politik yang disajikan sebagai konten mampu menembus sistem hukum, kebijakan, dan birokrasi yang penuh resistensi?
    Pertanyaan semacam ini membawa kita pada dilema epistemologis dan normatif yang mengingatkan pada perdebatan lama tentang peran opini publik dalam demokrasi.
    Jürgen Habermas, dalam karya monumentalnya tentang ruang publik, menekankan pentingnya diskursus rasional yang terbentuk dalam arena komunikasi.
    Namun, pada era media sosial, yang kita hadapi bukan sekadar diskursus rasional, melainkan banjir konten yang mencampuradukkan opini, emosi, dan simbol.
    Teori-teori tentang gerakan sosial membantu kita memahami transisi ini. Manuel Castells, sosiolog asal Spanyol, dalam analisisnya tentang jaringan komunikasi, menggambarkan bahwa kekuatan masyarakat kini terletak pada kemampuan membentuk jaringan horizontal yang mem-
    bypass
    institusi formal.
    Konsep
    networked movement
    menjelaskan mengapa gerakan tanpa pemimpin tunggal, tanpa organisasi mapan, tetap bisa meluas cepat karena jaringannya bersifat desentral.
    Zeynep Tufekci, peneliti asal Turki-Amerika, juga menekankan hal serupa dalam kajiannya tentang protes digital.
    Ia menunjukkan bahwa kekuatan viralitas bisa menciptakan mobilisasi masif dalam waktu singkat, tetapi tanpa kapasitas organisasi yang kokoh, gerakan tersebut rentan kehilangan arah setelah momen awal.
    Persis di sinilah kita melihat paradoks. Gerakan 17+8 di Indonesia mampu menggalang dukungan luas hanya dalam hitungan hari. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah ia bisa bertahan lebih lama dan menghasilkan perubahan struktural nyata?
    Jika kita menggeser pandangan ke ranah filsafat politik, kita menemukan refleksi yang memperkaya analisis ini.
    Alexis de Tocqueville, ketika menganalisis demokrasi Amerika pada abad ke-19, sudah menyinggung tentang bahaya tirani mayoritas dan ketidakstabilan opini publik yang cepat berubah.
    Pada masa kini, fenomena itu menemukan bentuk digitalnya: opini publik yang viral dapat menjadi basis legitimasi sesaat, tetapi tidak selalu membawa konsistensi kebijakan.
    Hannah Arendt, dengan fokusnya pada ruang publik sebagai arena tindakan politik, menekankan pentingnya keberlanjutan dalam bertindak kolektif.
    Tanpa kesinambungan, tindakan politik mudah memudar. Refleksi ini menyoroti bahwa politik sebagai konten menghadapi tantangan menjaga keberlanjutan, bukan hanya menciptakan ledakan viral sesaat.
    Studi kasus dari berbagai negara memperlihatkan pola yang mirip. Di Amerika Serikat,
    #BlackLivesMatter
    lahir dari pengalaman diskriminasi rasial dan kekerasan polisi, lalu menjadi gerakan global melalui visual dan hashtag.
    Di Hong Kong,
    Umbrella Movement
    pada 2014 memperlihatkan bagaimana simbol sederhana—payung kuning—mampu menjadi ikon perlawanan terhadap Beijing.
    Di Swedia, Greta Thunberg memulai
    Fridays for Future
    dengan aksi personal yang difoto dan dibagikan, lalu berkembang menjadi protes iklim global.
     
    Di dunia Arab, gelombang
    Arab Spring
    berawal dari unggahan di media sosial yang kemudian menyulut revolusi.
    Di Indonesia, gerakan
    #ReformasiDikorupsi
    pada 2019 memperlihatkan kekuatan mahasiswa memobilisasi protes melalui visual digital.
    Semua ini mengajarkan bahwa viralitas adalah katalis, tetapi tidak otomatis menjamin hasil politik.
    Jika kita menganalisa lebih dalam, yang menjadi kekuatan utama gerakan digital adalah kemampuan menciptakan narasi singkat, mudah diingat, dan bersifat simbolik.
    17+8 adalah contoh sempurna: angka 17 dan 8 bukan hanya jumlah tuntutan, tetapi juga resonansi dengan 17 Agustus, hari kemerdekaan Indonesia.
    Warna pink bukan sekadar pilihan estetis, tetapi juga strategi membedakan diri dari warna-warna protes tradisional yang keras. Pink menyampaikan kesan empati, kelembutan, dan keterlibatan emosional yang lebih luas.
    Simbolisme ini sejalan dengan analisis semiotik Roland Barthes, yang menunjukkan bagaimana tanda-tanda visual dapat mengkristal menjadi mitos sosial.
    Barthes menulis bahwa mitos bukan kebohongan, melainkan cara tertentu dalam memberikan makna, dan dalam konteks ini pink menjadi mitos baru tentang perlawanan yang inklusif.
    Namun, di balik daya tarik simbolik, ada juga keterbatasan struktural. Tufekci menulis bahwa gerakan digital cenderung “mudah naik, mudah turun.”
    Tidak adanya organisasi mapan membuat mereka cepat meluas, tetapi juga cepat memudar. BLM bertahan lebih lama karena memiliki jaringan komunitas yang sudah lama ada di Amerika.
    Fridays for Future
    bertahan karena terhubung dengan isu global yang berkelanjutan. Sementara
    Umbrella Movement
    mengalami keterpecahan karena represi keras dan perbedaan strategi internal.
    Pertanyaannya, apakah 17+8 akan mengalami hal sama? Apakah ia akan menemukan struktur baru yang menghubungkan viralitas digital dengan advokasi hukum, perubahan kebijakan, atau bahkan lahirnya partai politik baru?
    Implikasinya bagi demokrasi sangat signifikan. Di satu sisi, gerakan seperti ini memperlihatkan bahwa masyarakat masih peduli, bahwa demokrasi tidak mati, dan bahwa rakyat menemukan cara kreatif menuntut keadilan.
    Di sisi lain, ada risiko bahwa pemerintah hanya melihat gerakan ini sebagai “tren medsos” yang bisa dibiarkan padam dengan sendirinya.
    Ada pula risiko bahwa partai politik justru akan meniru strategi ini untuk tujuan pencitraan, sehingga gerakan rakyat direduksi menjadi gaya kampanye. Hal ini menimbulkan dilema antara substansi dan performa.
    Jean Baudrillard, dalam teorinya tentang simulasi, mengingatkan bahwa dalam masyarakat kontemporer, tanda dan simbol sering kali lebih kuat daripada realitas itu sendiri.
    Politik sebagai konten bisa jatuh dalam jebakan simulasi, di mana performa digital lebih penting daripada hasil nyata.
    Di sinilah muncul kemungkinan solusi. Gerakan berbasis konten digital perlu mencari cara agar tidak hanya berhenti pada viralitas.
    Salah satunya adalah menjembatani antara dunia digital dan dunia formal: tuntutan yang viral harus diterjemahkan ke dalam advokasi hukum,
    judicial review,
    lobi parlemen, atau pembentukan jaringan sipil yang lebih kokoh.
    Hal ini membutuhkan kerja sama antara influenser digital dengan aktivis LSM, akademisi, dan praktisi hukum.
    Jika gerakan digital hanya berhenti pada “konten yang indah”, maka ia akan hilang bersama arus timeline. Namun, jika ia berhasil membentuk aliansi dengan struktur yang lebih berjangka panjang, maka ia dapat menjadi katalis perubahan nyata.
    Pengalaman BLM yang mendorong reformasi kepolisian, atau
    Fridays for Future
    yang memaksa isu iklim masuk agenda politik, menunjukkan bahwa hal ini mungkin dilakukan.
    Maka, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menggabungkan kekuatan viralitas dengan ketahanan institusional.
    Habermas mengingatkan bahwa ruang publik harus menghasilkan diskursus rasional, bukan hanya pertukaran opini emosional.
    Tantangannya adalah bagaimana membuat konten digital yang bukan hanya estetis, tetapi juga menyajikan argumentasi rasional yang bisa masuk ke ranah kebijakan.
    Di sinilah peran akademisi dan intelektual publik sangat penting. Mereka dapat menjadi jembatan antara konten digital yang viral dengan substansi kebijakan yang kompleks.
    Antonio Gramsci pernah menulis tentang pentingnya “intelektual organik” yang terhubung dengan rakyat.
    Dalam era digital, intelektual organik mungkin adalah mereka yang mampu menulis, berbicara, dan menyajikan analisis di media sosial tanpa kehilangan kedalaman.
    Akhirnya, kita melihat bahwa politik sebagai konten adalah gejala zaman yang tidak bisa diabaikan.
    Ia lahir dari perubahan struktur komunikasi global, dari media cetak ke televisi hingga media sosial. Ia memperlihatkan kreativitas rakyat dalam menyuarakan aspirasi.
    Ia juga menunjukkan keterbatasan, karena viralitas tidak selalu berarti keberlanjutan. Namun, justru dalam ketegangan itulah demokrasi diuji.
    Apakah ia akan mampu menyerap energi digital menjadi reformasi nyata, ataukah ia akan membiarkan energi itu hilang begitu saja.
     
    Masa depan demokrasi Indonesia, dan mungkin demokrasi global, sangat ditentukan oleh bagaimana kita menjawab pertanyaan itu.
    Gerakan 17+8, dengan semua simbol, warna, angka, dan viralitasnya, adalah cermin dari era baru politik. Ia menunjukkan potensi sekaligus risiko.
    Ia adalah tanda bahwa politik kini harus dipahami bukan hanya sebagai keputusan di ruang sidang, tetapi juga sebagai konten yang viral di layar ponsel.
    Dan jika kita menutup refleksi panjang ini, jelas bahwa 17+8 bukan sekadar episode sesaat, melainkan momen penting yang menandai pergeseran paradigma.
    Ia membuat kita menyadari bahwa generasi digital menemukan cara baru untuk berbicara, memprotes, dan menuntut. Kita tidak bisa menolaknya, karena ini adalah bahasa politik zaman ini.
    Tantangan kita adalah memastikan bahwa bahasa baru ini tidak berhenti sebagai gaya visual, melainkan menjadi jalan menuju perubahan substantif.
    Demokrasi yang sehat hanya mungkin jika energi viral di dunia maya menemukan perwujudannya di dunia nyata. Dan perjalanan itu baru saja dimulai.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KRIS dan Janji Ekuitas Layanan Kesehatan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        6 September 2025

    KRIS dan Janji Ekuitas Layanan Kesehatan Nasional 6 September 2025

    KRIS dan Janji Ekuitas Layanan Kesehatan
    Profesor di Unika Atmajaya, Full Member Sigma Xi, The Scientific Research Honor Society, Magister Hukum di IBLAM School of Law dan Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan
    TINGKAT
    kepuasan publik terhadap Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kini berada pada posisi relatif tinggi.
    Survei terbaru menunjukkan tujuh dari sepuluh peserta menyatakan puas terhadap layanan yang mereka terima.
    Bahkan, hanya segelintir yang belum pernah memanfaatkan fasilitas kesehatan melalui kartu BPJS Kesehatan.
    Angka ini menegaskan bahwa legitimasi sosial program JKN cukup kuat. Bagi masyarakat luas, JKN bukan sekadar program pemerintah, melainkan pelindung konkret, jaring pengaman ketika risiko kesehatan mengancam rumah tangga.
    Kartu ini menjelma simbol solidaritas nasional: buruh, petani, pedagang, hingga pegawai, semua berada dalam satu sistem gotong royong yang sama.
    Namun, di tengah apresiasi itu, publik dihadapkan pada wacana penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang memicu diskusi sengit.
    Tujuan KRIS sejatinya mulia: menstandarkan kualitas minimum ruang rawat inap sehingga setiap pasien, tanpa memandang kelas kepesertaan, tidak dirawat di bawah ambang mutu.
     
    Negara ingin memastikan tidak ada lagi warga yang harus berbaring di ruangan sempit tanpa privasi atau tanpa akses oksigen memadai.
    Namun, gagasan ini justru menimbulkan tafsir beragam. Sebagian pejabat menyebut KRIS berarti penghapusan kelas menjadi satu standar tunggal.
    Sebagian lain menegaskan kelas tetap ada, hanya saja setiap kelas wajib memenuhi dua belas kriteria dasar, seperti jarak antarbed, ketersediaan kamar mandi, hingga suhu ruangan yang stabil.
    Ambiguitas inilah yang menimbulkan kebingungan publik. Peserta kelas tiga cenderung mendukung karena berharap mutu meningkat, sementara peserta kelas satu khawatir kehilangan kenyamanan yang selama ini dianggap haknya.
    Masalah mendasar terletak pada makna “standar”. Dalam teori keadilan sosial, standar minimum adalah pagar bawah yang wajib dijaga negara, bukan seragam yang memaksa semua orang sama.
    Standar minimum memastikan keselamatan, privasi, dan martabat dasar, tetapi tidak meniadakan ruang bagi pilihan tambahan.
    Sayangnya, komunikasi publik gagal menjelaskan hal ini dengan gamblang. Alhasil, muncul persepsi bahwa KRIS akan menghapus diferensiasi, bukan memperbaiki mutu.
    Padahal, di banyak negara, standardisasi pelayanan dasar justru menjadi kunci keberhasilan sistem jaminan kesehatan.
    Inggris dengan National Health Service (NHS) menetapkan standar minimum perawatan, tetapi tetap memberi ruang pilihan layanan tambahan bagi mereka yang membayar lebih.
    Thailand dengan Universal Coverage Scheme juga menjaga standar dasar, sehingga tidak ada warga miskin yang tertinggal.
    Indonesia seharusnya belajar bahwa standar bukan ancaman, melainkan instrumen pemerataan.
    Kesiapan infrastruktur menjadi tantangan lain. Tidak semua rumah sakit berada pada titik yang sama.
    Rumah sakit rujukan nasional di kota besar mungkin sudah memenuhi hampir seluruh kriteria, tetapi banyak rumah sakit daerah masih tertinggal.
     
    Perpanjangan masa transisi hingga Desember 2025, adalah langkah realistis, tetapi waktu tanpa peta jalan jelas hanya berarti penundaan.
    Penerapan KRIS harus dibagi dalam tahapan yang transparan. Kriteria yang menyangkut keselamatan pasien—seperti akses oksigen, privasi, dan sanitasi—harus dipenuhi lebih dulu, sedangkan kriteria tambahan dapat menyusul.
    Tanpa pembagian prioritas, standardisasi hanya akan menjadi beban yang membingungkan.
    Persoalan biaya tidak kalah penting. Renovasi ruang, penyediaan peralatan, dan pelatihan tenaga memerlukan investasi besar.
    Rumah sakit swasta dan daerah sering kali kesulitan menanggung beban tersebut. Jika tidak ada dukungan pembiayaan proporsional, maka risiko penurunan kapasitas layanan akan muncul.
    Rumah sakit bisa mengurangi jumlah tempat tidur atau memperketat penerimaan pasien. Lebih buruk lagi, muncul praktik defensif: pasien dipulangkan lebih cepat, penanganan ditunda, atau layanan dipersulit.
    Beberapa kasus pasien yang dikembalikan ke rumah meski kondisi klinisnya belum stabil adalah peringatan bahwa garis merah pelayanan harus dijaga. Nyawa tidak boleh tunduk pada prosedur klaim.
    Transformasi digital yang selama ini dipromosikan sebagai solusi birokrasi pun belum menjawab masalah mendasar.
    Antrean daring masih tidak memotong waktu tunggu. Rujukan elektronik kerap gagal menjamin kepastian slot rumah sakit lanjutan.
    Aplikasi digital justru membebani pasien yang tidak terbiasa dengan teknologi atau tinggal di daerah dengan jaringan internet terbatas.
    Digitalisasi seharusnya diukur dari manfaat yang dirasakan pasien: lebih cepat, lebih jelas, lebih mudah.
    Jika aplikasi hanya memindahkan antrean dari loket ke layar tanpa mengurangi kerumitan, maka digitalisasi tidak lebih dari ilusi modernisasi.
    Implikasi dari persoalan ini tidak ringan. Ambiguitas definisi KRIS akan melahirkan ketidakpastian implementasi di lapangan.
    Rumah sakit akan menafsirkan aturan sesuai kapasitas masing-masing, sehingga tercipta ketidakmerataan baru, bukan hilangnya ketidakadilan lama.
    Ketidakjelasan pembiayaan akan menekan rumah sakit hingga mengorbankan akses pasien. Digitalisasi yang tidak efektif akan meningkatkan frustrasi warga, terutama generasi muda yang terbiasa dengan layanan cepat.
    Semua ini bermuara pada satu risiko paling serius: hilangnya kepercayaan publik. Padahal, kepercayaan adalah fondasi jaminan sosial.
    Tanpa kepercayaan, iuran dipandang sebagai beban, bukan gotong royong. Tanpa kepercayaan, klaim dipandang sebagai sengketa, bukan kontrak. Tanpa kepercayaan, pelayanan dipandang sebagai formalitas, bukan penyelamatan.
    Karena itu, ada beberapa langkah yang harus segera ditempuh. Pertama, pemerintah perlu menyampaikan narasi tunggal tentang KRIS, dengan ilustrasi nyata bagaimana ruang rawat akan berubah. Visualisasi sederhana lebih meyakinkan daripada jargon abstrak.
    Kedua, implementasi harus berbasis prioritas. Kriteria yang menyangkut keselamatan harus segera terpenuhi, sementara aspek lain dapat menyusul.
    Ketiga, pembiayaan transisi harus adil. Rumah sakit yang berhasil memenuhi standar layak diberi insentif, sementara yang tertinggal perlu mendapat pendampingan, bukan sanksi yang menutup layanan.
    Keempat, prosedur “zero denial” harus ditegaskan: tidak ada pasien ditolak pada kondisi darurat, tidak ada pasien dipulangkan sebelum stabil.
    Kelima, digitalisasi harus berorientasi hasil: mempercepat waktu, memperjelas rujukan, dan meningkatkan transparansi antrean. Jika aplikasi tidak memenuhi tujuan itu, lebih baik disederhanakan.
    Selain itu, penting untuk melihat KRIS bukan hanya sebagai kebijakan teknis, melainkan sebagai cermin politik kesehatan.
    Sebagai negara dengan penduduk hampir 280 juta jiwa, Indonesia sedang membangun narasi bahwa kesehatannya dijamin oleh solidaritas nasional.
    Bila kebijakan ini gagal dikomunikasikan dan dilaksanakan, yang rusak bukan hanya layanan rumah sakit, melainkan legitimasi negara di mata rakyat.
    Publik menilai negara bukan dari teks undang-undang, melainkan dari pengalaman di meja registrasi, dari sikap perawat di ruang tunggu, dari ketersediaan oksigen di ruang rawat.
    Keadilan sosial tidak diuji di ruang sidang, tetapi di ruang gawat darurat.
    Kita juga perlu belajar dari sejarah. Sejak JKN diluncurkan pada 2014, banyak kritik diarahkan pada defisit keuangan, birokrasi klaim, dan keterlambatan pembayaran rumah sakit.
    Namun, seiring waktu, sistem ini berkembang menjadi instrumen penting pemerataan kesehatan.
    Tantangan kini bukan sekadar menjaga kelangsungan finansial, melainkan memperkuat kualitas.
    KRIS adalah kesempatan untuk mengubah wajah JKN dari sekadar jaminan biaya menjadi jaminan mutu. Namun, kesempatan ini bisa berubah menjadi bumerang jika salah ditangani.
    Pada akhirnya, KRIS bukan sekadar soal kelas rawat inap, melainkan soal martabat. Standar minimum yang ditegakkan dengan konsisten adalah janji negara bahwa tidak ada warga yang dirawat di bawah garis kemanusiaan.
    Standar yang baik tidak menurunkan yang sudah baik, tetapi mengangkat yang tertinggal. Ia bukan seragam yang menghapus perbedaan, melainkan fondasi yang memastikan semua orang diperlakukan layak.
    Bila dijalankan dengan arah yang jelas, pembiayaan adil, komunikasi jujur, dan etika pelayanan yang memprioritaskan keselamatan, KRIS akan dikenang sebagai tonggak pemerataan, bukan ancaman kenyamanan.
    Standar, pada akhirnya, adalah janji. Janji bahwa di ruang rawat yang terang, dengan partisi yang menjaga privasi, oksigen yang selalu tersedia, panggilan perawat yang segera dijawab, dan kamar mandi yang memadai, negara hadir bukan sekadar sebagai pengawas, tetapi sebagai penopang.
    Dan ketika pasien pulang dengan tubuh yang pulih dan hati yang lega, kebijakan itu menemukan arti sejatinya: bukan di lembar peraturan, tetapi di kehidupan yang kembali utuh.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • ​Kerja Sama UPH dan Kemendag Dorong Wawasan dan Kontribusi Mahasiswa

    ​Kerja Sama UPH dan Kemendag Dorong Wawasan dan Kontribusi Mahasiswa

    Mohamad Mamduh • 26 Agustus 2025 16:58

    Jakarta: Sebagai wujud komitmen memperluas wawasan akademik sekaligus memperkuat kontribusi nyata bagi bangsa, Universitas Pelita Harapan (UPH) menggelar Kuliah Umum  istimewa bersama Dr. Budi Santoso, M.Si., Menteri Perdagangan Republik Indonesia, pada 25 Agustus 2025 di Auditorium D-501, Kampus UPH Lippo Village, Karawaci. Acara ini dihadiri lebih dari 500 mahasiswa lintas fakultas dengan topik utama “Kebijakan Perdagangan Indonesia.”
     
    Kuliah umum dipandu oleh Dra. Gracia Shinta S. Ugut, MBA., Ph.D., Executive Dean for the College of Business and Technology sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UPH. Momen ini menjadi kesempatan berharga bagi mahasiswa untuk memahami arah serta dinamika kebijakan perdagangan nasional secara langsung dari pengambil kebijakan.
     
    Dalam paparannya, Dr. Budi menegaskan bahwa perekonomian Indonesia tetap tangguh di tengah tantangan global, dengan ekspor sebagai salah satu motor utama. “Hingga semester I 2025 (Januari–Juni), kinerja ekspor Indonesia tumbuh 7,7% dengan nilai mencapai US$ 135,41 miliar atau sekitar Rp 2.220 triliun. Surplus perdagangan meningkat menjadi US$ 19,48 miliar (Rp 319 triliun). Capaian ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi sekaligus menempatkan Indonesia pada posisi unggul di kawasan ASEAN,” jelasnya.
     
    Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa struktur ekspor Indonesia kini semakin beragam dan bernilai tambah. Jika 15 tahun lalu ekspor didominasi bahan mentah, saat ini 83% berasal dari industri pengolahan, disusul pertambangan dan pertanian. Beberapa komoditas utama meliputi kakao dan produk olahannya, kopi, teh, rempah, timah, aluminium, serta produk kimia. Sementara itu, negara tujuan dengan pertumbuhan ekspor tertinggi antara lain Swiss, Arab Saudi, Thailand, Bangladesh, dan Singapura.
     
    Strategi Pasar Global dan Tantangan Tarif
    Dalam kesempatan tersebut, Dr. Budi juga menyoroti dinamika perdagangan global, termasuk kebijakan Amerika Serikat yang menetapkan tarif impor hingga 19 persen bagi sejumlah produk asal Indonesia. Menurutnya, meskipun aturan tersebut cukup berat, hal ini sekaligus mencerminkan bahwa produk Indonesia memiliki daya saing tinggi di pasar internasional.

    Untuk menghadapinya, pemerintah terus memperkuat strategi perdagangan melalui perundingan internasional dan upaya membuka pasar baru, termasuk ke Uni Eropa, sehingga Indonesia tidak hanya bergantung pada Amerika Serikat. “Tujuan utama kita bukan sekadar meningkatkan ekspor, tetapi juga menarik investasi yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi,” jelas Dr. Budi.

    Selain menekankan ekspor berskala besar, ia juga menggarisbawahi pentingnya peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam perdagangan internasional. Kementerian Perdagangan saat ini mengusung tiga program utama, yakni pengamanan pasar dalam negeri, perluasan akses pasar ekspor, serta peningkatan kapasitas UMKM agar mampu menembus pasar global. “Semua ini dirancang agar ekosistem ekonomi kita berjalan dengan baik,” tambahnya.

    Penandatanganan MoU UPH dan Kemendag RI
    Usai sesi kuliah umum, rangkaian acara dilanjutkan dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara UPH dan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI). Penandatanganan dilakukan secara resmi oleh Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng., Sc., Rektor UPH, dan Iqbal Shoffan Shofwan, M.Si., Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag RI.

    Dalam sambutannya, Rektor UPH menegaskan orientasi global yang diusung universitas. “UPH memiliki visi yang tidak hanya berfokus pada kebutuhan dalam negeri, tetapi juga mempersiapkan lulusan untuk berkontribusi di kancah internasional. Program keperawatan maupun pendidikan guru, misalnya, dirancang agar para lulusan siap mengabdi di Indonesia maupun di luar negeri. Karena itu, kami sangat berbahagia menyambut kehadiran Bapak Menteri di kampus ini. Harapan kami, mahasiswa UPH semakin siap memberikan pelayanan terbaik sekaligus mengabdi bagi bangsa,” ungkap Dr. Parapak.

    Kerja sama ini menjadi langkah konkret dalam mengimplementasikan Tridarma Perguruan Tinggi, khususnya di bidang perdagangan. Ruang lingkupnya meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat; pengembangan sumber daya manusia di sektor perdagangan; serta penguatan kewirausahaan dan pemberdayaan UMKM.

    Penandatanganan MoU turut disaksikan oleh Dr. Stephanie Riady, B.A., M.Ed., selaku President of UPH, bersama jajaran pimpinan universitas, antara lain Dr. Jerry Sambuaga, B.A., M.I.A. (Vice Rector of External Affairs); Eric Jobiliong, Ph.D. (Vice President of Academics, Research, & Innovation); dan Dr. Andry Panjaitan, S.T., M.T., CPHCM. (Associate Vice President of Student Development, Alumni, and Corporate Relations).

    Kehadiran jajaran pejabat kunci dari Kemendag RI semakin menegaskan pentingnya sinergi ini, termasuk Dr. Sukoco, S.TP., M.S.E. (Kepala Biro Perencanaan); Ni Made Kusuma Dewi, S.H., M.E. (Kepala Biro Hubungan Masyarakat); serta Dewi Rokhayati, S.S. (Direktur Pemasaran Produk Dalam Negeri).

    Melalui kuliah umum bersama Mendag RI serta penandatanganan kerja sama strategis dengan Kementerian Perdagangan RI, UPH menegaskan komitmennya dalam mempersiapkan mahasiswa tidak hanya dengan wawasan akademik, tetapi juga pengalaman nyata di bidang terkait. Sinergi ini menjadi langkah nyata bagi UPH dalam mencetak generasi muda yang takut akan Tuhan, unggul dalam kompetensi, dan berdampak bagi bangsa serta dunia.

    Jakarta: Sebagai wujud komitmen memperluas wawasan akademik sekaligus memperkuat kontribusi nyata bagi bangsa, Universitas Pelita Harapan (UPH) menggelar Kuliah Umum  istimewa bersama Dr. Budi Santoso, M.Si., Menteri Perdagangan Republik Indonesia, pada 25 Agustus 2025 di Auditorium D-501, Kampus UPH Lippo Village, Karawaci. Acara ini dihadiri lebih dari 500 mahasiswa lintas fakultas dengan topik utama “Kebijakan Perdagangan Indonesia.”
     
    Kuliah umum dipandu oleh Dra. Gracia Shinta S. Ugut, MBA., Ph.D., Executive Dean for the College of Business and Technology sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UPH. Momen ini menjadi kesempatan berharga bagi mahasiswa untuk memahami arah serta dinamika kebijakan perdagangan nasional secara langsung dari pengambil kebijakan.
     
    Dalam paparannya, Dr. Budi menegaskan bahwa perekonomian Indonesia tetap tangguh di tengah tantangan global, dengan ekspor sebagai salah satu motor utama. “Hingga semester I 2025 (Januari–Juni), kinerja ekspor Indonesia tumbuh 7,7% dengan nilai mencapai US$ 135,41 miliar atau sekitar Rp 2.220 triliun. Surplus perdagangan meningkat menjadi US$ 19,48 miliar (Rp 319 triliun). Capaian ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi sekaligus menempatkan Indonesia pada posisi unggul di kawasan ASEAN,” jelasnya.
     
    Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa struktur ekspor Indonesia kini semakin beragam dan bernilai tambah. Jika 15 tahun lalu ekspor didominasi bahan mentah, saat ini 83% berasal dari industri pengolahan, disusul pertambangan dan pertanian. Beberapa komoditas utama meliputi kakao dan produk olahannya, kopi, teh, rempah, timah, aluminium, serta produk kimia. Sementara itu, negara tujuan dengan pertumbuhan ekspor tertinggi antara lain Swiss, Arab Saudi, Thailand, Bangladesh, dan Singapura.
     
    Strategi Pasar Global dan Tantangan Tarif
    Dalam kesempatan tersebut, Dr. Budi juga menyoroti dinamika perdagangan global, termasuk kebijakan Amerika Serikat yang menetapkan tarif impor hingga 19 persen bagi sejumlah produk asal Indonesia. Menurutnya, meskipun aturan tersebut cukup berat, hal ini sekaligus mencerminkan bahwa produk Indonesia memiliki daya saing tinggi di pasar internasional.
     
    Untuk menghadapinya, pemerintah terus memperkuat strategi perdagangan melalui perundingan internasional dan upaya membuka pasar baru, termasuk ke Uni Eropa, sehingga Indonesia tidak hanya bergantung pada Amerika Serikat. “Tujuan utama kita bukan sekadar meningkatkan ekspor, tetapi juga menarik investasi yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi,” jelas Dr. Budi.
     
    Selain menekankan ekspor berskala besar, ia juga menggarisbawahi pentingnya peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam perdagangan internasional. Kementerian Perdagangan saat ini mengusung tiga program utama, yakni pengamanan pasar dalam negeri, perluasan akses pasar ekspor, serta peningkatan kapasitas UMKM agar mampu menembus pasar global. “Semua ini dirancang agar ekosistem ekonomi kita berjalan dengan baik,” tambahnya.

    Penandatanganan MoU UPH dan Kemendag RI
    Usai sesi kuliah umum, rangkaian acara dilanjutkan dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara UPH dan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI). Penandatanganan dilakukan secara resmi oleh Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng., Sc., Rektor UPH, dan Iqbal Shoffan Shofwan, M.Si., Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag RI.
     
    Dalam sambutannya, Rektor UPH menegaskan orientasi global yang diusung universitas. “UPH memiliki visi yang tidak hanya berfokus pada kebutuhan dalam negeri, tetapi juga mempersiapkan lulusan untuk berkontribusi di kancah internasional. Program keperawatan maupun pendidikan guru, misalnya, dirancang agar para lulusan siap mengabdi di Indonesia maupun di luar negeri. Karena itu, kami sangat berbahagia menyambut kehadiran Bapak Menteri di kampus ini. Harapan kami, mahasiswa UPH semakin siap memberikan pelayanan terbaik sekaligus mengabdi bagi bangsa,” ungkap Dr. Parapak.
     
    Kerja sama ini menjadi langkah konkret dalam mengimplementasikan Tridarma Perguruan Tinggi, khususnya di bidang perdagangan. Ruang lingkupnya meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat; pengembangan sumber daya manusia di sektor perdagangan; serta penguatan kewirausahaan dan pemberdayaan UMKM.
     
    Penandatanganan MoU turut disaksikan oleh Dr. Stephanie Riady, B.A., M.Ed., selaku President of UPH, bersama jajaran pimpinan universitas, antara lain Dr. Jerry Sambuaga, B.A., M.I.A. (Vice Rector of External Affairs); Eric Jobiliong, Ph.D. (Vice President of Academics, Research, & Innovation); dan Dr. Andry Panjaitan, S.T., M.T., CPHCM. (Associate Vice President of Student Development, Alumni, and Corporate Relations).
     
    Kehadiran jajaran pejabat kunci dari Kemendag RI semakin menegaskan pentingnya sinergi ini, termasuk Dr. Sukoco, S.TP., M.S.E. (Kepala Biro Perencanaan); Ni Made Kusuma Dewi, S.H., M.E. (Kepala Biro Hubungan Masyarakat); serta Dewi Rokhayati, S.S. (Direktur Pemasaran Produk Dalam Negeri).
     
    Melalui kuliah umum bersama Mendag RI serta penandatanganan kerja sama strategis dengan Kementerian Perdagangan RI, UPH menegaskan komitmennya dalam mempersiapkan mahasiswa tidak hanya dengan wawasan akademik, tetapi juga pengalaman nyata di bidang terkait. Sinergi ini menjadi langkah nyata bagi UPH dalam mencetak generasi muda yang takut akan Tuhan, unggul dalam kompetensi, dan berdampak bagi bangsa serta dunia.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News

    (MMI)

  • Awal Perjalanan, UPH Festival 2025 Bangkitkan Karakter Mahasiswa Baru

    Awal Perjalanan, UPH Festival 2025 Bangkitkan Karakter Mahasiswa Baru

    Jakarta: Universitas Pelita Harapan Festival 2025 resmi ditutup melalui Closing Celebration pada Sabtu malam, 16 Agustus 2025. Mengusung tema “For I Know to Whom I Have Believed”, perayaan ini juga momentum awal memasuki Tahun Akademik 2025/2026.

    Malam penutupan tampil melalui kolaborasi musik mahasiswa baru dan alumni, dipadukan dengan penampilan dari Judika. Tak lupa dengan pesta kembang api dan pertunjukan drone.

    Rocky Irvano Nanlohy, S.Sn., M.Comp., Dosen Musik UPH sekaligus Show Director menuturkan, setiap elemen pertunjukan dirancang untuk menghadirkan momen bermakna. “Closing Celebration ini kami dedikasikan sebagai sambutan hangat bagi keluarga baru UPH. Energi dari setiap penampilan diharapkan memantik semangat mahasiswa sepanjang perjalanan studi mereka, mengingatkan untuk menjaga antusiasme, membangun kolaborasi, mengejar keunggulan, dan siap memberi dampak.”

    Rocky juga menekankan hadirnya Drone Show, menjadi keunikan tersendiri untuk Closing Celebration di tahun ini. Ratusan Drone membentuk formasi cahaya dengan simbol-simbol khas UPH dan pesan inspiratif.

    “Drone Show menjadi pesan bagi generasi muda akan pentingnya kreativitas, inovasi, dan pemanfaatan teknologi secara bijak. Kami ingin mahasiswa baru merasakan bagaimana teknologi dan kolaborasi dapat berpadu menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Semoga pengalaman ini memantik imajinasi mereka untuk berinovasi dan memberi kontribusi nyata bagi bangsa,’ tambahnya.”

    Sebelum pertunjukan dimulai, Rektor UPH Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng., Sc. memukul gong sebagai simbol resmi penutupan festival sekaligus dimulainya Tahun Akademik baru.

    “Saya berharap perjalanan kalian di UPH adalah perjalanan yang dituntun dan diberkati oleh Tuhan, karena kalian tahu kepada siapa kalian percaya. Selamat bergabung dalam keluarga besar UPH, dan siaplah dipakai Tuhan secara luar biasa,” ujar Rektor UPH.

    Kemeriahan hari ketiga terasa sejak pagi lewat Founder’s 5K Run, sebuah tradisi tahunan yang menyatukan ribuan mahasiswa baru, dosen, pimpinan universitas, alumni, dan mitra UPH. Sejak pukul 06.00 WIB, peserta memenuhi lapangan sepak bola UPH untuk pemanasan dan memulai berlari dengan penuh semangat mengelilingi kawasan Lippo Village sejauh lima kilometer (5 km).
    Semangat ini turut dilengkapi dengan kehadiran Dr. (H.C.) James Riady, Founder and Chairman Yayasan Pendidikan Pelita Harapan (YPPH), serta Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc. Rektor UPH yang ikut berlari bersama mahasiswa.

    Usai menyelesaikan rute 5K, Dr. (H.C.) James Riady, semangat menyambut mahasiswa baru yang tiba di garis finis. “Kegiatan ini adalah tradisi tahunan yang tidak hanya menyehatkan fisik, tetapi juga menjadi kesempatan bagi mahasiswa untuk bertumbuh secara holistik, belajar bersatu, dan saling mengenal. Inilah yang kita butuhkan, anak-anak muda yang aktif berinteraksi dan membangun kebersamaan,” ucap James.

    Turut menyemangati mahasiswa baru di garis finis, Dr. Stephen Lester Metcalfe, Director of Sports UPH yang akrab disapa Coach Met, menegaskan bahwa Founder’s 5K Run bukan sekadar olahraga tahunan, melainkan tradisi penuh makna.

    “Lari 5 kilometer ini mengajarkan filosofi penting: Finish What You Start atau selesaikan apa yang sudah kamu mulai. Tantangannya lebih kepada mental daripada fisik, agar mahasiswa merasakan kepuasan saat berhasil menuntaskannya. Filosofi ini diharapkan menjadi bekal dalam perjalanan perkuliahan—untuk terus berjuang sampai akhirnya berhasil meraih kelulusan. Jangan berhenti di tengah jalan,” pesan Coach Met antusias.

    Seluruh mahasiswa baru berhasil menyelesaikan rute 5 kilometer dengan ritme dan kecepatan masing-masing. Salah satunya Nicholas Richard Hartono dari Fakultas Kedokteran, menjadi finisher pertama dengan catatan waktu 25 menit.

    “Saya memang hobi lari dan sudah beberapa kali ikut fun run, tapi pengalaman di UPH Festival ini berbeda. Dari seluruh rangkaian kegiatan, saya belajar bahwa penting bagi kita sebagai mahasiswa baru untuk saling bekerja sama dan mengikuti setiap kegiatan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan,” kata Nicholas.

    Hal serupa juga dirasakan Christian Alberto, mahasiswa baru Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UPH. “Ketika lari, saya mengikuti ritme sendiri tanpa memaksakan diri hanya fokus untuk mencapai garis akhir. Dari pengalaman ini, saya belajar untuk tidak pesimis dan selalu berusaha mencoba. Puji Tuhan bisa finish bahkan menempati posisi kedua,” ucap Alberto.

    Seluruh rangkaian UPH Festival 2025 berlangsung meriah dan penuh inspirasi, meninggalkan kesan mendalam bagi mahasiswa baru. Mengusung tema “For I Know to Whom I Have Believed”, festival ini menjadi pesan untuk menumbuhkan keyakinan dan semangat para mahasiswa agar siap menjadi pribadi unggul, baik dalam prestasi akademik maupun kedewasaan karakter.

    Jakarta: Universitas Pelita Harapan Festival 2025 resmi ditutup melalui Closing Celebration pada Sabtu malam, 16 Agustus 2025. Mengusung tema “For I Know to Whom I Have Believed”, perayaan ini juga momentum awal memasuki Tahun Akademik 2025/2026.
     
    Malam penutupan tampil melalui kolaborasi musik mahasiswa baru dan alumni, dipadukan dengan penampilan dari Judika. Tak lupa dengan pesta kembang api dan pertunjukan drone.
     
    Rocky Irvano Nanlohy, S.Sn., M.Comp., Dosen Musik UPH sekaligus Show Director menuturkan, setiap elemen pertunjukan dirancang untuk menghadirkan momen bermakna. “Closing Celebration ini kami dedikasikan sebagai sambutan hangat bagi keluarga baru UPH. Energi dari setiap penampilan diharapkan memantik semangat mahasiswa sepanjang perjalanan studi mereka, mengingatkan untuk menjaga antusiasme, membangun kolaborasi, mengejar keunggulan, dan siap memberi dampak.”

    Rocky juga menekankan hadirnya Drone Show, menjadi keunikan tersendiri untuk Closing Celebration di tahun ini. Ratusan Drone membentuk formasi cahaya dengan simbol-simbol khas UPH dan pesan inspiratif.
     
    “Drone Show menjadi pesan bagi generasi muda akan pentingnya kreativitas, inovasi, dan pemanfaatan teknologi secara bijak. Kami ingin mahasiswa baru merasakan bagaimana teknologi dan kolaborasi dapat berpadu menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Semoga pengalaman ini memantik imajinasi mereka untuk berinovasi dan memberi kontribusi nyata bagi bangsa,’ tambahnya.”
     
    Sebelum pertunjukan dimulai, Rektor UPH Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng., Sc. memukul gong sebagai simbol resmi penutupan festival sekaligus dimulainya Tahun Akademik baru.
     
    “Saya berharap perjalanan kalian di UPH adalah perjalanan yang dituntun dan diberkati oleh Tuhan, karena kalian tahu kepada siapa kalian percaya. Selamat bergabung dalam keluarga besar UPH, dan siaplah dipakai Tuhan secara luar biasa,” ujar Rektor UPH.
     
    Kemeriahan hari ketiga terasa sejak pagi lewat Founder’s 5K Run, sebuah tradisi tahunan yang menyatukan ribuan mahasiswa baru, dosen, pimpinan universitas, alumni, dan mitra UPH. Sejak pukul 06.00 WIB, peserta memenuhi lapangan sepak bola UPH untuk pemanasan dan memulai berlari dengan penuh semangat mengelilingi kawasan Lippo Village sejauh lima kilometer (5 km).
    Semangat ini turut dilengkapi dengan kehadiran Dr. (H.C.) James Riady, Founder and Chairman Yayasan Pendidikan Pelita Harapan (YPPH), serta Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc. Rektor UPH yang ikut berlari bersama mahasiswa.
     
    Usai menyelesaikan rute 5K, Dr. (H.C.) James Riady, semangat menyambut mahasiswa baru yang tiba di garis finis. “Kegiatan ini adalah tradisi tahunan yang tidak hanya menyehatkan fisik, tetapi juga menjadi kesempatan bagi mahasiswa untuk bertumbuh secara holistik, belajar bersatu, dan saling mengenal. Inilah yang kita butuhkan, anak-anak muda yang aktif berinteraksi dan membangun kebersamaan,” ucap James.
     
    Turut menyemangati mahasiswa baru di garis finis, Dr. Stephen Lester Metcalfe, Director of Sports UPH yang akrab disapa Coach Met, menegaskan bahwa Founder’s 5K Run bukan sekadar olahraga tahunan, melainkan tradisi penuh makna.
     
    “Lari 5 kilometer ini mengajarkan filosofi penting: Finish What You Start atau selesaikan apa yang sudah kamu mulai. Tantangannya lebih kepada mental daripada fisik, agar mahasiswa merasakan kepuasan saat berhasil menuntaskannya. Filosofi ini diharapkan menjadi bekal dalam perjalanan perkuliahan—untuk terus berjuang sampai akhirnya berhasil meraih kelulusan. Jangan berhenti di tengah jalan,” pesan Coach Met antusias.
     
    Seluruh mahasiswa baru berhasil menyelesaikan rute 5 kilometer dengan ritme dan kecepatan masing-masing. Salah satunya Nicholas Richard Hartono dari Fakultas Kedokteran, menjadi finisher pertama dengan catatan waktu 25 menit.
     
    “Saya memang hobi lari dan sudah beberapa kali ikut fun run, tapi pengalaman di UPH Festival ini berbeda. Dari seluruh rangkaian kegiatan, saya belajar bahwa penting bagi kita sebagai mahasiswa baru untuk saling bekerja sama dan mengikuti setiap kegiatan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan,” kata Nicholas.
     
    Hal serupa juga dirasakan Christian Alberto, mahasiswa baru Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UPH. “Ketika lari, saya mengikuti ritme sendiri tanpa memaksakan diri hanya fokus untuk mencapai garis akhir. Dari pengalaman ini, saya belajar untuk tidak pesimis dan selalu berusaha mencoba. Puji Tuhan bisa finish bahkan menempati posisi kedua,” ucap Alberto.
     
    Seluruh rangkaian UPH Festival 2025 berlangsung meriah dan penuh inspirasi, meninggalkan kesan mendalam bagi mahasiswa baru. Mengusung tema “For I Know to Whom I Have Believed”, festival ini menjadi pesan untuk menumbuhkan keyakinan dan semangat para mahasiswa agar siap menjadi pribadi unggul, baik dalam prestasi akademik maupun kedewasaan karakter.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

    (MMI)

  • Cicilan Rp6 Juta, Pindah Sekarang ke Rumah Milenial PIK2

    Cicilan Rp6 Juta, Pindah Sekarang ke Rumah Milenial PIK2

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Rumah dengan lokasi strategis, fasilitas lengkap, dan harga terjangkau kini bukan sekadar wacana. PIK2 menghadirkan Rumah Milenial, hunian siap huni dengan cicilan mulai Rp6 juta per bulan.

    Berlokasi di kawasan PIK2 yang tengah berkembang pesat, rumah ini hanya ±3 menit dari akses tol, ±10 menit ke CBD PIK2, serta ±18 menit menuju Bandara Soekarno-Hatta. Mobilitas sehari-hari jadi lebih mudah dan efisien.

    Fasilitas yang ditawarkan dirancang untuk gaya hidup aktif, termasuk jogging track, kolam renang, outdoor gym, hingga area bermain anak. Sistem keamanan one gate dan CCTV 24 jam memastikan penghuni merasa aman setiap saat.

    Lingkungan sekitar juga sedang tumbuh pesat dengan hadirnya Taman Bhinneka Ecopark seluas ±54 hektare, sekolah-sekolah ternama seperti Tzu Chi School dan Sekolah Chevalier, serta universitas unggulan Universitas Pelita Harapan dan Prasetiya Mulya. Segala kebutuhan, mulai dari supermarket hingga rumah sakit, tersedia di area sekitar.

    Yang paling menarik, cicilan setara biaya sewa rumah atau apartemen, tetapi Anda bisa langsung menempati rumah sejak pembayaran pertama.

    “Rumah Milenial PIK2 adalah pilihan tepat bagi Anda yang ingin hidup produktif, efisien, dan tabungan terjaga. Dengan harga terjangkau, akses mudah, dan fasilitas lengkap, inilah kesempatan untuk berhenti menyewa dan mulai memiliki,” jelas Direktur Marketing PIK2 Lucia Aditjakra. (Pram/fajar)

  • UPH Festival 2025 Jadi Awal Perjalanan Ilmu dan Karakter 6.500 Mahasiswa Baru

    UPH Festival 2025 Jadi Awal Perjalanan Ilmu dan Karakter 6.500 Mahasiswa Baru

    Jakarta: Universitas Pelita Harapan (UPH) menyambut lebih dari 6.500 mahasiswa baru dari seluruh Indonesia dan mancanegara melalui UPH Festival 2025.

    Acara yang berlangsung selama tiga hari, mulai 14 hingga 16 Agustus 2025, ini menjadi gerbang awal bagi generasi baru UPH untuk memulai perjalanan akademik, spiritual, dan pengembangan karakter. Tahun ini, sekitar 70 mahasiswa internasional dari berbagai negara turut memperkaya keberagaman komunitas UPH.

    UPH Festival bukan sekadar kegiatan orientasi, melainkan proses awal pembentukan pemimpin yang berdampak. Rektor UPH, Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc., secara resmi melantik mahasiswa baru dalam Convocation.

    Dalam kesempatan ini, Dr. (H.C.) James Riady, Pendiri Yayasan Pendidikan Pelita Harapan (YPPH), turut menyampaikan pesan inspirasi. “Pendidikan di UPH bukan sekadar memperoleh informasi, tetapi tentang transformasi—menemukan siapa diri Anda, mengapa Anda ada, dan bagaimana Anda dapat memberi dampak bagi dunia,” sambut Rektor UPH.

    Salah satu agenda utama adalah Seminar Distinguished Guest Speaker (DGS) bertema “Principled Technology: Stewarding Intelligence with Integrity”. Sesi ini dibagi berdasarkan bidang: teknologi, pendidikan, dan kesehatan. Di bidang teknologi, hadir Rizaldi Sistiabudi, Ph.D. (Dekan Fakultas Artificial Intelligence UPH) dan Timothy Utama (Director of Operations Bank Mandiri). Timothy Utama menekankan pentingnya AI sebagai alat untuk memperkuat kemampuan manusia, bukan menggantikan manusia.

    Pada sesi pendidikan, Prof. Brian Yuliarto, S.T., M. Eng., Ph.D. (Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi RI) mendorong mahasiswa untuk mengejar mimpi dan menciptakan inovasi yang membanggakan bangsa. Dr. Stephanie Riady, B.A., M.Ed. (President of UPH) juga menegaskan pentingnya pembekalan mahasiswa sejak awal perkuliahan melalui UPH Festival agar mereka bisa menggali ilmu dan membentuk cara pandang terhadap dunia.

    Sementara itu, di sesi kesehatan, Ir. Budi Gunadi Sadikin, CHFC, CLU (Menteri Kesehatan Republik Indonesia) mengajak mahasiswa untuk merangkul AI sebagai alat bantu mempercepat diagnosis dan memperluas jangkauan pelayanan kesehatan.

    Caroline Riady (CEO dan Wakil Presiden Direktur Siloam Hospitals Group) dan David Utama (Presiden Direktur Siloam Hospitals Group) juga berbagi pandangan mengenai pentingnya menjaga kesehatan dan tantangan di sektor kesehatan Indonesia.

    Rangkaian acara ini tidak hanya berisi seminar, tetapi juga pertandingan basket persahabatan, sesi Health and Wellness, Campus Life Introduction, hingga Faculty and Study Program Fellowship.

    Puncak acara pada hari ketiga menghadirkan Founder’s 5K Run, UPH Leadership Journey, Parents Gathering, Alumni Homecoming, dan Closing Celebration yang dimeriahkan penampilan musik serta pertunjukan formasi drone spektakuler.

    Jakarta: Universitas Pelita Harapan (UPH) menyambut lebih dari 6.500 mahasiswa baru dari seluruh Indonesia dan mancanegara melalui UPH Festival 2025.
     
    Acara yang berlangsung selama tiga hari, mulai 14 hingga 16 Agustus 2025, ini menjadi gerbang awal bagi generasi baru UPH untuk memulai perjalanan akademik, spiritual, dan pengembangan karakter. Tahun ini, sekitar 70 mahasiswa internasional dari berbagai negara turut memperkaya keberagaman komunitas UPH.
     
    UPH Festival bukan sekadar kegiatan orientasi, melainkan proses awal pembentukan pemimpin yang berdampak. Rektor UPH, Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc., secara resmi melantik mahasiswa baru dalam Convocation.

    Dalam kesempatan ini, Dr. (H.C.) James Riady, Pendiri Yayasan Pendidikan Pelita Harapan (YPPH), turut menyampaikan pesan inspirasi. “Pendidikan di UPH bukan sekadar memperoleh informasi, tetapi tentang transformasi—menemukan siapa diri Anda, mengapa Anda ada, dan bagaimana Anda dapat memberi dampak bagi dunia,” sambut Rektor UPH.
     
    Salah satu agenda utama adalah Seminar Distinguished Guest Speaker (DGS) bertema “Principled Technology: Stewarding Intelligence with Integrity”. Sesi ini dibagi berdasarkan bidang: teknologi, pendidikan, dan kesehatan. Di bidang teknologi, hadir Rizaldi Sistiabudi, Ph.D. (Dekan Fakultas Artificial Intelligence UPH) dan Timothy Utama (Director of Operations Bank Mandiri). Timothy Utama menekankan pentingnya AI sebagai alat untuk memperkuat kemampuan manusia, bukan menggantikan manusia.
     
    Pada sesi pendidikan, Prof. Brian Yuliarto, S.T., M. Eng., Ph.D. (Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi RI) mendorong mahasiswa untuk mengejar mimpi dan menciptakan inovasi yang membanggakan bangsa. Dr. Stephanie Riady, B.A., M.Ed. (President of UPH) juga menegaskan pentingnya pembekalan mahasiswa sejak awal perkuliahan melalui UPH Festival agar mereka bisa menggali ilmu dan membentuk cara pandang terhadap dunia.
     
    Sementara itu, di sesi kesehatan, Ir. Budi Gunadi Sadikin, CHFC, CLU (Menteri Kesehatan Republik Indonesia) mengajak mahasiswa untuk merangkul AI sebagai alat bantu mempercepat diagnosis dan memperluas jangkauan pelayanan kesehatan.
     
    Caroline Riady (CEO dan Wakil Presiden Direktur Siloam Hospitals Group) dan David Utama (Presiden Direktur Siloam Hospitals Group) juga berbagi pandangan mengenai pentingnya menjaga kesehatan dan tantangan di sektor kesehatan Indonesia.
     
    Rangkaian acara ini tidak hanya berisi seminar, tetapi juga pertandingan basket persahabatan, sesi Health and Wellness, Campus Life Introduction, hingga Faculty and Study Program Fellowship.
     
    Puncak acara pada hari ketiga menghadirkan Founder’s 5K Run, UPH Leadership Journey, Parents Gathering, Alumni Homecoming, dan Closing Celebration yang dimeriahkan penampilan musik serta pertunjukan formasi drone spektakuler.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

    (MMI)

  • KY Umumkan 16 Nama Lolos Seleksi Calon Hakim Agung dan Ad Hoc HAM, Ini Daftarnya
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        11 Agustus 2025

    KY Umumkan 16 Nama Lolos Seleksi Calon Hakim Agung dan Ad Hoc HAM, Ini Daftarnya Nasional 11 Agustus 2025

    KY Umumkan 16 Nama Lolos Seleksi Calon Hakim Agung dan Ad Hoc HAM, Ini Daftarnya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Yudisial (KY) mengumumkan hasil seleksi calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc HAM tahun 2025 pada Senin (11/8/2025).
    Hal tersebut telah disahkan dalam Rapat Pleno KY pada 9 Agustus 2025.
    “Setelah melalui beberapa kali tahapan tes dan yang terakhir tahapan wawancara yang diikuti 23 peserta, dan 16 orang calon yang dinyatakan lulus,” kata Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata dalam konferensi pers di Gedung KY, Jakarta, Senin (11/8/2025).
    Mukti mengatakan, KY selanjutnya akan bersurat ke DPR untuk mengirimkan nama-nama yang lolos seleksi.
    Dia mengatakan, tahap selanjutnya ini DPR memiliki wewenang untuk melakukan persetujuan.
    “Biasanya melalui fit and proper test dan sebagainya,” ujarnya.
    Berikut adalah daftarnya:
    Kamar Pidana:
    1. Alimin Ribut Sujono (Hakim Tinggi, Pengadilan Tinggi Banjarmasin),
    2. Annas Mustaqim (Hakim Tinggi, Badan Pengawasan MA),
    3. Julius Panjaitan (Hakim Tinggi, Pengadilan Tinggi Bengkulu),
    4. Suradi (Hakim Tinggi, Badan Pengawasan MA).
    Kamar Perdata:
    1. Ennid Hasanuddin (Hakim Tinggi MA),
    2. Heru Pramono (Hakim Tinggi MA)
    Kamar Agama:
    1. Lailatul Arofah (Hakim Tinggi, Badan Pengawasan MA),
    2. Muhayah (Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Samarinda).
    Kamar Tindak Pidana Korupsi:
    1. Agustinus Purnomo Hadi (Hakim Ad Hoc Tipikor MA)
    Kamar Tata Usaha Negara:
    1. Hari Sugiarto (Hakim Tinggi, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan TUN)
    Kamar Tata Usaha Negara Khusus Pajak:
    1. Budi Nugroho (Hakim Pengadilan Pajak),
    2. Diana Malemita Ginting (Auditor Utama Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan),
    3. Triyono Martanto (Hakim Pengadilan Pajak)
    Hakim Ad Hoc HAM:
    1. Agus Budianto (Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan)
    2. Bonifasius Nadya Arybowo (Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung)
    3. Moh. Puguh Haryogi (Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.