Mahasiswa ke DPR: Kok Bisa Ekonomi Lesu tapi Tunjangan Naik dan Joget-joget?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Perwakilan mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Agus Setiawan, menyindir kenaikan tunjangan anggota DPR yang disambut dengan aksi berjoget bersama, di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sedang sulit.
Agus menyampaikan hal itu dalam pertemuan dengan pimpinan DPR RI di Ruang Abdul Muis, Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (3/9/2025).
Pertemuan tersebut dihadiri tiga Wakil Ketua DPR, yakni Sufmi Dasco Ahmad (Gerindra), Cucun Ahmad Syamsurijal (PKB), dan Saan Mustopa (Nasdem).
“Di tengah masyarakat rentan menderita, di-PHK, ekonomi lesu, daya beli masyarakat menurun, kok bisa ada wakil rakyat yang justru kabarnya tunjangannya dinaikkan. Dan ketika ada kabar tersebut terjadi simbolisasi joget-joget dan kemudian membuat hati kami sedih, Bapak-bapak sekalian,” ujar Agus di hadapan pimpinan DPR RI.
Dia pun berpandangan bahwa DPR hanya mengingat masyarakatnya saat momentum pemilu, tetapi melupakan janji ketika sudah duduk di kursi kekuasaan.
“Kami seakan-akan dimanfaatkan di setiap momen pemilunya saja dengan berbagai janjinya. Tetapi ketika sudah duduk di kursi yang enak ini, Bapak-bapak, Ibu sekalian, seakan-akan melupakan kami sebagai bagian dari rakyat yang seharusnya diperhatikan di setiap pertemuan rapatnya,” kata Agus.
Dalam kesempatan itu, Agus juga menyampaikan kerisauan para mahasiswa atas masa depan bangsa.
Menurutnya, narasi besar menuju Indonesia Emas 2045 bisa gagal tercapai apabila DPR dan pemerintah tidak benar-benar memegang amanah rakyat.
“Saya khawatir bahwa narasi-narasi Indonesia Emas 2045 justru tidak akan tercapai. Harapannya, agar ingat kembali amanah rakyat, mandat rakyat yang dibebankan di pundak-pundak kita sekalian, agar betul-betul bisa diperjuangkan,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, para Wakil Pimpinan DPR RI menggelar pertemuan dengan perwakilan Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Kerakyatan dan sejumlah organisasi mahasiswa lain pada Selasa (2/9/2025).
Pertemuan yang berlangsung di Ruang Abdul Muis, Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen itu dihadiri tiga Wakil Ketua DPR, yakni Sufmi Dasco Ahmad (Gerindra), Cucun Ahmad Syamsurijal (PKB), dan Saan Mustopa (Nasdem).
Pertemuan itu digelar usai rangkaian aksi unjuk rasa berbagai elemen masyarakat yang berlangsung sejak 25 Agustus 2025.
Pantauan Kompas.com, dalam forum itu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi hadir mengenakan almamater masing-masing.
Satu mikrofon disediakan di tengah ruangan untuk memfasilitasi penyampaian aspirasi secara bergiliran.
Secara terpisah, tiga anggota DPR RI, yakni Andre Rosiade (Gerindra), Daniel Johan (PKB), dan Kawendra Lukistian (Gerindra), juga menerima perwakilan massa aksi dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di Ruang Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI, Rabu (3/9/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Institusi: Universitas Indonesia
-
/data/photo/2025/09/03/68b7f56a67309.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
5 Mahasiswa ke DPR: Kok Bisa Ekonomi Lesu tapi Tunjangan Naik dan Joget-joget? Nasional
-
/data/photo/2025/08/29/68b16a44d69ba.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
BEM Se-UI Bakal Demo Pekan Ini, Usung Agenda “17+8 Tuntutan Rakyat” Megapolitan 3 September 2025
BEM Se-UI Bakal Demo Pekan Ini, Usung Agenda “17+8 Tuntutan Rakyat”
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Universitas Indonesia (UI) berencana menggelar aksi demonstrasi dengan membawa agenda besar bertajuk “17+8 Tuntutan Rakyat” pada pekan ini.
Ketua BEM UI Atan Zayyid Sulthan mengatakan, aksi tersebut akan berlangsung dalam waktu dekat meski belum dapat memastikan tanggal pelaksanaan maupun jumlah massa yang akan terlibat.
“Dalam waktu dekat. Aksi (demo) itu dalam waktu dekat, ada di dalam minggu ini,” kata Atan saat dikonfirmasi, Rabu (3/9/2025).
Menurut Atan, aksi yang digagas mahasiswa UI akan bersifat konstruktif dan menekankan pada dorongan perubahan kebijakan.
“Kami tegaskan bahwa kami akan membawa aksi yang konstruktif dan juga berfokus kepada perubahan-perubahan kebijakan,” ujarnya.
Gagasan “17+8 Tuntutan Rakyat” sebelumnya ramai diperbincangkan di media sosial. Tuntutan tersebut merupakan rangkuman dari beragam kritik masyarakat yang muncul baik di lapangan maupun dunia maya.
Beberapa tokoh publik seperti Abigail Muria, Jerome Polin, Salsa Erwina, dan Cheryl Marella turut mendorong wacana ini melalui unggahan di media sosial.
Selain itu, “12 Tuntutan Rakyat Menuju Reformasi Transparansi & Keadilan” di Change.org yang sudah mengumpulkan lebih dari 40.000 tanda tangan juga dimasukkan dalam agenda.
Sejumlah tuntutan terbaru, termasuk dari aksi buruh pada 28 Agustus 2025 dan pernyataan sikap Center for Environmental Law & Climate Justice UI, turut melengkapi agenda besar ini.
Untuk Presiden Prabowo
Untuk Polisi
Untuk Ketua Umum Partai Politik
Untuk DPR
Untuk TNI
Untuk Kementerian Sektor Ekonomi
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/09/02/68b62295542bb.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tujuan Penggagasan 17+8 Tuntutan Rakyat: Satukan Inti Desakan Publik Megapolitan 3 September 2025
Tujuan Penggagasan 17+8 Tuntutan Rakyat: Satukan Inti Desakan Publik
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pendiri What is Up Indonesia. Abigail Limuria, mengungkapkan tujuan digagasnya 17+8 Tuntutan Rakyat yang ramai beredar di media sosial.
Ia mengatakan, tuntutan ini disusun dari berbagai desakan publik yang sebelumnya telah muncul di jagat maya. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat menyatukan suara dalam menyampaikan aspirasi kepada para pemangku kebijakan.
“Semangat utamanya sederhana, mengembalikan suara rakyat ke tengah panggung,” kata Abigail kepada
Kompas.com
, Rabu (3/9/2025).
Ia menjelaskan, tuntutan tersebut tidak hanya memudahkan masyarakat memahami isu, tetapi juga membantu pemangku kebijakan merespons lebih cepat.
Harapannya, pemangku kebijakan bisa segera mengambil langkah setelah memahami inti dari tuntutan rakyat yang sudah disederhanakan.
“17+8 adalah
effort
merangkum susunan prioritas agar negara kembali mengambil langkah awal untuk dapat menjawab aspirasi publik dengan tepat,” jelas Abigail.
Abigail menyoroti sikap pejabat negara yang dinilai tidak menanggapi tuntutan masyarakat secara serius. Alih-alih memberi solusi, ia menilai negara justru bersikap koersif dan abai terhadap akuntabilitas.
“Tuntutan ini dari kegelisahan rakyat atas respons negara yang semakin koersif tanpa akuntabilitas dan tanpa benar-benar meng-
address
akar masalah, bahkan di ruang-ruang yang seharusnya aman bagi warga,” tutur Abigail.
Adapun tuntutan ini digagas Abigail bersama teman-teman
influencer
lainnya, yakni Jerome Polin, Salsa Erwina, Andhyta Utami (Afu), Andovi da Lopez, dan Fathia Izzati.
Mereka merangkum tuntutan dari 211 organisasi masyarakat sipil, Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK), Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), dan pernyataan sikap Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan UI.
Selain itu, tuntutan ini juga merangkum jutaan suara warga yang disampaikan melalui kolom komentar dan instagram
story
penggagas lain, di antaranya Jerome Polin, Salsa Erwina, dan Cheryl Marella.
Kemudian, 12 Tuntutan Rakyat Menuju Reformasi Transparansi & Keadilan oleh Reformasi Indonesia di
Change.org
yang sudah menerima lebih dari 40.000 dukungan pun turut dimasukkan.
Tak lupa, tuntutan buruh pada demo 28 Agustus lalu pun ditambahkan bersama pernyataan sikap Center for Environmental Law & Climate Justice Universitas Indonesia.
Tuntutan ini terbagi berdasarkan lembaga dan institusi negara:
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Kebijakan Deregulasi Masih Dibutuhkan Pelaku Usaha
Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan Pengusaha Muda Indonesia atau Hipmi menilai kebijakan deregulasi aturan masih dibutuhkan hingga saat ini supaya dapat berkontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi.
Sekjen Hipmi Anggawira mengatakan regulasi yang berlapis-lapis membuat biaya usaha membengkak, dengan demikian deregulasi dapat menekan biaya administrasi dan birokrasi.
Dia juga meyakini deregulasi mampu mempercepat investasi, izin usaha yang lebih cepat dan kepastian hukum mendorong investasi masuk hingga mendorong efisiensi.
Tak hanya itu, persaingan usaha meningkat karena tidak ada hambatan regulasi yang bersifat protektif dan diskriminatif.
Dia mencontohkan sebelumnya paket kebijakan deregulasi era Presiden Jokowi (2015–2016) memotong banyak prosedur perizinan, yang saat itu dipandang dunia usaha cukup efektif dalam meningkatkan peringkat Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia.
“Deregulasi saat ini sangat diperlukan karena ekonomi global penuh tekanan yakni perlambatan ekonomi China, disrupsi rantai pasok dan krisis energi, sehingga pengusaha membutuhkan kemudahan berusaha untuk menjaga daya saing,” ujarnya kepada Bisnis dikutip, Selasa (2/9/2025).
Terlebih, lanjutnya, Indonesia saat ini menuju industrialisasi. Menurutnya agar target hilirisasi, transisi energi, dan investasi digital tercapai, aturan tidak boleh menghambat inovasi.
Selain itu, deregulasi juga dibutuhkan karena tumpang tindih regulasi masih tinggi di pusat dan daerah meski Online Single Submission (OSS) sudah berjalan.
Dia pun memaparkan sejumlah bentuk deregulasi yang diharapkan adalah simplifikasi perizinan adalah satu pintu yang benar-benar terintegrasi, tanpa pintu belakang yang bertele-tele di kementerian/daerah. Kemudian berkaitan dengan harmonisasi pusat – daerah karena banyak regulasi daerah yang tidak sinkron dengan aturan pusat.
Selanjutnya, pengusaha membutuhkan deregulasi yang menjamin kepastian hukum investasi. Bukan hanya pemangkasan izin, tapi juga kepastian kontrak, perpajakan, dan tata ruang.
“Regulasi harus berbasis risiko atau risk-based regulation. Perusahaan yang berisiko rendah cukup dengan notifikasi atau registrasi, bukan izin panjang,” imbuhnya.
Dia optimistis deregulasi langsung berhubungan dengan peringkat daya saing global. Negara yang progresif dalam deregulasi seperti Vietnam mampu menarik investasi manufaktur skala besar karena kemudahan berusaha.
Bagi Indonesia, tekannya, deregulasi adalah syarat mutlak untuk mencapai target investasi asing lebih besar dari US$100 miliar per tahun.
Namun sayangnya, kendala deregulasi di Indonesia adalah resistensi birokrasi, over-regulasi sektoral, di mana etiap kementerian cenderung membuat aturan sendiri, menambah keruwetan.
Selain itu juga ketidakpastian hukum yang berdampak terhadap sering terjadinya perubahan aturan. Imbasnya, investor kesulitan merencanakan bisnis jangka panjang.
“Meski sudah ada OSS ada di lapangan, banyak pelaku usaha terutama UMKM masih bingung prosedurnya,” imbuhnya.
Dia mengajukan sejumlah usulan mengatasi kendala deregulasi, di antaranya melalui digitalisasi total perizinan dengan integrasi pusat dan daerah. Hal ini mewajibkan penggunaan dan penguatan OSS.
Dia juga menyarankan moratorium aturan baru, kecuali yang benar-benar mendukung investasi atau perlindungan publik.
Tak hanya itu, dibutuhkan menyisir dan memangkas ribuan aturan yang tidak relevan lagi. Penguatan lembaga koordinasi deregulasi di bawah Presiden agar tiap kementerian/daerah tidak jalan sendiri.
“Dibutuhkan pula dialog reguler dengan dunia usaha. Setiap regulasi baru harus melalui uji konsultasi dengan asosiasi bisnis,” terangnya.
Sementara itu, Ekonom dan Peneliti di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teuku Riefky menegaskan deregulasi ini sangat penting karena dibutuhkan para pelaku usaha.
Menurutnya deregulasi yang dibutuhkan oleh para pelaku meliputi sistem peraturan perdagangan, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang masih harus disimplifikasi.
Selain itu, dia juga menambahkan peraturan perizinan investasi yang masih kompleks, bukan hanya dari sisi deregulasi dan peraturan baru tetapi juga dari sisi penegakan, pasar gelap hingga premanisme mendesak diselesaikan
“Tentunya apabila deregulasi berjalan dengan baik, investasi meningkat, perdagangan meningkat, akan meningkatkan aktivitas ekonomi dan akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Menurutnya pentingnya deregulasi ini juga tidak sepenuhnya berkaitan dengan perang perang tetapi juga menyangkut aspek struktural produktivitas domestik.
-
/data/photo/2025/09/03/68b76ecd69617.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ketimpangan dan Sumbu Pendek Bangsa Nasional 3 September 2025
Ketimpangan dan Sumbu Pendek Bangsa
Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com – Instagram: @ikhsan_tualeka
“
Ketimpangan yang terus melebar membuat bangsa ini rapuh. Percikan kecil saja bisa memicu ledakan sosial.
“
KESENJANGAN
di Indonesia bukan sekadar angka di laporan lembaga internasional. Ia nyata, hidup, dan terasa sehari-hari.
Data Oxfam —konfederasi internasional yang berbasis di Inggris— beberapa tahun lalu menyebut, hanya 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari separuh kekayaan nasional.
Sementara laporan Bank Dunia juga menegaskan bahwa Indonesia masih menghadapi tingkat ketimpangan tinggi, meskipun angka kemiskinan menurun.
Senada, laporan Global Wealth Report 2018 yang mencatat, 1 persen orang terkaya Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional. Jika persentasenya dinaikkan menjadi 10 persen orang terkaya, akumulatif mereka menguasai 75,3 persen nilai kekayaan Indonesia.
Terbaru, pada Maret 2024, data mereka menunjukkan rasio gini Indonesia berada pada angka 0,379—terendah dalam satu dekade.
Namun, situasi ini sesungguhnya paradoks. Sebab, di tengah penurunan rasio gini, kelompok ultra kaya justru mencatat pertumbuhan kekayaan.
Hal ini jauh lebih pesat dibanding pertumbuhan PDB nasional (163 persen berbanding 57 persen dalam 10 tahun terakhir). Dengan kata lain, jurang ketimpangan tetap melebar, hanya permukaannya saja yang terlihat sedikit lebih rata.
Ketimpangan semakin memburuk, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan stabilitas sosial dan ekonomi jangka panjang. Sebab, pertumbuhan ekonomi kita belum benar-benar merata atau jauh dari inklusif.
Namun, ketimpangan sebenarnya bukan hanya soal harta. Ia adalah soal rasa: rasa ditinggalkan, rasa tidak dihiraukan, dan rasa diperlakukan tidak adil.
Ketika kesenjangan ekonomi berpadu dengan jarak sosial dan politik, lahirlah kondisi masyarakat yang rentan, mudah tersulut, dan bersumbu pendek.
Elite politik dan ekonomi sering kali gagal membaca denyut ini. Minimnya empati memperlebar jarak antara mereka yang berkuasa dengan rakyat yang berjuang demi hidup sehari-hari.
Dalam teori
deprivasi relatif
Ted Robert Gurr, konflik sosial sering lahir bukan dari kemiskinan absolut, melainkan dari perasaan adanya ketidakadilan—bahwa orang lain mendapatkan lebih, sementara dirinya tertinggal. Perasaan inilah yang membentuk bara sosial.
Kondisi ini diperparah oleh ekosistem media sosial yang mempercepat sirkulasi emosi publik. Pesan marah, protes, atau kebencian dapat menyebar ribuan kali dalam hitungan jam, membentuk opini kolektif yang panas.
Teori frustrasi-agresi dalam psikologi sosial menjelaskan, ketika aspirasi tidak terpenuhi, frustrasi akan mencari saluran, sering kali berupa tindakan agresif.
Fenomena ini terlihat dalam sejumlah peristiwa di Indonesia. Gelombang demonstrasi mahasiswa dan ojek online di Jakarta baru-baru ini, misalnya, menunjukkan betapa cepat kemarahan publik meluas setelah kasus tragis terlindasnya ojek online oleh mobil aparat.
Di kawasan timur Indonesia, ketimpangan dengan wilayah barat melahirkan luka politik yang lebih dalam. Di Papua, perasaan terpinggirkan yang berakar pada sejarah panjang ketidakadilan kerap memicu protes yang berujung ricuh.
Di Ambon, kita pernah menyaksikan bagaimana sentimen agama yang diperparah ketimpangan ekonomi berubah menjadi konflik komunal pada akhir 1990-an.
Bahkan hingga hari ini, sama dengan Papua, masih ada aspirasi untuk merdeka, atau setidaknya meminta referendum.
Semua contoh ini menegaskan bahwa masih rapuhnya kohesi sosial kita ketika rasa adil tidak terpenuhi, atau diabaikan.
Konflik di Indonesia bukan hanya vertikal—antara rakyat dan negara—tetapi juga horizontal, antarwarga sendiri.
Ralf Dahrendorf sudah lama mengingatkan: dalam setiap masyarakat terdapat relasi kuasa yang timpang, dan ketika ketimpangan itu tidak dikelola dengan distribusi yang adil, ketegangan menjadi tak terelakkan, kapan saja bisa mengemuka.
Indonesia dahulu dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi gotong royong dan toleransi. Namun kini, nilai-nilai itu tergerus oleh kesenjangan dan polarisasi. Jika sumbu sosial semakin pendek, percikan kecil saja bisa memicu ledakan.
Dalam konteks ini, negara tidak boleh hanya hadir dengan jargon, melainkan dengan kebijakan nyata: distribusi pembangunan yang adil, perbaikan layanan publik, serta ruang partisipasi yang benar-benar adil dan terbuka kepada semua warga negara.
Amartya Sen dalam gagasannya
development as freedom
menekankan, pembangunan sejati bukan hanya pertumbuhan angka ekonomi, melainkan pelebaran kebebasan dan kesempatan hidup yang setara bagi semua.
Jika kebebasan dan keadilan ini gagal diwujudkan, ketimpangan akan terus menjadi sumber konflik laten.
Generasi muda Indonesia saat ini adalah kelompok yang penuh energi. Energi karena bonus demografi ini bisa menjadi motor perubahan positif jika diberi ruang produktif.
Namun, jika dibiarkan dalam ruang sempit ketidakadilan, ia bisa berubah menjadi api yang membakar.
Tanda-tanda ketidakpuasan politik itu kini kian jelas. Fenomena tagar #IndonesiaGelap, slogan Kabur aja dulu, hingga masifnya bendera-bendera Jolly Roger menjelang 17 Agustus, sesungguhnya adalah ekspresi simbolik dari rakyat yang letih, frustrasi, dan kehilangan arah.
Itu bukan sekadar ekspresi kultural, melainkan alarm keras, peringatan dini bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Kondisi mengkhawatirkan.
Pada akhirnya, bangsa ini tidak akan runtuh karena kemiskinan, tetapi karena hilangnya rasa keadilan. Ketimpangan yang terus dibiarkan akan menjadi api dalam sekam—diam-diam membakar fondasi kebangsaan.
Elite politik boleh saja bersembunyi di balik data statistik atau jargon stabilitas, tetapi rakyat membaca kenyataan dengan mata telanjang: harga-harga yang tak terjangkau, peluang yang terasa semakin sempit, dan kebijakan yang kerap lebih berpihak pada segelintir orang/oligarki.
Kemarahan publik yang kini muncul dalam bentuk simbol-simbol perlawanan—dari tagar digital hingga bendera Jolly Roger di jalanan—seharusnya tidak diremehkan.
Sekali lagi, itu adalah bahasa lain dari rakyat untuk mengatakan kepada elite bahwa kepercayaan telah menipis.
Jika para pemimpin negeri ini masih menutup mata, sejarah telah berkali-kali menunjukkan: bangsa yang rapuh karena ketidakadilan akan diguncang oleh letupan yang lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Indonesia masih punya pilihan: menempuh jalan keadilan, atau membiarkan diri berjalan di atas sumbu pendek yang setiap saat bisa meletup dan menyala.
Sebab, bangsa yang besar bukan diukur dari berapa lama ia bisa menahan ketegangan, melainkan seberapa cepat ia mampu mengubah ketidakadilan menjadi kesempatan. Mewujudkan kesejahteraan bagi semua, tak ada yang tertinggal.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Ramai Sorotan Gibran dan Sejumlah Pria Beratribut Ojol, Tere Liye Ungkap Kinerja Zonk Mas Wapres
Fajar.co.id, Jakarta — Ramainya sorotan kepada Wapres Gibran usai bertemu dengan sejumlah pria yang beratribut ojol kini masih menggelinding.
Terbaru, penulis kondang Indonesia, Tere Liye, turut menyindir hal tersebut dengan membahas program Lapor Mas Wapres yang dulu digembar-gemborkannya.
“Dear Mas Wapres, kalian masih kerja?” tanya Tere Liye, mengawali tulisannya, dikutip Selasa (2/9/2025)
“Saya itu memang bodoh! Zaman covid, saat buku bajakan menggila di marketplace saya lapor ke sana ke mari. Bahkan ketemu Menteri yang punya tombol sakti bisa blokir apapun. Nasib. Zonk,” bebernya.
Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini menuturkan, harusnya dia berhenti saja. Ngabis-ngabisin waktu, tenaga, malah nggak nulis buku nantinya.
“Tapi karena bodoh, saat mas Wapres dengan luar biasa mengumumkan akan menerima laporan masyarakat, wah wah, saya semangat nyuruh tim saya kembali lapor,” Sambung Tere Liye.
Nah, sejak tahun lalu, bahkan sejak masih nomor lamanya, dia mengaku sudah lapor tentang: buku bajakan di Tik Tok Shop. Minta diatasi, agar bisa di-takedown. “Mereka ganti nomor contact, oke, saya ikut update laporan ke mas Wapres. Email-emailan deh. Data-data diberikan, daftar toko buku bajakan di Tik Tok Shop. Data diri saya diminta,” urai penulis sejumlah novel best seller ini.
Desember 2024, sekarang sudah September 2025, mbuh, lanjut Tere Liye, hilang begitu saja updatenya. Timya kirim email berkali-kali, nanyain progress, nggak dijawab lagi. Lenyap. “Entah mati atau masih hidup tim mas Wapres ini. Duuuh Rabbi. Saya sih bodoh, masih percaya mereka betulan akan kerja,” ungkap Tere Liye.
-

Dekan FK UI Minta Mahasiswa-Alumni Bijak Bermedsos: Jaga Sikap, Jangan Terprovokasi
Jakarta –
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Dr dr Ari Fahrial Syam SpPD, KGEH, MMB mengimbau seluruh mahasiswa, dosen, tenaga pendidikan, hingga alumni FK UI untuk menjaga suasana tetap kondusif pasca penjarahan dilaporkan terjadi di sejumlah titik. Prof Ari juga meminta untuk tidak mudah terprovokasi dengan informasi yang belum diketahui jelas kebenarannya.
Seluruh warga FK UI juga alumni disarankan untuk menyaring informasi terlebih dahulu sebelum membagikan kabar tersebut.
“Pastikan kebenarannya dan hindari penyebaran hoaks, provokasi, atau ujaran kebencian yang dapat memecah belah,” saran Prof Ari dalam imbauan resminya, yang diterima detikcom Senin (1/9/2025).
Ia mengingatkan agar menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyebar informasi positif dan membangun. Di sisi lain, ia menilai penting untuk saling menguatkan satu sama lain.
Dalam hal ini, menjaga moral dan mendengarkan dengan empati.
“Mengingat situasi saat ini, kami mengajak seluruh warga dan alumni untuk tetap menjaga suasana yang kondusif, harmonis, dan penuh persaudaraan. Menjaga sikap, perilaku, ucapan, serta bijak bermedia sosial,” tuturnya.
“Jadikan FK UI sebagai Rumah Kita yang teduh. Kami percaya, dengan semangat kebersamaan dan kedewasaan, kita dapat melewati kesulitan dengan baik dan memberikan kontribusi positif bagi kemajuan bangsa,” tandasnya.
Sebagai penutup, Prof Ari meminta seluruh warga UI fokus pada tanggung jawab masing-masing, baik dalam menuntut ilmu, mengajar, juga melayani.
(naf/kna)

/data/photo/2025/09/02/68b6d0ba85442.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
