Institusi: Universitas Indonesia

  • Pajak karbon pada gedung boros energi masih dikaji

    Pajak karbon pada gedung boros energi masih dikaji

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah masih mengkaji terkait pengenaan pajak karbon pada bangunan yang boros energi atau disinsentif sebagai upaya mendorong pemilik bangunan gedung menerapkan konsep bangunan hijau.

    “Apakah akan mengenakan pajak karbon jika bangunan gedung ternyata boros energi, tidak diberikan insentif?,” ujar Ketua Tim Fasilitasi Sekretariat Pusat Pembinaan Bangunan Gedung Hijau (BGH), Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Fajar Santoso di Jakarta, Selasa.

    Fajar dalam Bicara Kota Series ke-19 bertema “Peran Green Building dalam Reduksi Emisi Karbon” mengatakan, Kementerian PU bekerjasama dengan Lembaga Teknologi Universitas Indonesia (Lemtek UI) membuat kajian insentif dan disinsentif, namun sifatnya masih normatif.

    “Kuantitatif ini direncanakan di akhir 2025 sampai 2026 bisa disusun,” kata dia yang juga menjabat sebagai Kepala Balai Teknis Sains Bangunan itu.

    Konsep bangunan hijau diketahui dapat menghemat penggunaan energi sekitar 42 persen dibanding bangunan biasa dengan ukuran yang sama. Konsep ini juga dapat mengoptimalkan penggunaan air bersih secara signifikan dan mengurangi limbah air yang dihasilkan.

    Lalu, karena penggunaan teknologi dan material terbarukan dan bahan bakunya tahan lama, gedung dengan konsep ini dapat juga melestarikan sumber daya alam dan meminimalisir limbah.

    Khusus di Jakarta, regulasi tentang bangunan gedung hijau yang termuat dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012.

    Pada 2030, implementasi Pergub 38 ditargetkan mencapai 100 persen bangunan baru memenuhi persyaratan bangunan gedung hijau, 60 persen bangunan eksisting persyaratan bangunan gedung hijau.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 2
                    
                        Presiden Harus “Orang Indonesia Asli”, Aturan Lama yang Hilang di Era Reformasi
                        Nasional

    2 Presiden Harus “Orang Indonesia Asli”, Aturan Lama yang Hilang di Era Reformasi Nasional

    Presiden Harus “Orang Indonesia Asli”, Aturan Lama yang Hilang di Era Reformasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com —
    Indonesia pernah mempunyai sebuah aturan yang kontroversial mengenai syarat untuk menjadi seorang presiden, yakni harus merupakan orang Indonesia asli.
    Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Presiden ialah orang Indonesia asli”.
    Namun, aturan ini berubah di era Reformasi ketika Majelis Permusawaratan Rakyat (MPR) menggulirkan amendemen.
    Aturan tersebut pun resmi dihapus dan diubah lewat amendemen kedua UUD 1945 yang diketok pada tahun 2000.
    Setelah diamandemen, Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”
    Perubahan narasi dalam amendemen kedua UUD 1945 dinilai sudah relevan dengan masa kini.
    Menurut dosen hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini, kata “asli” dalam versi awal sebelum amendemen saat itu disusun berdasarkan refleksi konteks sejarah di awal kemerdekaan.
    Saat itu, bangsa Indonesia baru merdeka sehingga masih ada kekhawatiran tentang kemungkinan campur tangan pihak asing atau bekas penjajah.
    “Jadi istilah orang Indonesia asli dimaksudkan sebagai bentuk proteksi terhadap kedaulatan politik bangsa yang masih sangat rentan dan belum stabil,” kata Titi saat dihubungi, Senin (9/10/2025).
    Seiring berjalannya waktu, frasa itu dihapus lewat amendemen UUD 1945 karena dianggap sudah tidak relevan.
    Menurut Titi, amendemen UUD 1945 itu menegaskan, semua warga negara Indonesia (WNI) memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan, tanpa ada diskriminasi atas dasar keturunan, ras, atau asal-usul.
    Oleh karenanya, syarat dalam Pasal 6 Ayat (1) UUD NRI 1945 versi amendemen yang menyebut “warga negara Indonesia sejak kelahiran dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain” dianggap sudah memadai dan relevan dengan masa ini.
    “(Versi lama) tidak relevan dengan perkembangan zaman dan prinsip-prinsip hak kewarganegaraan yang lebih egaliter,” kata Titi.
    Jika istilah orang Indonesia asli tetap dipertahankan, hal ini dinilai akan membuka ruang diskriminasi terhadap warga negara yang sah namun memiliki latar belakang keturunan tertentu seperti WNI keturunan Tionghoa, Arab, atau lainnya.
    Hal itu dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi konstitusional dan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi setelah reformasi.
    “Perubahan tersebut penting dan krusial karena memperkuat prinsip civic nationalism, bahwa keindonesiaan ditentukan oleh ikatan kewarganegaraan, bukan asal-usul darah atau etnis,” terangnya.
    Bagi Titi, penghapusan kata “asli” tersebut justru mempertegas bahwa syarat menjadi presiden di Indonesia tidak boleh didasarkan pada ras atau etnis, melainkan pada status kewarganegaraan dan loyalitas kepada negara.
    “Dalam konteks masa kini, menghidupkan kembali narasi “presiden harus WNI asli” tidak hanya ahistoris, tetapi juga berpotensi menghidupkan politik identitas yang sempit dan diskriminatif,” ujar dia.
    Senada dengan Titi, pakar hukum tata negara dari Themis Indonesia Feri Amsari juga menilai penghilangan kata “asli” dalam Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 sudah ideal.
    Jika kata “orang Indonesia asli” masih ada dalam beleid tersebut, tentu dapat menimbulkan beragam masalah.
    Sebab, perlu dijelaskan lebih lanjut definisi dan kriteria dari “orang Indonesia asli” yang dimaksud.
    Lebih jauh, kata “asli” juga berpotensi jadi masalah ketika membahas konteks Indonesia di masa depan yang mana banyak WNI melakukan kawin campuran antar negara.
    Lewat penghapusan kata “asli” dalam amendemen UUD 1945, diharapkan putra-putri Indonesia yang berasal dari pernikahan campuran tidak tertolak menjadi seorang presiden di masa depan.
    “Sepanjang mereka adalah warga negara Indonesia sejak lahir dan tidak pernah meminta status kewarganegaraan lain, sebenarnya itu sudah memperkuat nilai-nilai ke-Indonesiaan dari seorang calon presiden,” kata Feri.
    Meski sudah lama diubah, narasi soal “orang Indonesia asli” sebagai syarat calon presiden dan wakil presiden juga sempat menjadi kontroversi.
    Pada 2016, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ingin kembali memasukkan kata “orang Indonesia asli” dalam Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 yang sudah diamandemen.
    PPP saat itu ingin butir pasal tersebut menjadi: “Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia asli sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.”
    Usulan tersebut menjadi salah satu poin rekomendasi resmi dalam Musyawarah Kerja Nasional I PPP pada masa itu, tetapi disambut oleh pro dan kontra.
    Wakil presiden ketika itu, Jusuf Kalla, menilai belum tentu seluruh partai akan menyetujui usulan PPP terkait syarat calon presiden dan wakil presiden harus Indonesia asli.
     
    “Namanya dalam demokrasi tentu boleh mengusulkan sesuai keyakinannya. Itu bukan mengamandemen sebenarnya, (tapi) kembali ke asal bunyi UUD 1945 yang asli itu begitu,” kata Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, 7 Oktober 2016.
    “Tetapi ini kan tentu tidak satu partai ini tidak, belum tentu yang lainnya juga setuju. Kita bicara dalam konteks demokrasi saja,” lanjut JK.
    Sejumlah politisi juga ada yang menilai bahwa usulan tersebut cenderung diskriminatif, bahkan perlu dikaji mendalam oleh semua fraksi yang ada di DPR RI.
    Misalnya, politikus PDI-P Hendrawan Supratikno menganggap semangat UUD 1945 harus melindungi, jangan sampai justru mendiskriminasi.
     
    “Kalau ada usulan amendemen UUD 1945 yang mengharuskan Presiden dan Wakil Presiden harus orang Indonesia asli yang maknanya pribumi itu malah tidak sesuai spirit UUD yang justru melindungi bukan mendiskriminasi. Itu tidak relevan namanya,” ujar Hendrawan pada Oktober 2016.
    Merespons isu yang sama, politikus Partai Kebangkitan Bangsa Daniel Johan menyatakan Indonesia telah memiliki Undang-Undang Kewarganegaraan yang telah mengatur pengertian orang Indonesia asli.
    Dalam aturan soal kewarganegaraan, tak disebutkan bila orang Indonesia asli berarti pribumi.
     
    “Kalau Presiden dan Wakil Presiden Indonesia harus pribumi, itu kemunduran. Kita sudah selesai dengan hal semacam itu di era reformasi, ini kok malah balik lagi ke masa lalu,” kata Daniel saat dihubungi, 4 Oktober 2016.
    Menurut Daniel, akan sulit untuk mengartikan orang Indonesia asli karena nenek moyang orang Indonesia sendiri tidak berasal dari dataran Indonesia, melainkan dari Indocina.
    “Kalau definisinya seperti itu berarti enggak ada yang orang Indonesia yang asli dong karena nenek moyangnya saja bukan dari dataran Indonesia, tapi dari Indocina,” ucapnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Aturan Pemeriksaan Data Konkret Bisa Tingkatkan Kepatuhan Pajak?

    Aturan Pemeriksaan Data Konkret Bisa Tingkatkan Kepatuhan Pajak?

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menilai Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor PER-18/PJ/2025 tentang Tindak Lanjut Data Konkret bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan karena mempercepat proses penegakan hukum di bidang perpajakan.

    Menurut Prianto, aturan tersebut merupakan bentuk naskah dinas internal Kementerian Keuangan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 164/PMK.01/2021.

    “Naskah dinas adalah informasi tertulis yang berfungsi sebagai alat komunikasi kedinasan, norma hukum, atau dokumen teknis yang dibuat pejabat berwenang di lingkungan Kementerian Keuangan dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (7/10/2025).

    Perdirjen 18/2025 itu menurutnya tidak terlepas dari PMK Nomor 15/2025 tentang Pemeriksaan Pajak, yang menjadi dasar teknis pelaksanaan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Salah satu aspek pemeriksaan adalah data konkret, yakni tiga jenis data yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

    Pertama, faktur pajak yang telah disetujui sistem DJP tetapi belum dilaporkan pada surat pemberitahuan pajak pertambahan nilai (SPT PPN).

    Kedua, bukti pemotongan atau pemungutan PPh yang tidak dilaporkan pada SPT Masa pajak penghasilan (PPh). Ketiga, bukti transaksi atau data perpajakan lain yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban pajak.

    Prianto menjelaskan bahwa pemeriksaan atas data konkret dilakukan melalui pengujian secara sederhana, atau metode yang berbasis pada data matching antara laporan wajib pajak dan data yang dimiliki DJP.

    “Kata kunci dari pemeriksaan pajak itu adalah data matching [pencocok data]. Pemeriksa akan membandingkan dan mencocokkan satu data dengan data lainnya. Karena itu, penyebutannya adalah dengan pengujian secara sederhana,” jelasnya.

    Dia melihat bahwa mekanisme pemeriksaan ini tidak berkaitan dengan pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tentang penagihan wajib pajak dalam perkara pajak yang telah inkrah.

    “Kasus hukum pajak telah inkrah dan ada utang pajak, proses pemeriksaannya sudah selesai dan tidak ada lagi sengketa pajak. Langkah selanjutnya adalah proses penagihan pajak oleh juru sita pajak di setiap KPP [kantor pelayanan pajak],” tegasnya.

    Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) ini menambahkan bahwa pemeriksaan berbasis data konkret relatif lebih mudah diterima wajib pajak karena prosesnya jelas dan terukur. Dengan cara itu, lanjutnya, diharapkan wajib pajak tidak melakukan upaya hukum lanjutan dan bisa langsung melunasi utang pajak setelah ada penetapan dari KPP.

    Menurut dia, aturan itu juga berpotensi mempercepat realisasi penerimaan pajak agar mendekati target APBN 2025, karena penyelesaian sengketa dapat dipangkas melalui kesepahaman berbasis data yang transparan.

    Adapun PER-18/PJ/2025 tentang Tindak Lanjut Data Konkret ini terbit pada 24 September 2025. Data kontret adalah data yang diperoleh atau dimiliki otoritas pajak, yang mencakup faktur pajak yang tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN, bukti potong atau bukti pungut PPh yang tidak dilaporkan, hingga bukti transaksi atau data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung wajib pajak.

    Bukti transaksi atau data perpajakan yang masuk kategori data konkret sebagai berikut:

    Pertama, kelebihan kompensasi pada SPT Masa PPN yang tidak didukung dengan kelebihan bayar pada SPT PPN. Kedua, penghitungan kembali pajak masukan sebagai pengurang pajak keluaran oleh WP yang tidak berhak menggunakan pedoman pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan yang terutang dan penyerahan yang tidak terutang pajak.

    Ketiga, PPN disetor di muka yang tidak atau kurang dibayar. Keempat, pemanfaatan insentif pajak yang tidak sesuai ketentuan. Kelima, pengkreditan pajak masukan yang tidak sesuai ketentuan. 

    Keenam, penghasilan yang tidak atau kurang dilaporkan berdasarkan data bukti potong yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak dan/atau kekeliruan sehubungan dengan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto.

    Ketujuh, data atau keterangan yang bersumber dari ketetapan atau keputusan di bidang perpajakan termasuk putusan atas sengketa penerapan ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang perpajakan, yang bersifat inkrah, yang dapat langsung digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan yang tidak atau kurang dilaporkan oleh WP dalam SPT.

    Kedelapan, data atau keterangan yang telah diterbitkan surat permintaan penjelasan atas data atau keterangan; dibuat berita acara permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan yang memuat persetujuan Wajib Pajak atas pemenuhan kewajiban perpajakan dan telah ditandatangani Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa, namun pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut belum atau tidak dipenuhi sampai dengan batas waktu yang telah disetujui oleh Wajib Pajak, yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak. 

  • Fakta Baru Gunung Padang: Batu Raksasa Itu Diduga Dibawa dari Tempat Lain
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        7 Oktober 2025

    Fakta Baru Gunung Padang: Batu Raksasa Itu Diduga Dibawa dari Tempat Lain Bandung 7 Oktober 2025

    Fakta Baru Gunung Padang: Batu Raksasa Itu Diduga Dibawa dari Tempat Lain
    Tim Redaksi
    CIANJUR, KOMPAS.com
    – Tim kajian dan pemugaran Situs Gunung Padang menemukan fakta baru terkait keberadaan batuan berkolom atau
    columnar joint
    di sejumlah titik yang berada tidak jauh dari area inti situs megalitikum tersebut.
    Ketua tim kajian dan pemugaran Situs Gunung Padang, Ali Akbar, menyebutkan bahwa terdapat potensi sumber batuan
    columnar joint
    di dua lokasi, yakni Ciukir di selatan situs dan Pasir Pogor di bagian utara.
    “Khusus temuan yang di Ciukir ternyata memiliki potensi yang lebih besar,” ujar Ali kepada
    Kompas.com
    melalui sambungan telepon, Senin (6/10/2025) malam.
    Hasil survei menunjukkan bahwa bentuk dan ukuran batuan di dua lokasi itu memiliki kemiripan dengan
    columnar joint
    yang ada di area inti Situs Gunung Padang.
    “Karenanya, kajian akan dilanjutkan dengan analisis laboratorium untuk memperoleh kepastian,” kata Ali.
    Menurutnya, temuan tersebut semakin memperkuat dugaan bahwa Situs Gunung Padang merupakan hasil karya budaya manusia, bukan bentukan alami.
    Ali menjelaskan, batuan vulkanik berbentuk persegi lima dengan panjang hingga 100 meter itu dibawa dari lokasi lain untuk dijadikan material bangunan situs.
    “Dalam pembuatannya, batuan dari aktivitas gunung api purba ini dipotong-potong sesuai ukuran yang diinginkan. Potongan-potongan itu kemudian disusun rapi. Dijadikan anak tangga, pilar-pilar, pembatas dinding, dan teraresing di setiap sisi,” terang Ali.
    Namun, seiring berjalannya waktu, sebagian susunan batuan itu kini telah runtuh.
    “Karenanya, perlu dilakukan pemugaran yang juga merupakan bagian dari upaya pelindungan,” ujar arkeolog Universitas Indonesia tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, Buruh Desak DPR Sahkan UU Pro-Pekerja
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        6 Oktober 2025

    Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, Buruh Desak DPR Sahkan UU Pro-Pekerja Megapolitan 6 Oktober 2025

    Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, Buruh Desak DPR Sahkan UU Pro-Pekerja
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Massa aksi dalam kegiatan Rapat Dengar Pendapat Warga (RDPW) yang digelar di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (6/10/2025), memprotes kondisi tenaga kerja di Indonesia yang dinilai kian tidak menentu.
    Ketua Konfederasi Aliansi Serikat Buruh Indonesia, Sunarno (40), menyuarakan keresahan para pekerja yang mayoritas tidak memiliki kepastian kerja.
    “Mayoritas pekerja sekarang ini adalah tidak memiliki jaminan kepastian kerja. Dan itu sama persis filosofis dari Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
    Easy hiring, easy firing,
    ” kata Sunarno dalam orasinya.
    Ia juga mendesak DPR bersama pemerintah segera menyusun undang-undang yang berpihak pada buruh.
    “Kalau gerakan buruh atau serikat-serikat buruh tidak dilibatkan maka kita pastikan gerakan buruh akan melakukan aksi-aksi besar, bahkan bukan hanya seperti Omnibus Law Cipta Kerja, tapi kami juga merancang pemogokan secara umum,” ujarnya.
    Salman (21), salah seorang peserta aksi, menilai pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka belum memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan buruh.
    “Kenyataannya, kayaknya selama pemerintahan Prabowo-Gibran justru banyak industri-industri ini yang tutup dan dampak terhadap buruh ya jadi mereka di-PHK, enggak bisa kerja lagi dan sebagainya,” ungkapnya.
    Menurut Salman, pemerintah perlu membuat undang-undang baru mengenai perburuhan, khususnya terkait upah dan jam kerja. Ia menilai aturan dalam UU Cipta Kerja serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 dan 36 Tahun 2021 justru merugikan buruh.
    “Jadi kalau menurut saya, sejauh ini masih sangat diperlukan undang-undang perburuhan yang baru,” katanya.
    Berdasarkan pantauan
    Kompas.com,
    orasi politik dalam aksi ini berakhir sekitar pukul 18.00 WIB. Peserta kemudian menutup rangkaian kegiatan dengan menyalakan lilin.
    Sebelumnya, aksi RDPW ini juga melibatkan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) dan sejumlah organisasi masyarakat sipil.
    Aksi tersebut bertepatan dengan satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, sekaligus menjadi bentuk kritik terhadap kebijakan pemerintah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Viral Gigi Bolong Bisa ‘Menular’ ke Pasangan, Benarkah? Ini Penjelasan Dokter

    Viral Gigi Bolong Bisa ‘Menular’ ke Pasangan, Benarkah? Ini Penjelasan Dokter

    Jakarta

    Belum lama ini media sosial Threads diramaikan oleh unggahan seorang netizen tentang memiliki pasangan yang punya masalah gigi berlubang bisa menular.

    Bahkan netizen tersebut mengajak orang lain untuk lebih selektif dalam memilih pasangan.

    “Siapa yang baru tau kalo gigi berlubang itu menular????? 😭🤚🏻 bae2 deh milih pasangan,” tutur @leaaxxxx, dikutip detikcom, Senin (6/10/2025).

    Menyoroti hal tersebut, Ketua Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (FKG UI), Prof Dr drg Febriana Rahmayanti, Sp PM, Subsp Infeksi dan Imunitas menjelaskan pada dasarnya proses terjadi gigi berlubang atau disebut karies bisa disebabkan oleh sejumlah faktor.

    Salah satunya terkait keberadaan bakteri Streptococcus mutans. drg Febriana menjelaskan yang berpindah bukanlah penyakit lubang giginya, melainkan bakterinya.

    “Nah si bakteri streptococcus mutans itu bisa menyebabkan adanya gigi yang tadinya keras itu menjadi lunak, sehingga terjadi proses gigi berlubang. jadi itu perlu faktor tersebut,” ucapnya saat ditemui di Jakarta Selatan, Minggu (5/10/2025).

    “Perpindahan si bakteri dari streptococcus mutans yang memang ada di dalam rongga mulut kita, di dalam air ludah, yang bisa berpindah kepada orang yang lain,” ucapnya lagi.

    Menurutnya, pola perpindahan tersebut tidak hanya dapat terjadi antar pasangan, tetapi juga antara ibu dan anak, terutama ketika terdapat pertukaran alat makan atau paparan air liur secara tidak sengaja.

    Meskipun begitu, Prof Febriana menyebut perpindahan bakteri tidak otomatis menyebabkan seseorang mengalami gigi berlubang. Hal ini dikarenakan membutuhkan waktu dan kondisi tertentu. Selain bakteri, beberapa penyebab gigi berlubang lainnya, seperti mengonsumsi karbohidrat olahan yang mudah melekat pada gigi, serta lamanya sisa makanan menempel di permukaan gigi.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video PDGI: Cuma 5% Orang Indonesia yang Sikat Gigi dengan Benar”
    [Gambas:Video 20detik]
    (suc/kna)

  • LPEM UI Soroti Nasib Drivel Ojol & Pedagang Cs Belum Dapat JHT-JP

    LPEM UI Soroti Nasib Drivel Ojol & Pedagang Cs Belum Dapat JHT-JP

    Jakarta, CNBC Indonesia – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) menyoroti kesenjangan perlindungan sosial antara pekerja formal dan informal dalam sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

    Dalam kajian Labor Market Brief edisi September 2025, LPEM UI menemukan bahwa pekerja informal atau Bukan Penerima Upah (BPU) seperti pengemudi ojek daring, pedagang kecil, nelayan, hingga petani masih tertinggal jauh dibandingkan pekerja formal dalam hal perlindungan.

    Untuk para Penerima Upah (PU) yang bekerja di perusahaan atau pemberi kerja formal, seperti buruh pabrik, pegawai tetap, atau karyawan kontrak yang menerima gaji bulanan mereka pada umumnya menerima seluruh program BPJS Ketenagakerjaan yang berlaku.

    Jaminan yang diterima seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP). Pasalnya, iuran untuk program-program tersebut dipotong langsung dari gaji dan disetorkan oleh perusahaan. Sehingga kepesertaan kelompok ini relatif tinggi dan berkelanjutan.

    Bagi pekerja bukan penerima upah atau pekerja informal, paket perlindungan yang tersedia jauh lebih terbatas. Program dasar yang diwajibkan hanyalah Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dengan iuran sekitar Rp 16.800 per bulan.

    “JKK dan JKM dirancang untuk mudah diakses oleh pekerja mandiri. Namun pada praktiknya, keterbatasan pilihan program membuat segmen BPU masih jauh tertinggal dibandingkan pekerja formal,” tulis LPEM UI dalam laporannya, dikutip Senin (6/10/2025).

    Berdasarkan data kepesertaan aktif BPJS Ketenagakerjaan yang dihimpun oleh LPEM UI pada 2024, dari 65,2 juta tenaga kerja terdaftar hanya 45,2 juta tenaga kerja yang masuk ke dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).

    Secara rinci, 45,2 juta tenaga kerja yang terlindungi terdiri dari 29,3 juta adalah Penerima Upah, 9,9 juta BPU, dan 6 juta pekerja jasa konstruksi.

    “Artinya, BPU yang terlindungi hanya sekitar seperlima dari total peserta, padahal justru segmen ini yang banyak menghadapi risiko kerja tinggi serta memiliki tingkat ketergantungan keluarga yang besar terhadap satu pencari nafkah,” tulisnya.

    Untuk program Jaminan Hari Tua (JHT) dari total 19,1 juta peserta aktif, 18,4 juta berasal dari PU dan hanya 674 ribu dari BPU. Sementara untuk Jaminan Pensiun dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan, seluruh pesertanya berasal dari PU, sementara BPU sama sekali tidak memiliki akses terhadap dua program ini.

    (haa/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Jurus Purbaya Berantas Rokok Ilegal, Cukai Tak Naik & Bikin Industri Tembakau

    Jurus Purbaya Berantas Rokok Ilegal, Cukai Tak Naik & Bikin Industri Tembakau

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memiliki pendekatan sendiri dalam memberantas rokok ilegal. Selain penegakan hukum, Purbaya berencana unntuk memperbanyak kawasan industri hasil tembakau. Menurutnya, semakin banyak KIHT akan menampung produsen rokok ilegal yang selalu kucing-kucingan dengan aparat. 

    “Kami melihat seberapa cepat bupati bangun, kalau dia enggak punya duit, saya coba lihat bisa masuk atau enggak ke situ. Dengan harapan produsen gelap masuk ke sana. Pesannya kita akan bangun untuk produsen gelap mungkin ada pemutihan yang ke belakang dosanya diampuni,” kata Purbaya pekan lalu. 

    Kesempatan bagi produsen rokok ilegal untuk melegalkan produknya, terang Purbaya, diharapkan bisa disusul dengan penerapan cukai yang pas. Dia menyebut Dirjen Bea Cukai Kemenkeu tengah memelajari formula pengenaan cukai yang pas bagi perusahaan-perusahaan rokok kecil yang belum dikenakan pita cukai. 

    Formulasi pengenaan cukai bagi produsen kecil itu diupayakan tidak mematikan perusahaan, tetapi dalam waktu yang sama tidak mengganggu persaingan usaha bagi produsen lain yang sudah berada di pasar. 

    Menkeu yang pernah bekerja di Danareksa itu menyampaikan bahwa ingin menciptakan pasar yang berkeadilan bagi industri kecil maupun besar. Dia ingin memastikan lapangan kerja tetap terjaga, tetapi dipastikan harus tetap menyetor ke penerimaan negara melalui cukai. 

    “Tetapi setelah itu, ke depan kita akan bertindak keras. Jadi, mereka kita kasih ruang untuk melegalkan produknya dengan pola penerapan cukai yang pas untuk mereka,” jelas Purbaya. 

    Cukai Rokok Tidak Naik 

    Adapun Purbaya mengumumkan bahwa tarif cukai hasil tembakau atau cukai rokok 2026 tidak akan naik atau turun, usai bertemu dengan asosiasi pengusaha rokok.

    Purbaya telah menemui Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok lndonesia (Gappri) di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat pada Jumat (26/9/2025) siang.

    Dia menjelaskan inti dari pertemuan itu terkait nasib tarif cukai rokok pada tahun depan. Bendahara negara itu pun bertanya kepada Gappri, apakah dirinya perlu merubah tarif rokok.

    Menurutnya, Gappri menyatakan tarif cukai rokok 2026 tidak perlu diubah. Sesuai jawaban pengusaha rokok itu, Purbaya memutuskan tidak akan menaikkan maupun menurunkan cukai rokok.

    “Tadinya padahal saya mikir mau nurunin, dia [Gappri] minta cukup, yaudah. Ini salahin mereka aja sendiri. Salah mereka itu, nyesel, tahu gitu minta turun, tahunya dia minta konstan aja, yaudah kita enggak naikin. Jadi tahun 2006 tarif cukai tidak kita naikin,” jelasnya di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat (26/9/2025).

    Lebih lanjut, Purbaya menjelaskan bahwa Kementerian Keuangan sedang mencoba membersihkan pasar dari barang-barang ilegal terutama rokok—baik rokok ilegal dari luar negeri maupun dalam negeri.

    Oleh sebab itu, dia akan membuat program khusus yaitu kawasan industri hasil tembakau. Dia menjelaskan di kawasan industri khusus hasil tembakau itu semua peralatan produksi akan tersedia.

    “Nanti di satu tempat akan ada mesin, gudang, pabrik, dan Bea Cukai di sana. Konsepnya adalah sentralisasi, plus one stop service. Ini sudah jalan di Kudus, Jawa Tengah, dan di Pare-Pare di Sulawesi Selatan. Jadi kita akan jalankan lagi di kota-kota yang lain,” ungkap Purbaya

    Rokok Ilegal Sulit Hilang?

    Hanya saja, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi mengingatkan bahwa cukai, atau pajak apapun, selalu diposisikan sebagai beban oleh pelaku usaha. Oleh sebab itu, pelaku usaha akan selalu berupaya mengefisienkan biaya pajak itu, caranya bisa ilegal maupun legal.

    “Fenomena rokok ilegal menjadi wujud konkret tentang bagaimana cara ilegal menjadi pilihan rasional bagi pelaku usaha untuk menghindari cukai,” jelas Prianto kepada Bisnis, dikutip Minggu (5/10/2025).

    Sementara itu, cara legal pun tidak selalu sesuai semangat pembuat kebijakan. Prianto menjelaskan bahwa bukan tak mungkin pelaku usaha mencari celah dalam aturan yang ada untuk mengurangi beban cukai rokok.

    Dia mencontohkan pelaku usaha bisa merilis produk rokok baru dengan berbagai varian sebagai upaya legal untuk menyiasati struktur kompleks tarif cukai di Indonesia.

    Dengan demikian, ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) ini melihat praktik rokok ilegal akan tetap ada meski otoritas mengupayakan penegakan hukum maupun bangun lebih banyak kawasan industri hasil tembakau.

    “Ketika kebijakan cukai dimodifikasi, perilaku penghindaran pajak dan pengelakan pajak tetap akan menjadi opsi yang rasional bagi pelaku usaha dan konsumen rokok. Dasar pertimbangan mereka sama, yaitu cukai rokok itu beban yang harus diefisienkan,” tutup Prianto.

  • Akademisi UI: Jokowi Bukan Lagi Presiden, Jangan Cawe-cawe Pemerintahan Prabowo

    Akademisi UI: Jokowi Bukan Lagi Presiden, Jangan Cawe-cawe Pemerintahan Prabowo

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pertemuan empat mata antara Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Jokowi di Kertanegara terus menjadi perbincangan publik belakangan ini.

    Akademisi Universitas Indonesia (UI), Ronnie H. Rusli, misalnya, ia menilai seharusnya Presiden Prabowo tidak perlu mengikuti saran atau arahan apa pun dari mantan kepala negara tersebut.

    Dikatakan Ronnie, masa jabatan Jokowi telah berakhir dan secara etika politik, tidak semestinya ia masih terlibat dalam pengambilan keputusan di pemerintahan yang baru.

    “Sewajarnya Presiden Prabowo tidak melaksanakan apa yang dikatakan mantan Presiden,” ujar Ronnie di X @Ronnie_Rusli (6/10/2025).

    Ronnie juga menyinggung bahwa kredibilitas Jokowi kini tengah diragukan publik, terutama setelah muncul kembali perdebatan soal keaslian ijazahnya.

    “Terlebih-lebih ijazahnya saja diragukan,” katanya menegaskan.

    Ia menambahkan, posisi mantan Presiden seharusnya cukup menjadi simbol kenegaraan, bukan penasihat yang terus mencampuri kebijakan pemerintahan baru.

    “Dia sudah selesai sebagai Presiden, bukan lanjut menjabat sebagai penasehat Presiden,” tandasnya.

    Sebelumnya, Muhammad Said Didu menyoroti pertemuan empat mata antara Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Jokowi yang berlangsung di Kertanegara, Sabtu (4/10/2025), kemarin.

    Pertemuan yang disebut berlangsung tertutup selama dua jam itu memunculkan beragam spekulasi publik.

    Said Didu pun ikut memberikan analisanya terkait isi pembicaraan antara keduanya.

    “Karena tertutup dan empat mata selama dua jam maka diperkirakan yang dibahas adalah meminta pengamanan geng SOP (Solo-Oligarki-Parcok),” ujar Said Didu di X @msaid_didu (5/10/2025).

  • Raih Gelar Doktor UI, Pimpinan Baleg DPR Teliti Desain Pemerintahan Desa Demi Pembangunan Ekonomi Lokal – Page 3

    Raih Gelar Doktor UI, Pimpinan Baleg DPR Teliti Desain Pemerintahan Desa Demi Pembangunan Ekonomi Lokal – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Anggota DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Ahmad Iman Sukri memberikan perhatian pada dinamika tata kelola desa di Indonesia. Kehadiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah menghadirkan ruang bagi desa untuk mandiri, berinovasi dan membangun ekonomi lokal.

    Iman Sukri melakukan penelitian terhadap tiga desa yakni Desa Panggungharjo di Kabupaten Bantul di Yogyakarta, Desa Kutuh di Kabupaten Badung di Bali serta Desa Waturaka di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.

    Ketiga desa ini dipilih karena memperlihatkan kombinasi menarik antara inovasi tata kelola, pemanfaatan teknologi, penguatan kelembagaan dan peran nilai budaya.

    Berkat penelitiannya, Iman Sukri mendapat gelar doktor dengan hasil Sangat Memuaskan atas Disertasinya yang berjudul “Rekonfigurasi Desain Governance Pemerintahan Desa dalam Pembangunan Ekonomi Lokal” Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia pada Jumat (3/10/2025) di Balai Sidang, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

    “Namun realitas di lapangan yang masih menunjukkan dua wajah ganda desa. Ada desa yang berhasil menjadi teladan tata kelola, tetapi ada pula desa yang tertinggal, bahkan terjebak dalam persoalan hukum dan birokrasi yang tertutup,” ungkap Iman dalam keterangannya, Sabtu (4/10/2025).