Hidup dari Gunungan Sampah Bantargebang, Andi Raup Rp 30 Juta per Bulan dari Limbah Plastik
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Bergelut dengan sampah kerap dipandang sebagai pekerjaan yang menjijikkan bagi sebagian orang.
Namun, bagi warga yang tinggal di sekitar Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, sampah justru menjadi sumber penghidupan sekaligus harapan ekonomi.
Ribuan warga menggantungkan hidup di TPST Bantargebang, yang kini kondisinya semakin membeludak dan telah melampaui kapasitas. Tumpukan sampah yang menggunung itu seolah berubah menjadi “rezeki” bagi sebagian warga yang bersedia mengolahnya.
Salah satunya adalah Andi (34), seorang pengepul limbah plastik yang telah bertahun-tahun mencari nafkah dari sisa-sisa sampah di Bantargebang.
Pekerjaan sebagai pengepul limbah plastik membuat Andi mampu meraup keuntungan hingga puluhan juta rupiah setiap bulannya.
“Sukanya kalau keuntungan lebih dari ekspetasi kami, itu bulan kemarin Rp 30 juta per bulan,” jelas Andi ketika diwawancarai
Kompas.com
di lokasi, Jumat (12/12/2025).
Usaha
pengepulan limbah plastik
yang digeluti Andi merupakan usaha turun-temurun yang telah berdiri sejak 1996. Pada awalnya, ayah Andi berprofesi sebagai pemulung yang setiap hari mengais rezeki di gunungan
sampah Bantargebang
.
Pengalaman bertahun-tahun sebagai pemulung membuat ayah Andi menyadari bahwa limbah plastik memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Sejak saat itu, ia memutuskan beralih menjadi pengepul limbah plastik.
Usaha tersebut dikenal dengan nama “
Lapak Bos Min
”.
Seiring bertambahnya usia, sang ayah kemudian menyerahkan pengelolaan usaha pengepulan limbah plastik itu kepada Andi, yang hingga kini terus menjalankannya.
Andi menjelaskan, sistem kerja usahanya dimulai dengan membeli limbah plastik dari para pemulung yang bekerja di area TPST Bantargebang.
“Kami beli ada yang Rp 450 perak sampai Rp 700 itu biaya angkut dan sortir tanggungan saya, mereka (pemulung) hanya cari,” jelas Andi.
Setelah dibeli, limbah plastik tersebut dibawa ke lapak pengepulan milik Andi yang berada tepat di samping TPST Bantargebang.
Setibanya di lapak, limbah plastik dimasukkan ke dalam bak plastik berukuran besar untuk dicuci terlebih dahulu.
Setelah proses pencucian, limbah plastik kemudian disortir berdasarkan jenisnya sebelum akhirnya dijemur hingga kering.
“Kalau di sini jenis plastik yang banyak
Polypropylene
(PP), HDPE-
High-Density Polyethylene
(HD),
Polyethylene
(PE), dan plastik sablon warna,” ujar Andi.
Setelah disortir dan dijemur, limbah plastik tersebut kemudian dimasukkan ke dalam plastik hitam berukuran besar untuk dijual ke distributor.
Setiap jenis plastik memiliki harga jual yang berbeda. Plastik jenis PE dijual dengan kisaran harga Rp 3.000–6.000 per kilogram, plastik sablon atau berwarna Rp 4.000 per kilogram, PP Rp 2.000 per kilogram, dan HD sekitar Rp 1.300 per kilogram.
Harga tersebut berlaku untuk limbah plastik yang sudah dalam kondisi bersih dan kering sehingga siap diolah oleh distributor.
Sebagian distributor memanfaatkan limbah plastik itu untuk diperbarui agar dapat digunakan kembali. Sementara itu, lainnya mendaur ulang plastik menjadi berbagai produk, seperti kursi, palet, dan barang lainnya.
Tak hanya mendatangkan keuntungan secara ekonomi, Andi menilai usaha pengepulan limbah plastik juga berkontribusi dalam mengurangi beban sampah di TPST Bantargebang.
“Kalau semua jenis plastik sekitar 3 – 4 ton bisa saya kumpulin dalam satu hari,” ungkap Andi.
Hal ini menjadi penting mengingat plastik merupakan jenis sampah yang sangat sulit terurai dan harus dikelola dengan baik agar tidak terus menumpuk di Bantargebang.
Selain membantu mengurangi beban sampah, usaha pengepulan limbah plastik milik Andi juga membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar. Saat ini, Andi mempekerjakan tujuh orang karyawan yang terdiri dari ibu rumah tangga dan pemuda setempat.
“Kalau buat sortir sekarang ada tujuh orang. Ibu-ibu ada dua, sisanya pemuda yang malas cari kerja di luar,” tutur Andi.
Para ibu rumah tangga yang bertugas menyortir limbah plastik menerima upah sekitar Rp 85.000 per hari. Sementara para pemuda yang membantu mengangkat, menyortir, dan mencuci limbah plastik dibayar sekitar Rp 100.000 per hari.
Salah satu karyawan Andi, Surheni (36), mengaku bersyukur bisa bekerja meskipun penghasilannya tergolong pas-pasan.
“Rp 85.000 itu harian, sebenarnya enggak cukup, cuma dicukup-cukupin aja. Namanya orang susah, kalau butuh ya harus beli beras, beli kebutuhan pokok,” tutur Surheni.
Ia mengaku terpaksa bekerja sebagai penyortir limbah plastik karena penghasilan suaminya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Surheni telah bekerja selama dua tahun di lapak pengepulan limbah plastik milik Andi. Menjalani profesi sebagai penyortir limbah plastik, menurut dia, bukanlah hal yang mudah dan penuh dengan suka duka.
Sukanya, ia bisa mendapatkan penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di sisi lain, Surheni menilai pekerjaannya cukup mulia karena ikut membantu mengurangi limbah plastik yang menumpuk di Bantargebang.
Namun, duka yang dirasakannya adalah risiko kesehatan akibat bau sampah dari TPST Bantargebang.
“Pernah sakit karena sampah tapi paling sehari atau dua hari. Biasanya flu dan sakit kepala.
Alhamdulillah
enggak yang parah,” jelas dia.
Kendati demikian, Surheni mengaku tidak terlalu khawatir dengan dampak bau sampah terhadap kesehatannya.
Menurut dia, aroma menyengat dari Bantargebang sudah tidak lagi mengganggu indera penciumannya.
Meski warga sekitar Bantargebang telah terbiasa dengan bau sampah, kondisi tersebut tidak boleh dianggap sepele.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, mengingatkan bahwa paparan gas metana dari sampah berpotensi merusak paru-paru.
“Tapi, yang jelas ketika dia terpapar dengan sampah, gas metana, segala macem, itu tentu yang akan terganggu adalah paru-parunya,” ucap Ari.
Paparan gas metana secara terus-menerus dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami penyakit paru obstruktif kronis.
Kondisi tersebut akan semakin memburuk apabila individu memiliki alergi atau hipertensi, yang dapat memicu munculnya asma.
Menggunungnya sampah di Bantargebang tidak dapat dibiarkan tanpa penanganan khusus. Tanpa upaya konkret, usia TPST Bantargebang diperkirakan tidak akan bertahan lama, mengingat fasilitas ini telah beroperasi sejak 1996.
Pakar Lingkungan Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa menilai, salah satu cara memperpanjang usia TPST Bantargebang adalah dengan mengurangi beban sampah yang masuk.
“Kemudian, strategi memperpanjang tentu saja agar TPST itu terus dapat menampung sampah tentu saja yang pertama kita harus lihat dari hulunya, bagaimana mengurangi 7.000 ton per hari itu yang masuk ke Bantar Gebang,” ungkap Mahawan.
Pengurangan beban tersebut dapat dilakukan dengan pemilahan sampah sejak dari rumah tangga. Sampah yang telah dipilah kemudian dapat diolah melalui metode 3R (
Reduce, Reuse,
dan
Recycle)
.
Dengan pemilahan dan penerapan 3R, jumlah sampah yang dikirim ke Bantargebang diyakini akan berkurang secara signifikan.
Praktik inilah yang selama ini dilakukan Andi dan para karyawannya dengan memilah limbah plastik yang masih memiliki nilai ekonomi.
Selain memberi manfaat ekonomi, usaha tersebut turut membantu mengurangi volume sampah di Bantargebang.
Mahawan menilai pemerintah perlu membuat regulasi yang jelas untuk mengatasi persoalan sampah yang terus menggunung.
“Saya kira dengan regulasi yang ada pun pelaksanaannya kita arahkan untuk menjaga agar berapa pun jumlah sampah itu bisa seimbang dengan pemrosesannya,” kata dia.
Menurut Mahawan, regulasi yang telah dibuat juga harus diikuti dengan implementasi yang konsisten serta dukungan dari DPRD dan gubernur.
Anggota Komisi D DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Fraksi PSI, Bun Joi Phiau, menyatakan persoalan Bantargebang telah lama menjadi perhatian legislatif.
“Persoalan Bantargebang menjadi permasalahan yang selalu menjadi perhatian kami di DPRD DKI Jakarta. Namun, akar permasalahannya terletak di jumlah sampah yang dihasilkan oleh Jakarta,” ungkap Bun.
Ia menyebutkan, berdasarkan data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2019, lebih dari 1.300 truk mengangkut lebih dari 7.000 ton sampah dari Jakarta ke Bantargebang setiap hari.
Kondisi tersebut membuat tumpukan sampah di Bantargebang kian meninggi hingga setara gedung 16 lantai.
DPRD DKI Jakarta menilai, tumpukan sampah setinggi itu berpotensi menimbulkan berbagai risiko, termasuk longsor yang dapat membahayakan pekerja dan warga sekitar.
“Perihal ini, kami meminta Pemprov DKI untuk memonitor ketahanan tanggul-tanggul yang dibangun di sekitar Bantar Gebang. Semua bagiannya harus dicek secara berkala,” tutur Bun.
Ia menegaskan, apabila ditemukan keretakan atau kerusakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus segera melakukan perbaikan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Institusi: Universitas Indonesia
-

Strategi KPPU Atur Algoritma & Pasar Digital
Bisnis.com, JAKARTA – Transformasi ekonomi digital di Indonesia kini bukan lagi sekadar wacana, melainkan realitas yang mengubah fundamental pasar. Ketika algoritma menentukan harga dan otomatisasi menggeser peran manusia, tantangan bagi regulator persaingan usaha kian kompleks. Struktur pasar tradisional tergerus, menuntut aturan main baru yang lebih adil dan responsif.
Merespons dinamika ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menegaskan urgensi perombakan kerangka kebijakan nasional. Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa, menyebutkan bahwa pendekatan konvensional sudah usang menghadapi laju teknologi.
“Praktik dan tata kelola yang ada saat ini tidak lagi cukup untuk memenangkan persaingan global,” tegas Fanshurullah dalam pembukaan The Third Jakarta International Competition Forum (3JICF) 2025 di Menara Danareksa, Jakarta, Kamis (11/12/2025).
Menurut Fanshurullah, terutama dengan keanggotaan di BRICS dan di tengah persiapan aksesi Indonesia ke OECD serta berbagai perjanjian ekonomi komprehensif, KPPU mendorong tiga pilar strategis agar pengawasan persaingan tetap relevan: reformasi hukum yang progresif, penyelarasan standar internasional, dan evolusi dalam penegakan hukum.
Urgensi pembenahan regulasi ini diamini oleh Guru Besar Universitas Indonesia, Rhenald Kasali. Dalam pidato kuncinya, Rhenald menyoroti bagaimana teknologi telah menjadi “tangan tak terlihat” yang baru dalam persaingan usaha. Teknologi kini mendikte apa yang dilihat konsumen di layar gawai, bagaimana harga berfluktuasi secara real-time, hingga siapa pelaku usaha yang berhasil ditemukan di pasar digital.
Untuk menghadapi disrupsi ini, Rhenald merekomendasikan enam langkah kebijakan krusial, mulai dari penggabungan penegakan hukum pencegahan (ex-ante) dan penindakan (ex-post), peningkatan kemampuan forensik digital, hingga audit algoritmik berstandar internasional (BRICS). Ia juga menekankan pentingnya interoperabilitas data dan pengawasan merger yang lebih ketat agar tidak mematikan inovasi.
Forum 3JICF 2025 menjadi wadah krusial untuk membedah bagaimana negara lain merespons tantangan serupa. Mariam El Ghandour dari Egyptian Competition Authority (Mesir) memaparkan kerangka hukum hibrida di negaranya untuk menangani persekongkolan tender (bid rigging), yang mengombinasikan larangan perjanjian horizontal dalam UU Persaingan Usaha dengan kewajiban pelaporan kolusi dalam UU Pengadaan Publik.
Sementara itu, perspektif perlindungan konsumen di era digital disuarakan oleh Rachel Burgess dari Australian Competition and Consumer Commission (ACCC). Australia baru saja memperkuat regulasinya dengan sanksi penalti yang lebih berat dan perluasan perlindungan bagi usaha kecil, sebuah langkah yang relevan untuk diadaptasi di Indonesia mengingat besarnya populasi UMKM.
Forum internasional yang dihadiri lebih dari 200 peserta dari kalangan regulator, akademisi, dan organisasi internasional (termasuk OECD dan ASEAN) ini menyimpulkan satu hal, bahwa persaingan usaha yang sehat tidak bisa dicapai oleh regulator sendirian.
Wakil Ketua KPPU menutup forum dengan pesan kuat bahwa peningkatan kualitas persaingan usaha nasional membutuhkan “napas” baru. Hal ini mencakup perubahan regulasi yang fokus memberantas hambatan masuk pasar (bottleneck), kemudahan investasi, serta kolaborasi lintas lembaga dengan optimalisasi teknologi informasi. Tanpa langkah strategis ini, ekonomi digital Indonesia berisiko hanya menjadi pasar bagi pemain global, tanpa memberikan manfaat maksimal bagi pelaku usaha dalam negeri.
-

Sumatra Banjir, Menkes Kirim 600 Nakes Tangani Pasien Pascabencana
Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin melaporkan pihaknya menyiapkan 600 orang tenaga kesehatan (nakes) yang akan diberangkatkan ke Sumatra untuk membantu pemulihan medis pascabencana.
Pada sidang kabinet paripurna, Senin (15/12/2025), Budi melaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto bahwa yang disiapkan baru gelombang pertama saja. Nantinya, mereka akan dirotasi setiap dua minggu.
“Batch pertama kami akan memberangkatkan 600 orang. 450 sudah siap untuk diberangkatkan minggu ini,” terang Budi kepada Prabowo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/12/2025).
Budi pun berharap agar Prabowo nantinya melepas keberangkatan nakes yang meliputi dokter, spesialis hingga perawat itu di Halim Perdanakusuma, Jakarta. Dia bahkan meminta agar mereka diberangkatkan menggunakan pesawat Hercules.
Para nakes yang akan diberangkatkan ke lokasi terdampak bencana Sumatra itu berasal dari rekrutmen terbuka. Asalnya dari organisasi profesi hingga sejumlah Fakultas Kedokteran (FK) baik Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), serta Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama.
Menurut Budi, dokter-dokter yang dikirim pun berasal dari berbagai latar belakang, yakni koas atau magang, bahkan dokter umum yang mengorbankan pendapatannya untuk pergi ke Sumatra.
“Nanti dalam dua minggu kami putar lagi, Pak, 600 lagi, karena ini buat rumah sakit dan Puskesmas. Karena orang di sana terdampak juga, Pak. Dokter, perawatnya yang di Aceh kena juga, jadi mereka masih ngurusin keluarganya mereka juga. Jadi, butuh dibantu untuk tiga bulan kita rencanakan relawan dari luar,” terangnya.
Adapun dari segi sarana dan prasarana, Menkes sejak 2020 itu turut melaporkan bahwa ada 41 rumah sakit (RS) yang sempat tidak beroperasi sejak terjadinya bencana pada 26 November 2025. Sekarang, dia mengeklaim 100% sudah mulai beroperasi secara bertahap.
Fasilitas yang baru beroperasi yakni instalasi gawat darurat (IGD) serta ruangan operasi. Sementara itu, sebanyak 500 dari hampir 1.000 puskesmas yang ada turut terdampak. Namun, seiring dengan proses penanggulangan bencana, sebanyak 414 unit puskesmas sudah beroperasi.
“Masih ada yang tidak beroperasi sekitar 50-an. Ada yang hanyut, ada yang hilang, dan lain sebagainya. Tahap kedua sesudah rumah sakit beroperasi, Puskesmas ini akan kami operasikan mudah-mudahan dalam dua minggu ke depan, Pak,” terang pria yang pernah menjabat Wakil Menteri BUMN itu.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5444527/original/000125100_1765781038-Hashim.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Singgung Pajak dan Bea Cukai, Hashim Djojohadikusumo Blak-blakan Kondisi Parah Penerimaan Negara
Liputan6.com, Jakarta – Utusan Khusus Presiden untuk Energi dan Lingkungan Hidup, Hashim Djojohadikusumo mengkritisi kondisi penerimaan negara, mulai dari penerimaan pajak hingga bea cukai.
Dia bahkan membandingkan sistem perpajakan Indonesia yang justru tertinggal dengan negara lain seperti Kamboja sejak 10 tahun terakhir. Negara yang disebutnya jauh lebih miskin dari Indinesia.
“Titik lemah kita dan juga berpotensi besar untuk kita adalah penerimaan negara. Parah, sistem penerimaan negara kita parah. Pajak, Bea Cukai sangat parah sekali,” ujar dia dalam Bedah Buku Indonesia Naik Kelas “Future Talk: Indonesia Naik Kelas & Peran Sivitas Akademika” digelar Universitas Indonesia pada Jumat, 12 Desember 2025.
Dia mengaku mengetahui hal ini ketika ditugaskan Presiden Prabowo memimpin tim di Partai Gerindra untuk mengkaji potensi ekonomi dimiliki Indonesia.
Dari temuan tim, terkuak jika salah satu titik paling rapuh ekonomi Indonesia justru berada pada sistem penerimaan negara, mulai dari pajak, bea cukai, hingga penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
“Indonesia paling lemah, paling rendah di dunia sistem perpajakan kita. Saya ketemu pak Purbaya 2 minggu yang lalu dan beliau membenarkan apa yang kita temukan,” lanjut Hashim.
Temuan itu, sejalan dengan data Bank Dunia yang telah bertemu dengannya beberapa kali sejak 2013. “Data bank dunia sudah menunjukkan dari dulu sampai sekarang pajak, PNPB, royalti, cukai kita tetap tidak ada penambahan,” tegas dia.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5444527/original/000125100_1765781038-Hashim.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Singgung Pajak dan Bea Cukai, Hashim Djojohadikusumo Blak-blakan Kondisi Parah Penerimaan Negara
Liputan6.com, Jakarta – Utusan Khusus Presiden untuk Energi dan Lingkungan Hidup, Hashim Djojohadikusumo mengkritisi kondisi penerimaan negara, mulai dari penerimaan pajak hingga bea cukai.
Dia bahkan membandingkan sistem perpajakan Indonesia yang justru tertinggal dengan negara lain seperti Kamboja sejak 10 tahun terakhir. Negara yang disebutnya jauh lebih miskin dari Indinesia.
“Titik lemah kita dan juga berpotensi besar untuk kita adalah penerimaan negara. Parah, sistem penerimaan negara kita parah. Pajak, Bea Cukai sangat parah sekali,” ujar dia dalam Bedah Buku Indonesia Naik Kelas “Future Talk: Indonesia Naik Kelas & Peran Sivitas Akademika” digelar Universitas Indonesia pada Jumat, 12 Desember 2025.
Dia mengaku mengetahui hal ini ketika ditugaskan Presiden Prabowo memimpin tim di Partai Gerindra untuk mengkaji potensi ekonomi dimiliki Indonesia.
Dari temuan tim, terkuak jika salah satu titik paling rapuh ekonomi Indonesia justru berada pada sistem penerimaan negara, mulai dari pajak, bea cukai, hingga penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
“Indonesia paling lemah, paling rendah di dunia sistem perpajakan kita. Saya ketemu pak Purbaya 2 minggu yang lalu dan beliau membenarkan apa yang kita temukan,” lanjut Hashim.
Temuan itu, sejalan dengan data Bank Dunia yang telah bertemu dengannya beberapa kali sejak 2013. “Data bank dunia sudah menunjukkan dari dulu sampai sekarang pajak, PNPB, royalti, cukai kita tetap tidak ada penambahan,” tegas dia.
/data/photo/2025/12/16/6940e5ac4b315.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

/data/photo/2025/12/15/6940320232215.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/14/693ee40f21310.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

/data/photo/2025/12/15/693f4d2160e0e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)