Institusi: Universitas Indonesia

  • Efektivitas Coretax dan Pemajakan Transaksi Digital untuk Target 2026 hanya Bisa Dijawab oleh Waktu

    Efektivitas Coretax dan Pemajakan Transaksi Digital untuk Target 2026 hanya Bisa Dijawab oleh Waktu

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bakal memperkuat sistem administrasi perpajakan Coretax serta memperluas basis penerimaan yakni terhadap transaksi digital guna mendorong target penerimaan 2026. 

    Untuk diketahui, pemerintah tahun depan menargetkan penerimaan pajak hingga Rp2.357,7 triliun sebagaimana diatur pada Undang-Undang (UU) APBN 2026. 

    Otoritas pajak telah menjadikan Coretax sebagai tumpuan utama sistem administrasi pajak berbasis teknologi. Sistem tersebut pun sudah diperbaiki dan dipersiapkan sedemikian rupa untuk digunakan dalam penyampaian SPT tahun depan. 

    Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono menjelaskan penggunaan Coretax didasari oleh logika bahwasanya banyak negara yang sudah menerapkan digital tax administration atau IT-based tax administration system. 

    Harapannya, Coretax memiliki kemampuan interoperabilitas untuk akan lebih mampu mengawasi kepatuhan pajak berdasarkan database yang lebih banyak, namun dengan lebih cepat dan akurat. Akan tetapi, Prianto menilai hanya waktu yang akan mampu menjawab seberapa besar efektivitas Coretax terhadap penerimaan pajak. 

    “Ketika masih berupa rencana, logika dasarnya adalah bahwa rencana tersebut akan berjalan efektif 100%. Jadi, DJP membuat ekspektasi bahwa penguatan Coretax dan perluasan basis penerimaan ke transaksi digital memang bertujuan untuk mengejar penerimaan pajak,” tuturnya kepada Bisnis, Minggu (23/11/2025).

    Menurut Prianto, efektivitas Coretax maupun rencana pemajakan terhadap transaksi digital untuk mendulang penerimaan negara tahun depan hanya bisa dijawab setelah implementasi. Hasilnya nanti akan disandingkan dengan target penerimaan pajak senilai Rp2.357,7 triliun tahun depan. 

    Namun, dia mengakui bahwa transaksi bisnis digital saat ini semakin meningkat secara signifikan. Coretax pun diharapkan bisa membantu rencana ekstensifikasi penerimaan pajak oleh fiskus di 2026 mendatang. 

    “Karena transaksi bisnis secara digital semakin meningkat signifikan, Coretax menjadi sebuah kebutuhan karena DJP memerlukan proses bisnis yang andal di sistem administrasi pajaknya,” terang Prianto.

    Sebelumnya pada konferensi pers APBN KiTa November 2025, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyatakan pihaknya bakal fokus memperkuat sistem pelayanan elektronik pajak yakni Coretax. Sistem administrasi perpajakan itu bakal digunakan untuk mengawal kepatuhan pembayaran pajak tahun berjalan maupun tahun-tahun sebelumnya. 

    Bimo juga mengungkap arahan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk mulai memperluas basis penerimaan pajak, supaya tidak lagi mempraktikkan ‘berburu di kebun binatang’. Perluasan atau ekstensifikasi dilakukan dengan basis data yang ada. 

    “Apakah itu nanti untuk melalui sistem elektronik misalnya, kemudian juga digital transaction yang lain nanti akan kami lihat sesuai dengan arahan pimpinan,” terang Dirjen Pajak lulusan Taruna Nusantara itu, Kamis (20/11/2025). 

    Adapun, untuk mengejar target pajak tahun ini, Bimo mengatakan bakal memaksimalkan seluruh instrumen yang ada. Untuk diketahui, realisasi penerimaan pajak sampai dengan akhir Oktober 2025 baru Rp1.459 triliun atau 70,2% dari outlook laporan semester I/2025.

    Dengan demikian, otoritas pajak masih harus mengejar sisa target pemasukan Rp614,9 triliun. Bimo menyebut pihaknya masih akan menggali seluruh potensi penerimaan dengan beragam strategi yang sudah dicanangkan. 

    Misalnya, dengan mirroring data internal antarunit Kemenkeu seperti Direktorat Jenderal Bea Cukai maupun Direktorat Jenderal Anggaran untuk PNBP. 

    “Kemudian data-data yang akan habis untuk audit dan juga untuk penegakan hukum akan kami selesaikan sampai Desember. Selain itu tentu ada strategi kami untuk penegakan hukum yang multi-door approach dengan semua aparat penegak hukum, kemudian menggabungkan antara tindak pidana perpajakan, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang,” terang Bimo.

  • Tragika Ira Puspadewi: Ketika Keberanian Berinovasi Berujung Penjara

    Tragika Ira Puspadewi: Ketika Keberanian Berinovasi Berujung Penjara

    Tragika Ira Puspadewi: Ketika Keberanian Berinovasi Berujung Penjara
    Pemerhati masalah politik, pertahanan-keamanan, dan hubungan internasional. Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), Bandung.
    BEBERAPA
    bulan terakhir publik sempat menarik napas lega setelah Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang sebelumnya dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara dalam perkara kebijakan impor gula. Meski tidak terbukti memperkaya diri, kebijakan yang ia ambil dinilai merugikan keuangan negara ratusan miliar rupiah.
    Putusan itu memicu kontroversi nasional: apakah seorang pejabat publik harus dipidana meski niatnya adalah menjaga stabilitas pasokan pangan dan mencegah lonjakan harga di tengah ancaman krisis global?
    Di tengah proses banding itu, Presiden Prabowo menggunakan hak prerogatifnya untuk menghentikan penuntutan, yang oleh sebagian pihak dibaca sebagai bentuk koreksi terhadap kekakuan hukum formal.
    Di tengah refleksi publik terhadap kasus Tom Lembong itulah, bangsa ini kembali diguncang oleh vonis 4 tahun 6 bulan penjara terhadap mantan Direktur Utama PT
    ASDP
    Indonesia Ferry,
    Ira Puspadewi
    .
    Vonis tersebut bukan hanya soal satu orang, satu kasus, atau satu keputusan akuisisi korporasi. Ia menjelma menjadi cermin lebih besar tentang cara negara ini memperlakukan para profesional yang bekerja di sektor publik, tentang batas kabur antara risiko bisnis dan tindak pidana korupsi, serta tentang ketakutan baru yang mengancam keberanian melakukan transformasi di tubuh Badan Usaha Milik Negara.
    Kasus ini menjadi perhatian luas setelah konten kreator dan analis kebijakan publik, Ferry Irwandi, membacakan surat pribadi Ira dari balik Rutan KPK. Dalam surat tersebut, Ira menyampaikan kepedihan yang mencabik nalar publik, dimana dirinya divonis meski tidak ditemukan satu rupiah pun aliran dana pribadi dari keputusan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN).
    PPATK, KPK, hingga penggeledahan kantor dan rumah tidak menemukan bukti penerimaan pribadi atau indikasi memperkaya diri. Namun hukuman tetap jatuh atas dasar kelalaian yang dianggap menguntungkan pihak lain.
    Paradoks inilah yang membuat peristiwa ini mengguncang kepercayaan publik. Sebab selama kepemimpinan Ira, ASDP mencatatkan laba tertinggi dalam sejarah perusahaan, keluar dari kondisi “mati suri” menjadi perusahaan feri negara yang agresif, modern, dan berdaya saing.
    Transformasi itu tidak tercapai melalui retorika, tetapi melalui keputusan bisnis yang berani dan penuh risiko. Dan di saat keberanian itu membawa keuntungan bagi negara, keterlibatan hukum pidana justru menghentikannya dengan palu vonis.
    Di sinilah ironi terbesar muncul. Aksi korporasi yang didesain untuk memperkuat kemampuan ASDP dalam menjaga layanan publik bagi daerah Terdepan, Tertinggal, dan Terluar kini ditafsirkan sebagai tindakan melawan hukum.
    ASDP selama ini melayani lebih dari 300 lintasan kapal feri, di mana lebih dari 70 % di antaranya merupakan rute rugi, tetapi tetap harus dijalankan demi logistik pangan, obat-obatan, pendidikan, dan stabilitas harga di wilayah 3T.
    Dalam suratnya, Ira menulis, “Kalau ASDP berhenti melayani daerah 3T, harga telur bisa naik tiga kali lipat.” Artinya, setiap keputusan bisnis ASDP tidak semata soal laba, tetapi soal pengabdian dan mandat konstitusional negara.
    Namun keputusan akuisisi PT JN yang bertujuan memperkuat portofolio kapal untuk menjaga keberlanjutan lintasan subsidi, berakhir menjadi dakwaan kerugian negara. Bagian paling janggal terletak pada perbedaan valuasi yang nyaris tak masuk akal. Konsultan internasional seperti Deloitte dan PYC menilai nilai PT JN berada di kisaran Rp 1,2 triliun, sementara auditor KPK menilai nilai perusahaan tersebut hanya Rp 19 miliar.
    Bagaimana mungkin perusahaan dengan pendapatan sekitar Rp 600 miliar per tahun dinilai hanya Rp 19 miliar? Di sinilah letak persoalan mendasarnya. Apakah kita sedang menilai kerugian negara atau sedang memproduksi kerugian logika publik?
    Majelis hakim dalam amar putusannya mengakui tidak ada indikasi motif memperkaya diri maupun aliran dana pribadi. Namun tetap menjatuhkan vonis berdasarkan argumentasi bahwa keputusan tersebut termasuk kelalaian yang menguntungkan pihak lain. Pada titik ini, garis pemisah antara tindak pidana dan risiko manajerial menjadi kabur.
    Jika semua keputusan bisnis harus bebas dari risiko, maka bisnis tidak lagi mungkin dilakukan. Jika pemimpin dipenjara karena keputusan yang memberikan manfaat tetapi berada dalam wilayah interpretasi berbeda, maka tidak ada ruang untuk
    inovasi
    . Dan jika setiap keputusan berani dapat dihadapkan pada ancaman pidana, maka akan jauh lebih aman untuk tidak mengambil keputusan sama sekali.
    Reaksi publik pun terbagi tajam. Aparat penegak hukum menyambut putusan sebagai aksi pemberantasan korupsi, sementara akademisi dan praktisi manajemen justru melihatnya sebagai sinyal berbahaya bagi iklim profesionalisme di
    BUMN
    .
    Salah satu suara paling keras datang dari Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, yang mengaku heran dan sedih. Menurutnya, keputusan akuisisi adalah aksi korporasi yang wajar dan strategis, bukan tindakan kriminal. Ia memperingatkan bahwa keputusan seperti ini akan membuat para profesional terbaik enggan kembali mengabdi pada negara.
    Bayangkan seorang diaspora Indonesia yang sudah sukses di New York diminta pulang untuk membenahi BUMN yang sedang sekarat, mengerahkan kemampuan terbaiknya, menghasilkan laba tertinggi sepanjang sejarah, tetapi kemudian dipenjara karena perbedaan tafsir nilai aset. Apakah setelah menyaksikan kasus seperti ini, masih ada orang yang mau kembali?
    Dampak kasus ini tidak berhenti pada satu tokoh. Ia berpotensi melumpuhkan keberanian para direksi dan pemimpin manajemen di BUMN. Jika setiap aksi transformasi berujung risiko penjara, maka pilihan paling aman adalah bersikap pasif, menjaga status quo, menghindari inovasi, dan membiarkan perusahaan berjalan tanpa arah.
    Akibatnya, BUMN kembali tenggelam dalam pola lama, yaitu bersifat birokratis, lamban, dan tanpa terobosan. Negara akan kehilangan kemampuan bersaing, dan masyarakat akan menjadi korban dari stagnasi itu.
    Kasus ini juga menguji sejauh mana hukum di Indonesia mampu menimbang keadilan substantif di atas keadilan prosedural. Keadilan tidak boleh hanya sebatas aturan hitam di atas putih, tetapi harus mempertimbangkan niat, dampak publik, dan konteks sosial. Kasus Ira adalah contoh nyata dari apa yang pernah digambarkan Lon L. Fuller dalam karyanya
    The Morality of Law
    (1964) sebagai benturan antara aturan hukum yang prosedural dengan moralitas kebijakan publik.
    Fuller mengingatkan bahwa hukum tidak boleh hanya benar secara tekstual dan prosedural, tetapi harus mengabdi pada tujuan moral dan rasionalitas publik. Jika seorang pengambil kebijakan bertindak dalam itikad baik, berlandaskan kepentingan umum dan prinsip tata kelola yang baik, memidana tindakan tersebut justru bertentangan dengan moralitas hukum itu sendiri.
    Dalam teori administrasi publik modern, Michael Lipsky (1980) menjelaskan bahwa kebijakan publik sering lahir di zona abu-abu, di tengah kondisi tekanan dan kompleksitas di mana kepatuhan mekanistik terhadap aturan tidak selalu menghasilkan keputusan yang paling baik bagi masyarakat. Para pengambil keputusan publik kerap menghadapi dilemma, memilih tindakan aman secara birokratis, atau mengambil keputusan berisiko demi menyelamatkan kepentingan publik yang lebih besar.
    Karena itu, perlu koreksi terhadap penggunaan hukum pidana yang terlalu mekanistik, sebagai penegasan bahwa hukum tidak boleh melukai akal sehat dan tujuan keadilan substantif. Jika manajemen profesional yang berintegritas dihukum tanpa bukti keuntungan pribadi, maka hukum kehilangan arah moralnya.
    Penegakan hukum anti korupsi memang mutlak penting, tetapi lebih penting lagi kemampuan untuk membedakan korupsi yang nyata dengan kegagalan atau risiko bisnis yang tidak memiliki motif kriminal. Tanpa perbedaan itu, kita mengorbankan esensi pembangunan nasional dan menakut-nakuti para pembawa perubahan.
    Kasus Ira Puspadewi kini telah menjadi metafora perjalanan bangsa. Apakah Indonesia ingin membangun BUMN progresif yang berani mengambil risiko demi kepentingan nasional, atau memilih untuk mengekang transformasi dan memerangkap mereka yang berniat baik? Apakah negara ingin pemimpin visioner yang berlari cepat, atau birokrat penakut yang hanya menjaga keamanan jabatan?
    Peristiwa ini mengajukan pertanyaan paling penting yang harus dijawab bersama: Apakah kita siap kehilangan orang-orang terbaik yang masih berani memperbaiki negeri ini? Jika aksi korporasi dipidana dan inovasi dibalas dengan penjara, maka masa depan BUMN hanya akan berisi ketakutan, bukan keberanian. Dan di titik itu, bangsa ini bukan hanya menghukum seorang individu, tetapi menghukum dirinya sendiri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tim Ekpedisi Patriot Kementrans bantu buat gudang Bulog di Morotai

    Tim Ekpedisi Patriot Kementrans bantu buat gudang Bulog di Morotai

    Jakarta (ANTARA) – Tim Ekspedisi Patriot Universitas Indonesia (TEP UI), yang didukung oleh Kementerian Transmigrasi (Kementrans), berkolaborasi dengan Perum Bulog untuk menjadikan Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, sebagai salah satu tempat pembangunan 100 gudang beras baru.

    TEP UI Morotai yang diketuai oleh Rachma Fitriati, dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, aktif melakukan penjajakan dengan Bulog sejak Agustus 2025 untuk merealisasikan program gudang tersebut yang ditargetkan beroperasi sebelum panen raya 2026.

    Menteri Transmigrasi (Mentrans) M. Iftitah Sulaiman Suryanagara dalam keterangan resminya yang diterima di Jakarta, Sabtu, menyatakan bahwa pembangunan gudang tersebut bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan bagian integral dari pengembangan kawasan transmigrasi modern.

    Ia menuturkan, gudang senilai Rp5 triliun tersebut diproyeksikan menjadi “Markas Pangan” yang dilengkapi teknologi rice milling unit (mesin pengolah gabah) dan dryer (alat pengering) modern yang diharapkan mampu mendongkrak produktivitas petani dan transmigran lokal.

    Gudang tersebut nantinya akan menerapkan sistem pay-per-use (pembayaran sesuai porsi pemakaian), sehingga memungkinkan petani mengakses teknologi canggih dengan biaya terjangkau.

    “Program New Transmigrasi akan fokus pada pengembangan kawasan produktif untuk ketahanan pangan. Morotai dengan gudang BULOG-nya akan menjadi model percontohan kawasan transmigrasi berbasis industri pangan terintegrasi,” kata M. Iftitah Sulaiman Suryanagara.

    Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Usaha Mikro Kecil Menengah (Perindagkop UMKM) Morotai M. Ramlan Drakel menilai kolaborasi tersebut sebagai momentum tepat untuk memperkuat rantai nilai UMKM pangan lokal.

    Pewarta: Uyu Septiyati Liman
    Editor: Zaenal Abidin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pendiri LPI Boni Hargens Apresiasi Kinerja Polri dan Beberkan Pekerjaan Rumah ke Depan

    Pendiri LPI Boni Hargens Apresiasi Kinerja Polri dan Beberkan Pekerjaan Rumah ke Depan

    Hargens menjelaskan, keunggulan Polri khususnya terlihat pada domain hasil, yang mengukur dampak nyata dari kebijakan dan operasi kepolisian terhadap tingkat keamanan nasional.

    Menurut dia, domain ini mengevaluasi seberapa efektif institusi kepolisian dalam mengurangi tingkat kejahatan, merespons insiden keamanan, dan menciptakan lingkungan yang aman bagi masyarakat.

    “Prestasi ini menandai era baru dalam sejarah Polri sebagai institusi yang tidak hanya fokus pada proses, tetapi juga menghasilkan dampak terukur yang positif bagi keamanan nasional,” terang Alumnus Universitas Indonesia dan Universtat Wien, Austria ini.

    Hargens mengakui, 2023 menjadi tahun yang penuh prestasi bagi Polri di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Berbagai keberhasilan dalam pengungkapan tindak pidana, pemberantasan narkoba, penanganan terorisme, dan pemberantasan korupsi menunjukkan komitmen institusi terhadap supremasi hukum dan keadilan.

    “Pendekatan komprehensif yang mengedepankan profesionalisme, teknologi modern, dan kolaborasi multi-pihak telah membuahkan hasil yang nyata dan terukur,” kata dia.

    Apalagi, kata Hargens, saat ini, tingkat kepuasan terhadap kinerja Polri secara keseluruhan mendekati angka 80 persen jika bersandar pada hasil studi Litbang Kompas, Rumah Politik Indonesia (RPI) dan lembaga lain yang melakukan survei pada tahun 2025.

    Dia menjelaskan, survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas memberikan validasi empiris terhadap persepsi positif masyarakat terhadap kinerja Polri. Tingkat kepuasan masyarakat mencapai angka impresif 87,8%, dengan 89% responden menyatakan kepuasan mereka terhadap upaya Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

    “Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari hubungan yang semakin erat antara Polri dan masyarakat yang dilayaninya. Kepercayaan publik yang tinggi ini menjadi modal sosial yang sangat berharga dalam menjalankan tugas-tugas kepolisian,” tutur dia.

    Hargens juga mengatakan Polri juga mendapat apresiasi khusus atas peningkatan kualitas pelayanan publik dan implementasi pengawasan internal yang konsisten. Sistem pengaduan masyarakat terus diperbaiki meskipun diakui masih ada ruang untuk perbaikan lebih lanjut.

    “Komitmen Kapolri terhadap profesionalisme personel melalui pelatihan berkelanjutan, peningkatan kesejahteraan anggota, dan penerapan sistem pengawasan melekat (waskat) yang ketat menjadi faktor fundamental di balik keberhasilan ini,” papar Hargens.

     

  • Menyeimbangkan Pengamanan Transaksi Elektronik dan Inklusi Keuangan

    Menyeimbangkan Pengamanan Transaksi Elektronik dan Inklusi Keuangan

    Jakarta

    Saat ini teknologi digital telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita, termasuk dalam melakukan transaksi ekonomi. Dari berbagai penggunaan digital ekonomi, satu yang terlihat menonjol dan berkembang sangat pesat adalah penggunaan teknologi tersebut dalam transaksi keuangan. Bank Indonesia mencatat nilai transaksi melalui Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) melesat menjadi Rp 659,93 triliun dari 6,24 miliar transaksi di tahun 2024 dari hanya Rp 8,21 triliun yang berasal dari 124,11 juta transaksi di tahun 2020. Sementara transaksi uang elektronik naik 34,62 persen menjadi Rp 2,5 kuadriliun di tahun 2024 dari Rp 1,85 kuadriliun di tahun sebelumnya.

    Tetapi, selalu ada dua sisi dari kemajuan teknologi. Seiring masifnya transaksi keuangan digital, praktek-praktek penipuan atau scam menggunakan platform digital juga mengalami peningkatan tajam. Berdasarkan laporan Indonesia Anti-Scam Center (IASC), terdapat 323.841 laporan terkait penipuan yang dihimpun selama satu tahun sejak peluncurannya pada November 2024. Besarnya permasalahan ini tentu saja perlu ditangani secara tepat agar berbagai pihak yang terlibat dalam transaksi keuangan mendapatkan perlindungan yang mencukupi, tanpa memberatkan semua pihak, dan dapat diterapkan secara efektif.

    Dalam rangka memberikan perlindungan tersebut, Undang-Undang No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang baru saja direvisi tahun lalu, mengharuskan setiap transaksi elektronik yang memiliki risiko tinggi untuk menggunakan tanda tangan elektronik tersertifikasi (TTET). Apa yang dimaksud dengan transaksi berisiko tinggi? Ternyata dalam penjelasan UU tersebut, definisinya adalah “transaksi keuangan yang tidak dilakukan dengan tatap muka secara fisik”. Definisi yang sangat luas ini tentu saja dapat menimbulkan berbagai implikasi kepada seluruh pemangku kepentingan.

    Satu hal yang pasti adalah akan adanya tambahan biaya operasional dari kewajiban tersebut. Kewajiban ini bukan saja membebani pelaku industri, tetapi juga bisa menjadi biaya tambahan kepada pengguna. Bila hal tersebut terjadi, maka kebijakan yang diambil menjadi kontradiktif terhadap upaya peningkatan inklusi keuangan, terutama di daerah area tertinggal. Padahal peningkatan inklusi keuangan, dengan target 93 persen pada 2029 telah menjadi indikator Sasaran Utama Prioritas Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.

    Dari sisi industri keuangan, kewajiban ini juga tentunya akan menimbulkan tambahan beban biaya. Ini dapat memberikan disinsentif bagi industri untuk melakukan berbagai inovasi yang diperlukan, bukan hanya dalam pelayanan, tetapi juga inovasi dalam pengamanan. Sebenarnya, sudah banyak invoasi yang diterapkan untuk meningkatkan pengamanan dan perlindungan, seperti know your customer (KYC), one-time password (OTP), biometrik, dan two-factor authentification (2FA). Berbagai inovasi tersebut juga sudah diakui oleh lembaga regulator terkait, seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.

    Patut juga dipertanyakan efektifitas dari aturan ini. Kejahatan siber yang sering terjadi di Indonesia bukanlah pemalsuan identitas data pribadi, tapi lebih sering dalam bentuk social engineering untuk mengelabui korban dalam melakukan pembayaran secara legal dan terotorisasi. Titik paling rentan bagi keamanan pengguna layanan keuangan digital adalah literasi digital dan keuangan masyarakat Indonesia yang belum memadai, bukan penggunaan data pribadi secara ilegal. Kewajiban penggunaan TTET ini tidak akan efektif menyelesaikan permasalahan yang ada, karena memang permasalahan utama bukanlah hal yang akan diselesaikan oleh kebijakan tersebut.

    Mengingat bahwa kebijakan tersebut memberikan beban tambahan kepada pengguna maupun industri, sementara efektifitasnya masih diragukan, pemerintah perlu menetapkan batasan yang lebih jelas bagi transaksi elektronik berisiko tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkannya dalam rencana revisi Peraturan Pemerintah No. 71/2019.

    Tanpa adanya kebijakan yang memberikan batasan, maka keharusan penggunaan TTET justru dapat menjadi bumerang dan kontra produktif terhadap inklusi keuangan. Ini juga memberikan pengaruh yang tidak diinginkan terhadap perkembangan ekonomi digital secara keseluruhan dan berpotensi menganggu pencapaian pertumbuhan ekonomi 8% seperti yang direncanakan.

    Sebenarnya ada beberapa alternatif solusi yang lebih efektif dalam memitigasi risiko penggunaan transaksi elektronik. Yang utama dan paling penting adalah memperkuat sosialisasi dan edukasi literasi keuangan di Indonesia. Upaya ini perlu ditingkatkan secara terstruktur, konsisten, dan berkelanjutan, terutama bagi kelompok masyarakat yang rentan terhadap penipuan.

    Selain itu, kolaborasi dan sinergi lintas sektor dalam melawan penipuan/scam pada transaksi elektronik perlu dilakukan melalui fraud detection system maupun fraud database yang dapat menindak secara cepat para pelaku kejahatan elektronik. Inisiatif yang diluncurkan OJK melalui Indonesia Anti Scam Center (IASC) menjadi sebuah refleksi dari kolaborasi antara regulator dan industri keuangan pada 2024 untuk berbagi informasi daftar hitam secara real-time. Selain itu, IASC juga dapat menjadi acuan upaya anti scam berbasis prinsip ekonomi di sektor jasa keuangan.

    State of Scams in Indonesia 2025 Report yang diterbitkan oleh Global Anti Scam Alliance (GASA) mencatat bahwa 66 persen orang dewasa di Indonesia terpapar upaya scam setiap bulannya, dengan total 55 upaya scam per orang per tahun. Hal ini mencerminkan betapa masif dan terorganisasinya pola scam saat ini. Dalam konteks ini, kehadiran IASC menjadi sebuah tonggak penting yang menunjukkan bahwa Indonesia mulai membangun sistem pertahanan digital yang lebih terintegrasi.

    Dalam penerapan kewajiban TTET, pemerintah juga perlu menggunakan cost-benefit analysis dalam menajamkan definisi transaksi berisiko tinggi yang akan menggunakan TTET melalui revisi PP No. 71/2019. Ini juga perlu diikuti dengan proses benchmarking secara sistematis untuk memutuskan kebijakan yang tepat terhadap pengamanan transaksi elektronik. Tidak ada satu negara pun yang mewajibkan penggunaan TTET sebagai cara untuk terhadap risiko penipuan/scam.

    Pengaturan teknis lanjutan mengenai transaksi berisiko tinggi sebaiknya ditetapkan regulator dengan kewenangan paling sesuai, misalnya BI dan OJK pada sektor keuangan. Ini dilakukan agar penerapan kebijakan menjadi lebih kontekstual, sehingga memastikan keseimbangan pengendalian risiko dan keberlanjutan inovasi di industri transaksi elektronik, serta menghidari dampak kontraproduktif terhadap pencapaian perkembangan ekonomi digital dan inklusi keuangan di Indonesia.

    Ditulis oleh Yose Rizal Damuri, Direktur Eksekutif, Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia. Lulusan S1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan master The Australian National University ini juga mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

    (asj/asj)

  • BTN ajak mahasiswa USU buat inovasi hunian dukung Program 3 Juta Rumah

    BTN ajak mahasiswa USU buat inovasi hunian dukung Program 3 Juta Rumah

    Jakarta (ANTARA) – PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) menggelar roadshow kompetisi BTN Housingpreneur 2025 di Universitas Sumatera Utara (USU) untuk mengajak mahasiswa mencari solusi hunian yang adaptif dan berkelanjutan dalam mendukung Program 3 Juta Rumah.

    Corporate Secretary BTN Ramon Armando menyatakan kunjungan pihaknya ke kampus tersebut untuk menjaring ide-ide segar dari generasi muda mengenai konsep hunian yang relevan dengan perkembangan gaya hidup masyarakat perkotaan saat ini.

    Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat, ia menjelaskan bahwa dinamika gaya hidup masyarakat Indonesia yang terus berubah menuntut adanya evolusi dalam penyediaan hunian.

    “BTN Housingpreneur 2025 merupakan wujud komitmen BTN mendukung Program Tiga Juta Rumah agar lahir terobosan nyata dan relevan yang menjawab kebutuhan akan rumah layak huni serta terjangkau bagi masyarakat Indonesia,” katanya.

    Kepala Kantor BTN Wilayah Sumatera Noor Ridlo menekankan bahwa ajang ini tidak hanya kompetisi biasa, tetapi juga kolaborasi yang diharapkan menyatukan visi antara mahasiswa, akademisi, pengusaha, pengembang, hingga perbankan.

    “Kolaborasi antara mahasiswa, akademisi, pengusaha, pengembang, dan perbankan ini diharapkan dapat menciptakan solusi atas tantangan sektor perumahan di Indonesia,” ujarnya.

    Sekretaris USU Muhammad Fidel Ganis Siregar menyambut positif kolaborasi tersebut dan mendorong para mahasiswa untuk memanfaatkan kompetisi yang berlangsung.

    Ia meminta para mahasiswa agar tidak hanya berpikir tentang bangunan fisik, tetapi juga merancang kota-kota di Sumatera Utara agar lebih nyaman untuk ditinggali dan terjangkau.

    “USU memiliki tanggung jawab moral, tidak hanya membangun perumahan secara fisik tapi juga menciptakan ekosistem kehidupan yang mampu menghadirkan inovasi, mampu diakses banyak orang, dan terjangkau,” katanya.

    BTN mengusung tema “Housing for Nation: Smart, Green, Inclusive” pada gelaran Housingpreneur 2025 yang menuntut peserta untuk menghadirkan konsep hunian cerdas, ramah lingkungan, dan inklusif.

    Kompetisi tahunan yang terbuka untuk pengembang, pengusaha, arsitek, mahasiswa, dan masyarakat umum tersebut kali ini menyiapkan total hadiah yang mencapai Rp1,5 miliar. Pendaftaran masih dibuka hingga 15 Desember 2025 melalui laman resmi www.btnhousingpreneur.com maupun akun Instagram @btnhousingpreneur.

    Sebelum berkunjung ke USU, BTN telah memulai rangkaian roadshow di Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, dilanjutkan dengan Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jawa Barat, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Jawa Timur.

    Setelah USU, bank BUMN tersebut akan melanjutkan kunjungan ke sejumlah kampus di Makassar, Sulawesi Selatan, dan Jakarta.

    Pewarta: Uyu Septiyati Liman
    Editor: M. Hari Atmoko
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • OPPO Curi Perhatian di JGTC 2025, Jadi Partner Andalan Anak Muda

    OPPO Curi Perhatian di JGTC 2025, Jadi Partner Andalan Anak Muda

    Jakarta

    OPPO kembali memperkuat posisinya sebagai brand teknologi yang dekat dengan generasi muda melalui kehadirannya di The 48th Jazz Goes to Campus (JGTC), salah satu konser musik mahasiswa paling ditunggu yang diselenggarakan di Universitas Indonesia. Kolaborasi ini membawa rangkaian aktivitas kreatif dan interaktif yang dirancang untuk mendorong eksplorasi, ekspresi diri, serta memberikan pengalaman tak terlupakan bagi para pengunjung.

    Sebagai bagian dari kolaborasi ini, OPPO menghadirkan beragam aktivasi seru mulai dari spot foto estetik, kuis interaktif berhadiah, doorprize eksklusif, hingga experience zone di mana para mahasiswa dapat mencoba langsung inovasi terbaru OPPO, terutama teknologi kamera dan performa dari OPPO Find X9 Series dan Reno14 Series.

    Eksplorasi Tanpa Batas Lewat Kamera OPPO Find X9 Series & Reno14 Series

    OPPO memberikan kesempatan bagi seluruh pengunjung untuk menangkap momen konser dengan kualitas tinggi menggunakan OPPO Find X9 Series dan Reno14 Series. Sensor ultra jernih dan kemampuan zoom yang impresif memungkinkan anak muda mengabadikan suasana panggung secara detail, bahkan dalam kondisi pencahayaan konser yang dinamis.

    Melalui OPPO Hasselblad Teleconverter, pengguna bahkan bisa mendapat foto jarak jauh dengan kejernihan luar biasa, mulai dari ekspresi musisi hingga suasana crowd yang seru. Pengalaman tersebut juga dirasakan langsung oleh para pengunjung.

    “Find X9 Pro desainnya enak buat digenggam sama enak buat bikin konten dengan kameranya. Kualitas kamera buat aku itu penting banget, karena aku mau banget mengabadikan momen konser yang bagus. Dengan HP OPPO, bebas panik, really enjoyed, dan ini recommend banget,” tutur Mahasiswa UI Dylan Ferdinand.

    Komentar serupa juga datang dari pengunjung lainnya yang memuji stabilitas kamera dan daya tahan baterai Reno14 Series.

    “HP ini bisa nangkep momen cepat, jadi walaupun aku gerak-gerak, masih tetap stabil hasil fotonya. Pokoknya Reno14 Series the best deh, karena dia nemenin aku terus dari pagi sampai malam, baterainya ngga habis-habis, kameranya juga bagus banget,” jelas Mahasiswi UI, Kayla Nuha.

    OPPO Curi Perhatian di JGTC 2025, Jadi Partner Andalan Anak Muda Foto: OPPO

    OPPO Find X9 Series hadir menetapkan standar baru untuk performa dan fotografi pro dalam genggaman anak-muda. Ditenagai prosesor MediaTek Dimensity 9500 dan baterai jumbo 7.500 mAh yang mendukung penggunaan sepanjang hari, Find X9 Pro juga dilengkapi dengan kamera 200MP Hasselblad Telephoto yang mampu melakukan 120x Super Zoom serta stabilitas tinggi, menjadikannya ideal untuk mengabadikan momen konser dan hang-out.

    Sementara OPPO Reno14 Series tampil sebagai pilihan tepat bagi para mahasiswa yang mencari keseimbangan antara gaya, kemampuan kamera, dan daya tahan. Dengan tampilan yang stylish dengan desain “Iridescent Mermaid Glow”, Reno14 juga dibekali fitur AI Flash Photography dan AI Editor 2.0 yang memungkinkan pengguna mengabadikan momen malam atau di kondisi cahaya rendah dengan hasil tajam dan siap dibagi ke media sosial.

    Membangun Kedekatan dengan Komunitas Kampus

    Kehadiran OPPO di event musik mahasiswa ini merupakan langkah strategis untuk semakin dekat dengan generasi muda. Selain program OPPO Campus Ambassador yang berfokus pada pengembangan skill mahasiswa, OPPO juga hadir pada event-event seru seperti musik festival yang menjadi sarana ideal untuk membangun kedekatan dengan anak muda lewat OPPO Campus Community.

    Musik dan teknologi adalah dua elemen yang lekat dengan gaya hidup kampus, membuat kehadiran OPPO di JGTC menjadi momen yang tepat untuk menemani keseruan dan kebersamaan para anak muda. Tingginya antusiasme mahasiswa dalam mencoba berbagai aktivitas dan fitur OPPO menciptakan pengalaman positif yang mendalam, sekaligus menjadi “core memory” bagi mereka dalam momen kebersamaan tersebut.

    Melalui rangkaian acara dan pengalaman langsung, OPPO berhasil memperkuat posisinya sebagai partner yang memahami kebutuhan dan ritme hidup generasi muda, mulai dari kebutuhan dokumentasi momen, mobilitas tinggi, hingga daya tahan perangkat sepanjang hari.

    Untuk informasi lengkap tentang OPPO Find X9 Series dan Reno14 Series, silakan kunjungi sosial media dan situs resmi OPPO Indonesia pada tautan berikut ini: https://www.oppo.com/id/

    (ega/ega)

  • Naiknya Elektabilitas Gerindra dan Kompetisi Internal Koalisi

    Naiknya Elektabilitas Gerindra dan Kompetisi Internal Koalisi

    Naiknya Elektabilitas Gerindra dan Kompetisi Internal Koalisi
    Direktur Eksekutif The Strategic Lab | Alumnus Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta, Alumnus Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia
    INGATAN
    kita tentang Pemilu 2024 masih begitu membekas. Kini, ingatan publik kembali dijejali gelaran Pemilu 2029: mulai dari siapa saja calon presiden potensial, partai politik apa saja yang bakal bertanding, partai politik mana yang elektablitas naik, stagnan dan merosot.
    Padahal, di antara dua pemilu, ada janji yang harus ditunaikan dan kesejahteraan rakyat yang harus diwujudkan.
    Hasil survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 20-27 Oktober 2025, memotret munculnya nama-nama calon presiden potensial dan naik-turunnya elektabilitas partai politik.
    Ada yang menarik dari hasil survei Indikator Politik Indonesia tersebut: elektabilitas
    Gerindra
    naik secara eksponensial mencapai angka 29,4 persen, jauh di atas partai papan atas lainnya seperti PDIP (9,4 persen) dan Golkar (8,9 persen).
    Padahal, hasil Pemilu 2024 menempatkan Gerindra di urutan pemenang ketiga dengan perolehan suara nasional sebesar 13,22 persen, sementara PDIP (16,72 persen) berada pada pemenang pertama dan Golkar (15,29 persen) berada pada pemenang kedua.
    Hasil survei tersebut menjadi langkah awal yang optimistis bagi Gerindra sekaligus alarm peringatan bagi partai politik lainnya.
    Mengapa elektabilitas Gerindra melenting, sementara elektabilitas partai politik lainnya, terutama partai politik pendukung koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran, cenderung mengalami penurunan? Ini terkait dengan faktor kinerja kepemimpinan Prabowo dan sistem pemilu.
    Bagaimana pun juga, elektabilitas Gerindra sangat terkait dengan kinerja kepemimpinan Presiden
    Prabowo Subianto
    .
    Prabowo adalah pendiri partai yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra. Bisa dikatakan, apa yang dilakukan oleh kepemimpinan Prabowo memiliki dampak terhadap Gerindra, termasuk elektoral.
    Inilah yang dinamakan
    coatail effect
    atau efek ekor jas. Partai-partai pendukung pemerintah akan mendapatkan manfaat elektoral dari kinerja positif presiden.
    Tingkat kepuasaan masyarakat terhadap kinerja presiden berbanding lurus dengan tingkat dukungan terhadap partai-partai pendukungannya.
    Dalam konteks ini, Gerindra sebagai partainya presiden mendapatkan manfaat elektoral terbesar ketimbang partai-partai pendukung lainnya seperti Golkar, PAN dan Demokrat.
    Presedennya sudah ada. Partai Demokrat mengalami kenaikan signifikan suara, dari 7,45 persen pada 2004 menjadi 20,81 persen pada 2009.
    Kenaikan elektabilitas Demokrat tersebut terjadi dalam 10 tahun kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Masyarakat menghadiahi keberhasilan kepemimpinan SBY dengan memilih Demokrat yang notabene merupakan partainya SBY.
    Apa yang terjadi dengan Gerindra dalam masa kepemimpinan Presiden Prabowo –dengan potret ‘sementara’ hasil survei Indikator Politik Indonesia tersebut– menyerupai dengan pengalaman Demokrat dalam masa kepemimpinan SBY.
    Bedanya, naiknya elektabilitas Gerindra masih pada tahap hasil survei, bukan hasil resmi pemilu.
    Meskipun demikian, hal ini mencerminkan bahwa Gerindra mendapatkan ‘hadiah’
    coatail effect
    dari kinerja Presiden Prabowo yang tingkat kepuasannya mencapai 77,7 persen.
    Dalam simulasi calon presiden, elektabilits Prabowo berada di atas calon-calon yang lain, yaitu mencapai 46,7 persen.
    Tingginya tingkat kepuasaan Prabowo dan naiknya elektabilitas Gerindra ditopang oleh pelbagai program populis Prabowo seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih dan Sekolah Rakyat.
    Program populis tersebut disertai dengan retorika populis yang memang khas Prabowo, seperti antek-antek asing, pakai uang koruptor untuk rakyat, tindak tegas tambang ilegal meskipun dibekengi para jenderal dan lain sebagainya.
    Rasa-rasanya, program dan retorika populis adalah kombinasi yang tepat untuk menyentuh hati rakyat. Apalagi program populis seperti MBG dan Kopdes Merah Putih melibatkan orang dalam jumlah yang banyak dengan jejaring hingga ke pelosok negeri, yang sangat potensial dijadikan infrastruktur politik ke depannya.
    Jika hanya Gerindra yang memperoleh
    coatail effect
    terbesar Prabowo, lalu bagaimana nasib elektoral partai-partai koalisinya? Di sinilah kompetisi politik sesungguhnya akan terjadi: kompetisi internal antarpartai politik dalam koalisi.
    Tanpa mendahului nasib politik, Pemilu 2029 tentu menguntungkan petahana. Dalam sejarah pemilihan presiden langsung pascareformasi, presiden selalu menjabat dua periode atau 10 tahun kepemimpinan.
    Karena itu, selain memperebutkan posisi cawapres-nya Prabowo, kompetisi politik sesungguhnya terjadi antarpartai politik, terutama di antara partai politik koalisi pemerintah.
    Dengan kata lain, dukungan dalam Pilpres boleh sama, tapi urusan pemilihan legislatif (pileg) masing-masing partai politik saling berebut suara pemilih.
    Masing-masing partai politik tentu tidak menghendaki penurunan perolehan suara, yang otomatis berdampak pada penurunan perolehan kursi di parlemen.
    Kerja elektoral adalah kerja kesunyian masing-masing partai dan caleg. Dengan naiknya elektabilitas Gerindra dalam survei tersebut berarti alarm bagi partai-partai koalisi pemerintah.
    Ada dua kemungkinan respons partai: semakin mengasosiasikan dengan Prabowo agar kebagian
    coatail effect. 
    Atau sedikit mengambil jarak, tapi masih dalam radar pendukung pemerintah, demi fokus persiapan menghadapi pemilu.
    Dua kemungkinan respons tersebut akan diuji dalam agenda politik terdekat, yaitu terkait Revisi UU Pemilu yang notabene merupakan aturan main kompetisi.
    Elektabilitas Gerindra boleh tinggi –sebagaimana dipotret dalam hasil survei Indikator Politik Indonesia di atas– dalam sistem proporsional tertutup (memilih partai saja).
    Namun, dalam sistem proporsional terbuka hari ini (memilih caleg dan atau partai) apakah elektabilitas Gerindra bakal tetap tinggi?
    Bagaimana pun juga, sistem pemilu menjadi salah satu penentu kemenangan suatu partai politik.
    Karena itu, Revisi UU Pemilu yang rencana akan dibahas di DPR RI pada 2026 mendatang, menjadi arena kompetisi antarpartai politik, termasuk kompetisi internal koalisi pemerintah. Di sini lah kompetisi awal itu akan berlangsung, sebelum menghadapi pemilu mendatang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Merombak Gaji ASN: Apakah Single Salary Jalan Keluar dari Kesenjangan?

    Merombak Gaji ASN: Apakah Single Salary Jalan Keluar dari Kesenjangan?

    Merombak Gaji ASN: Apakah Single Salary Jalan Keluar dari Kesenjangan?
    ASN Kementerian Komunikasi dan DigitalMahasiswa Magister Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
    ISU
    penggajian Aparatur Sipil Negara (ASN) kembali masuk ke ruang percakapan publik. Perdebatan tentang kesenjangan tunjangan kinerja antar-instansi, keberlanjutan fiskal negara, dan rencana penerapan
    single salary
    atau sistem gaji tunggal muncul bergantian dalam pemberitaan.
    Tidak sedikit
    ASN
    yang mengunggah keluhan di media sosial mengenai perbedaan
    take home pay
    yang ekstrem, ada yang hanya beberapa juta rupiah, namun ada pula yang mencapai puluhan juta untuk jabatan dan golongan yang hampir sama. Ketika publik mempertanyakan efektivitas dan profesionalisme birokrasi, kebingungan soal struktur gaji yang ruwet dan tidak transparan ikut memperkeruh persepsi.
    Di tengah riuh rendah itu, pemerintah dan DPR memperkenalkan kembali rencana
    single salary
    , model
    gaji tunggal
    yang menggabungkan berbagai komponen tunjangan ke dalam satu struktur yang lebih jelas dan terukur. Wacananya sederhana, tetapi implikasinya sangat besar: bukan sekadar menaikkan atau menurunkan nilai gaji, melainkan menata ulang hubungan antara negara dan ASN sebagai pelayan publik.
    Sistem penggajian ASN saat ini mengandung banyak elemen, mulai dari gaji pokok, tunjangan melekat, tunjangan jabatan, hingga tunjangan kinerja yang besarannya dapat berbeda drastis antar-instansi.
    Kompleksitas ini menciptakan beberapa masalah utama. Pertama, struktur penghasilan ASN menjadi sulit dipahami oleh publik maupun ASN itu sendiri. Kedua, kesenjangan antarlembaga semakin terasa, sehingga menimbulkan persepsi ketidakadilan dan menurunkan motivasi di instansi yang dianggap “kering”. Ketiga, sebagian besar tunjangan tidak dihitung sebagai basis pensiun, sehingga saat memasuki masa purnabakti, terjadi penurunan pendapatan yang drastis.
    Di banyak negara, sistem
    single salary
    diterapkan untuk menstandarkan dan menyederhanakan penggajian sektor publik. OECD (2012) menekankan bahwa kerangka kompensasi yang seragam adalah kunci transparansi dan akuntabilitas. Indonesia pun mencoba mengarah ke sana, terutama untuk meredam kesenjangan dan menyiapkan struktur gaji yang lebih mudah diawasi publik.
    Dari perspektif teori kompensasi, ada sejumlah prinsip yang menjelaskan mengapa reformasi ini penting. Michael Armstrong dan Helen Murlis (2003) dalam
    Reward Management: A Handbook of Remuneration Strategy and Practice
    menyebutkan bahwa sistem imbalan adalah “nilai organisasi yang diterjemahkan ke dalam angka”. Artinya, bagaimana ASN dibayar mencerminkan apa yang negara hargai: kompetensi, kinerja, atau senioritas.
    Konsep Total Reward menegaskan bahwa kompensasi mencakup bukan hanya gaji, tetapi juga kesempatan berkembang, keamanan kerja, hingga jaminan masa depan.
    Konsep
    Internal Equity
    dan
    External Equity
    yang dikemukakan Mackenzie (1997), menekankan bahwa sistem penggajian harus adil antar-jabatan di dalam organisasi dan kompetitif di luar organisasi. Ketika satu instansi memperoleh tunjangan kinerja yang jauh lebih tinggi daripada instansi lain, padahal beban kerjanya tidak selalu lebih berat, maka rasa ketidakadilan dengan sendirinya akan mengemuka.
    Gagasan
    Pay-for-Performance
    atau insentif berbasis kinerja yang banyak dipromosikan selama era reformasi birokrasi ternyata tidak selalu efektif di sektor publik. Weibel, Rost & Osterloh (2009) menunjukkan bahwa insentif kinerja seringkali menciptakan efek samping, yaitu indikator kinerja menjadi terlalu “diakali”, motivasi intrinsik menurun, dan pegawai cenderung mengejar angka daripada makna pelayanan.
    Karena itu,
    single salary
    dinilai dapat mengurangi ketergantungan pada tunjangan berbasis kinerja yang tidak dirancang secara matang. Lalu ada faktor keberlanjutan fiskal. Thom Reilly (2012) mengingatkan bahwa ketika pengeluaran kompensasi tumbuh tak terkendali, negara bisa kehilangan kemampuan untuk mendanai layanan publik dan membebani generasi berikutnya.
    Bagi Indonesia yang sedang mendorong transformasi digital, reformasi birokrasi, dan pembangunan SDM, struktur gaji yang tidak berkelanjutan berpotensi menjadi beban jangka panjang.
    Jika dipersiapkan matang,
    single salary
    menawarkan sederet manfaat. Transparansi meningkat karena publik dapat melihat dengan jelas struktur gaji setiap jabatan. Kesenjangan antar-instansi dapat ditekan, membuat motivasi pegawai lebih merata. Bahkan kesejahteraan pensiunan ASN berpeluang membaik bila komponen gaji tunggal dijadikan dasar perhitungan pensiun.
    Namun peluang tersebut datang bersama risiko yang tidak bisa diabaikan. Salah satu kekhawatiran adalah hilangnya fleksibilitas untuk memberikan penghargaan lebih bagi profesi tertentu yang kompetitif di pasar kerja. Dokter spesialis, jaksa yang menangani kasus berat, analis data, atau pakar keamanan siber misalnya, jika gaji mereka distandarkan tanpa ruang diferensiasi, migrasi ke sektor swasta atau luar negeri sangat mungkin terjadi.
    Selain itu, peleburan penuh tunjangan berbasis kinerja bisa membuat ruang apresiasi terhadap kinerja nyata semakin sempit. Meski problematis, insentif kinerja masih dibutuhkan untuk mendorong akuntabilitas. Karena itu, skema gaji tunggal perlu menyisakan ruang variabel yang benar-benar berbasis capaian, bukan sekadar formalitas administrasi.
    Risiko lain adalah kegagalan sejak desain. Banyak negara tersandung karena terlalu fokus pada nominal, bukan pada arsitektur sistem: evaluasi jabatan, pemetaan kompetensi, sistem kinerja, dan kesiapan institusional. Jika fondasi ini lemah,
    single salary
    hanya akan mengganti bentuk ketidakadilan tanpa menghilangkannya.
    Pada akhirnya, reformasi pengupahan ASN bukan soal angka, tetapi soal arah.
    Single salary
    membuka kesempatan untuk menata ulang kontrak antara negara dan aparatur: negara menjamin penghasilan yang adil, jelas, dan layak serta ASN membalasnya dengan kinerja yang terukur, profesionalisme, dan integritas.
    Jika dirancang serius, sistem ini dapat menjadi tonggak besar menuju birokrasi yang lebih responsif dan dipercaya publik. Namun jika hanya menjadi respon sesaat terhadap tekanan opini tanpa perbaikan fondasi manajemen SDM, reformasi ini berisiko berakhir sebagai slogan yang meriah di awal tetapi hambar dalam implementasi.
    Tantangan sesungguhnya terletak pada keberanian politik dan konsistensi teknokratik. Apakah kita siap menata ulang sistem yang selama puluhan tahun berjalan tambal-sulam? Apakah negara siap membuat kompensasi ASN bukan hanya layak bagi pegawainya, tetapi juga wajar dan adil bagi rakyat pembayar pajak?
    Jika iya, maka untuk pertama kalinya dalam sejarah pengelolaan SDM aparatur, reformasi penggajian menjadi bukan sekadar wacana dan “ruang keluhan”, akan tetapi fondasi bagi pelayanan publik yang lebih efektif, lebih manusiawi, dan lebih dipercaya masyarakat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemidanaan Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Dinilai Bisa Gerus Kepercayaan Profesional

    Pemidanaan Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Dinilai Bisa Gerus Kepercayaan Profesional

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemidanaan terhadap eks Dirut PT ASDP Ira Puspadewi dinilai bakal mengancam profesional di di BUMN untuk bertindak ke depannya.

    Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali mengatakan pemidaan terhadap Ira dkk dapat meninggalkan jejak negatif bagi kaum profesional di RI.

    “Penanganan perkara Ira dan direksi ASDP ini merupakan nokhtah berbahaya bagi masa depan kaum profesional muda Indonesia,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (20/11/2025).

    Di samping itu, Rhenald menuding hakim tidak mampu memahami praktik bisnis yang baik sehingga tetap menyatakan Ira dkk melakukan perbuatan pidana.

    Dengan demikian, dia menyarankan agar hakim pada tindak pidana korupsi bisa memperdalam soal materi edukasi terkait dengan proses manajemen hingga perhitungan bisnis lainnya.

    “Kalau cara kerjanya seperti ini maka sangat beresiko bagi anak-anak muda yang ingin berkontribusi bagi negara dibawah Danantara dan BUMN. Orang baik berprestasi akan menghadapi kondisi yang sama,” pungkasnya.

    Hakim Tolak Ada Kriminalisasi

    Di samping itu, Hakim PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menolak adanya bentuk kriminalisasi terhadap eks Dirut ASDP Ira Puspadewi di kasus korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN).

    Sebelumnya, Ira menyampaikan dalam nota pembelaan alias pleidoi bahwa dalam akuisisi PT JN ini merupakan upaya kriminalisasi terhadap profesional BUMN. Pemberitaan mengenai hal itu pun tersebar di media sosial.

    Berkaitan dengan ini, Hakim Anggota Nur Sari Baktiana menyatakan bahwa isu kriminalisasi dalam aksi korporasi ASDP dalam mengakuisisi PT JN merupakan upaya framing negatif.

    “Terdapat upaya framing negatif di media sosial yang seolah-olah aparat penegak hukum memaksakan kasus ini,” ujar Nur Sari di PN Tipikor, Kamis (20/11/2025).

    Dia menambahkan, majelis hakim tidak dalam koridor mengadili opini publik atau narasi yang beredar di media sosial. Sebab, hakim hanya mengadili fakta berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam 184 KUHAP.

    Selanjutnya, hakim juga telah menimbang bahwa Ira Puspadewi dkk telah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam proses akuisisi PT JN sebagaimana dakwaan alternatif kedua melanggar Pasal 3 UU 31 1999 Jo UU 20 Tahun 2001

    “Dengan demikian, pertimbangan keseluruhan unsur tindak pidana tersebut meniadakan dalil kriminalisasi dan membuktikan adanya tindak pidana,” imbuhnya.

    Majelis hakim, kata Nur Sari, berpendapat narasi kriminalisasi hanyalah upaya para terdakwa untuk mengaburkan fakta hukum dan proses hukum yang berjalan.

    “Oleh karenanya, pembelaan para terdakwa yang menyatakan dirinya korban kriminalisasi atau korban framing media sosial adalah pembelaan yang tidak menyentuh substansi perkara sehingga tidak beralasan hukum dan harus ditolak seluruhnya,” pungkasnya.