Institusi: Universitas Indonesia

  • 1
                    
                        Hidup dari Gunungan Sampah Bantargebang, Andi Raup Rp 30 Juta per Bulan dari Limbah Plastik
                        Megapolitan

    1 Hidup dari Gunungan Sampah Bantargebang, Andi Raup Rp 30 Juta per Bulan dari Limbah Plastik Megapolitan

    Hidup dari Gunungan Sampah Bantargebang, Andi Raup Rp 30 Juta per Bulan dari Limbah Plastik
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Bergelut dengan sampah kerap dipandang sebagai pekerjaan yang menjijikkan bagi sebagian orang.
    Namun, bagi warga yang tinggal di sekitar Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, sampah justru menjadi sumber penghidupan sekaligus harapan ekonomi.
    Ribuan warga menggantungkan hidup di TPST Bantargebang, yang kini kondisinya semakin membeludak dan telah melampaui kapasitas. Tumpukan sampah yang menggunung itu seolah berubah menjadi “rezeki” bagi sebagian warga yang bersedia mengolahnya.
    Salah satunya adalah Andi (34), seorang pengepul limbah plastik yang telah bertahun-tahun mencari nafkah dari sisa-sisa sampah di Bantargebang.
    Pekerjaan sebagai pengepul limbah plastik membuat Andi mampu meraup keuntungan hingga puluhan juta rupiah setiap bulannya.
    “Sukanya kalau keuntungan lebih dari ekspetasi kami, itu bulan kemarin Rp 30 juta per bulan,” jelas Andi ketika diwawancarai
    Kompas.com
    di lokasi, Jumat (12/12/2025).
    Usaha
    pengepulan limbah plastik
    yang digeluti Andi merupakan usaha turun-temurun yang telah berdiri sejak 1996. Pada awalnya, ayah Andi berprofesi sebagai pemulung yang setiap hari mengais rezeki di gunungan
    sampah Bantargebang
    .
    Pengalaman bertahun-tahun sebagai pemulung membuat ayah Andi menyadari bahwa limbah plastik memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Sejak saat itu, ia memutuskan beralih menjadi pengepul limbah plastik.
    Usaha tersebut dikenal dengan nama “
    Lapak Bos Min
    ”.
    Seiring bertambahnya usia, sang ayah kemudian menyerahkan pengelolaan usaha pengepulan limbah plastik itu kepada Andi, yang hingga kini terus menjalankannya.
    Andi menjelaskan, sistem kerja usahanya dimulai dengan membeli limbah plastik dari para pemulung yang bekerja di area TPST Bantargebang.
    “Kami beli ada yang Rp 450 perak sampai Rp 700 itu biaya angkut dan sortir tanggungan saya, mereka (pemulung) hanya cari,” jelas Andi.
    Setelah dibeli, limbah plastik tersebut dibawa ke lapak pengepulan milik Andi yang berada tepat di samping TPST Bantargebang.
    Setibanya di lapak, limbah plastik dimasukkan ke dalam bak plastik berukuran besar untuk dicuci terlebih dahulu.
    Setelah proses pencucian, limbah plastik kemudian disortir berdasarkan jenisnya sebelum akhirnya dijemur hingga kering.
    “Kalau di sini jenis plastik yang banyak
    Polypropylene
    (PP), HDPE-
    High-Density Polyethylene
    (HD),
    Polyethylene
    (PE), dan plastik sablon warna,” ujar Andi.
    Setelah disortir dan dijemur, limbah plastik tersebut kemudian dimasukkan ke dalam plastik hitam berukuran besar untuk dijual ke distributor.
    Setiap jenis plastik memiliki harga jual yang berbeda. Plastik jenis PE dijual dengan kisaran harga Rp 3.000–6.000 per kilogram, plastik sablon atau berwarna Rp 4.000 per kilogram, PP Rp 2.000 per kilogram, dan HD sekitar Rp 1.300 per kilogram.
    Harga tersebut berlaku untuk limbah plastik yang sudah dalam kondisi bersih dan kering sehingga siap diolah oleh distributor.
    Sebagian distributor memanfaatkan limbah plastik itu untuk diperbarui agar dapat digunakan kembali. Sementara itu, lainnya mendaur ulang plastik menjadi berbagai produk, seperti kursi, palet, dan barang lainnya.
    Tak hanya mendatangkan keuntungan secara ekonomi, Andi menilai usaha pengepulan limbah plastik juga berkontribusi dalam mengurangi beban sampah di TPST Bantargebang.
    “Kalau semua jenis plastik sekitar 3 – 4 ton bisa saya kumpulin dalam satu hari,” ungkap Andi.
    Hal ini menjadi penting mengingat plastik merupakan jenis sampah yang sangat sulit terurai dan harus dikelola dengan baik agar tidak terus menumpuk di Bantargebang.
    Selain membantu mengurangi beban sampah, usaha pengepulan limbah plastik milik Andi juga membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar. Saat ini, Andi mempekerjakan tujuh orang karyawan yang terdiri dari ibu rumah tangga dan pemuda setempat.
    “Kalau buat sortir sekarang ada tujuh orang. Ibu-ibu ada dua, sisanya pemuda yang malas cari kerja di luar,” tutur Andi.
    Para ibu rumah tangga yang bertugas menyortir limbah plastik menerima upah sekitar Rp 85.000 per hari. Sementara para pemuda yang membantu mengangkat, menyortir, dan mencuci limbah plastik dibayar sekitar Rp 100.000 per hari.
    Salah satu karyawan Andi, Surheni (36), mengaku bersyukur bisa bekerja meskipun penghasilannya tergolong pas-pasan.
    “Rp 85.000 itu harian, sebenarnya enggak cukup, cuma dicukup-cukupin aja. Namanya orang susah, kalau butuh ya harus beli beras, beli kebutuhan pokok,” tutur Surheni.
    Ia mengaku terpaksa bekerja sebagai penyortir limbah plastik karena penghasilan suaminya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
    Surheni telah bekerja selama dua tahun di lapak pengepulan limbah plastik milik Andi. Menjalani profesi sebagai penyortir limbah plastik, menurut dia, bukanlah hal yang mudah dan penuh dengan suka duka.
    Sukanya, ia bisa mendapatkan penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di sisi lain, Surheni menilai pekerjaannya cukup mulia karena ikut membantu mengurangi limbah plastik yang menumpuk di Bantargebang.
    Namun, duka yang dirasakannya adalah risiko kesehatan akibat bau sampah dari TPST Bantargebang.
    “Pernah sakit karena sampah tapi paling sehari atau dua hari. Biasanya flu dan sakit kepala.
    Alhamdulillah
    enggak yang parah,” jelas dia.
    Kendati demikian, Surheni mengaku tidak terlalu khawatir dengan dampak bau sampah terhadap kesehatannya.
    Menurut dia, aroma menyengat dari Bantargebang sudah tidak lagi mengganggu indera penciumannya.
    Meski warga sekitar Bantargebang telah terbiasa dengan bau sampah, kondisi tersebut tidak boleh dianggap sepele.
    Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, mengingatkan bahwa paparan gas metana dari sampah berpotensi merusak paru-paru.
    “Tapi, yang jelas ketika dia terpapar dengan sampah, gas metana, segala macem, itu tentu yang akan terganggu adalah paru-parunya,” ucap Ari.
    Paparan gas metana secara terus-menerus dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami penyakit paru obstruktif kronis.
    Kondisi tersebut akan semakin memburuk apabila individu memiliki alergi atau hipertensi, yang dapat memicu munculnya asma.
    Menggunungnya sampah di Bantargebang tidak dapat dibiarkan tanpa penanganan khusus. Tanpa upaya konkret, usia TPST Bantargebang diperkirakan tidak akan bertahan lama, mengingat fasilitas ini telah beroperasi sejak 1996.
    Pakar Lingkungan Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa menilai, salah satu cara memperpanjang usia TPST Bantargebang adalah dengan mengurangi beban sampah yang masuk.
    “Kemudian, strategi memperpanjang tentu saja agar TPST itu terus dapat menampung sampah tentu saja yang pertama kita harus lihat dari hulunya, bagaimana mengurangi 7.000 ton per hari itu yang masuk ke Bantar Gebang,” ungkap Mahawan.
    Pengurangan beban tersebut dapat dilakukan dengan pemilahan sampah sejak dari rumah tangga. Sampah yang telah dipilah kemudian dapat diolah melalui metode 3R (
    Reduce, Reuse,
    dan
    Recycle)
    .
    Dengan pemilahan dan penerapan 3R, jumlah sampah yang dikirim ke Bantargebang diyakini akan berkurang secara signifikan.
    Praktik inilah yang selama ini dilakukan Andi dan para karyawannya dengan memilah limbah plastik yang masih memiliki nilai ekonomi.
    Selain memberi manfaat ekonomi, usaha tersebut turut membantu mengurangi volume sampah di Bantargebang.
    Mahawan menilai pemerintah perlu membuat regulasi yang jelas untuk mengatasi persoalan sampah yang terus menggunung.
    “Saya kira dengan regulasi yang ada pun pelaksanaannya kita arahkan untuk menjaga agar berapa pun jumlah sampah itu bisa seimbang dengan pemrosesannya,” kata dia.
    Menurut Mahawan, regulasi yang telah dibuat juga harus diikuti dengan implementasi yang konsisten serta dukungan dari DPRD dan gubernur.
    Anggota Komisi D DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Fraksi PSI, Bun Joi Phiau, menyatakan persoalan Bantargebang telah lama menjadi perhatian legislatif.
    “Persoalan Bantargebang menjadi permasalahan yang selalu menjadi perhatian kami di DPRD DKI Jakarta. Namun, akar permasalahannya terletak di jumlah sampah yang dihasilkan oleh Jakarta,” ungkap Bun.
    Ia menyebutkan, berdasarkan data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2019, lebih dari 1.300 truk mengangkut lebih dari 7.000 ton sampah dari Jakarta ke Bantargebang setiap hari.
    Kondisi tersebut membuat tumpukan sampah di Bantargebang kian meninggi hingga setara gedung 16 lantai.
    DPRD DKI Jakarta menilai, tumpukan sampah setinggi itu berpotensi menimbulkan berbagai risiko, termasuk longsor yang dapat membahayakan pekerja dan warga sekitar.
    “Perihal ini, kami meminta Pemprov DKI untuk memonitor ketahanan tanggul-tanggul yang dibangun di sekitar Bantar Gebang. Semua bagiannya harus dicek secara berkala,” tutur Bun.
    Ia menegaskan, apabila ditemukan keretakan atau kerusakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus segera melakukan perbaikan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 600 Dokter dan Perawat Siap Dikirim ke Wilayah Banjir Sumatera

    600 Dokter dan Perawat Siap Dikirim ke Wilayah Banjir Sumatera

    Jakarta, Beritasatu.com – Sebanyak 600 dokter umum, dokter spesialis, dan perawat disiapkan untuk memperkuat layanan kesehatan di rumah sakit dan puskesmas yang berada di wilayah terdampak banjir dan tanah longsor di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh.

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pengiriman ratusan tenaga medis ini merupakan langkah konkret pemerintah untuk memastikan layanan kesehatan tetap optimal di tengah kondisi darurat bencana. “Kita batch pertama akan memberangkatkan 600 orang. Sebanyak 450 di antaranya sudah siap diberangkatkan minggu ini,” ujarnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/12/2025).

    Budi menjelaskan, Kementerian Kesehatan telah melakukan pendataan kebutuhan dokter umum, dokter spesialis, dan perawat di seluruh wilayah terdampak. Para tenaga medis tersebut nantinya akan digilir atau rolling setiap dua pekan untuk menjaga kondisi fisik dan stamina selama bertugas di daerah bencana.

    Untuk teknis keberangkatan, Kemenkes berencana bekerja sama dengan TNI, termasuk dalam penyediaan transportasi udara. “Kalau diangkutnya pakai Hercules juga bisa, biar mereka merasakan Hercules,” kata Budi.

    Menurutnya, para dokter dan perawat yang terlibat berasal dari berbagai kampus dan rumah sakit di seluruh Indonesia. Kemenkes membuka rekrutmen melalui organisasi profesi serta fakultas kedokteran, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Universitas Muhammadiyah, hingga Nahdlatul Ulama.

    “Yang datang ternyata bukan hanya dokter magang atau koas. Dokter umum dan dokter spesialis pun mau mengorbankan pendapatan mereka untuk berangkat ke daerah bencana,” ungkap Budi.

    Menkes menambahkan, misi kemanusiaan para tenaga medis ini dianalogikan, seperti operasi militer bagi prajurit TNI. Pemerintah pun menyiapkan bentuk apresiasi bagi mereka yang terlibat langsung dalam penanganan bencana. “Ini seperti operasi kemanusiaan. Nanti akan diberikan penghargaan karena mereka sudah ikut misi kemanusiaan,” pungkas Budi.

  • Risiko Maut Sopir Truk Sampah di Bantargebang: Kelelahan dan Terpapar Gas Metana
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        16 Desember 2025

    Risiko Maut Sopir Truk Sampah di Bantargebang: Kelelahan dan Terpapar Gas Metana Megapolitan 16 Desember 2025

    Risiko Maut Sopir Truk Sampah di Bantargebang: Kelelahan dan Terpapar Gas Metana
    Tim Redaksi

    BEKASI, KOMPAS.com –
    Antrean truk sampah yang mengular berjam-jam di
    TPST Bantargebang
    , Bekasi, Jawa Barat, bukan sekadar persoalan teknis pengelolaan sampah.
    Di balik kemacetan ritase dan gunungan sampah yang menjulang puluhan meter, tersimpan
    risiko kesehatan
    serius yang mengancam para sopir truk—mereka yang setiap hari berada di garis depan krisis sampah Jakarta.
    Paparan polutan, gas metana, jam kerja yang panjang, serta kurang tidur menempatkan para sopir pada risiko penyakit kronis, mulai dari gangguan paru-paru, hipertensi, hingga stroke.
    Ancaman ini tidak hanya bersifat jangka panjang, tetapi juga dapat berujung fatal dalam waktu singkat. Risiko tersebut bukan sekadar asumsi.
    Pakar penyakit dalam Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, menjelaskan kondisi kerja
    sopir truk sampah
    —khususnya di Bantargebang—merupakan kombinasi faktor berbahaya bagi kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
    “Dia (sopir) mudah mengalami infeksi ya, kemudian juga tentu dalam tidur kurang dalam. Waktu jangka panjang akan menjadi stresnya sendiri, yang ini juga akan bisa menyebabkan berbagai macam potensi penyakit,” ujar Ari Fahrial saat dihubungi
    Kompas.com,
    Jumat (12/12/2025).
    Menurut Ari Fahrial, tubuh manusia memiliki ritme kerja ideal. Dalam kondisi normal, seseorang membutuhkan waktu tidur enam hingga delapan jam per hari agar fungsi organ tetap optimal.
    “Sejatinya seorang itu tidur secara normal itu enam jam, enam sampai delapan jam ya. Kemudian delapan jam itu untuk aktivitas berat, kemudian delapan jam berikutnya untuk aktivitas ringan. Jadi boleh dibilang itu dibagi tiga sebenarnya,” jelas dia.
    Namun, pola tersebut nyaris mustahil dijalani oleh sopir truk sampah di Bantargebang. Jam kerja yang panjang, antrean hingga belasan jam, serta tuntutan kembali bekerja keesokan harinya membuat waktu istirahat terpangkas drastis.
    “Kalau kita lihat bahwa para sopir truk ini bekerja dengan jam sangat panjang, kurang tidur, nah ini tentu akan mengaruhi keadaan tubuhnya, kesehatannya secara keseluruhan,” kata Ari.
    Dalam jangka panjang, kelelahan kronis berpotensi memicu berbagai penyakit, terutama bagi mereka yang memiliki faktor bawaan atau penyakit penyerta.
    “Apalagi kalau dia punya bakat atau sudah ada faktor genetik untuk hipertensi. Orang-orang dengan tidur yang kurang, kecapekan, kelelahan tentu juga akan mengaruhi. Kalau dia punya penyakit kronis misalnya gula darah yang tidak terkontrol,” ujar dia.
    Kondisi tersebut, lanjut Ari Fahrial, dapat berujung fatal.
    “Kalau hipertensi tadi mungkin bisa menjadi stroke misalnya seperti itu,” kata dia.
    Selain kelelahan, ancaman lain yang mengintai sopir truk sampah adalah
    paparan gas metana
    dan polutan dari timbunan sampah yang komposisinya tidak diketahui secara pasti.
    “Bicara soal sampah berbahaya, sekali lagi kita juga enggak tahu ya komponennya itu ya. Tapi yang jelas ketika dia terpapar dengan sampah, gas metana, segala macam, itu tentu yang akan terganggu adalah paru-parunya,” ujar Ari.
    Paparan jangka panjang berisiko memicu gangguan pernapasan serius.
    “Dia bisa mengalami yang kita bilang penyakit paru obstruksi kronis. Bisa saja kalau dia memang ada faktor unsur alergi atau hipersensitif, dia akan mengalami asma,” kata dia.
    Namun, bagi pekerja yang terpapar secara terus-menerus, risiko penyakit paru kronis menjadi jauh lebih besar. Ia menekankan pentingnya penggunaan alat pelindung diri, seperti masker, untuk meminimalkan paparan gas metana dan polutan.
    “Seharusnya yang bersangkutan harus dilengkapi dengan masker, sehingga dia tidak terpapar langsung dari gas metana dan polutan,” katanya.
    Ari juga menyoroti bahaya
    microsleep
    , yakni kondisi tertidur singkat tanpa disadari akibat kelelahan ekstrem.
    “Benar, risiko
    microsleep
    juga cukup tinggi. Kita tahu banyak kasus-kasus yang terjadi di jalanan, terutama pada para pengendara kendaraan umum, misalnya bus,” ujar dia.
    Fenomena ini, kata Ari, kerap berujung fatal. Ia menjelaskan, seseorang bisa tiba-tiba tertidur dalam waktu sangat singkat tanpa kendali, kondisi yang kerap berujung fatal dan umumnya terjadi akibat kurangnya waktu istirahat. Selain itu, dehidrasi turut memperburuk kondisi fisik sopir.
    Ia menyimpulkan, risiko kesehatan sopir truk sampah tidak bisa dipandang sepele.
    “Jangka pendek pasien itu akan terpapar dengan banyak penyakit. Jangka panjang tentu bisa saja terjadi gangguan-gangguan kesehatan secara umum,” kata dia.
    Ancaman kesehatan itu dirasakan langsung oleh Santo (bukan nama sebenarnya) (39), sopir truk sampah asal Jakarta Selatan yang telah bekerja sejak 2019.
    Menurut Santo, antrean panjang di TPST Bantargebang merupakan bagian dari rutinitas harian.
    “Cepatnya-cepatnya itu empat jam itu sudah lumayan, Bu, bagi kita ada istirahatnya,” ujar Santo saat dihubungi
    Kompas.com.
    Namun, antrean sering kali jauh lebih panjang.
    “Masuk jam 09.00 pagi, pernah saya alami pulang jam 04.00 pagi,” katanya.
    Santo menyebut antrean belasan jam terjadi hampir setiap hari, terutama sebelum kondisi dinilai lebih “kondusif” dalam beberapa hari terakhir.
    “Setiap hari memang kayak gini antriannya,” ujar dia.
    Penyebabnya beragam, mulai dari hujan, kendala alat berat, hingga keterbatasan zona pembuangan.
    “Ketinggian sampahnya sudah enggak layak, sudah tinggi banget. Sudah enggak ada lagi tempat space buat buang sampah,” kata Santo.
    Selama menunggu giliran bongkar muatan, Santo dan sopir lain kerap bertahan di atas truk. Biasanya ia menunggu sambil tertidur, merokok, ataupun makan. Ia mengaku jam kerja bisa mencapai 24 jam tanpa jeda.
    “Iya, betul,” katanya singkat.
    Kondisi antrean tersebut dibenarkan oleh Andi (33), pengepul plastik di kawasan Bantargebang.
    “Iya benar antre truk itu 24 jam setiap harinya,” kata Andi.
    Menurut dia, akar persoalannya adalah keterbatasan ruang pembuangan.
    “Zona tempat pembuangan sampahnya sudah sempit,” ujarnya.
    Andi menyebut adanya informasi soal perluasan area, namun belum terealisasi.
    “Katanya sudah ada beberapa tempat yang dibeli Jakarta, tapi entah kenapa belum direalisasi,” katanya.
    Sementara itu, Roni (bukan nama sebenarnya) (50), petugas di TPST Bantargebang, menjelaskan bahwa sistem pembuangan dilakukan berdasarkan zona.
    “Kalau zona satu sudah penuh, dicari lagi zona lain. Gitu terus,” ujarnya.
    Ia juga mengungkap penyebab longsor yang sempat memperparah kondisi.
    “Terakhir penyebab longsor itu ada hubungannya dengan pemulung. Mereka naik ke atas, ngumpulin sampah, lalu digelindingin. Itu bikin tumpukan sampah di bawahnya geser dan akhirnya longsor,” kata Roni.
    Risiko kesehatan yang dihadapi sopir truk sampah menjadi nyata ketika Yudi (51), sopir asal Jakarta Selatan, meninggal dunia pada Jumat (5/12/2025) usai bekerja lembur. Rekan sesama sopir, Fauzan (46), mengatakan Yudi mengalami akumulasi kelelahan.
    “Waktu kerjanya bisa lebih dari yang dikontrakkan delapan jam,” kata Fauzan.
    Sehari sebelum meninggal, Yudi mulai bekerja sejak pukul 05.00 WIB dan baru keluar dari TPST Bantargebang pukul 19.04 WIB setelah mengantre sekitar delapan jam.
    “Tiga hari nongkrong di sana sambil nunggu bertugas lagi, buat
    recovery
    ,” ujar Fauzan.
    Namun, pada dini hari, Yudi mendadak sesak napas dan kejang sebelum akhirnya meninggal dunia di rumah sakit.
    Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyatakan almarhum Yudi terindikasi memiliki penyakit jantung.
    “Memang yang bersangkutan juga pun terindikasi ada penyakit jantung,” ujar Pramono, Senin (8/12/2025).
    Menurut Pramono, keluarga almarhum telah menerima santunan maksimal dari dinas terkait dan BPJS Ketenagakerjaan.
    Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta menyatakan akan memperkuat protokol keselamatan serta membenahi pola pengangkutan sampah.
    “Semakin lama truk menunggu, semakin tinggi risiko keselamatan karena faktor kelelahan pengemudi,” kata Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto.
    DLH berjanji menata ulang jadwal pengangkutan, memperbaiki manajemen antrean, serta mewajibkan pemeriksaan kesehatan rutin bagi petugas lapangan.
    Peristiwa wafatnya Yudi menjadi pengingat keras bahwa krisis sampah Jakarta tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga menyangkut keselamatan dan nyawa manusia yang setiap hari bekerja menjaga kota tetap bersih.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Strategi KPPU Atur Algoritma & Pasar Digital

    Strategi KPPU Atur Algoritma & Pasar Digital

    Bisnis.com, JAKARTA – Transformasi ekonomi digital di Indonesia kini bukan lagi sekadar wacana, melainkan realitas yang mengubah fundamental pasar. Ketika algoritma menentukan harga dan otomatisasi menggeser peran manusia, tantangan bagi regulator persaingan usaha kian kompleks. Struktur pasar tradisional tergerus, menuntut aturan main baru yang lebih adil dan responsif.

    Merespons dinamika ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menegaskan urgensi perombakan kerangka kebijakan nasional. Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa, menyebutkan bahwa pendekatan konvensional sudah usang menghadapi laju teknologi.

    “Praktik dan tata kelola yang ada saat ini tidak lagi cukup untuk memenangkan persaingan global,” tegas Fanshurullah dalam pembukaan The Third Jakarta International Competition Forum (3JICF) 2025 di Menara Danareksa, Jakarta, Kamis (11/12/2025).

    Menurut Fanshurullah, terutama dengan keanggotaan di BRICS dan di tengah persiapan aksesi Indonesia ke OECD serta berbagai perjanjian ekonomi komprehensif, KPPU mendorong tiga pilar strategis agar pengawasan persaingan tetap relevan: reformasi hukum yang progresif, penyelarasan standar internasional, dan evolusi dalam penegakan hukum.

    Urgensi pembenahan regulasi ini diamini oleh Guru Besar Universitas Indonesia, Rhenald Kasali. Dalam pidato kuncinya, Rhenald menyoroti bagaimana teknologi telah menjadi “tangan tak terlihat” yang baru dalam persaingan usaha. Teknologi kini mendikte apa yang dilihat konsumen di layar gawai, bagaimana harga berfluktuasi secara real-time, hingga siapa pelaku usaha yang berhasil ditemukan di pasar digital.

    Untuk menghadapi disrupsi ini, Rhenald merekomendasikan enam langkah kebijakan krusial, mulai dari penggabungan penegakan hukum pencegahan (ex-ante) dan penindakan (ex-post), peningkatan kemampuan forensik digital, hingga audit algoritmik berstandar internasional (BRICS). Ia juga menekankan pentingnya interoperabilitas data dan pengawasan merger yang lebih ketat agar tidak mematikan inovasi.

    Forum 3JICF 2025 menjadi wadah krusial untuk membedah bagaimana negara lain merespons tantangan serupa. Mariam El Ghandour dari Egyptian Competition Authority (Mesir) memaparkan kerangka hukum hibrida di negaranya untuk menangani persekongkolan tender (bid rigging), yang mengombinasikan larangan perjanjian horizontal dalam UU Persaingan Usaha dengan kewajiban pelaporan kolusi dalam UU Pengadaan Publik.

    Sementara itu, perspektif perlindungan konsumen di era digital disuarakan oleh Rachel Burgess dari Australian Competition and Consumer Commission (ACCC). Australia baru saja memperkuat regulasinya dengan sanksi penalti yang lebih berat dan perluasan perlindungan bagi usaha kecil, sebuah langkah yang relevan untuk diadaptasi di Indonesia mengingat besarnya populasi UMKM.

    Forum internasional yang dihadiri lebih dari 200 peserta dari kalangan regulator, akademisi, dan organisasi internasional (termasuk OECD dan ASEAN) ini menyimpulkan satu hal, bahwa persaingan usaha yang sehat tidak bisa dicapai oleh regulator sendirian.

    Wakil Ketua KPPU menutup forum dengan pesan kuat bahwa peningkatan kualitas persaingan usaha nasional membutuhkan “napas” baru. Hal ini mencakup perubahan regulasi yang fokus memberantas hambatan masuk pasar (bottleneck), kemudahan investasi, serta kolaborasi lintas lembaga dengan optimalisasi teknologi informasi. Tanpa langkah strategis ini, ekonomi digital Indonesia berisiko hanya menjadi pasar bagi pemain global, tanpa memberikan manfaat maksimal bagi pelaku usaha dalam negeri.

  • Bantargebang di Ambang Penuh, Jakarta Masih Mencari Jalan Keluar Sampahnya
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        16 Desember 2025

    Bantargebang di Ambang Penuh, Jakarta Masih Mencari Jalan Keluar Sampahnya Megapolitan 16 Desember 2025

    Bantargebang di Ambang Penuh, Jakarta Masih Mencari Jalan Keluar Sampahnya
    Tim Redaksi
    BEKASI, KOMPAS.com
    – Timbunan sampah di TPST Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, terus bertambah, sementara daya tampung dan sistem pengolahannya nyaris tak bergerak.
    Di balik gunungan sampah setinggi puluhan meter, Jakarta masih bergulat dengan solusi jangka pendek yang belum menyentuh akar persoalan.
    Pengamat perkotaan Universitas Indonesia, Muh Aziz Muslim, menilai masalah Bantargebang tak bisa dilihat semata sebagai persoalan teknis di hilir.
    “Volume
    sampah Jakarta
    terus naik dari waktu ke waktu, sementara kapasitas penampungan tempat pembuangan akhirnya sudah tidak lagi memadai,” ujar Aziz saat dihubungi Kompas.com, Jumat (12/12/2025).
    TPST Bantargebang
    yang telah beroperasi puluhan tahun kini menanggung beban jauh melampaui daya dukungnya.
    Berulang kali, lokasi ini menjadi sumber bencana, mulai dari longsor hingga gangguan lingkungan.
    “Sampah Jakarta terus bertambah tanpa diiringi perubahan perilaku masyarakat. Sementara daya tampung Bantargebang sudah sangat terbatas, bahkan mungkin tidak lagi bisa menampung,” kata Aziz.
    Masalah kapasitas landfill juga berkelindan dengan kondisi infrastruktur.
    Jalan menuju zona pembuangan rusak, alat berat tak optimal, dan risiko lingkungan kian tinggi.
    “Mau tidak mau, harus ada intervensi dari hulu sampai hilir. Dari hulunya, bagaimana sampah rumah tangga dan industri bisa diminimalisir sejak awal,” ujar Aziz.
    Ia menilai prinsip reduce, reuse, recycle (3R) belum dijalankan secara konsisten dan masif.
    Padahal, perubahan perilaku dan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan menjadi kunci meringankan beban TPA.
    Terkait langkah Pemprov DKI Jakarta seperti pembangunan RDF Plant dan pemilahan sampah, Aziz menyebut kebijakan itu belum menyentuh akar masalah.
    Selama timbulan sampah terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan pola konsumsi, solusi sementara hanya akan menunda krisis.
    Dampak krisis paling nyata dirasakan sopir truk sampah.
    Antrean panjang membuat jam kerja membengkak, risiko kecelakaan meningkat, dan waktu istirahat tergerus.
    “Undang-undang ketenagakerjaan mengatur jam kerja dan standar keselamatan. Ini harus dipastikan betul-betul diterapkan,” ujar Aziz.
    Ia berharap insiden kecelakaan sopir truk beberapa waktu lalu menjadi peringatan serius.
    “Semoga ini menjadi pintu masuk untuk memperbaiki tata kelola persampahan di Jakarta,” kata Aziz.
    Pengamat lingkungan Mahawan Karuniasa memaparkan kondisi eksisting Bantargebang.
    Setiap hari, sekitar 7.000 ton sampah masuk ke lokasi seluas 110 hektare itu.
    “Kalau kapasitas maksimalnya sekitar 70 juta ton, artinya sisa ruangnya tinggal 15 juta ton,” ujar Mahawan.
    Dengan timbulan sekitar 2,5 juta ton per tahun, Bantargebang diperkirakan hanya bertahan enam tahun, atau maksimal 10 tahun jika kapasitas ditingkatkan.
    “Pemrosesan seharusnya sama besar dengan inflow sekitar 7.000 ton per hari. Tapi kapasitasnya belum sampai ke sana,” kata dia.
    Peneliti utama BRIN, Sri Wahyono, menyebut Bantargebang menerima 7.500–7.800 ton sampah per hari dengan sisa kapasitas landfill yang sangat terbatas.
    “Gas metana bukan hanya berkontribusi pada krisis iklim, tapi juga meningkatkan risiko kebakaran dan ledakan,” ujar Sri Wahyono.
    Lonjakan lindi saat musim hujan juga membuat sistem pengolahan bekerja mendekati batas maksimal.
    Santo (bukan nama sebenarnya), sopir truk sampah asal Jakarta Selatan, merasakan langsung dampak krisis ini.
    “Masuk jam 9 pagi, pernah saya pulang jam 4 pagi,” ujarnya.
    Menurut Santo, keterbatasan zona pembuangan dan ketinggian sampah menjadi penyebab utama antrean.
    “Udah enggak ada space lagi buat buang sampah,” katanya.
    Bagi pemulung dan pengepul, Bantargebang adalah sumber hidup sekaligus ancaman.
    Andi (33), pengepul plastik, khawatir ekspansi RDF menghilangkan mata pencaharian.
    “Kalau RDF direalisasi besar-besaran, mata pencaharian kita bisa hilang,” kata Andi.
    Di sisi lain, petugas menyebut aktivitas pemulung di lereng timbunan kerap memicu longsor.
    Sampah terus datang, ruang makin sempit, dan solusi jangka panjang masih tertahan di persimpangan kebijakan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sumatra Banjir, Menkes Kirim 600 Nakes Tangani Pasien Pascabencana

    Sumatra Banjir, Menkes Kirim 600 Nakes Tangani Pasien Pascabencana

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin melaporkan pihaknya menyiapkan 600 orang tenaga kesehatan (nakes) yang akan diberangkatkan ke Sumatra untuk membantu pemulihan medis pascabencana. 

    Pada sidang kabinet paripurna, Senin (15/12/2025), Budi melaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto bahwa yang disiapkan baru gelombang pertama saja. Nantinya, mereka akan dirotasi setiap dua minggu.

    “Batch pertama kami akan memberangkatkan 600 orang. 450 sudah siap untuk diberangkatkan minggu ini,” terang Budi kepada Prabowo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/12/2025). 

    Budi pun berharap agar Prabowo nantinya melepas keberangkatan nakes yang meliputi dokter, spesialis hingga perawat itu di Halim Perdanakusuma, Jakarta. Dia bahkan meminta agar mereka diberangkatkan menggunakan pesawat Hercules. 

    Para nakes yang akan diberangkatkan ke lokasi terdampak bencana Sumatra itu berasal dari rekrutmen terbuka. Asalnya dari organisasi profesi hingga sejumlah Fakultas Kedokteran (FK) baik Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), serta Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama. 

    Menurut Budi, dokter-dokter yang dikirim pun berasal dari berbagai latar belakang, yakni koas atau magang, bahkan dokter umum yang mengorbankan pendapatannya untuk pergi ke Sumatra. 

    “Nanti dalam dua minggu kami putar lagi, Pak, 600 lagi, karena ini buat rumah sakit dan Puskesmas. Karena orang di sana terdampak juga, Pak. Dokter, perawatnya yang di Aceh kena juga, jadi mereka masih ngurusin keluarganya mereka juga. Jadi, butuh dibantu untuk tiga bulan kita rencanakan relawan dari luar,” terangnya. 

    Adapun dari segi sarana dan prasarana, Menkes sejak 2020 itu turut melaporkan bahwa ada 41 rumah sakit (RS) yang sempat tidak beroperasi sejak terjadinya bencana pada 26 November 2025. Sekarang, dia mengeklaim 100% sudah mulai beroperasi secara bertahap. 

    Fasilitas yang baru beroperasi yakni instalasi gawat darurat (IGD) serta ruangan operasi. Sementara itu, sebanyak 500 dari hampir 1.000 puskesmas yang ada turut terdampak. Namun, seiring dengan proses penanggulangan bencana, sebanyak 414 unit puskesmas sudah beroperasi.

    “Masih ada yang tidak beroperasi sekitar 50-an. Ada yang hanyut, ada yang hilang, dan lain sebagainya. Tahap kedua sesudah rumah sakit beroperasi, Puskesmas ini akan kami operasikan mudah-mudahan dalam dua minggu ke depan, Pak,” terang pria yang pernah menjabat Wakil Menteri BUMN itu. 

  • CALIBER 2025, Upaya Chandra Asri Group Dorong Peran Generasi Muda dalam Industri Rendah Karbon

    CALIBER 2025, Upaya Chandra Asri Group Dorong Peran Generasi Muda dalam Industri Rendah Karbon

    Cilegon, Beritasatu.com – Komitmen terhadap inovasi dan keberlanjutan kembali diwujudkan PT Chandra Asri Pacific Tbk (Chandra Asri Group) melalui penyelenggaraan Chandra Asri Limitless Innovation & Business Strategy (CALIBER) Challenge 2025. Program ini menjadi ruang bagi mahasiswa dari seluruh Indonesia untuk menuangkan gagasan strategis dalam menjawab tantangan industri. Pada tahun keduanya, CALIBER mengangkat tema “The Journey to a Zero-Carbon Building in the Era of Industry 4.0”, dengan fokus pada pengembangan strategi menuju penerapan bangunan rendah karbon sebagai bagian dari upaya mendorong transformasi industri yang berkelanjutan.

    Head of Corporate Communications Chandra Asri Group, Chrysanthi Tarigan, mengungkapkan, Chandra Asri Group berkomitmen untuk menjadi Mitra Pertumbuhan #YourGrowthPartner bagi para pemangku kepentingannya. 

    “Melalui pelaksanaan CALIBER ini, kami membuka ruang kolaborasi bagi generasi muda untuk bertumbuh, mengasah kemampuan teamwork, problem solving, hingga berpikir analitis yang akan menjadi bekal penting ketika berkecimpung di dunia profesional. Tidak hanya itu, studi kasus yang diangkat dalam CALIBER juga mendorong lahirnya inovasi yang relevan dan aplikatif bagi keberlanjutan industri di masa depan,” ungkap Chrysanthi.

    Kegiatan dimulai dengan proses registrasi peserta sejak September 2025, hingga pelaksanaan sesi final presentasi dan plant tour pada 10–11 Desember di Cilegon, Banten, untuk memberikan kesempatan bagi para finalis untuk melihat secara langsung operasional kompleks petrokimia terintegrasi. Tak hanya itu, antusiasme peserta CALIBER 2025 meningkat signifikan, tercermin dari peningkatan jumlah pendaftar sebesar 252% dibandingkan tahun 2024, dengan total 363 kelompok dari 81 universitas di seluruh Indonesia. Setelah melalui proses seleksi yang mencakup administrasi serta penilaian proposal ide dan strategi oleh tim Chandra Asri Group, 10 kelompok terbaik terpilih untuk mengikuti presentasi final sekaligus plant tour ke fasilitas produksi Chandra Asri Group.  

    Kesepuluh finalis mengikuti presentasi akhir, telah merumuskan dan menyampaikan strategi berbasis data, teknologi, serta praktik keberlanjutan secara langsung di hadapan para juri yang merupakan praktisi berpengalaman dari Chandra Asri Group. Setelah melalui proses penilaian menyeluruh, Chandra Asri Group menetapkan tiga kelompok terbaik yang dinilai mampu memberikan ide dan strategi paling komprehensif dan aplikatif, yaitu:

    – Juara 1: KonsultanITS – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
    – Juara 2: Casting Crowns – Institut Teknologi Bandung (ITB)
    – Juara 3: Thunderbolts – Institut Teknologi Bandung (ITB)

    Selain tiga pemenang utama, Chandra Asri Group juga memberikan kategori penghargaan tambahan bagi tim dengan performa unggul:

    – Honorable Mention 1: Gasskeun – Universitas Gadjah Mada (UGM)
    – Honorable Mention 2: Visioneer – Universitas Indonesia (UI)

    CALIBER Challenge 2025 menjadi sarana pembelajaran strategis yang memungkinkan mahasiswa memperdalam pemahaman mengenai operasional industri serta urgensi transformasi menuju penerapan teknologi rendah karbon. Melalui keterlibatan generasi muda, Chandra Asri Group terus menghadirkan ekosistem  kompetisi yang mendorong lahirnya talenta unggul, yang siap bersaing dan berkontribusi dalam mewujudkan masa depan industri yang berkelanjutan.

  • Nestapa Sopir Truk Sampah Bertahan Belasan Jam, Terjebak Antrean Bantargebang
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        15 Desember 2025

    Nestapa Sopir Truk Sampah Bertahan Belasan Jam, Terjebak Antrean Bantargebang Megapolitan 15 Desember 2025

    Nestapa Sopir Truk Sampah Bertahan Belasan Jam, Terjebak Antrean Bantargebang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Di tengah gunungan sampah Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, antrean truk berwarna oranye terlihat mengular panjang.
    Antrean truk
    itu terjadi di zona empat titik pembuangan sampah
    Bantargebang
    sekitar pukul 15.00 WIB, Jumat (12/12/2025).
    Jumlah truk yang mengantre terlihat terus bertambah setiap menitnya.
    Mereka membawa sampah dari Jakarta dengan kapasitas penuh yang ditutup terpal agar tidak beterbangan.
    Antrean truk terjadi karena para sopir mencari titik paling aman untuk menurunkan muatan sampahnya.
    Sebab, hampir semua lokasi di Bantargebang sudah dipenuhi sampah yang menggunung.
    Salah satu sopir, Hendra (bukan nama sebenarnya, 37) mengaku, dalam beberapa bulan terakhir antrean truk di Bantargebang memang selalu terjadi.
    “Iya, benar itu semenjak dari tiga bulan lalu, itu kita harus menunggu belasan jam atau lebih dari 10 jam ada,” kata Hendra ketika diwawancarai Kompas.com, Jumat.
    Mengantre hingga belasan jam untuk membuang muatan sampah, membuat para
    sopir truk
    kerap kali beroperasi melebihi jam kerja.
    Imbasnya, banyak sopir truk yang tak memiliki waktu untuk istirahat cukup sampai sakit bahkan meninggal dunia.
    Salah satunya Yudi (51),
    sopir truk sampah
    dari Jagakarsa, Jakarta Selatan, yang tumbang pada Jumat (5/12/2025).
    Kematian Yudi menuai sorotan banyak orang termasuk Gubernur Jakarta Pramono Anung.
    Ia bilang, penyebab meninggalnya sopir itu karena mengalami penyakit jantung.
    Kendati demikian, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jakarta berjanji ke depannya akan mengevaluasi sistem pengangkutan sampah di Bantargebang.
    Mereka akan menata ulang pola dan jadwal pengangkutan sampah dari lima wilayah kota di Jakarta agar tidak terjadi antrean yang membuat sopir kelelahan.
    Namun, fakta di lapangan antrean truk di Bantargebang masih terjadi dan membuat sopir menunggu hingga belasan jam.
    “Masih antre, kemarin saya masuk jam 15.00 WIB sore, kebuang jam 03.00 WIB pagi, terus jam 08.30 WIB mulai muat lagi karena menunggu alat berat di lokasi, sekarang jam 15.00 WIB udah di Bantargebang lagi, ini juga belum sempat pulang,” jelas Hendra.
    Antrean belasan jam itu membuat para sopir truk kerja selama 24 jam non-setop dan tak sempat pulang ke rumah, bahkan untuk sekadar mandi.
    Hendra mau tidak mau bekerja dengan kondisi badan yang sudah semakin lengket dan baju kotor imbas terkena sampah.
    Selain bekerja dalam kondisi tidak mandi, antrean truk belasan jam itu membuat para sopir terpaksa mengisi perut di tengah gunungan sampah.
    Aroma bau busuk menyengat tak memengaruhi nafsu makan para sopir truk yang harus mengisi tenaga karena antrean truk masih panjang.
    Makanan-makanan itu mereka beli dari para pedagang yang berkeliling di sekitar area Bantargebang.
    Sementara Hendra memilih untuk menyantap masakan istrinya yang dibawa dari rumah.
    Menunggu belasan jam untuk sekadar membuang muatan sampah membuat para sopir sering terkurung di dalam truk.
    “Kalau itu tergantung cuaca, kalau misalkan lagi hujan kemungkinan sopir terpenjara dalam mobil, kalau samping ada warung tenda kecil kita ke sana,” ucap dia.
    Namun, tidak semua zona pembuangan sampah di Bantargebang terdapat warung tendaan untuk para sopir truk beristirahat.
    Jika tak ada warung, mereka terpaksa harus menunggu di dalam truk sampah yang dikendarainya.
    Sopir akan semakin tersiksa jika tak membawa bekal dan tidak memiliki uang.
    Sebab mereka terpaksa harus menahan rasa lapar selama belasan jam di dalam truk sampahnya itu.
    Mengingat dari pihak Bantargebang tak pernah menyediakan makanan atau minuman untuk para sopir yang harus antre belasan jam.
    Tak hanya lelah secara fisik, pengeluaran uang para sopir truk juga lebih ekstra ketika harus menunggu antrean belasan jam.
    Pasalnya, mereka harus membeli makanan dan minuman, karena perbekalannya dari rumah hanya cukup untuk makan satu kali.
    “Iya, pengeluaran jadi ekstra karena harus beli makan dan minum. Biasanya, uang bisa sampai Rp 100.000 ke atas, kalau makan Rp 15.000 tiga kali udah berapa itu kalau diirit-irit,” ujar Hendra.
    Di tengah pengeluaran yang ekstra, para sopir truk tak mendapat uang lembur, meski harus belasan jam mengantre di Bantargebang.
    Hal itu lah yang membuat mereka harus putar otak dalam mengelola gaji yang diterima per bulan.
    “Kalau soal gaji mau gimana lagi, kita pas-pasin aja buat di dapur. Abis gimana kita kan harus jalanin harus teriak ke mana, mau ngadu ke mana percuma,” kata Hendra.
    Sopir truk lain, Santo (bukan nama sebenarnya, 39) juga mengaku, pengeluaran uangnya lebih banyak karena antrean pembuangan sampah di Bantargebang mencapai belasan jam.
    Di tengah pengeluarannya yang meningkat, Santo mengeluhkan gajinya yang tak kunjung naik.
    “Untuk saat ini saya nerima di rekening itu Rp 7,5 juta. Jadi, enggak ada tunjangan-tunjangan lain, cuma itu doang,” ujar dia.
    Santo berharap, agar para sopir bisa mendapat pesangon ketika sudah tidak lagi dipekerjakan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta.
    Pasalnya, meski pendapatannya sudah di atas UMR Jakarta, para sopir merasa gajinya tetap pas-pasan di tengah risiko pekerjaan yang tinggi dan jarang pulang ke rumah.
    Kemudian, Santo juga berharap jalan di Bantargebang segera diperbaiki agar aman dilintasi para sopir truk, sebab banyak akses yang rusak dan licin yang berpotensi membahayakan.
    “Emang semua harapan sopir truk itu. Pengin diperbaiki jalannya, karena menyiksa,” ujar dia.
    Lalu, ia juga meminta agar landfill atau zona untuk membuang sampah bisa dibuat rata dan tidak miring agar tak membahayakan sopir truk.
    Sebab, jika sopir truk membongkar muatan sampah di area landfill yang miring maka kendaraan mereka berpotensi terbalik.
    Pengamat perkotaan Universitas Indonesia (UI) Muh Aziz Muslim menilai, antrean truk menunjukkan bahwa kuantitas sampah Jakarta terus bertambah di tengah kapasitas TPST Bantargebang yang sudah melebihi batas.
    Di sisi lain, infrastruktur TPST yang kurang memadai, seperti jalan rusak, landfill yang sudah penuh juga jadi penyebab terjadinya antrean truk yang mau membuang sampah di Bantargebang mencapai belasan jam.
    “Kondisi ini tentu membutuhkan adanya skenario ya bagaimana kapasitas landfill yang terbatas ya dan infrastruktur yang juga mengalami kerusakan itu dapat diselesaikan,” ujar Aziz.
    Untuk mengatasi persoalan itu maka diperlukan perbaikan dari hulu ke hilir.
    Perbaikan di hulu bisa dimulai dari rumah dan kawasan industri dengan menerapkan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) itu nanti akan meringankan beban TPA-nya.
    Dengan berkurangnya volume sampah yang masuk maka permasalahan landfill yang melebihi kapasitas di Bantargebang bisa teratasi.
    Kemudian, infrastruktur jalan di Bantargebang juga tidak akan mudah lagi rusak jika volume sampah yang masuk bisa berkurang secara signifikan.
    Aziz juga menyeroti perihal keselamatan kerja para sopir truk yang melakukan bongkar muat sampah di Bantargebang.
    “Kalau terkait dengan keselamatan kerja bagaimana pemerintah memperlakukan sopir truk sampah. Undang-undangnya jelas, terkait dengan masalah Undang-Undang Ketenagakerjaan kita,” jelas dia.
    Dalam Undang-undang itu, diatur bagaimana penetapan jam kerja, kewajiban, hingga hak-hak para pekerja atau sopir truk.
    “Ini mesti diperhatikan apakah hak-haknya sudah diperhatikan, standar keselamatan kerja sudah diperhatikan atau belum, dan kita melihat kondisi truk serta fasilitas kerja yang mereka miliki juga mesti menjadi perhatian,” kata Aziz.
    Selain itu, pemerintah juga diminta memperhatikan bagaimana mekanisme atau manajemen antrean truk sampah di Bantargebang agar bisa diperpendek dan diperbaiki.
    Jangan sampai, kata Aziz, mekanisme antrean yang buruk justru membuat sopir truk menjadi korban lagi karena tak memiliki waktu istirahat yang cukup.
    Dampak
    kesehatan
    Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Prof. Dr Ari Fahrial Syam menilai, antrean pembuangan sampah di Bantargebang yang mencapai belasan jam tentu saja akan membuat para sopir truk kekurangan jam istirahat.
    Padahal, idealnya dalam satu hari seseorang harus tidur sekitar enam hingga delapan jam, delapan jam lainnya bisa digunakan untuk melakukan aktivitas berat dan delapan jam lagi untuk melakukan aktivitas ringan.
    “Nah, kalau kita lihat bahwa para sopir truk ini bekerja dengan jam sangat panjang, kurang tidur, nah ini tentu akan memengaruhi keadaan tubuhnya, kesehatannya secara keseluruhan,” ungkap Ari.
    Kondisi semakin buruk karena para sopir truk mengantre di tengah gunungan sampah sehingga tanpa sadar terpapar dengan polutan dan gas metana.
    Jadi, sudah seharusnya para sopir truk menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti masker, sehingga tidak terpapar polutan dan gas metana secara langsung.
    Pasalnya, paparan polutan dan gas metana dari tumpukan sampah berpotensi meningkatkan risiko sopir mengalami micro sleep.
    Jika micro sleep itu terjadi, maka akan berpotensi fatal untuk para sopir truk karena bisa menyebabkan kecelakaan.
    Kurang tidur dalam jangka waktu panjang juga membuat para sopir truk mudah mengalami infeksi dan meningkatkan stres.
    “Apalagi kalau dia punya bakat atau sudah ada faktor genetik untuk hipertensi, mungkin hipertensi orang-orang dengan tidur yang kurang, kecapekan, kelelahan tentu juga akan memengaruhi kalau dia punya penyakit kronis misalnya gula darah yang tidak terkontrol ya. Kalau hipertensi tadi mungkin bisa menjadi stroke misalnya seperti itu,” ucap dia.
    Sementara untuk paparan gas metana dan polutan dari sampah dalam jangka panjang bisa membuat paru-paru para sopir truk bermasalah.
    Misalnya, seperti penyakit paru obstruksi kronis, asma, dan lain sebagainya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Singgung Pajak dan Bea Cukai, Hashim Djojohadikusumo Blak-blakan Kondisi Parah Penerimaan Negara

    Singgung Pajak dan Bea Cukai, Hashim Djojohadikusumo Blak-blakan Kondisi Parah Penerimaan Negara

     

    Liputan6.com, Jakarta – Utusan Khusus Presiden untuk Energi dan Lingkungan Hidup, Hashim Djojohadikusumo mengkritisi kondisi penerimaan negara, mulai dari penerimaan pajak hingga bea cukai.

    Dia bahkan membandingkan sistem perpajakan Indonesia yang justru tertinggal dengan negara lain seperti Kamboja sejak 10 tahun terakhir. Negara yang disebutnya jauh lebih miskin dari Indinesia.

    “Titik lemah kita dan juga berpotensi besar untuk kita adalah penerimaan negara. Parah, sistem penerimaan negara kita parah. Pajak, Bea Cukai sangat parah sekali,” ujar dia dalam Bedah Buku Indonesia Naik Kelas “Future Talk: Indonesia Naik Kelas & Peran Sivitas Akademika” digelar Universitas Indonesia pada Jumat, 12 Desember 2025.

    Dia mengaku mengetahui hal ini ketika ditugaskan Presiden Prabowo memimpin tim di Partai Gerindra untuk mengkaji potensi ekonomi dimiliki Indonesia.

    Dari temuan tim, terkuak jika salah satu titik paling rapuh ekonomi Indonesia justru berada pada sistem penerimaan negara, mulai dari pajak, bea cukai, hingga penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

    “Indonesia paling lemah, paling rendah di dunia sistem perpajakan kita. Saya ketemu pak Purbaya 2 minggu yang lalu dan beliau membenarkan apa yang kita temukan,” lanjut Hashim.

    Temuan itu, sejalan dengan data Bank Dunia yang telah bertemu dengannya beberapa kali sejak 2013. “Data bank dunia sudah menunjukkan dari dulu sampai sekarang pajak, PNPB, royalti, cukai kita tetap tidak ada penambahan,” tegas dia.

     

  • Singgung Pajak dan Bea Cukai, Hashim Djojohadikusumo Blak-blakan Kondisi Parah Penerimaan Negara

    Singgung Pajak dan Bea Cukai, Hashim Djojohadikusumo Blak-blakan Kondisi Parah Penerimaan Negara

     

    Liputan6.com, Jakarta – Utusan Khusus Presiden untuk Energi dan Lingkungan Hidup, Hashim Djojohadikusumo mengkritisi kondisi penerimaan negara, mulai dari penerimaan pajak hingga bea cukai.

    Dia bahkan membandingkan sistem perpajakan Indonesia yang justru tertinggal dengan negara lain seperti Kamboja sejak 10 tahun terakhir. Negara yang disebutnya jauh lebih miskin dari Indinesia.

    “Titik lemah kita dan juga berpotensi besar untuk kita adalah penerimaan negara. Parah, sistem penerimaan negara kita parah. Pajak, Bea Cukai sangat parah sekali,” ujar dia dalam Bedah Buku Indonesia Naik Kelas “Future Talk: Indonesia Naik Kelas & Peran Sivitas Akademika” digelar Universitas Indonesia pada Jumat, 12 Desember 2025.

    Dia mengaku mengetahui hal ini ketika ditugaskan Presiden Prabowo memimpin tim di Partai Gerindra untuk mengkaji potensi ekonomi dimiliki Indonesia.

    Dari temuan tim, terkuak jika salah satu titik paling rapuh ekonomi Indonesia justru berada pada sistem penerimaan negara, mulai dari pajak, bea cukai, hingga penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

    “Indonesia paling lemah, paling rendah di dunia sistem perpajakan kita. Saya ketemu pak Purbaya 2 minggu yang lalu dan beliau membenarkan apa yang kita temukan,” lanjut Hashim.

    Temuan itu, sejalan dengan data Bank Dunia yang telah bertemu dengannya beberapa kali sejak 2013. “Data bank dunia sudah menunjukkan dari dulu sampai sekarang pajak, PNPB, royalti, cukai kita tetap tidak ada penambahan,” tegas dia.