Institusi: Universitas Pakuan

  • Isi Surat Tulisan Tangan Mahasiswa Universitas Pakuan yang Jatuh dari Lantai 3 Gedung Kampus

    Isi Surat Tulisan Tangan Mahasiswa Universitas Pakuan yang Jatuh dari Lantai 3 Gedung Kampus

     

    Liputan6.com, Bogor – Kasus mahasiswi Universitas Pakuan yang terjatuh dari lantai 3 Gedung Manajemen kampus tersebut menemukan fakta baru. Kapolsek Bogor Tengah Kompol Waluyo di Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (14/11/2025) mengatakan, polisi menemukan surat tulisan tangan yang ditemukan di barang pribadi korban, dan kini menjadi bagian dari proses penyelidikan.

    Berikut isi surat tersebut:

    “Maafkan Ira bu, ayah, Ira cape Ira nyerah mental Ira rusak mental Ira hancur maafin Ira nyuhunkeun hampura saageung – ageung an hate ira tos teu kiat dinyenyeri ira cape maaf bu, ayah ira gagal jadi anak ibu sareng ayah teu cocok jadi anak yg baik.”

    Arti dari isi surat itu “Maafkan Ira, bu, ayah. Ira lelah Ira menyerah, mental Ira rusak, mental Ira hancur. Maafkan Ira, mohon maaf sebesar-besarnya, hati Ira sudah tidak kuat menahan sakit, Ira lelah, maaf bu, ayah, Ira gagal menjadi anak ibu dan ayah, tidak pantas menjadi anak yang baik”.

    Waluyo menegaskan, hingga kini polisi belum menyimpulkan penyebab insiden terjatuhnya Ira dari ketinggian.

    Pihaknya juga menjelaskan, insiden terjatuhnya Ira dari lantai tiga agedung kampus terjadi pada Kamis (12/11/2025), sekitar pukul 12.15 WIB saat tiga saksi melihat korban berada seorang diri di lantai tiga sebelum kemudian terjatuh dan tidak sadarkan diri.

    Pihak kampus mengevakuasi korban menggunakan ambulans ke Rumah Sakit Mayapada (BMC) Bogor Timur. Korban diketahui bernama Ira Siti Nurazizah (21), mahasiswa semester tiga Program Studi Manajemen.

    Rekaman kamera pengawas di sekitar lokasi juga diperiksa untuk melengkapi keterangan saksi dan memastikan rangkaian peristiwa secara objektif.

     

  • Kampus di Bogor Ungkap Kondisi Terkini Mahasiswi yang Jatuh dari Lantai 3

    Kampus di Bogor Ungkap Kondisi Terkini Mahasiswi yang Jatuh dari Lantai 3

    Jakarta

    Informasi dalam artikel ini tidak ditujukan untuk menginspirasi siapa pun untuk melakukan tindakan serupa. Bila Anda merasakan gejala depresi dengan kecenderungan berupa pemikiran untuk bunuh diri, segera konsultasikan persoalan ke pihak-pihak yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.

    Mahasiswi Universitas Pakuan Bogor yang jatuh dari lantai tiga kampus masih dirawat di rumah sakit (RS). Mahasiswi tersebut sudah dalam keadaan sadarkan diri.

    “Kalau kondisi saya juga belum update lagi, yang pasti masih di rawat di RS. Kalau sadar sudah,” kata Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Pakuan Bogor, Singgih Irianto, kepada wartawan, Jumat (14/11/2025).

    Singgih menuturkan usai terjatuh, mahasiswi tersebut langsung dibawa ke RS. Pihak kampus hingga saat ini juga terus mendampingi yang bersangkutan.

    “Alhamdulillah kami dari hari pertama mendampingi yang membawa ke RS juga pihak kampus. Mohon doanya,” ujarnya.

    Polisi mengungkap temuan baru terkait mahasiswi yang jatuh dari lantai 3 gedung kampus. Salah satunya surat berisi permintaan maaf kepada orang tua.

    “Jadi kalau sesuai dengan hasil di gambar rekaman CCTV, dia sengaja jatuh dan itu juga ada surat surat yang bernada pesan kepada orang tua. (Isinya) mama, papa mohon maaf, selama ini istilahnya mungkin nggak bisa berbuat baik atau apalah dalam suratnya itu,” kata Kapolsek Bogor Tengah Kompol Waluyo, Kamis (13/11).

    Waluyo menyebutkan pihaknya bersama Satreskrim Polresta Bogor Kota masih mendalami penyebab lain mahasiswa jatuh. Saat ini, mahasiswi jatuh dari lantai 3 kampus Unpak masih dalam perawatan di rumah sakit.

    “Artinya, ditemukan ada surat yang berisikan keputusasaan lah dalam hidupnya, kalau masalah soal cinta atau apa itu nanti mungkin nanti pihak reserse yang mendalami. Belum ada info untuk bully,” kata Waluyo.

    “Korban sekarang masih di rumah sakit, kita monitor terus perkembangannya,” imbuhnya.

    (dek/rfs)

  • Video Kondisi Mahasiswi Kampus Bogor yang Terjatuh dari Lantai Tiga

    Video Kondisi Mahasiswi Kampus Bogor yang Terjatuh dari Lantai Tiga

    Mahasiswi Universitas Pakuan Bogor jatuh dari lantai tiga. Pihak kampus pun membenarkan insiden ini.

    “Iya betul, (jatuh) dari lantai 3,” ungkap Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Pakuan, Singgih Irianto. “Mahasiswa semester III, korban perempuan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Korban masih di ruang IGD, luka ada tapi nggak terlihat.”

    “Kami tentunya akan perhatikan kasus ini,” tambahnya.

  • Evaluasi Kebijakan Bukan Keniscayaan?

    Evaluasi Kebijakan Bukan Keniscayaan?

    loading…

    Hendarman – Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikbudristek/ Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan. Foto/Dok Pribadi

    Hendarman
    Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikdasmen/Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan Bogor

    Kebijakan publik tidak dapat dipahami tanpa mengacu pada proses pembuatannya. Proses ini merupakan serangkaian keputusan yang dibuat aktor publik seperti pemerintah, parlemen, administrasi publik, dan pihak swasta sehingga harus dipastikan bahwa pemetaan kepentingan mereka dianalisis dengan baik (John 2006). Sebuah kebijakan harus mempertimbangkan umpan balik yang diterima pembuat kebijakan atas keputusan mereka (Mettler dan SoRelle, 2017), termasuk dalam bentuk perubahan politik dan tingkat kepercayaan (Kumlin et al., 2018).

    Kenyataan-kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa setiap kebijakan yang telah ditetapkan pada saatnya perlu dicermati kembali akibat adanya perubahan yang terjadi (Widodo, 2007). Dalam pandangan para pakar termasuk Dunn (1994), pencermatan ini sebagai suatu proses evaluasi merupakan sebuah keniscayaan. Mengapa?

    Sebuah kebijakan tidak bersifat stagnan dan statis karena lingkungan kebijakan berubah secara dinamis dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut dapat terjadi baik di lingkungan internal (internal environment) maupun lingkungan eksternal (external environment). Perubahan dapat menimbulkan dampak terhadap kebijakan tersebut, baik dikehendaki (intended-impact) maupun tidak dikehendaki (unintended-impact). Juga dapat menimbulkan dampak yang berimplikasi potensi timbulnya masalah-masalah yang mengharuskan pembuat kebijakan atau pihak yang terkait dengan kebijakan dimaksud memikirkan langkah antisipasi atau upaya pemecahannya.

    Evaluasi terhadap kebijakan penting karena salah satunya untuk menepis pendapat bahwa kebijakan hanya cerminan keinginan dan kehendak kaum elite saja, tanpa ada aspirasi masyarakat yang terserap didalamnya. Menurut Wibawa (2011), elite itu secara norma dapat meliputi pemimpin, keluarganya, pengusaha yang dekat dengan keluarga, dan pemimpin militer. Pada banyak kasus, elitisme menyebabkan lambatnya perubahan dan pembaruan terhadap kebijakan. Ini karena adanya kecenderungan sebuah kebijakan lebih ditentukan oleh penafsiran nilai-nilai elite-elite tersebut. Akibat pengaruh elite ini, kebijakan sering diperbaiki tetapi jarang diubah. Perubahan terhadap kebijakan baru akan dilakukan jika terjadi peristiwa-peristiwa yang mengancam sistem politik dan perubahan dilakukan semata-mata untuk melindungi sistem kedudukan elite.

    Secara normatif, suka atau tidak, setiap kebijakan harus dievaluasi secara seksama dan dengan pertimbangan detil untuk memastikan keberpihakannya bagi kemaslahatan publik atau orang banyak. Ini ditunjukkan dengan mencermati secara sistematis dan objektif terkait anggaran dan manfaat, serta alokasi sumber daya yang lebih efisien (Briggs & Fenton, 2023).

    Kekuatan evaluasi kebijakan salah satunya pada indikator keberadaan data dan informasi sebagai input untuk mengetahui beberapa hal. Pertama, sejauhmana program/kegiatan sudah berjalan sudah berjalan dalam alur yang diinginkan. Kedua, bagaimana kualitas dan kuantitas output yang dihasilkan agar dapat digunakan dalam pencapaian sasaran. Ketiga, apa dampak pelaksanaan program tersebut.

    Apakah teori-teori terkati evaluasi kebijakan tersebut menjadi sebuah norma yang wajib dipatuhi dalam proses evaluasi kebijakan? Ataukah ada fenomena lain yang mendorong mekanisme baru dalam evaluasi kebijakan dengan asumsi mengedepankan prinsip efektif dan efisien, serta tanpa harus mengikuti langkah-langkah dalam proses evaluasi kebijakan?

    Bukan Keniscayaan
    Tampaknya, telah terjadi tren perubahan paradigma dalam evaluasi sebuah kebijakan. Norma berupa langkah-langkah sistematis dan terstruktur cenderung ditinggalkan dan bukan dianggap sebuah keharusan atau keniscayaan. Apakah benar demikian?

    Beberapa bulan lalu telah ditetapkan instruksi presiden terkait efisiensi anggaran dalam pelaksanaan anggaran di berbagai Kementerian/Lembaga (K/L). Hal tersebut dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025. Yang menarik, beberapa hari setelah diluncurkan, terjadi perubahan nominal pemangkasan bagi Kementerian/Lembaga terkait.

  • Kebijakan Berbasis Data dan Informasi Cenderung Konvensional?

    Kebijakan Berbasis Data dan Informasi Cenderung Konvensional?

    loading…

    Hendarman – Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikbudristek/ Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan. Foto/Dok Pribadi

    Hendarman
    Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikdasmen/Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan

    Kegalauan adanya kebijakan sejumlah kementerian/lembaga yang selalu berubah-ubah belakangan ini, dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan yang dibuat. Kegalauan ini dapat dipahami karena setelah ditetapkannya sebuah kebijakan, para target kebijakan akan segera menindaklanjuti secara operasional dalam bentuk rencana aksi. Kebiasaan ini untuk mengantisipasi kemungkinan kendala sebagai implikasi kebijakan atau pengambilan keputusan.

    Yang menarik belakangan ini adalah munculnya sebuah fenomena baru dalam penetapan kebijakan atau pengambilan keputusan. Fenomena baru tersebut diungkapkan atau diumumkan melalui pemanfaatan media berupa konten yang diviralkan. Hal yang sifatnya khusus atau privat dalam konteks hubungan pimpinan dan bawahan, menjadi konsumsi publik. Ditengarai bahwa ada beberapa latar belakang mengapa fenomena ini dilakukan melalui proses konten. Misalnya, kemungkinan untuk membuat pelaku jera karena kesalahannya diketahui publik, atau membuat yang lainnya tidak mengulangi kesalahan yang sama, atau menjadi bagian menghadirkan rasa “ketakutan” bagi bawahan.

    Secara teori, kebijakan termasuk pengambilan keputusan merupakan aktivitas yang memiliki metode, cara, dan pendekatan tertentu secara sistematis, teratur dan terarah. Di samping itu, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi perilaku pembuatan kebijaka atau pengambilan keputusan. Salah satunya dikatakan Gibson (2006) dalam tulisannya “teaching ethical decision making: designing a personal value portrait to ignite creativity and promote personal engagement in case method analysis”. Ia mengatakan perilaku memengaruhi termasuk etika, nilai, kepribadian, kecenderungan risiko, potensi disonansi, dan peningkatan komitmen. Faktor-faktor ini dapat memengaruhi kualitas cara individu mengevaluasi pilihan, membuat pilihan, dan berpotensi menyebabkan bias dalam keputusan mereka.
    Fenomena ini (mungkin) akan menjadi suatu perilaku yang mendapat sebuah pengakuan sebagai sebuah norma apabila memang masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya menerima dengan obyektif. Artinya, ke depan mungkin akan terjadi bahwa tanpa melakukan komunikasi secara langsung melalui sebuah proses perumusan kebijakan atau proses pengambilan keputusan maka pernyataan yang disampaikan dalam bentuk konteks yang diviralkan diakui sebagai sebuah peraturan atau keputusan resmi dan legal.

    Bagaimana dengan pendapat bahwa perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan harus didasarkan adanya bukti atau data dan informasi (evidence-based)?

    Pemanfaatan Data dan Informasi (Secara Teoretis)
    Secara teoretis, salah satu faktor yang menentukan dalam proses perumusan kebijakan adalah tersedianya data dan informasi yang relevan dengan kebijakan. Pentingnya data dan informasi dalam pembuatan kebijakan menjadi tinjauan mazhab berbagai ahli kebijakan. Dunn (2003), misalnya, memberikan definisi bahwa analisis kebijakan publik adalah sebagai “suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang relevan dengan kebijakan yang digunakan dalam lingkungan politik tertentu untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan”.

    Pendapat tersebut mengindikasikan bahwa data dan informasi menjadi prasyarat untuk dapat memecahkan masalah-masalah kebijakan. Hasil analisis kebijakan akan digunakan sebagai basis bagi pembuat kebijakan (policy-maker) untuk merumsukan suatu kebijakan, sebelum diumumkan kepada publik sebagai target kebijakan tersebut. Terkait dengan penyediaan informasi ini, Dunn (2003), mengemukakan bahwa metodologi dalam analisis kebijakan dapat memberikan informasi dengan menjawab lima bentuk pertanyaan.

    Pertama, yaitu “masalah apakah yang dihadapi?” Jawaban terhadap pertanyaan ini akan memberikan informasi tentang masalah-masalah kebijakan (policy problem). Kedua, yaitu “kebijakan-kebijakan apa yang telah dibuat untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, baik pada masa sekarang maupun masa lalu, dan hasil-hasil apakah yang telah dicapai? Jawaban terhadap pertanyaan ini memberikan informasi tentang hasil-hasil kebijakan (policy outcomes).

    Ketiga, yaitu “bagaimana nilai (tujuan yang diinginkan) dari hasil-hasil kebijakan tersebut dalam memecahkan masalah? Jawaban terhadap pertanyaan ini memberikan informasi tentang kinerja kebijakan (policy performance). Menurut Dunn (1994), policy performance adalah suatu tingkat (derajat) sampai di mana hasil suatu kebijakan membantu pencapaian suatu nilai (tujuan yang diinginkan). Dalam kenyataannya banyak masalah seringkali “tidak dapat dipecahkan”, sehingga seringkali perlu dicari cara-cara pemecahan yang baru, dirumuskan kembali masalahnya, dan kemungkinan suatu masalah itu “tidak dapat dipecahkan”. Meskipun suatu masalah itu mungkin dapat dipecahkan atau tidak dapat dipecahkan, informasi tentang hasil-hasil kebijakan tetap diperlukan, terutama untuk meramalkan kebijakan yang akan datang.

    Keempat, yaitu “alternatif-alternatif kebijakan apakah yang tersedia untuk masalah tersebut, dan apakah kemungkinan di masa depan?” Jawaban terhadap pertanyaan ini memberikan informasi tentang kebijakan di masa depan (policy futures). Dan kelima, yaitu “alternatif-alternatif tindakan apakah yang perlu dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut?” Jawaban terhadap pertanyaan ini memberikan informasi tentang tindakan-tindakan kebijakan (policy actions/implementation) yang relatif dapat secara cepat dan strategis untuk memecahkan permasalahan

  • Jalan Kaki ke Sekolah, Gagasan Visioner atau Sensasi?

    Jalan Kaki ke Sekolah, Gagasan Visioner atau Sensasi?

    loading…

    Erwin Novriyanto – Mahasiswa Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Pakuan Bogor. Foto/Dok Pribadi.

    Erwin Novriyanto

    Mahasiswa Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Pakuan Bogor

    Gubernur Jawa Barat terpilih, baru-baru ini mengeluarkan pernyataan mengenai kewajiban siswa untuk berjalan kaki ke sekolah. Pernyataan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Kebijakan ini, jika diterapkan dengan baik sesungguhnya memiliki potensi manfaat besar.

    Manfaat tersebut ditinjau baik dari segi kesehatan, lingkungan, maupun kedisiplinan siswa. Namun, beberapa hal tampaknya perlu dipertimbangkan untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya menjadi wacana viral sesaat tanpa adanya dampak nyata di lapangan ketika diterapkan.

    Peraturan Gubernur: Ada atau Tidak?
    Salah satu pertanyaan mendasar adalah apakah sudah terdapat regulasi resmi yang mengatur penerapan siswa jalan kaki ke sekolah di seluruh wilayah Jawa Barat? Ditengarai bahwa hingga saat ini, informasi yang tersedia lebih banyak berasal dari pemberitaan media sosial dan pernyataan singkat dari Gubernur.

    Tanpa adanya Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengikat, kebijakan ini berisiko hanya menjadi tren sesaat tanpa implementasi yang jelas. Secara teori, kebijakan yang kuat memerlukan landasan hukum yang jelas.

    Di samping itu juga diperlukan adanya dukungan dari berbagai pihak terkait, seperti Dinas Pendidikan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pekerjaan Umum.

    Jika hanya berbentuk imbauan tanpa instruksi teknis, program ini akan sulit berjalan efektif, apalagi di daerah dengan kondisi geografis dan infrastruktur yang berbeda-beda.

    Ketiadaan regulasi juga akan menyulitkan sekolah dan orang tua dalam menyesuaikan diri dengan kebijakan ini.

    Jika Pemerintah Provinsi Jawa Barat serius menindaklanjuti kebijakan ini, diperlukan adanya koordinasi yang matang dengan berbagai pemangku kepentingan, khususnya regulasi yang mengikat agar pelaksanaannya berjalan optimal.

    Perbandingan dengan Jepang dan Australia
    Beberapa negara seperti Jepang dan Australia telah sukses menerapkan kebijakan serupa. Di Jepang, anak-anak terbiasa berjalan kaki ke sekolah sebagai bagian dari pendidikan disiplin dan kemandirian.

    Di Australia, program walking school bus diterapkan dengan mendampingi anak-anak berjalan kaki bersama dalam kelompok yang dipantau oleh orang dewasa.

    Namun, keberhasilan program ini di Jepang dan Australia tidak terlepas dari dukungan infrastruktur yang memadai. Hal itu ditunjukkan dengan adanya trotoar yang aman, rambu-rambu lalu lintas khusus pejalan kaki, serta pengawasan dari masyarakat dan pihak berwenang.

  • Misinterpretasi Kebijakan

    Misinterpretasi Kebijakan

    loading…

    Hendarman – Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikdasmen/Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan. Foto/Dok Pribadi

    Hendarman
    Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikdasmen/Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan

    Berbagai kebijakan yang dimunculkan seringkali mendapatkan pendapat pro dan kontra. Harapan yang tadinya begitu tinggi terhadap sebuah kebijakan, dalam perjalanannya ternyata banyak yang juga menimbulkan kekecewaan. Apalagi kebijakan yang mendadak berubah setelah diluncurkan karena adanya berbagai tanggapan dari berbagai pemangku kepentingan terjadap implementasi kebijakan tersebut. Sampai terkesan kebijakan yang ada sekarang sangat mudah diguncang oleh suara netizen. Bukan tidak mungkin nanti akan timbul suatu fenomena baru yaitu bahwa kebijakan yang diusung pemerintah cenderung “kebijakan berbasis viral”.

    Faktanya, banyak implementasi kebijakan yang tidak selamanya berjalan mulus. Padahal, yang membuat kebijakan mengklaim bahwa dalam perumusan kebijakan tersebut sudah mempertimbangkan berbagai aspek. Hal ini terjadi karena kebijakan, secara hakekat, memang dimaksudkan untuk kepentingan publik. Kepentingan publik dimaknai bahwa sebuah kebijakan seharusnya akan memberikan manfaat dan “kebahagiaan” bagi para target kebijakan.

    Kepentingan publik seharusnya tidak dimaknai sebagai seluruh pemangku kepentingan yang ada. Tetapi, dilihat lebih kepada kekhususan yaitu siapa yang menjadi target kebijakan itu sendiri. Kebijakan secara teoretis pada dasarnya memiliki karakteristik khusus yaitu dalam hal konteks, konten dan konfigurasi.

    Karakteristik yang dimiliki sebuah kebijakan tersebut menjadi suatu pembatas. Pembatas diartikan bahwa sebuah kebijakan seyogianya tidak dapat diinterpretasikan secara bebas. Artinya latarbelakang dan pengalaman seseorang yang tidak berkesesuaian akan mendorong lebih banyak adanya multi-tafsir dari sebuah kebijakan. Ini terutama bagi mereka yang tidak berkepentingan atau tidak memiliki kesesuaian dengan konteks, konten, dan konfigurasi kebijakan itu sendiri.

    Munculnya Misinterpretasi Kebijakan
    Ketidakselarasan tersebut acapkali memicu munculnya kegaduhan terhadap komunitas akibat interpretasi kebijakan diungkapkan dengan tidak memahami “ruh kebijakan” itu sendiri. Pendapat atau opini serta kritikan yang lahir lebih kepada cara pandang dan paradigma berfikir yang pada intinya didasarkan atas “pokoknya berani berbicara berbeda”. Ini yang berimplikasi kepada adanya misinterpretasi kebijakan.

    Terkadang ada asumsi yang dipegang bahwa komentar dan tudingan akan dapat membuat rasa empati atau ketidaksukaan terhadap suatu kebijakan. Tetapi, di sisi lain lontaran pendapat tersebut ditujukan untuk menguatkan kebijakan itu sendiri karena dilihat sebagai suatu proses pemahaman dan penyamaan persepsi setelah melalui suatu proses diskursus. Hal ini ditengarai dilatarbelakangi pemikiran bahwa terkadang kebijakan yang diluncurkan atau ditetapkan tersebut tidak atau belum melalui proses sosialisasi atau uji-publik.

    Padahal, suatu kebijakan yang ideal dipersyaratkan untuk diuji terutama dalam hal keterbacaan dan pemahaman. Sehingga ketika kebijakan ini diterapkan tidak menimbulkan kegaduhan dan kekacauan di masyarakat. Yang sering muncul sekarang adalah pkecenderungan bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah tidak memiliki kepastian hukum dan tidak memiliki kepastian bahwa kebijakan itu sendiri akan memberikan dampak manfaat bagi masyarakat. Yang terkesan di masyarakat secara umum adalah bahwa kebijakan yang ditetapkan lebih menguntungkan kepada kelompok tertentu yang bukan merupakan kelompok mayoritas.

    Randall G. Holcombe (2018) dalam bukunya Political Capitalism: How Economic and Political Power Is Made and Maintained, berpendapat bahwa penegakan atau “enforcement” dari suatu kebijakan, sebagai suatu ketentuan hukum, memang harus dimulai dengan interpretasi. Ditegaskannya bahwa interpretasi merupakan suatu hal yang lumrah karena peraturan termasuk kebijakan terkadang memberikan ruang untuk menyebabkan lahirnya perbedaan tafsir. Kebijakan juga cenderung terkait dengan selektivitas yaitu dimana kemungkinan kebijakan diarahkan untuk kepentingan dari kelompok tertentu.

    Holcombe mengatakan lebih lanjut bahwa kata-kata yang tertulis dalam bentuk peraturan atau kebijakan dapat diinterpretasikan dalam berbagai cara. Suatu kebijakan ketika dalam proses perumusan tidak mendapat persetujuan secara aklamasi atau “unanimously”, yaitu mungkin banyak yang cenderung tidak memiliki kesetujuan.

  • Nasib Pengawas Sekolah di Ujung Tanduk?

    Nasib Pengawas Sekolah di Ujung Tanduk?

    loading…

    Siti Yulaikhah – Mahasiswa Program Doktoral Universitas Pakuan Bogor. Foto: Ist

    Siti Yulaikhah
    Mahasiswa Program Doktoral Universitas Pakuan Bogor

    Kebijakan baru Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) melalui Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2024 mengintegrasikan jabatan fungsional pengawas sekolah , penilik sekolah, dan pamong belajar ke dalam jabatan fungsional guru. Perubahan ini ditengarai menimbulkan tantangan bagi sistem supervisi pendidikan.

    Mengapa? Ini terutama karena pengawas sekolah memiliki peran kunci dalam peningkatan mutu pendidikan. Peraturan ini menyebutkan bahwa setelah dua periode menjabat, pengawas akan kembali menjadi guru Ini akan berpotensi memengaruhi stabilitas karier dan motivasi kerja.

    Efisiensi BirokrasiPemerintah berargumen bahwa kebijakan ini bertujuan meningkatkan efisiensi birokrasi dan anggaran pendidikan. Pertama, dengan mengurangi lapisan struktural, supervisi akademik diharapkan lebih dekat dengan praktik kelas.

    Kedua, kepala sekolah akan berperan lebih aktif dalam supervisi. Ketiga, dana yang sebelumnya dialokasikan untuk pengawas dapat digunakan untuk pengembangan profesionalisme guru melalui program seperti Professional Learning Community (PLC).

    Namun, tanpa dukungan pelatihan dan sistem yang memadai, efisiensi ini berisiko menurunkan kualitas supervisi. Juga ditengarai bahwa kebijakan ini berpotensi menimbulkan kemunduran dalam pengawasan.

    Penghapusan pengawas sekolah dapat melemahkan sistem supervisi karena guru yang ditunjuk sebagai pendamping satuan pendidikan mungkin tidak memiliki keahlian khusus dalam supervisi.

    Kurangnya objektivitas dalam penilaian juga menjadi perhatian karena pengawas sebelumnya memiliki posisi independen. Jika pengawasan tidak efektif, kualitas pengajaran dan akuntabilitas dalam pendidikan bisa menurun, sehingga diperlukan mekanisme alternatif untuk menjaga standar supervisi.

    Dampak Sosial dan Psikologis bagi PengawasSelain tantangan administratif, kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan dampak psikologis bagi pengawas yang kembali menjadi guru. Pergeseran peran dari pengawas yang memiliki otoritas supervisi menjadi guru di kelas dapat menimbulkan perasaan menurun dalam jenjang karier. Hal ini bisa berdampak pada motivasi kerja dan tingkat kepuasan profesional.

    Beberapa pengawas mungkin menghadapi kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan budaya kerja yang berbeda, terutama jika mereka sebelumnya bekerja dalam struktur yang lebih independen.Fakta sebagai implikasi kebijakan ini yaitu kembali ke posisi guru setelah bertahun-tahun menjadi pengawas menimbulkan tantangan besar. Mereka perlu beradaptasi dengan perubahan kurikulum, metode pembelajaran berbasis teknologi, serta dinamika kelas.

    Selain itu, faktor usia menjadi kendala karena sebagian besar pengawas yang kembali menjadi guru sudah berusia 55 tahun ke atas. Transisi ini juga berpotensi menurunkan motivasi kerja karena perubahan status jabatan dan kurangnya jenjang karier lanjutan.

    Solusi AlternatifUntuk mengatasi tantangan ini, pemerintah dapat mempertimbangkan beberapa solusi. Pertama, menjadikan Pengawas sebagai Konsultan atau Mentor, yaitu menjadikan pengawas senior sebagai mentor bagi guru pemula, sehingga pengalaman mereka tetap bermanfaat bagi dunia pendidikan. Kedua, jalur karier alternatif di Dinas Pendidikan, misalnya menduduki posisi strategis dalam perumusan kebijakan pendidikan.

    Ketiga, menjadi dosen atau instruktur pelatihan guru. Ini memungkinkan pengawas berkecimpung ke dunia akademik agar dapat membantu membimbing calon guru dan tenaga pendidik lainnya.Keempat, menyesuaikan beban mengajar, yaitujika harus kembali menjadi guru, beban mengajar sebaiknya dikurangi dan lebih difokuskan pada pembinaan guru dalam komunitas profesional seperti PLC.

  • SPMB: Kebijakan Keberpihakan

    SPMB: Kebijakan Keberpihakan

    loading…

    Hendarman – Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikbudristek/ Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan. Foto/Dok Pribadi

    Hendarman
    Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikdasmen/Dosen Pascasarjana Universitas Pakuan

    Kementerian yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2025 Tentang Sistem Penerimaan Murid Baru. Pasal 2 Permendikdasmen ini menjelaskan tujuan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Pertama, memberikan kesempatan yang adil bagi seluruh murid untuk mendapatkan layanan pendidikan berkualitas yang dekat dengan domisili. Kedua, meningkatkan akses dan layanan pendidikan bagi murid dari keluarga ekonomi tidak mampu dan penyandang disabilitas. Ketiga, mendorong peningkatan prestasi murid. Keempat, mengoptimalkan keterlibatan masyarakat dalam proses penerimaan murid.

    Keempat tujuan tersebut jelas mengindikasikan bahwa peraturan ini sebagai kebijakan yang berbasis keberpihakan. Bukti lain ditunjukkan oleh prinsip-prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan SPMB. Sebagaimana dituliskan dalam Pasal 3 ayat (1), SPMB dilaksanakan secara objektif, transparan, akuntabel, berkeadilan; dan tanpa diskriminasi.

    Hal lain yang menunjukkan keberpihakan adalah dilakukan perubahan terkait jalur penerimaan murid baru. Pasal 6 ayat (2) peraturan ini mengatur bahwa jalur penerima meliputi (1) Jalur Domisili; (2) Jalur Afirmasi; (3) Jalur Prestasi; dan (4) Jalur Mutasi. Peraturan ini menegaskan adanya 7 (tujuh) perkecualian terhadap keempat jalur penerimaan tersebut. Ketujuh perkecualian itu meliputi (1) satuan pendidikan kerja sama; (2) satuan pendidikan Indonesia di luar negeri; (3) satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan khusus; (4) satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan layanan khusus; (5) satuan pendidikan berasrama; (6) satuan pendidikan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar; dan (7) satuan pendidikan di daerah yang jumlah penduduk usia sekolah kurang dari jumlah murid paling banyak dalam 1 (satu) rombongan belajar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pengaturan Persentase Jalur SPMB
    Pasal 30 ayat (1) peraturan ini memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah menetapkan persentase jalur penerimaan murid baru untuk keempat jalur tersebut. Terdapat tiga hal terkait dengan persentase kuota untuk Jalur Domisili. Pertama, sebesar paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari daya tampung satuan pendidikan untuk SD. Kedua, paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari daya tampung satuan pendidikan untuk SMP. Ketiga, paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari daya tampung satuan pendidikan untuk SMA.

    Persentase kuota untuk Jalur Afirmasi smengatur tiga hal. Pertama, paling sedikit 15% (lima belas persen) dari daya tampung satuan pendidikan untuk SD. Kedua, paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari daya tampung satuan pendidikan untuk SMP. Ketiga, paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari daya tampung satuan pendidikan untuk SMA.

    Persentase kuota untuk Jalur Prestasi tidak termasuk di SD. Pertama, paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari daya tampung satuan pendidikan untuk SMP. Kedua, paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari daya tampung satuan pendidikan untuk SMA. Sedangkan persentase kuota untuk Jalur Mutasi diatur sebagai paling banyak 5% (lima persen) dari daya tampung satuan pendidikan untuk SD, SMP, dan SMA.

    Pada tahun sebelumnya, persentase jalur prestasi cenderung tidak diatur secara tegas. Sebelumnya jalur prestasi dapat dibuka pemerintah daerah apabila masih terdapat sisa kuota dari jalur pendaftaran zonasi, afirmasi, dan perpindahan tugas orang tua/wali. Penentuan kuota jalur prestasi dapat dipastikan dan dilakukan Dinas Pendidikan jika terdapat potensi sisa daya tampung berdasarkan hasil proyeksi daya tampung, perhitungan potensi calon peserta didik usia sekolah pada jalur afirmasi, dan kuota calon peserta pada jalur perpindahan tugas orang tua/wali.

    Mengantisipasi Praktik Ketidakpatuhan
    Pengalaman tahun lalu menunjukkan adanya daerah-daerah yang tidak mematuhi peraturan terkait kuota. Apakah ketidakpatuhan tersebut disebabkan “niat baik” pemerintah daerah untuk dapat mengakomodir aspirasi masyarakat termasuk orang tua? Ataukah ketidakpatuhan tersebut untuk adanya fleksibilitas lebih tinggi mengingat persentase masing-masing jalur yang tidak proporsional apabila dikaitkan dengan pertimbangan kondisi daerah masing-masing?

    Pada tahun sebelumnya, ditengarai adanya ketidaksamaan persepsi yang dipahami oleh masyarakat terutama orang tua yang tidak memahami secara tepat implikasi peraturan. Keinginan orang tua sangat sederhana yaitu anak-anaknya mendapatkan sekolah yang bermutu dan dekat dengan rumah.

  • Komunitas Pertanian Perkotaan: Pendorong Ketahanan Pangan di Era Urbanisasi

    Komunitas Pertanian Perkotaan: Pendorong Ketahanan Pangan di Era Urbanisasi

    Oleh: Yogaprasta Adi Nugraha (Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, Universitas Pakuan)

    JABAR EKSPRES – Dalam tengah arus urbanisasi yang semakin tinggi membuat komunitas pertanian di kota-kota mulai menunjukkan peran yang sangat penting dalam menjaga ketersediaan pangan lokal di lingkungan sekitarnya.

    Seiring berjalannya waktu komunitas ini berkembang pesat sebagai respon terhadap keterbatasan lahan pertanian tradisional dan tingkat permintaan yang semakin tinggi dari warga untuk mengonsumsi pangan yang sehat serta berkualitas (dikutip dari penelitian Giyarsih dkk., 2024).

    Bukan hal yang baru melihat bahwa tempat-tempat yang dulunya diabaikan seperti halaman rumah, atap bangunan, dan taman kota saat ini digunakan untuk sebagai tempat bercocok tanam berbagai macam sayuran, buah-buahan, bahkan tanaman pangan yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.

    BACA JUGA: Jaga Stabilitas Pangan Jelang Ramadan, Pemkot Bogor Rumuskan Langkah

    Kehadiran komunitas petani perkotaan memberikan dampak positif pada ketahanan pangan lokal (Hertati dkk., 2023).

    Dengan memproduksi makanan secara lokal, masyarakat dapat mengurangi ketergantungan pada distribusi dari luar yang sering kali mengalami fluktuasi harga dan gangguan dalam pengiriman barang tersebut.

    Produksi pangan di wilayah setempat tidak hanya membantu menghemat biaya transportasi dan distribusi, tetapi juga menjaga kesegaran dan kualitas produk yang dikonsumsi oleh masyarakat.

    Selain itu, pendekatan langsung antara produsen dan konsumen ini juga meningkatkan kesadaran masyarakat tentang asal-usul makanan serta proses produksi yang lebih alami dan ramah lingkungan.

    Perkembangan komunitas pertanian di perkotaan dihadapkan pada banyak tantangan salah satunya adalah keterbatasan lahan.

    BACA JUGA: Antisipasi Kenaikan Harga Komoditas Pangan, Kemdagri Perintahkan Pemda Segera Gelar OP

    Di kota-kota besar, setiap inci ruang harus bersaing untuk memenuhi kebutuhan hunian dan infrastruktur. Oleh karena itu, solusi yang serius harus dilakukan untuk mengoptimalkan lahan, seperti memanfaatkan atap gedung dan area publik yang masih tersedia.

    Di sini, dukungan dari pemerintah daerah sangat penting; misalnya, mereka dapat memberikan insentif kepada warga untuk mengembangkan di lingkungan perkotaan dan memasukkan pertanian ke dalam perencanaan tata ruang kota (Wahdah dan Maryono, 2018).