Institusi: Universitas Paramadina

  • Kritik Rektor Didik Rachbini ke Wamen Stella soal Kuota PTN: Tidak Paham Kondisi Lapangan!

    Kritik Rektor Didik Rachbini ke Wamen Stella soal Kuota PTN: Tidak Paham Kondisi Lapangan!

    GELORA.CO -Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini mengkritik pernyataan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie yang menilai pembukaan kuota mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri (PTN) tidak perlu dipersoalkan.

    Menurut Didik, respons Stella terhadap kritik publik menunjukkan ketidakpahaman terhadap kondisi riil pendidikan tinggi di Indonesia.

    “Prof Stella guru besar yang pintar tetapi tidak paham situasi sosial ekonomi dan sistem pendidikan di lapangan. Menjawab kritik publik asal bunyi,” kata Didik dalam keterangannya, Kamis, 18 Desember 2025.

    Didik menilai persoalan kuota mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari kinerja PTN secara keseluruhan. Ia menyebut  PTN yang dibiayai dana rakyat lebih dari setengah abad gagal menembus jajaran kampus elite Asia dan dunia.

    “Yang jelas PTN kita sudah gagal masuk ke dalam elite kampus Asia dan global, hanya menjadi kampus kelas tiga. Ini tugas Prof Stella, dan setahun terakhir pun tidak ada hasil signifikan untuk mendekati rival di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia,” tegasnya.

    Ia mengingatkan bahwa PTN dibiayai penuh oleh anggaran negara, mulai dari gaji dosen, gedung, laboratorium hingga fasilitas lainnya. Namun di saat yang sama, PTN juga dibebaskan menarik dana besar dari masyarakat dengan menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya.

    “Sekarang dan selama ini mempraktekkan sistem tidak adil karena negara absen menjadi wasit yang adil. Ini masalah di lapangan yang tidak dimengerti Prof Stella. PTN sudah menerima dana dari pajak rakyat tetapi juga mengeruk dana masyarakat,” ujarnya. 

    Kondisi tersebut, lanjut Didik, berdampak langsung pada terpinggirkannya peran perguruan tinggi swasta (PTS) yang sejak lama berkontribusi mencerdaskan bangsa. Ia mencontohkan Universitas Islam Indonesia (UII) yang berdiri sebelum Indonesia merdeka dan Universitas Nasional (Unas) yang lahir pada 1948.

    Didik juga menyoroti membengkaknya birokrasi PTN yang tidak efisien, sehingga mendorong kampus negeri menyedot dana ganda dari negara dan masyarakat. Akibatnya, terjadi persaingan tidak sehat atau cutthroat competition antara PTN dan PTS.

    “Banyak PTS mati bergelimpangan, peran masyarakat dalam pendidikan tinggi dibunuh pelan-pelan. Sistem tidak adil seperti ini menekan dan menggerus peran ormas besar seperti NU, Muhammadiyah dan banyak yayasan-yayasan di daerah,” ungkapnya.

    Untuk menciptakan keadilan, Didik mengusulkan agar anggaran negara untuk PTN dipotong 50 persen dan dialihkan secara proporsional kepada PTS. Ia bahkan mendorong DPR agar kebijakan tersebut diputuskan melalui APBN Perubahan pada pertengahan 2026.

    Menurutnya, bagi PTN yang saat ini sudah memperoleh 70?”80 persen dana dari masyarakat, pemotongan anggaran negara tidak akan terlalu berat. Hanya berkurang sekitar 10?”15 persen. “Dana pajak rakyat harus dibagi adil antara PTN dan PTS. Negara tidak boleh terus mempraktikkan diskriminasi,” tegasnya.

    Jika pembagian anggaran dinilai tidak mungkin dilakukan, Didik menawarkan opsi lain, yakni pembatasan penerimaan mahasiswa di PTN melalui skema beasiswa negara dan cross subsidy. “PTN harus fokus menerima mahasiswa tidak mampu yang dibiayai penuh negara, dan mahasiswa mampu membiayai mahasiswa tidak mampu. Ini asas proporsional,” katanya.

    Didik menegaskan, ke depan negara tidak boleh lagi menempatkan PTN lebih tinggi derajatnya dibanding PTS. “Anggaran dari pajak rakyat harus dibagi adil. Tanpa itu, praktik diskriminatif dalam pendidikan tinggi akan terus merusak sistem dan peran masyarakat,” pungkasnya.

    Diketahui, kebijakan PTN memperbesar kuota penerimaan mahasiswa baru menuai kritik karena dinilai tidak memperhatikan keberadaan PTS yang juga membutuhkan mahasiswa. Wamendiktisaintek Stella Christie menjawab kritik tersebut, bahwa kuota seharusnya tidak terlalu dipermasalahkan.

    “Yang kita pikirkan bukan kuota, tapi apa kita memberikan peluang yang paling banyak dan paling bagus untuk semua masyarakat Indonesia, mahasiswa kita untuk belajar,” tutur Stella kepada wartawan usai acara 2025 International Symposium on ECD di Thamrin Nine, Jakarta Pusat, Rabu, 17 Desember 2025.

    Menurut Stella jika PTN bisa memberikan kesempatan yang luas agar anak Indonesia bisa kuliah, perbanyak kuota bukan suatu hal yang salah dan akan didukung oleh Kemdiktisaintek. Langkah ini juga berlaku dengan penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi swasta (PTS).

    “Jadi ayo, kalau misalkan PTN, apakah PTN ini memberikan kesempatan bagi mahasiswa kita agar mereka bisa kuliah? kalau jawaban iya itu selalu kita dukung. Sama juga dengan PTS, PTS memberikan kesempatan agar mahasiswa kita di Indonesia semuanya bisa kuliah, bisa belajar,” katanya.

  • Setoran Pajak Kian Kritis, Dirjen Bimo Bantah Lakukan Ijon

    Setoran Pajak Kian Kritis, Dirjen Bimo Bantah Lakukan Ijon

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membantah isu ijon pajak yang dilakukan pihaknya untuk menutup target penerimaan yang masih kurang Rp442,5 triliun sampai dengan akhir November 2025. 

    Bimo menjelaskan bahwa yang dilakukan pihaknya adalah dinamisasi pajak. Hal itu sebelumnya juga sudah disampaikan ke Komisi XI DPR pada November 2025 lalu.

    Dinamisasi, terang Bimo, sesuai dengan aturan pada pasal 25 ayat (6) Undang-Undang (UU) tentang Pajak Penghasilan. Secara prinsip, angsuran bulanan PPh pasal 25 dibayar sendiri oleh wajib pajak (WP) didasarkan pada kinerja tahun sebelumnya.

    Oleh sebab itu, ketika tahun berjalan, Direktorat Jenderal Pajak diberikan kewenangan untuk menyesuaikan besaran angsuran tersebut dalam rangka penyesuaian terhadap adanya penghasilan-penghasilan yang berbeda polanya dengan tahun sebelumnya, atau penghasilan yang sifatnya tidak teratur. 

    Penyesuaian juga bisa dilakukan oleh otoritas pajak, lanjut Bimo, apabila ada perubahan kegiatan maupun size usaha, serta peningkatan bisnis dari WP. 

    “Hal ini dimaksudkan supaya angsuran wajib pajak di dalam tahun yang berjalan ini sedapat mungkin bisa diupayakan mendekati jumlah pajak yang memang seharusnya terhutang di akhir tahun. Konteksnya apa? Supaya itu bisa mengurangi beban kurang bayar wajib pajak pada saat penyampaian SPT tahunan di tahun 2026,” terang Bimo pada konferensi pers APBN KiTa edisi Desember 2025 di kantor Kemenkeu, Jakarta, Kamis (18/12/2025). 

    Secara terpisah, Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kemenkeu Yon Arsal menjelaskan bahwa otoritas fiskal pusat tidak memberikan target spesifik untuk penerimaan yang berasal dari upaya dinamisasi itu. Sebab, dia menyebut upaya-upaya dimaksud dilakukan oleh masing-masing kantor pelayanan pajak (KPP). 

    Yon menjelaskan bahwa upaya dinamisasi juga bukan hal yang luar biasa. “Enggak ada target masing-masing itu kan masing-masing KPP saja. Enggak ada secara angka,” tuturnya. 

    Sebelumnya, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menduga Ditjen Pajak bakal melakukan ijon pajak seiring dengan risiko shortfall penerimaan pajak akan relatif besar dengan kondisi tersebut. Hal itu kendati defisit diperkirakan masih dalam batas 3% terhadap PDB. 

    “Ada kemungkinan pemerintah melakukan ijon pajak; paling tidak ini informasi yang beredar dari para pelaku usaha,” ujar ekonom yang pernah menjabat penasihat ekonomi bagi Gubernur Jakarta hingga Wakil Presiden ini.

    Sampai dengan akhir November 2025, penerimaan pajak tercatat sebesar Rp1.634,4 triliun atau 78,7% dari outlook laporan semester I/2025 yakni Rp2.067,9 triliun.

    Realisasi itu lebih rendah dari penerimana bruto Rp1.985,4 triliun, sehingga tercatat selisih atau restitusinya mencapai Rp351 triliun.

  • Akademisi Kritik soal Penambahan Kuota PTN, Potensi Diskriminasi bagi PTS

    Akademisi Kritik soal Penambahan Kuota PTN, Potensi Diskriminasi bagi PTS

    Bisnis.com, JAKARTA – Akademisi sekaligus Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini menilai penambahan kuota bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berpotensi mendiskriminasi Perguruan Tinggi Swasta (PTS).

    Didik menjelaskan PTN telah mendapatkan pendanaan dari negara untuk kegiatan akademik mulai dari lab, pembangunan gedung, hingga gaji dosen. 

    “Negara harus menjalankan asas kesamaan (equality) dengan membagi sumberdaya dari negara, dipecah dengan porsi yang sama antara PTN dan PTS,” katanya dalam rilis yang diterima Bisnis, Kamis (18/12/2025).

    Didik menyampaikan peluang menambah kuota juga memicu pembengkakan biaya negara dan menimbulkan ketidakadilan bagi PTS.  

    Menurutnya, pembiayaan negara kepada PTS harus berjalan proporsional guna menciptakan persaingan yang adil. Didik mengusulkan agar sebagian anggaran negara untuk PTN disalurkan ke PTS.

    “Usul saya yang pertama adalah anggaran negara di PTN masing-masing PTN dipotong 50 persen. Kemudian total hasilnya dibagi proporsional kepada PTS. PTN bebas mengambil mahasiswa dan menarik dana dari masyarakat,” jelasnya.

    Dia juga meminta DPR merancang dan memutuskan bagi PTN yang telah menerima 70-80% pendanaan, maka mendapatkan pemotongan dana 10-15%.

    Didik menyampaikan bahwa PTS juga berperan dalam bidang pendidikan dan investasi secara mandiri. Oleh sebab itu, dia menilai jika negara tidak mampu melakukan skema tersebut, maka kuota bagi PTN perlu dibatasi.

    “Jika anggaran negara tidak bisa dibagi dan anggaran PTN dari negara tidak mau dipotong 50 persen untuk berbagi, maka PTN harus membatasi penerimaan mahasiswa dari beasiswa dari negara penuh atau campuran,” tandasnya.

  • Setoran Masih Jauh dari Target, Ekonom Duga Kemenkeu Bakal Ijon Pajak

    Setoran Masih Jauh dari Target, Ekonom Duga Kemenkeu Bakal Ijon Pajak

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diduga bakal melakukan ijon pajak untuk mengamankan setoran pajak yang realisasinya baru mencapai 70,2% dari outlook sampai dengan akhir Oktober 2025.

    Ijon pajak dalam praktiknya adalah meminta wajib pajak (WP) untuk menyetor di tahun ini kewajiban perpajakannya yang terutang di tahun depan. 

    Sementara itu, Kemenkeu mencatat bahwa penerimaan pajak sampai dengan 31 Oktober 2025 lalu baru terkumpul Rp1.459 triliun, atau 70,2% terhadap outlook laporan semester (lapsem) I/2025 Rp2.076,9 triliun. Pada lapsem itu juga defisit APBN diperkirakan melebar dari target UU yakni dari 2,53% menjadi 2,78% terhadap PDB. 

    Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin melihat risiko shortfall penerimaan pajak akan relatif besar dengan kondisi tersebut, meskipun defisit diperkirakan masih dalam batas 3% terhadap PDB. 

    “Shortfall penerimaan pajak akan relatif besar, tetapi defisit akan terjaga di bawah 3% PDB, kendati sangat dekat level 3%,” paparnya kepada Bisnis, Minggu (14/12/2025).

    Kondisi tersebut, terang Wijayanto, terjadi saat penyerapan anggaran oleh kementerian/lembaga dan daerah lambat. Masih merujuk pada pembukuan APBN sampai dengan akhir Oktober 2025, belanja pemerintah pusat baru terealisasi Rp1.879,6 triliun atau 70,6% terhadap outlook Rp2.663,4 triliun. 

    Sementara itu, anggaran transfer ke daerah (TKD) sudah terserap Rp713,4 triliun atau 82,6% dari outlook Rp864,1 triliun. 

    Menurut Wijayanto, utamanya dengan kondisi penerimaan negara yang belum optimal mendekat akhir tahun, pemerintah diperkirakan bakal melakukan ijon pajak. 

    “Ada kemungkinan pemerintah melakukan ijon pajak; paling tidak ini informasi yang beredar dari para pelaku usaha,” ujar ekonom yang pernah menjabat penasihat ekonomi bagi Gubernur Jakarta hingga Wakil Presiden ini.

  • Kemendag Bantah Negosiasi Dagang RI-AS Terancam Gagal, Kapan Diumumkan?

    Kemendag Bantah Negosiasi Dagang RI-AS Terancam Gagal, Kapan Diumumkan?

    Bisnis.com, JAKARTA — Negosiasi dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) terkait kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump yang dicapai pada Juli 2025 dikabarkan terancam gagal.

    Sekadar informasi, Indonesia dan AS telah mencapai kerangka kerja kesepakatan pada Juli 2025. Dalam hal ini, Negara Paman Sam menyetujui untuk menurunkan pengenaan tarif impor terhadap produk-produk Indonesia dari 32% menjadi 19%.

    Kepala Biro Humas Kemendag Ni Made Kusuma Dewi menyatakan hingga saat ini kesepakatan tarif perdagangan Indonesia—AS masih berlangsung.

    “Yang jelas ini [kesepakatan tarif dagang Indonesia—AS] masih berlangsung jika ada dinamika dalam perundingan adalah hal yang biasa,” kata Dewi singkat kepada Bisnis, Kamis (11/12/2025).

    Dihubungi terpisah, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai, jika kesepakatan tarif dagang antara Indonesia dengan AS gagal dan berujung mendapat tarif 32% maka akan menjadi pukulan berat bagi perekonomian Indonesia.

    Terlebih, lanjut dia, jika negara pesaing utama seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand mendapatkan tarif yang lebih rendah dari Indonesia alias tetap 20%.

    “[Jika kesepakatan tarif dagang Indonesia—AS gagal] akan terjadi trade diversion dan investment diversion, di mana importir AS akan lebih memilih produk dari negara lain, termasuk Malaysia, Thailand, dan Vietnam,” ungkap Wijayanto kepada Bisnis.

    Wijayanto menilai kondisi ini akan menggerus nilai ekspor dan surplus dagang Indonesia dengan AS. Hal ini mengingat surplus dengan AS mewakili hampir 50% total surplus perdagangan, meski ekspor ke AS hanya mewakili 10% total ekspor.  

    “Kehilangan surplus tersebut akan membuat neraca pembayaran kita semakin tertekan dan rupiah semakin melemah,” ujarnya.

    Selain itu, Wijayanto menuturkan pengalihan investasi juga berpotensi terjadi. Dengan kata lain, investasi dari negara lain yang menyasar AS akan mengalihkan dari Indonesia ke negara lain yang memperoleh kesepakatan tarif lebih bagus. 

    “Potensi kehilangan perdagangan dan investasi ini akan berdampak cukup tinggi teradap pertumbuhan ekonomi kita, bisa hingga 0,1%. Dampak peningkatan tekanan terhadap rupiah juga akan sangat besar,” tutupnya.

  • Ekonom Ungkap Lima Ancaman Besar Ekonomi RI di 2026

    Ekonom Ungkap Lima Ancaman Besar Ekonomi RI di 2026

    JAKARTA – Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin memperingatkan bahwa tahun 2026 berpotensi menjadi periode penuh tekanan bagi perekonomian Indonesia. 

    Dia menilai target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6,3 persen sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sulit diwujudkan karena kondisi lapangan menunjukkan tantangan yang jauh lebih berat.

    “Terlepas dari target RPJMN bahwa ekonomi akan tumbuh 6,3 persen tahun 2026, realitas lapangan sangat berbeda. Fenomena ini menggambarkan bahwa target untuk tumbuh 8 persen pada tahun 2029 semakin sulit untuk diwujudkan,” ujarnya dalam keterangannya, dikutip Selasa, 9 Desember.

    Wijayanto memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2026 hanya berada di kisaran 4,9 –5,1 persen, dengan angka tengah sekitar 5 persen.

    Angka tersebut bahkan berpotensi lebih rendah apabila pemerintah gagal mengantisipasi lima jebakan ekonomi yang muncul akibat situasi maupun konsekuensi kebijakan.

    Dia menyebut, beberapa faktor akan memperberat kondisi tahun 2026, seperti kabinet baru yang masih beradaptasi, tekanan fiskal dan makro yang belum mereda, persaingan ekspor yang makin ketat, serta pelemahan sektor riil akibat persoalan struktural.

    “Ekonomi berpotensi tumbuh di bawah nilai tengah apabila Pemerintah tidak berhasil mengantisipasi beberapa lima jebakan ekonomi 2026, yang muncul akibat situasi atau konsekuensi dari kebijakan Pemerintah,” tuturnya.

    Berikut lima jebakan ekonomi pada tahun 2026 :

    1. Koperasi Desa Merah Putih (KDMP)

    Wijayanto menyampaikan program KDMP dinilai rawan gagal karena dibentuk secara top-down, konsep yang belum matang, dan minim pelibatan masyarakat.

    Selain itu, KDMP dinilai berpotensi bersaing dengan usaha masyarakat dan memiliki dampak ekonomi yang terbatas.

    Menurutnya dengan alokasi Rp3 miliar per KDMP melalui kredit Bank Himbara yang dijamin Dana Desa, akan menimbulkan risiko kredit macet yan sangat tinggi.

    “Pengalaman BUMDES, hanya sekitar 5 persen yang berhasil, padahal melibatkan masyarakat dan dibangun dengan persiapan yang lebih matang. Success rate KDMP berpotensi lebih rendah,” tuturnya.

    2. Pemotongan Transfer ke Daerah (TKD)

    Wijayanto menyampaikan proporsi TKD yang terus menurun memicu kesan resentralisasi dan dua pertiga provinsi sangat bergantung pada TKD, sementara sebagian besar kabupaten/kota menggunakan 80–85 persen APBD untuk belanja rutin.

    Pemangkasan TKD memangkas hingga 17,7 persen di APBN 2026 membuat banyak pemerintah daerah terancam menghadapi tekanan fiskal, bahkan untuk sekadar membiayai kebutuhan dasar.

    Ruang bagi daerah untuk meningkatkan PAD juga terbatas, sementara isu kenaikan PBB semakin sensitif setelah keluarnya fatwa haram dari MUI.

    “Pemangkasan TKD diperkirakan membuat sejumlah proyek daerah hilang dan memicu pemangkasan pegawai honorer. Imbasnya, peran daerah sebagai motor pertumbuhan ekonomi semakin berkurang,” tuturnya.

    3. Potensi Bencana Alam

    Menurut Wijayanto, Indonesia menghadapi peningkatan risiko bencana akibat perubahan iklim dan kerusakan lingkungan di dalam negeri.

    Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi potensi berbagai bencana, termasuk siklon, pada awal 2026.

    Sementara itu, anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) turun signifikan dari Rp1,43 triliun di APBN 2025 menjadi hanya Rp491 miliar dalam APBN 2026. 

    Pemotongan TKD juga membuat pemerintah daerah makin terbatas dalam pencegahan maupun penanganan bencana.

    “Selain membutuhkan anggaran rehabilitasi, bencana juga menghambat aktivitas ekonomi dan memberi tekanan bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB),” jelasnya.

    4. Dramatisasi Pemberantasan Korupsi

    Wijayanto menyoroti perbedaan besar antara metode penghitungan nilai korupsi di negara maju dan Indonesia.

    Menurut dia, negara maju menghitung kerugian riil, sementara Indonesia memasukkan potensi kerugian yang belum tentu terjadi.

    Dia menilai sejumlah kasus menunjukkan kejanggalan, seperti kasus PT Timah dengan nilai dugaan korupsi Rp300 triliun sementara PDRB Bangka Belitung hanya Rp75 triliun.

    Hal serupa juga terlihat pada kasus oplosan Pertalite yang disebut merugikan negara Rp968 triliun, padahal total subsidi BBM dan LPG 2018–2023 hanya Rp806 triliun dan total penjualan Pertalite Rp1.122 triliun.

    Kasus PT ASDP Indonesia Ferry pun dinilai bermasalah karena perbedaan metode valuasi.

    Menurutnya, pembesaran nilai korupsi memunculkan efek domino negatif. “Efeknya merusak reputasi bangsa, memperburuk index korupsi, menimbulkan public apathy, pengusaha takut berbisnis dan investor takut berinvestasi. Sehingga pertumbuhan PDB tertekan ke bawah,” ungkapnya.

    5. BUMN Sakit dan Penugasan Tidak Realistis

    Wijayanto menyatakan bahwa meskipun Danantara sebagai Sovereign Wealth Fund menunjukkan komitmen kuat, lembaga ini mewarisi banyak BUMN tidak sehat yang membutuhkan restrukturisasi besar.

    Adapun saat ini, 95 persen dividen BUMN hanya berasal dari delapan perusahaan, terutama empat bank besar. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari sekitar 1.000 BUMN berada dalam kondisi tidak optimal.

    Ia menyampaikan penugasan yang dianggap tidak realistis seperti pembangunan peternakan ayam, kampung haji, hingga proyek waste to energy semakin membebani kinerja BUMN.

    Wijayanto menilai Danantara perlu diberi ruang lebih luas untuk berinovasi agar dapat berkembang layaknya Temasek di Singapura atau Khazanah di Malaysia dalam 10 tahun mendatang.

  • Ekonom: Percepatan suplai pangan Sumatera kunci tekan gejolak harga

    Ekonom: Percepatan suplai pangan Sumatera kunci tekan gejolak harga

    Jakarta (ANTARA) – Ekonom menilai percepatan distribusi pangan dan penguatan suplai menjadi kunci untuk menekan potensi lonjakan harga pangan pascabencana hidrometeorologi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang memutus akses logistik di sejumlah wilayah.

    Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyatakan kebijakan stabilisasi biaya pakan jagung hingga Januari 2026 memang membantu menahan biaya produksi peternak.

    Namun, menurut dia, kebijakan tersebut belum menyentuh permasalahan utama, yakni ketidakseimbangan pasokan ketika permintaan meningkat akibat bantuan pangan skala nasional.

    “Menahan biaya pakan ternak hanya akan memengaruhi margin produsen, bukan harga jual ternak,” kata Wijayanto saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.

    Ia menegaskan suplai protein hewani perlu diperkuat agar peningkatan permintaan dari program jaring pengaman sosial tidak menekan harga di tingkat konsumen.

    Selain suplai, pemulihan akses distribusi pangan menjadi faktor krusial terutama di daerah terdampak bencana yang masih terkendala konektivitas.

    Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyampaikan wilayah terdampak juga berperan sebagai pemasok pangan untuk provinsi lain, sehingga gangguan distribusi dapat menimbulkan efek domino nasional.

    “Sumatera Barat misalnya, sebagai penghasil cabai merah. Jika pasokan terganggu, harga di daerah lain seperti Riau juga bisa naik,” ujarnya.

    Menurut dia, dalam situasi darurat ketika jalur swasta terputus, pendistribusian bantuan pangan oleh pemerintah pusat harus diperkuat dengan memanfaatkan seluruh infrastruktur logistik yang tersedia.

    “Pasokan barang terutama kebutuhan pokok harus dipasok oleh pemerintah sembari ada pembangunan ulang ekonomi di daerah bencana,” kata Huda.

    Ia mengingatkan semakin lambat pemulihan akses dan suplai, maka risiko kelangkaan dan lonjakan harga semakin tinggi di pasar wilayah terdampak maupun wilayah pemasok yang terdampak imbasnya.

    Pemerintah melalui beberapa kementerian dan lembaga sendiri telah mengerahkan bantuan pangan dan logistik ke tiga provinsi terdampak menggunakan jalur laut, dan udara di beberapa wilayah yang mengalami kerusakan akses darat untuk memastikan suplai tetap terjaga di tengah masa tanggap darurat.

    Lebih lanjut, pengamat mengharapkan pemerintah mempercepat pemulihan infrastruktur jalan, memastikan cadangan pangan nasional tersalurkan tepat sasaran, serta menyiapkan opsi impor terukur bila suplai domestik belum mencukupi dalam jangka pendek.

    Dengan langkah koordinatif dan berbasis data, stabilitas harga pangan diharapkan tetap terjaga sekaligus mendukung pemulihan ekonomi masyarakat terdampak bencana.

    Pewarta: Aria Ananda
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ekonom Sebut Target Surplus Ekspor RI 2025 Sulit Tercapai, Mengapa?

    Ekonom Sebut Target Surplus Ekspor RI 2025 Sulit Tercapai, Mengapa?

    Bisnis.com, JAKARTA — Penurunan ekspor Indonesia pada Oktober 2025 masih memberikan kontribusi positif bagi perekonomian, tetapi target surplus tahunan di atas US$35 miliar dinilai sulit tercapai.

    Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai tren net ekspor hingga Oktober tetap mendukung pertumbuhan ekonomi, meski realisasinya belum sesuai target.

    “Hingga Oktober, tren net ekspor menunjukkan sinyal positif, walau masih di bawah target. Hal ini tetap akan membantu mendongkrak pertumbuhan ekonomi,” kata Wijayanto kepada Bisnis, Senin (1/12/2025).

    Namun, Wijayanto menuturkan surplus ekspor hingga Oktober baru mencapai US$24 miliar, sekitar 69% dari target. Kondisi ini dipengaruhi tren penurunan harga komoditas serta perlambatan ekonomi China.

    “Untuk mengejar target, apalagi di tengah tren pelemahan harga komoditas dan perlambatan ekonomi China, bukanlah hal yang realistis bagi kita,” ujarnya.

    Menurut Wijayanto, langkah pemerintah dalam dua bulan terakhir tahun ini terbatas. Salah satunya dengan menjaga nilai tukar rupiah.

    “Paling tidak nilai tukar rupiah harus stabil dan kompetitif, manajemen ekspor-impor diperbaiki, dan impor ilegal ditekan,” jelasnya.

    Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai ekspor Indonesia mencapai US$24,24 miliar pada Oktober 2025, atau turun 2,31% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya senilai US$24,81 miliar.

    Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini menuturkan penurunan ekspor secara tahunan utamanya didorong oleh penurunan nilai ekspor migas.

    Perinciannya, nilai ekspor migas mencapai US$0,89 miliar pada Oktober 2025, atau turun 33,60% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari US$1,35 miliar. Sementara itu, nilai ekspor nonmigas juga turun 0,51% yoy dari US$23,46 miliar pada Oktober 2024 menjadi US$23,34 miliar.

    “Penurunan nilai ekspor Oktober 2025 secara tahunan terutama didorong oleh penurunan nilai ekspor migas, yaitu pada komoditas minyak mentah yang turun 54,68% dengan andil -0,34%,” ujar Pudji dalam Rilis BPS, Senin (1/12/2025).

    Komoditas hasil minyak juga turun 40,11% dengan andil -0,65%, serta gas yang turun 26,20% dengan andil -0,84%.

    Namun sepanjang Januari—Oktober 2025, BPS mencatat total ekspor meningkat 6,96% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya mencapai US$218,82 miliar. Sepanjang sepuluh bulan pertama 2025, total ekspor mencapai US$234,04 miliar.

    Dari sana, total ekspor migas mencapai US$10,93 miliar atau turun 16,11% dibandingkan Januari—Oktober 2024 yang mencapai US$13,02 miliar. Di sisi lain, total ekspor nonmigas mencapai US$223,12 miliar atau naik 8,42% dibandingkan Januari—Oktober 2024 senilai US$205,79 miliar.

    BPS menyebut peningkatan nilai ekspor sepanjang Januari—Oktober 2025 ini disumbang oleh sektor industri pengolahan dengan andil sebesar 11,68%.

  • Rektor Universitas Paramadina Soroti Memburuknya Penegakan Hukum: ‘Pengadilan Sesat’

    Rektor Universitas Paramadina Soroti Memburuknya Penegakan Hukum: ‘Pengadilan Sesat’

     

    Jakarta (beritajatim.com) — Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, kembali menyoroti kondisi penegakan hukum di Indonesia yang menurutnya kian menunjukkan tanda-tanda judicial misconduct atau pengadilan sesat.

    Ia menyebut kasus hukum yang menimpa jajaran direksi PT ASDP Indonesia Ferry sebagai contoh nyata kekeliruan proses peradilan yang dapat merusak ekosistem ekonomi nasional.

    Prof. Didik menegaskan bahwa sistem hukum idealnya menjadi fondasi pertumbuhan ekonomi, memberikan kepastian kontrak, penegakan aturan yang adil, serta proses peradilan yang dapat diprediksi. Namun, ia melihat situasinya kini berbalik.

    “Ketika seorang eksekutif BUMN terpidana tidak menerima aliran uang satu sen pun, tidak pernah dilakukan audit dari BPK atau BPKP perihal kerugian negara (bahkan keuntungan perusahaan meningkat), tidak ada mens rea dari para terpidana, dan hanya dikategorikan lalai pada putusan PN, lalu divonis sebagai koruptor. Pengadilan seperti ini pantasnya disebut pengadilan apa? Sudah banyak para ahli sampai awam yang menjawab di publik, itu adalah pengadilan sesat,” tegasnya.

    Kasus ASDP Dinilai Mengacaukan Ekosistem Bisnis

    Menurut Prof. Didik, kondisi seperti ini menimbulkan ketakutan para pelaku usaha dan profesional yang kini cenderung menahan investasi dan enggan mengambil keputusan strategis.

    Ia menjelaskan bahwa direksi ASDP melakukan aksi korporasi berupa akuisisi perusahaan sejenis untuk meningkatkan kapasitas layanan penyeberangan. Langkah tersebut, kata Prof. Didik, berhasil dan terbukti meningkatkan pelayanan bagi masyarakat.

    “Laba ASDP meningkat hingga Rp637 miliar pada 2023, tertinggi sepanjang sejarah perusahaan, ASDP masuk peringkat 7 BUMN terbaik di Indonesia, tidak ada aliran dana mencurigakan, sebagaimana ditegaskan KPK, PPATK tidak menemukan transaksi korupsi, BPK sudah melakukan audit dengan opini Wajar Dengan Pengecualian hanya untuk dua kapal dengan opportunity loss sekitar Rp4,8–10 miliar,” paparnya.

    Namun ia menilai proses hukum justru memutarbalikkan fakta dengan mengkategorikan pembelian kapal sebagai “besi tua” dan menyimpulkan adanya kerugian negara Rp1,25 triliun.

    Angka tersebut, kata Prof. Didik, “absurd” mengingat BPK hanya menemukan opportunity loss maksimal Rp10 miliar.

    “Aksi korporasi seperti ini sudah dipermasalahkan dengan kaca mata hukum yang picik sehingga akan banyak CEO di masa mendatang tidak akan melakukan apa pun karena takut menghadapi aparat hukum yang naif,” ujarnya.

    Soroti Melemahnya KPK dan Intervensi Politik

    Prof. Didik juga menyebut kerusakan penegakan hukum telah merambat lebih luas. Ia menilai aparat hukum banyak yang korup, proses peradilan rentan intervensi politik, dan lembaga-lembaga penegak hukum melemah.

    “Sejak Jokowi dan kekuatan politik di sekitarnya mencabik-cabik KPK, maka wajah lembaga hukum yang lahir dari rahim reformasi ini sudah compang-camping dan penuh culas karena bersekutu dengan kepentingan-kepentingan picik,” ungkapnya.

    Ia mengingatkan bahwa skor rule of law Indonesia yang hanya 0,52 (skala 0–1) menjadi indikator serius bahwa sistem hukum belum mampu menopang agenda ekonomi nasional, termasuk yang hendak dijalankan Presiden Prabowo Subianto.

    Peringatan Soal Risiko Anarki Hukum

    Prof. Didik menegaskan bahwa pengadilan seharusnya tidak mencampuradukkan keputusan bisnis dengan tindak kriminal.

    “Pengadilan tidak boleh mencampuradukkan keputusan bisnis yang mengandung risiko dengan kriminalitas. Jika dibiarkan, kita akan menghadapi anarki hukum di masa depan,” pungkasnya. (ted)

     

  • Menyoal Kasus Hukum Direksi ASDP

    Menyoal Kasus Hukum Direksi ASDP

    Jakarta

    Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini, mengomentari kasus hukum yang menimpa mantan Dirut PT ASDP, Ira Puspadewi (IP). Didik menyoroti Ira yang disebutnya tidak menerima aliran uang sepeser pun namun kini divonis 4,5 tahun penjara dalam perkara akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP.

    Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak pernah melakukan audit terhadap kerugian negara. Bahkan selama kepemimpinannya, Ira berhasil meningkatkan keuntungan perusahaan.

    Seorang eksekutif BUMN terpidana tidak menerima aliran uang satu sen pun, tidak pernah dilakukan audit dari BPK atau BPKP perihal kerugian negara (bahkan keuntungan perusahaan meningkat), tidak ada mens rea dari para terpidana, dan hanya dikategorikan lalai pada putusan PN, lalu divonis sebagai koruptor.

    Pengadilan seperti ini pantasnya disebut pengadilan apa? Sudah banyak para ahli sampai awam yang menjawab di publik, itu adalah pengadilan sesat. Ini hukum yang terjadi di Indonesia.

    Seharusnya institusi hukum, seperti sistem peradilan, menjaga kontrak, dan penegakan hukum, berfungsi sebagai “pondasi” bagi aktivitas ekonomi.

    Bila institusi ini buruk (korup, lamban, tidak independen, atau tidak dapat diprediksi), dampaknya sangat luas bagi perkembangan ekonomi. Pelaku usaha investor menahan investasi, profesional kaku dan takut mengambil keputusan, aktivitas bisnis menjadi lambat, bahkan mandek karena berhati-hati dan takut.

    Kasus peradilan ASDP yang terakhir ini semakin mengukuhkan bahwa hukum semakin sesat dan menjadi ancaman bagi profesional, BUMN dan perekonomian secara keseluruhan.

    Titik lemah dari upaya presiden Prabowo untuk memajukan ekonomi terganjal oleh praktek hukum dan peradilan, yang naif, absurd dan sembrono karena intervensi luar , setelah rangkaian banyak kasus sebelumnya seperti Karen Agustian, Tom Lembong, Nadiem Makarim dan lainnya.

    Sampai saat ini sudah banyak korban peradilan sesat, hakim dan jaksa, aparat hukum yang korup. Jika tidak ada yang melakukan reformasi hukum, maka praktek sesat ini akan terus berlangsung dan secara gamblang dipertontonkan di muka publik.

    Wajah hukum Indonesia sudah buruk sejak lama, membaik ketika reformasi dan kembali tampil sangat mengerikan. Ini terjadi di KPK, yang diidamkan pada masa reformasi, tetapi wajahnya sekarang tercoreng oleh oknum dan kasus-kasus intervensi kekuasaan busuk.

    Menurutnya, KPK sekarang sudah jauh berbeda dengan perubahan dan intervensi yang bertubi-tubi sehingga menjadi lembaga hukum yang cacat. Seperti lembaga hukum yang ada, praktik sesat sudah terjadi, seperti pada kasus terakhir, ASDP.

    Kasus ini layak dijadikan referensi dan dikaji mendalam sebagai kerusakan hukum di Indonesia dengan dampak yang luas terhadap ekonomi. Tidak usah ahli hukum yang menganalisis secara mendalam, mata dan pendengaran awam saja sudah bisa mencium bau busuk menusuk proses hukum sesat, yang terjadi pada saat ini

    Aksi Korporasi Dikriminalisasi

    Para direksi melakukan transformasi perusahaan melalui “corporate action” untuk satu tugas melayani penyeberangan di seluruh nusantara. Pilihannya terbatas karena tidak banyak tersedia pembelian kapal dalam jumlah besar.

    Peluang aksi korporasi ada dengan cara akuisisi perusahaan sejenis yang tidak berjalan optimal. Aksi ini sangat baik secara manajemen dan sukses dilakukan sehingga menambah kapasitas layanan penyeberangan, yang berguna untuk masyarakat.

    Aksi korporasi seperti ini sudah dipermasalahkan dengan kacamata hukum yang picik sehingga akan banyak CEO di masa mendatang tidak akan melakukan apa pun karena takut menghadapi aparat hukum yang naif.

    Perusahaan dilihat secara obyektif justru meraih kinerja yang bagus dan terus melebarkan sayapnya melayani masyarakat. Direksi meningkatkan laba perusahaan yang tertinggi selama ini, yakni Rp 637 miliar pada tahun 2023 dan sekaligus peringkat 7 BUMN terbaik.

    Direksi tidak mencuri satu sen pun uang perusahaan tetapi ada indikasi hukum dipengaruhi kepentingan tertentu justru memutuskan hukuman yang dholim 4,5 tahun penjara. Tuduhan merugikan negara Rp 1,25 triliun 98,5% dari nilai akuisisi PT Jembatan Nusantara sangat naif dan dibuat-buat dengan menilai kapal-kapal yang beroperasi sebagai besi tua.

    Tetapi aksi korporasi melibatkan rente transaksi dana dalam jumlah besar, yang sering dikangkangi para pemburu rente, yang berselingkuh dengan kekuasaan. Ada indikasi, meski aksi korporasi sukses tetapi ada yang tertinggal dan kecewa sehingga melakukan balas melalui hukum yang dikendalikan kekuasaan.

    Di sinilah terjadi hukum yang absurd, sesat dan melawan nurani serta akal sehat. Ini harus menjadi pelajaran sejarah hukum yang menyesatkan dan mesti ada yang menyelidiki proses gelap di balik kasus ini serta mengungkapnya agar tidak terulang kembali (komisi yudisial dan komisi kejaksaan).

    Yang naif selanjutnya adalah menghitung kerugian sesuai selera sendiri. Kapal-kapal yang dibeli dinilai sebagai besi tua dihitung secara kiloan seperti pemulung besi menyerahkan besi bekas kepada pengumpul.

    Lalu jadilah nilai kerugian sim salabim pengurangan dari nilai pembelian terhadap perhitungan ala pengumpul rombeng besi tua. BPK diabaikan padahal sudah melakukan audit dengan opini “Wajar Dengan Pengecualian” hanya untuk dua kapal dengan opportunity loss sekitar Rp 4,8-10 miliar. Jauh sekali dari Rp 1,25 triliun yang didakwakan sebagai kerugian negara.

    Para ahli pasti berpendapat bahwa mengakuisisi perusahaan rugi adalah hal lazim dalam bisnis dimana proses akuisisi yang terjadi bagian dari pengembangan perusahaan. Peluang untuk dan rugi merupakan bagian dari dinamika perusahaan.

    Dalam kasus ASDP, direksi bukan hanya melakukan hal yang benar tetapi berjuang untuk mengembangkan perusahaan. KPK yang mengangkat kasus ini mengakui tidak ada aliran uang mencurigakan. PPATK tidak menemukan aliran dana korupsi. BPK menyatakan akuisisi dilakukan sesuai ketentuan. Saksi dari komisaris dan direksi membantah tuduhan bahwa komisaris tidak menyetujui akuisisi.

    Lalu, jika fakta ini diabaikan, maka layak pengadilan ASDP ini sebagai pengadilan sesat, jaksa dan hakim yang zalim. Proses hukum di baliknya dan motivasi mengejar orang tidak bersalah ke dalam hukum perlu diselidiki.

    Didik J Rachbini
    Rektor Universitas Paramadina

    (ily/hns)