Institusi: Universitas Indonesia

  • Pelajaran dari Rentetan Penembakan Massal di AS untuk Sekolah Aman di Indonesia

    Pelajaran dari Rentetan Penembakan Massal di AS untuk Sekolah Aman di Indonesia

    Pelajaran dari Rentetan Penembakan Massal di AS untuk Sekolah Aman di Indonesia
    Guru Besar/Professor Fakultas Hukum Universitas Indonesia Bidang Studi Hukum Masyarakat & Pembangunan/ Pengajar Tidak Tetap Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI/ Sekjen Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia/ Pendiri Masyarakat Viktimologi Indonesia/ Executive Committee World Society of Victimology -WSV/ Co-Founder Victims Support Asia/ Anggota Dewan Riset Daerah DKI Jaya 2018 – 2022
    SERANGAN
    bersenjata, apakah menggunakan senjata api, bom dan sejenis-nya seperti yang terjadi di SMAN 72 Jakarta Utara pada Jumat, 7 November 2025, bisa jadi fenomena langka di Indonesia.
    Karena lazimnya yang jadi target adalah kedutaan besar, kantor polisi, mal,
    night club
    dan tempat-tempat yang merepresentasikan produk budaya kapitalis barat.
    Namun, peristiwa tersebut bukan fenomena langka di Amerika Serikat. Sejak
    penembakan massal
    di Columbine High School, Colorado (20 April 1999) hingga September 2024, terdapat lebih dari 417 kasus kekerasan senjata api di sekolah.
    Kemudian tahun ajaran 2000-2001 hingga 2021-2022, terdapat 1.375 penembakan di sekolah dasar dan menengah negeri dan swasta, yang mengakibatkan 515 kematian dan 1.161 luka-luka.
    Frekuensi penembakan di sekolah di AS telah meningkat drastis sejak 2018, dengan beberapa tahun terakhir (2021, 2022, 2023, dan 2024) mencatat rekor setidaknya sejak 2008 (
    Cnn.com
    , 28/10/2025,
    Edweek.org
    , 31/12/2024,
    Usafacts.org
    , 20/02/2024).
    Dari ribuan kasus kejahatan bersenjata di lingkungan kampus dan sekolah di AS, paling tidak ada 5 (lima) kasus yang paling diingat.
    Banyaknya kasus penembakan di sekolah di Amerika disebabkan berbagai faktor yang kompleks dan saling terkait. Beberapa penyebab utama yang disebutkan dalam berbagai sumber meliputi:
    Pertama, kepemilikan senjata api yang meluas. Amerika Serikat memiliki tingkat kepemilikan senjata api yang tinggi. Individu mudah memperoleh senjata secara legal maupun ilegal.
    Lemahnya regulasi terkait kepemilikan senjata menjadi salah satu faktor utama yang meningkatkan risiko terjadinya penembakan massal (
    Kompas.com
    , 28/03/ 2023).
    Kedua, peraturan yang lemah. Peraturan terkait kepemilikan dan penggunaan senjata di banyak negara bagian di AS relatif longgar, sehingga memungkinkan individu dengan niat buruk atau masalah kejiwaan untuk memperoleh senjata dengan mudah (
    Kompas.com
    , 28/03/ 2023).
    Ketiga, masalah kejiwaan dan sosial. Berbagai kasus menunjukkan bahwa faktor psikologis, seperti gangguan kejiwaan, serta tekanan sosial seperti
    bullying
    dan
    perundungan
    , menjadi motif yang sering dikaitkan dengan pelaku penembakan di sekolah.
    Ada juga yang mengalami masalah keluarga atau lingkungan yang tidak stabil; 
    Keempat, pengaruh budaya dan media. Pengaruh media, termasuk film, permainan video kekerasan, dan budaya kekerasan secara umum, turut serta dalam membentuk perilaku tertentu, meskipun pengaruh ini masih menjadi perdebatan.
    Kelima, faktor ekonomi dan gender. Masalah ekonomi dan faktor gender juga diidentifikasi sebagai faktor yang dapat memperburuk risiko kekerasan di sekolah, termasuk penembakan massal.
    Selain faktor-faktor di atas, kondisi tertentu seperti pengalaman
    bullying
    , isolasi sosial, dan motif pribadi yang kompleks juga sering dilaporkan sebagai pemicu pelaku melakukan penembakan (
    Voaindonesia.com
    , 18/12/2024).
    Khususnya terkait masalah kejiwaan dan sosial, pengalaman
    bullying
    serta isolasi sosial menjadi catatan khusus dari semua pelaku penembakan di lembaga pendidikan.
    Eric Harris dan Dylan Klebold melakukan serangan massal di Columbine (1999) karena faktor kompleks psikologis dan sosial, yang memengaruhi masing-masing secara berbeda, tetapi pada akhirnya mengarah pada aksi kekerasan massal bersama.
    Eric Harris dinyatakan oleh psikolog FBI sebagai seorang psikopat yang menunjukkan sifat narsis, agresi, dan kurangnya empati.
    Ia adalah dalang dan penggerak di balik serangan tersebut, merencanakannya selama sekitar satu tahun dengan keinginan untuk menciptakan teror.
    Sebaliknya, Dylan Klebold digambarkan sebagai individu yang pemarah dan depresif dengan sikap dendam terhadap orang-orang yang ia rasa telah memperlakukannya dengan buruk, lebih labil secara emosional, dan memiliki kecenderungan bunuh diri.
    Motifnya adalah kombinasi kemarahan yang mendalam, depresi, dan keinginan yang terencana untuk melakukan aksi teroris domestik terhadap negara dengan menggunakan SMA sebagai target simbolis.
    Harris menginginkan ketenaran dan kehancuran dalam skala yang lebih besar, sementara keterlibatan Klebold melengkapi perhitungan dingin Harris dengan amarah emosional.
    Seung-Hui Cho, pelaku penembakan di Virginia Tech (2007) menewaskan 32 orang akibat kombinasi masalah kesehatan mental yang parah dan keluhan pribadi.
    Didiagnosis depresi berat dan mutisme selektif, Cho berjuang secara sosial dan emosional sepanjang hidupnya.
    Ia digambarkan sebagai sosok yang terisolasi dan bermasalah, dengan perilaku dan tulisan-tulisannya yang kasar menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru dan teman sekelas sebelum serangan.
    Cho meninggalkan catatan yang menyalahkan orang lain, dengan tulisan “Kalian yang menyebabkan saya melakukan ini,” yang menunjukkan perasaan terpojok dan menjadi korban.
    Motifnya kompleks, melibatkan rasa sakit psikologis yang mendalam, perasaan penolakan dan isolasi, serta keinginan untuk membalas dendam atas perlakuan buruk.
    Pembantaian itu merupakan akibat tragis dari penyakit mental yang tidak diobati, keterasingan sosial, dan rencana yang terencana untuk menyebabkan kerusakan massal sebelum ia bunuh diri.
    Nikolas Cruz membunuh siswa siswi di SMA Marjory Stoneman Douglas di Parkland, Florida (2018), terutama karena rasa sakit emosional yang mendalam, isolasi sosial, dan keinginan untuk balas dendam serta pengakuan.
    Ia sengaja memilih Hari Valentine untuk melakukan serangan tersebut karena ia merasa “tidak punya siapa pun untuk dicintai dan dicintai.”
    Kondisi mental Cruz memburuk secara signifikan setelah putus dengan pacarnya sekitar enam bulan sebelum penembakan.
    Serangan itu direncanakan dengan cermat selama beberapa bulan, alih-alih impulsif. Ia meneliti pembunuh massal lainnya dan mempersiapkan diri dengan cermat untuk memaksimalkan kerugian.
    Cruz mengakui ia berhenti menembak ketika ia merasa tidak punya orang lain lagi untuk dibunuh. Tindakannya didorong oleh campuran perasaan penolakan, kesepian, kemarahan, dan gangguan mental yang sebagian disebabkan oleh kerusakan otak prenatal akibat konsumsi alkohol ibunya selama kehamilan.
    Adam Lanza, pelaku penembakan di Sekolah Dasar Sandy Hook, Connecticut (2012) menewaskan 26 orang, termasuk 20 anak-anak.
    Lanza menderita masalah kesehatan mental yang serius, termasuk gangguan Asperger, kecemasan ekstrem, kecenderungan obsesif-kompulsif, dan gangguan sosial yang sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari dan hubungan sosialnya.
    Ia juga terisolasi secara sosial dan memiliki hubungan renggang dengan ibunya, yang ia bunuh sebelum penembakan.
    Lanza terobsesi dengan penembakan massal, khususnya pembantaian Columbine 1999, dan mengumpulkan banyak informasi tentang insiden kekerasan massal sebelumnya.
    Salvador Ramos, pelaku penembakan massal di Robb Elementary School, Uvalde Texas (2022), menewaskan 19 anak dan dua guru akibat kombinasi isolasi sosial, perundungan, masalah keluarga, dan trauma yang belum terselesaikan.
    Ia adalah seorang siswa sekolah setempat berusia 18 tahun yang hanya memiliki sedikit teman dan mengalami perundungan, serta kehidupan rumah tangga bermasalah yang ditandai oleh ketidakteraturan keluarga dan dugaan penyalahgunaan zat terlarang oleh ibunya.
    Ramos membeli dua senapan serbu secara legal sesaat sebelum ulang tahunnya yang ke-18 dan dengan cermat merencanakan serangan tersebut.
    Laporan menunjukkan bahwa ia mencari ketenaran dan pengakuan, seperti halnya penembak massal lainnya, yang mencerminkan pola pikir yang terganggu akibat penolakan dan agresi sosial selama bertahun-tahun.
    Tindakannya berdarah dingin dan disengaja, dengan bukti yang menunjukkan keinginan untuk menyebabkan kerusakan massal tanpa motif tunggal yang jelas di luar riwayat pribadi dan masalah psikologisnya yang bermasalah.
    Dari ke-lima kasus kekerasan bersenjata di sekolah di atas, benang merahnya adalah longgarnya kontrol pemerintah AS dan masyarakat terhadap kepemilikan senjata api, masalah kejiwaan, isolasi sosial, perundungan, emosi yang labil, depresi, kemarahan, pola asuh dalam keluarga, faktor ekonomi, serta budaya kekerasan dan ekspos media (terutama media online yang dipelajari dan merasuki para pelaku.
    Dalam kasus di SMAN 72 Jakarta Utara, kendati hasil investigasi belum final dan belum ada kesimpulan akhir, tapi dari penelusuran sementara terdapat kesamaan kondisi dari terduga pelaku dengan para pelaku serangan bersenjata di AS, yaitu: memiliki masalah kesehatan mental, isolasi sosial, senang menyendiri, emosi yang labil, kemarahan terpendam, menjadi korban perundungan, dan mempelajari kekerasan dari kasus-kasus sebelumnya melalui media online.
    Satu hal yang masih positif dari Indonesia adalah adanya larangan kepemilikan senjata api untuk keperluan pribadi dan oleh pihak yang tak punya otoritas.
    Namun, ternyata untuk membuat bom-bom rakitan tetap bisa dipelajari dan dibuat sendiri dengan arahan dari media internet, serta bahan baku-nya pun masih bisa diperoleh di tempat-tempat tertentu.
    Pelajaran dari kasus SMAN 72 di Jakarta Utara, sekolah di Indonesia tidak cukup sekadar tempat belajar yang nyaman dan mencerdaskan, tapi juga harus aman.
    Konsep sekolah aman melibatkan penciptaan lingkungan di mana siswa, staf, dan pengunjung merasa aman, dihormati, dan didukung untuk belajar dan berkembang tanpa rasa takut akan bahaya atau kekerasan.
    Pendekatan komprehensif terhadap keamanan sekolah menyeimbangkan tiga komponen utama, yaitu iklim sekolah (
    school climate
    ), perilaku siswa (
    student behavior
    ) dan keamanan fisik (
    physical security
    ) (CSPV UC Boulder, January 2025).
    Iklim sekolah mencakup kualitas hubungan interpersonal, lingkungan belajar mengajar, norma, nilai, dan struktur organisasi. Iklim yang positif menumbuhkan rasa hormat, inklusi, keadilan dalam disiplin, dan keamanan emosional bagi seluruh anggota komunitas sekolah.
    Perilaku siswa mencakup strategi proaktif dan konsisten digunakan untuk mendorong perilaku positif, mencegah perundungan, dan menangani perilaku bermasalah secara efektif. Ini juga melibatkan penilaian ancaman perilaku dan praktik keadilan restoratif.
    Keamanan fisik mencakup langkah-langkah seperti akses terkendali, kesiapsiagaan darurat, pemantauan, dan infrastruktur keamanan membantu melindungi dari ancaman fisik sekaligus memastikan kesiapan untuk merespons keadaan darurat.
    Kerangka kerja sekolah aman mengintegrasikan komponen-komponen ini berdasarkan kebutuhan dan sumber daya sekolah yang unik, menggunakan data dan kolaborasi antar tim multidisiplin untuk menerapkan intervensi berbasis bukti.
    Tujuannya adalah menyeimbangkan keselamatan dengan lingkungan belajar yang suportif dan inklusif, memitigasi risiko mulai dari perilaku buruk ringan hingga situasi yang mengancam jiwa (CSPV UC Boulder, January 2025).
    Penciptaan lingkungan belajar yang aman adalah fondasi dari pendidikan yang sukses dan berkualitas.
    Selain itu, pemerintah dan lembaga pendidikan harus menempatkan kesehatan mental dan sosial siswa sebagai sesuatu yang prioritas. Ikhtiar-ikhtiar untuk merawat kesehatan mental harus dilakukan.
    Praktisi kesehatan mental harus dilibatkan dan mengikutsertakan semua pemangku kepentingan, termasuk para orangtua/keluarga siswa, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan.
    Awasi dan kendalikan akses siswa pada konten-konten kekerasan. Cegah dan tolak budaya kekerasan di sekolah seperti perundungan, diskriminasi, intoleransi, xenophobia, kekerasan seksual, pemalakan, serta
    toxic seniority
    , baik secara luring maupun daring.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 9
                    
                        Ketika Sekda Ponorogo Terlibat Jual Beli Jabatan Usai Berkuasa 13 Tahun, Bolehkah Menjabat Selama Itu?
                        Nasional

    9 Ketika Sekda Ponorogo Terlibat Jual Beli Jabatan Usai Berkuasa 13 Tahun, Bolehkah Menjabat Selama Itu? Nasional

    Ketika Sekda Ponorogo Terlibat Jual Beli Jabatan Usai Berkuasa 13 Tahun, Bolehkah Menjabat Selama Itu?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Dalam kasus jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Ponorogo, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti peran Sekretaris Daerah (Sekda) Agus Pramono.
    Bukan hanya sebagai penerima duit suap, tetapi
    Agus Pramono
    disebut menjabat selama 13 tahun sebagai sekda Pemkab Ponorogo, jabatan yang lebih panjang daripada presiden dua periode.
    Dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Minggu (9/11/2025), Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan, Agus kemungkinan besar melancarkan aksi jual-beli jabatan pada periode kepemimpinan kepala daerah sebelumnya.
    “Di samping dia menerima juga, apakah juga dia mempertahankan juga dengan memberi. Jadi, ada dia menerima dari kepala dinas dan untuk mempertahankannya, apakah dia memberi juga ke bupati. Itu juga kami dalami,” kata Asep.
    Perbuatan Agus bersama
    Bupati Ponorogo

    Sugiri Sancoko
    berdampak besar pada pembangunan daerah, khususnya terkait regenerasi dan sistem meritokrasi di pemerintahan.
    Karena kasus jual-beli jabatan, Asep mengatakan orang-orang atau pejabat yang memiliki kompetensi yang seharusnya menjabat di tempat tertentu justru digantikan oleh mereka yang memiliki koneksi dan uang.
    Pengisian jabatan jadi celah bagi para pejabat yang memiliki kewenangan untuk praktik korupsi.
    “Yang imbasnya ke depan adalah karena pertama, jabatan tersebut diisi oleh orang-orang atau diisi oleh pejabat-pejabat yang tidak berkompeten, tidak memiliki kompetensi di jabatan tersebut, maka tidak bisa memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat,” kata Asep saat konferensi pers penetapan tersangka Bupati Ponorogo, Minggu (9/11/2025).
    Dari kasus ini, timbul pertanyaan bolehkah sekda menjabat selama itu?
    Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Zudan Arif Fakrulloh mengatakan secara singkat, normalnya Sekda menjabat selama lima tahun.
    Namun tidak menutup kemungkinan mereka bisa lebih dari lima tahun jika kinerjanya dianggap bagus.
    “Lima tahun harus dievaluasi, bila bagus bisa diperpanjang,” ucapnya kepada Kompas.com, Senin (10/11/2025).
    Dalam Undang-Undang ASN Nomor 5 Tahun 2014 juga dijelaskan secara gamblang bahwa jabatan Sekda bisa diperpanjang tanpa batas, sesuai dengan kinerjanya.
    Hal ini termaktub dalam Pasal 117 ayat 1 dan 2 UU ASN 5/2014 yang berbunyi:
    Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Lina Miftah Jannah mengatakan, meski secara regulasi dibenarkan, namun pejabat tak sebaiknya berlama-lama di satu tempat tertentu.
    Karena praktik korupsi seperti di Probolinggo tersebut biasanya akan dilakukan oleh para pejabat yang sudah ahli dalam bidang birokrasi.
    Melihat status jabatan Sekda yang melampaui presiden dua periode, ada kemungkinan sudah mengetahui celah yang bisa mereka mainkan untuk praktik korupsi.
    “Terhadap mereka yang sudah terlalu lama atas jabatan yang terlalu lama dalam jabatan yang sama atau sejenis, maka mereka sudah tahu celah-celahnya,” imbuhnya.
    Para pejabat yang disebut “kreatif” memanfaatkan celah regulasi dan mulai memberikan bisikan pada kepala daerah untuk memainkan celah tersebut.
    Pengamat kebijakan publik Universitas Padjadjaran (Unpad) Yogi Suprayogi menilai, perlu ada penempatan Sekda Pemda dari pemerintah pusat.
    Sekda dianggap tak bisa lagi menjadi representasi keinginan kepala daerah.
    “Pemerintah daerah itu sebagai pengguna saja,” imbuhnya.
    Selain itu, mengembalikan lembaga Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menjadi sangat krusial untuk melakukan pengawasan secara menyeluruh terkait merit sistem di lingkungan ASN daerah.
    Karena setelah KASN bubar, tak ada lagi fungsi pengawasan sistem merit yang benar-benar berjalan dan dilaksanakan oleh lembaga independen.
    “Walaupun zaman ada KASN juga ada jual-beli jabatan, tapi fungsi kontrolnya akan menjadi lebih lemah sekali,” kata Yogi kepada Kompas.com, Senin (10/11/2025).
    Sebab itu, dia mengatakan perlu ada tindakan lanjutan dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta agar lembaga seperti KASN dibentuk kembali.
    Adapun putusan MK yang dimaksud yakni 121/PUU-XXII/2024 yang dibacakan dalam sidang 16 Oktober 2025.
    Dalam amar putusan tersebut, Ketua MK Suhartoyo mengatakan, Pasal 26 ayat 2 UU ASN 20/2023 yang menghapus keberadaan KASN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai penerapan pengawasan sistem merit, termasuk penerapan terhadap asas, nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN dilakukan oleh suatu lembaga independen.
    Dia berharap agar pemerintah bisa memasukkan putusan MK ini dalam revisi UU ASN yang sedang menjadi program legislasi nasional (Prolegnas) di tahun ini.
    Namun tidak hanya sekadar membentuk KASN, Yogi berharap agar lembaga tersebut juga diisi oleh anak-anak muda yang bisa memberikan warna berbeda terhadap lembaga tersebut.
    Efek praktik korupsi jual beli jabatan ini tak hanya sampai di sistem merit, tetapi pejabat yang sudah membayar untuk posisi yang ia jabat juga akan berpikir untuk mengembalikan ongkos yang telah dikeluarkan.
    Asep Guntur juga menyinggung skor pengelolaan SDM secara nasional masih rendah, yakni di angka 65,93 poin.
    Hal ini menunjukkan tindak korupsi dengan modus jual-beli jabatan masih cukup tinggi, karena penempatan pejabat di tempat di satuan perangkat daerah belum sesuai harapan.
    Secara khusus, tren penurunan juga terjadi di Kabupaten Ponorogo.
    “Kemudian khusus di Kabupaten Ponorogo skor SPI menunjukkan tren penurunan dari skor 75,87 pada tahun 2023 menjadi 73,43 pada tahun 2024 atau menurun hampir 2 poin lebih,” katanya.
    “Penurunan ini juga terjadi pada komponen pengelolaan SDM dari 78,27 menjadi 71,76. Ini menurunnya sangat jauh hampir 6, sekian persen. Oleh karena itu kegiatan tertangkap tangan yang dilakukan oleh KPK di Kabupaten Ponorogo ini secara valid mengkonfirmasi data tersebut,” kata Asep lagi.
    Dia menyimpulkan, penurunan skor pengelolaan SDM ini karena praktik korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah, sehingga orang atau pejabat yang ditempatkan tidak sesuai dengan kompetensinya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 9
                    
                        Ketika Sekda Ponorogo Terlibat Jual Beli Jabatan Usai Berkuasa 13 Tahun, Bolehkah Menjabat Selama Itu?
                        Nasional

    7 Dan Terjadi Lagi, Korupsi Jual-Beli Jabatan yang Makin Berani… Nasional

    Dan Terjadi Lagi, Korupsi Jual-Beli Jabatan yang Makin Berani…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kasus jual beli jabatan di pemerintah daerah kembali terungkap setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (7/11/2025).
    Sugiri ditangkap bersama tiga orang lainnya, salah satunya adalah Sekretaris Daerah Ponorogo, Agus Pramono yang diketahui telah menjabat selama 13 tahun.
    Sugiri ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Minggu (9/11/2025) setelah diciduk dalam aksi ketiga pengambilan uang suap jual beli jabatan untuk Direktur RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo.
    KPK menduga Sugiri menyalahgunakan kewenangannya untuk mengatur jabatan di lingkungan RSUD.
    Kasus ini bermula pada awal 2025 ketika Yunus Mahatma selaku Direktur RSUD Harjono Ponorogo mendapatkan informasi bahwa dirinya akan diganti oleh Sugiri.
    Untuk mempertahankan posisinya, Yunus langsung berkoordinasi dengan Agus Pramono selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Ponorogo untuk menyiapkan sejumlah uang yang akan diberikan kepada Sugiri Sancoko.
    Suap pertama kemudian diberikan Yunus pada Sugiri melalui ajudannya sebesar Rp 400 juta. Dilakukan bertahap, pada periode berikutnya Yunus kembali setor duit Rp 325 juta.
    Selanjutnya, pada November 2025, Yunus kembali menyerahkan uang senilai Rp 500 juta melalui kerabat Sugiri Sancoko.
    Jika dijumlah, total uang yang telah diberikan Yunus dalam tiga klaster penyerahan uang tersebut mencapai Rp 1,25 miliar, dengan rincian yaitu, untuk Sugiri Sancoko sebesar Rp 900 juta dan Agus Pramono senilai Rp 325 juta.
    Namun dalam penyerahan ketiga ini, belum sempat uang di tangan KPK sudah menciduk Sugiridan kawan-kawan.
    OTT ini dihasilkan dari operasi senyap yang mengetahui Sugiri nagih duit sisa yang dijanjikan untuk posisi Direktur RSUD ke Yunus.
    Yunus kemudian mencairkan uang Rp 500 juta untuk diserahkan kepada Sugiri. Uang itu kini disita KPK sebagai barang bukti OTT.
    Selain jual beli jabatan, KPK juga menemukan dugaan suap terkait paket pekerjaan di lingkungan RSUD Ponorogo.
    Disebutkan, pada 2024, terdapat proyek pekerjaan RSUD Ponorogo senilai Rp 14 miliar.
    Dari nilai tersebut, Sucipto selaku rekanan RSUD Harjono memberikan fee kepada Yunus sebesar 10 persen atau sekitar Rp 1,4 miliar.
    Tak berhenti di situ, KPK juga menyebut ada dugaan penerimaan gratifikasi senilai Rp 225 dari Yunus pada periode 2023-2025 dan uang Rp 75 juta dari pihak swasta.
    Atas perbuatannya, Sugiri dan Yunus diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b dan/atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12B UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    OTT terhadap Sugiri ini menambah panjang daftar kasus korupsi bermodus jual-beli jabatan yang menjerat para kepala daerah.
    Merunut ke belakan, kasus ini pernah terjadi pada 2016 lalu, Bupati Klaten Sri Hartini juga diciduk atas  dugaan jual-beli jabatan.
    Praktik jual beli jabatan yang disebut dengan “uang syukuran” itu melibatkan Kepala Seksi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Dinas Pendidikan Klaten, Suramlan.
    Tahun 2017, kasus jual beli jabatan kembali mencuat. Kali itu giliran Bupati Nganjuk Taufiqquramhan yang ditetapkan sebagai tersangka karena menerima suap sebesar Rp 298 juta.
    Bupati Nganjuk periode 2013-2018 tersebut ditangkap dalam operasi tangkap tangan pada 25 Oktober 2025 di sebuah hotel di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Hotel ini disebut sebagai tempat serah terima uang.
    Tahun berganti kasus serupa kembali terjadi, kali ini Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko yang diciduk KPK di Stasiun Balapan, Solo, Jawa Tengah, pada 3 Februari 2018.
    Ia menerima suap dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang, Inna Silestyanti yang disebut memberikan suap sebesar 9.500 dolar AS yang disita sebagai barang bukti.
    Uang ini disebut sebagai upaya suap agar Nyono menetapkan Inna sebagai Kadis Kesehatan definitif setelah menjabat sebagai pelaksana tugas.
    Seperti tradisi tahunan, KPK juga menjaring kepala daerah yang terjerat kasus jual beli jabatan pada 2019. Saat itu yang terjaring adalah Bupati Kudus, Muhammad Tamzil.
    Saat itu, KPK menduga akan terjadi transaksi suap terkait pengisian jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus.
    Dua tahun berselang, tepatnya 2021, KPK kembali menangkap kepala daerah dengan modus yang sama, jual beli jabatan.
    Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial kini mendapat giliran menggunakan rompi oranye dengan modus yang sama, gratifikasi, suap jual beli jabatan.
    Pada tahun yang sama, ada Bupati Nganjuk lagi yakni Novi Rahman Hidayat yang terjerat korupsi dengan modus yang sama seperti pendahulunya, jual beli jabatan, sebelum KPK menangkap Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari karena kasus serupa.
    Pada tahun 2022, KPK juga menciduk dua kepala daerah atas kasus jual beli jabatan, yakni Bupati Pemalang, Mukti Agung Wibowo, dan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi alias Pepen.
    Dua kasus terakhir, pada 2023 ada Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba, dan 2025
    Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko
    .
    Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia Lina Miftah Jannah menilai, penyebab klasik kasus korupsi kepala daerah yang tak ditangani serius oleh pemerintah adalah soal biaya pemilihan kepala daerah (Pilkada).
    Penyebab ini lumrah karena kepala daerah yang mengeluarkan ongkos pilkada begitu besar akan mencari cara agar ongkos yang mereka keluarkan kembali.
    “Sehingga kemudian biaya politik yang besar itu membuat mereka kemudian harus mengembalikan tanda petik uang yang sudah mereka keluarkan untuk memperoleh jabatan ini, itu yang pertama ya,” kata Lina.
    Namun, Lina menekankan bahwa variabel tersebut adalah penyebab secara general.
    Khusus terkait jual beli jabatan, biasanya akan dilakukan oleh para pejabat yang sudah ahli dalam bidang birokrasi.
    Misalnya kasus Ponorogo, melihat status jabatan Sekda yang melampaui presiden dua periode, ada kemungkinan sudah mengetahui celah yang bisa mereka mainkan untuk praktik korupsi.
    “Terhadap mereka yang sudah terlalu lama atas jabatan yang terlalu lama dalam jabatan yang sama atau sejenis, maka mereka sudah tahu celah-celahnya,” ujar Lina.
    Para pejabat yang disebut “kreatif” memanfaatkan celah regulasi dan mulai memberikan bisikan pada kepala daerah untuk memainkan celah tersebut.
    Lina menyoroti berbagai daerah yang terjerat kasus korupsi karena kasus jual beli jabatan ini semakin berani setelah
    Komisi Aparatur Sipil Negara
    (KASN) dibubarkan pemerintah dan DPR melalui Undang-Undang ASN tahun 2023.
    Karena KASN selama ini memiliki tugas untuk mengawasi setiap jabatan ASN agar sesuai dengan sistem merit.
    “Dulu pengawal meritrokrasi kan adalah KASN ya, nah jadi artinya dulu dibuat sebagai lembaga independen yang kemudian bisa mengawal agar tidak terjadi jual-beli jabatan seperti ini. Tapi kan kemudian KASN-nya sudah dibubarkan nih, udah nggak ada lagi, sehingga siapa yang jadi pengawal? Enggak ada lah sekarang,” kata dia.
    Menurut Lina, saat ini hanya masyarakat sipil, media dan akademisi yang bisa mengawasi dari luar terkait praktik jual-beli jabatan tersebut.
    Oleh sebab itu, Lina menilai dosa besar pemerintah saat ini atas perilaku jual-beli jabatan di pemda adalah mematikan lembaga KASN.
    Lina pun sangat mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta agar lembaga serupa KASN dibentuk kembali.
    Urgensi pembentukan lembaga independen yang mengawasi merit sistem ASN ini sangat penting dilakukan, agar proses regenerasi semakin baik dan pelayan publik meningkat.
    “Harus segera. Ada KASN aja dulu, masih ada yang coba-coba nakal gitu kan, apalagi lembaga ini nggak ada?” tandasnya.
    Adapun putusan MK yang dimaksud yakni 121/PUU-XXII/2024 yang dibacakan dalam sidang 16 Oktober 2025.
    Dalam amar putusan tersebut, Ketua MK Suhartoyo mengatakan, Pasal 26 ayat 2 UU ASN 20/2023 yang menghapus keberadaan KASN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai penerapan pengawasan sistem merit, termasuk penerapan terhadap asas, nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN dilakukan oleh suatu lembaga independen.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sederet Alasan Target Pajak Purbaya 2025 Sulit Dicapai

    Sederet Alasan Target Pajak Purbaya 2025 Sulit Dicapai

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menghadapi risiko pelebaran shortfall alias selisih antara realisasi dengan target penerimaan pajak tahun 2025. Risiko pelebaran itu dipicu oleh rendahnya daya pungut penerimaan pajak, yang sampai kuartal III/2025 hanya di angka 8,58%. 

    Angka itu mengonfirmasi bahwa pengumpulan penerimaan pajak sebesar Rp1.295,3 triliun hanya mencakup 8,58% dari total PDB hingga kuartal III/2025 yang mencapai Rp17.672,9 triliun. 

    Dalam catatan Bisnis, rendahnya daya pungut penerimaan pajak itu terjadi karena 3 aspek. Pertama, karena kinerja perekonomian yang jelas berdampak langsung terhadap penerimaan pajak. Kedua, celah kepatuhan atau compliance gap. Ketiga, policy gap atau celah penerimaan pajak karena kebijakan tertentu, salah satunya pengecualian pajak atau tax exemption.

    Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan bahwa target fiskus senilai Rp2.076,9 triliun yang sulit dicapai disebabkan oleh kondisi ekonomi yang melemah. “Makanya target anda susah dicapai. Saya pernah bilang kan di meeting besar bahwa bukan salah orang pajak itu enggak tercapai, karena ekonominya turun, tetapi orang-orang kan enggak peduli di luar,” jelasnya dikutip dari akun Instagram resmi @menkeuri, Minggu (9/11/2025).

    Oleh sebab itu, dia meminta agar Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu tetap berusaha seoptimal mungkin. Dia meyakini kondisi perekonomian sudah berbalik arah sejak akhir kuartal III/2025, atau tak lama setelah dia menjabat Menkeu.

    Beberapa gebrakan Purbaya yakni memindahkan kas pemerintah Rp200 triliun di Bank Indonesia (BI) ke himbara guna memacu pertumbuhan kredit, maupun menggelontorkan beberapa stimulus. “Mudah-mudahan nanti pajaknya agak membaik sedikit. Saya harapkan target-targetnya bisa tercapai,” paparnya.

    Untuk tahun depan, mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu memperkirakan penerimaan pajak akan membaik. Sebab, dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan didorong mencapai 6% (yoy). “Kita akan dorong tumbuhnya ke 6%, itu harusnya kalau rasionya kita betul itu, private sektornya bisa jalan, tetapi anda ngerti kan apa yang anda kerjain? Jaga terus integritas,” terangnya.

    Target Ekonomi Sulit Tercapai 

    Adapun pelambatan laju perekonomian pada kuartal III/2025 yang realisasinya hanya 5,04% semakin memperberat posisi pemerintah untuk mengejar target pertumbuhan tahunan di angka 5,2%. Pelambatan pertumbuhan ekonomi ini akan mempengaruhi penerimaan pajak, karena pajak adalah babak terkahir dari siklus ekonomi.

    Orang atau badan yang memperoleh tambahan penghasilan secara otomatis akan membayar pajak. Kalau rugi atau mengalami kondisi tertentu yang dibenarkan oleh undang-undang, orang atau badan tidak wajib membayar pajak. 

    Kalau menurut perhitungan secara akumulatif, untuk mencapai angka pertumbuhan 5,2%, pemerintah perlu mengejar target pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2025 di angka 5,77% – 5,8%. Sementara proyeksi pemerintah saat ini, kuartal IV/2025 hanya tumbuh di angka 5,5%.

    Hal itu berarti, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 hanya akan berada di kisaran 5,13%. Meski simulasinya jauh lebih baik 2024 yang hanya tumbuh di angka 5,03%, secara tren pertumbuhan ekonomi kuartal IV/2025 di angka 5,5% apalagi 5,77% sangat jarang bisa dicapai.

    Dalam catatan Bisnis, selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi kuartal IV/2025 tidak pernah mencapai angka 5,5%. Apalagi dengan kondisi ekonomi 2025, yang selain ditopang dukungan dari stimulus pemerintah, nyaris tidak ada momentum politik atau ekonomi dalam skala besar yang bisa membawa ekonomi Indonesia tumbuh 5,5% pada kuartal IV/2025.

    Rata-rata pertumbuhan ekonomi kuartal IV dari tahun 2015-2024 hanya di kisaran 4,3%. Nilai rata-rata ini memperhitungkan realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2020 yang terkontraksi 2,19% akibat pandemi Covid-19.

    Sedangkan pencapaian tertinggi pertumbuhan ekonomi kuartal IV dalam 10 tahun terakhir, terjadi pada tahun 2017. Saat itu realisasi pertumbuhannya di angka 5,19%. Menariknya, kuartal IV tahun 2018 dan 2023 yang didukung booming komoditas, realisasi pertumbuhannya masing-masing hanya di angka 5,18% dan 5,04%.

    Artinya, kalau menilik tren tersebut, pertumbuhan ekonomi di angka 5,5% atau 5,77% pada kuartal IV nyaris tidak pernah terjadi selama 10 tahun terakhir. Apalagi dengan fakta bahwa terjadi tren pelambatan kinerja konsumsi rumah tangga selama kuartal III/2025 lalu di angka 4,89%. Padahal, target pertumbuhan ekonomi kuartal IV/2025 yang harus dipenuhi pemerintah agar bisa tumbuh sebesar 5,2% pada tahun 2025, minimal harus di angka 5,77%.  

    Policy Gap

    Soal celah dari kebijakan, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara pada pertengahan Oktober lalu mengungkapkan bahwa terdapat potensi penerimaan pajak sebesar Rp530 triliun yang tidak terpungut pada 2025.

    Suahasil menjelaskan bahwa ratusan triliun potensi pendapatan negara itu tak terpungut akibat berbagai program belanja perpajakan yang pemerintah luncurkan sepanjang tahun ini.

    Dia mencontohkan bahwa Kementerian Keuangan membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk bahan makanan, barang/jasa pendidikan, kesehatan, maupun listrik di bawah 6.600 volt-ampere. Selain itu, bea masuk ke sejumlah komoditas juga dibebaskan.

    Di sisi lain, kebijakan insentif tax holiday (pembebasan pajak), tax allowance (pengurangan pajak), tax incentive (insentif pajak), hingga PPN dan pajak penghasilan (PPh) yang sifatnya final.

    “Itu semua adalah bentuk fasilitas perpajakan yang kita maksudkan, ya sudah, uangnya biar tetap di perekonomian, berputar di perekonomian. Estimasi kita untuk 2025 adalah sekitar Rp530 triliun yang tidak dikumpulkan oleh pemerintah,” jelas Suahasil dalam acara 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran di Jakarta, Kamis (16/10/2025).

    Tabel Belanja Pajak 2021-2026

    Jenis Pajak
    2021
    2022
    2023
    2024
    2025
    2026

    PPN & PPnbM
    169,9
    190,4
    208,2
    227,8
    343,3
    371,9

    PPh
    106,5
    120,7
    129,2
    140,7
    150,3
    160,1

    Bea Masuk & Cukai
    16,6
    16,4
    21,5
    31,3
    36,2
    31,1

    PBB S5L
    0
    0,6
    0,7
    0,1
    0,1
    0,1

    Bea Meterai 

    0,4
    0,5
    0,3
    0,3
    0,4

    Total
    293
    328,5
    360
    400,1
    530,3
    563,6

    Keterangan: Kemenkeu, dalam triliun, 2025-2026 proyeksi

    Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia ini pun mengklaim bahwa besarnya belanja perpajakan itu menjadi salah satu alasan tax ratio atau rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia kerap rendah. Dia mencontohkan, Rp530 triliun potensi penerimaan pajak yang tak terpungut itu setara 2% dari PDB Indonesia.

    Lebih lanjut, dia merincikan sektor-sektor yang paling menikmati belanja perpajakan itu sepanjang tahun ini. Menurutnya, sektor manufaktur menjadi penikmat utama belanja perpajakan itu dengan estimasi sebesar Rp137 triliun sepanjang tahun ini, diikuti sektor pertanian (Rp60,5 triliun) dan perdagangan (Rp55 triliun).

    Sementara berdasarkan agennya, Suahasil mengungkapkan rumah tangga menikmati sekitar 55% belanja perpajakan itu, diikuti dunia bisnis dan investasi (25%) serta UMKM (18%). Dia pun mendorong agar setiap lapisan masyarakat terus menikmati belanja perpajakan tersebut. Suahasil menggarisbawahi bahwa belanja perpajakan bukan stimulus ekonomi yang terbatas untuk periode tertentu melainkan terus berjalan.

    “Kalau udah ada insentifnya dipakai, silakan. Pakainya bagaimana? Pakainya adalah dengan menjalankan terus kegiatan ekonomi. Kalau kegiatan ekonominya jalan, transaksinya jalan, ada sejumlah pajak yang enggak perlu dibayar,” tutup Suahasil.

    Rumitnya Administrasi PPN 

    Selain insentif PPh, rumitnya administrasi PPN di Indonesia juga turut menyumbang rendahnya daya pungut penerimaan pajak. Hal itu terjadi karena semakin banyaknya kebijakan yang membebaskan pengenaan PPN atau tax exemption. 

    Sekadar ilustrasi, pada tahun 2024 lalu penerimaan PPN tercatat hanya sebesar Rp828,5 triliun. Meski tercatat tumbuh, kinerja penerimaan PPN pada 2024 lalu hanya sebesar 6,9% dari total konsumsi rumah tangga atas harga berlaku yang angkanya sebesar Rp11.1964,9 triliun. Padahal, normalnya, kalau mengacu kepada tarif PPN sebesar 11%, penerimaan PPN seharusnya bisa menembus angka Rp1.316,13 triliun. 

    Tidak hanya itu kalau menggunakan rumus VAT gross collection ratio yang rumusnya adanya realisasi penerimaan PPN dibagi dengan tarif PPN dikalikan konsumsi rumah tangga, maka penerimaan PPN yang dipungut oleh pemerintah hanya sekitar 62,9% dari potensinya. Padahal, kalau mengacu kepada benchmark negara lain, angka ideal PPN yang seharusnya dipungut pemerintah ada di kisaran 70% dari potensi PPN.

    Aktivitas perekonomian di pasar tradisional./JIBI

    Belum optimalnya kinerja pemungutan PPN itu merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah yang royal menggelontorkan insentif dan stimulus yang efeknya tidak terlalu signifikan ke perekonomian. Pertumbuhan ekonomi stagnan di kisaran 5%. Tidak pernah menembus angka 6% kecuali ada booming komoditas. 

    Bukti royalnya insentif dan stimulus pemerintah itu tampak dari realisasi belanja pajak. Saat ini, insentif untuk aktivitas konsumsi masih mendominasi struktur belanja pajak atau tax expenditure yang digelontorkan pemerintah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Besarannya mencapai Rp371,9 triliun atau 65,9% dari total belanja perpajakan tahun depan sebesar Rp563,6 triliun.

    Sementara itu, belanja perpajakan untuk Pajak Penghasilan (PPh) pada RAPBN 2026 diproyeksikan sebesar Rp160,1 triliun atau lebih besar dari 2025 yakni Rp150,3 triliun. Kemudian, untuk bea masuk dan cukai diproyeksikan Rp31,1 triliun atau lebih kecil dari tahun sebelumnya yakni Rp36,2 triliun. Sedangkan, PBB P5L diproyeksikan pada 2026 sebesar Rp0,1 triliun atau hampir sama dengan tahun sebelumnya. 

    Compliance Gap

    Selain celah kebijakan, kepatuhan wajib pajak alias compliance gap juga menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Tren rasio kepatuhan formal wajib pajak yang hanya di angka 71% menunjukkan bahwa tudingan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak masih berburu di kebun binatang bukan isapan jempol semata.

    Sekadar catatan, Direktorat Jenderal Pajak melaporkan terjadi penurunan kepatuhan formal penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT Tahunan) 2024 wajib pajak orang pribadi (WP OP).

    Kantor Direktorat Jenderal Pajak alias DJP./Istimewa

    Setiap tahunnya, SPT Tahunan dilaporkan paling lambat pada 31 Maret untuk WP OP dan 30 April untuk WP Badan.

    Pada tahun lalu, realisasinya penyampaian SPT Tahunan 2023 mencapai 1.048.242 atau 1,04 juta untuk WP Badan (korporasi) dan 13.159.400 atau 13,15 juta untuk WP OP.Sementara pada tahun ini, realisasi penyampaian SPT Tahunan 2024 sebesar 1.053.360 atau 1,05 juta untuk WP Badan dan 12.999.861 atau 12,99 juta untuk WP OP.

    Artinya, ada penurunan penyampaian SPT Tahunan WP OP pada tahun ini sebesar 159.539 (-1,21%) dibandingkan tahun lalu. Padahal, penyampaian SPT Tahunan WP Badan pada tahun ini meningkat sebanyak 5.118 (+0,49%) dibandingkan tahun lalu.

    Cerminan Ekonomi 

    Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai penurunan tax ratio itu bukan semata karena faktor administrasi, melainkan cerminan perlambatan ekonomi nasional.

    “Kinerja penerimaan pajak di negara berkembang seperti Indonesia bersifat pro-cyclical. Ketika pertumbuhan ekonomi melambat, tax ratio juga ikut menurun,” jelas Fajry kepada Bisnis, Kamis (6/11/2025).

    Adapun, tax ratio 8,58% hingga kuartal III/2025 itu turun dibandingkan periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, yaitu 9,48% pada kuartal III/2024, 10,15% pada kuartal III/2023, 10,9 pada kuartal III/2022.

    Adapun, tax ratio 8,58% hingga kuartal III/2025 ini hanya sedikit lebih baik dari realisasi tax ratio 8,28% per kuartal III/2021 atau masa pandemi Covid-19.

    Fajry mencatat, jika melihat tren penurunan tax ratio dalam tiga tahun terakhir maka tampak penurunan tahun ini merupakan yang paling tajam yaitu sebesar 0,9 poin persentase (dari 9,48% per kuartal III/2024 menjadi 8,58% per kuartal III/2025).

    Dia mengaku memang banyak terjadi gejolak sepanjang tahun ini dari besarnya restitusi pajak hingga pergantian kepemimpinan otoritas fiskal dan pajak. Hanya saja, Fajry menilai faktor restitusi pajak hanya berdampak pada kuartal I/2025, sedangkan pengaruh pergantian pimpinan di Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak belum terbukti signifikan.

    “Artinya, ini menjadi indikasi jika kondisi ekonomi tahun 2025 lebih lambat dibandingkan tahun 2024, setidaknya sampai kuartal III,” ujarnya.

    Pemerintah sendiri menargetkan tax ratio 2025 sebesar 10,03%, atau 1,44 poin lebih tinggi dari posisi saat ini. Fajry meragukan target tersebut realistis dicapai dalam sisa tahun berjalan.

    Dia berkaca pada realisasi tax ratio tahun lalu. Saat itu, tax ratio mencapai 9,48% sampai dengan kuartal III/2024; pada akhir tahun, tax ratio tercatat di angka 10,08% atau hanya meningkat 0,6 poin persentase meski dengan berbagai usaha ekstra yang telah dilakukan otoritas.

    “Kalaupun sisi penerimaannya mau dipaksa untuk mencapai target, iklim usaha yang akan menjadi korbannya,” wanti-wantinya.

  • Jimly Asshiddiqie Bilang Kasus Ijazah Jokowi Tak Semestinya Dibawa ke Ranah Pidana, Harusnya ke PTUN

    Jimly Asshiddiqie Bilang Kasus Ijazah Jokowi Tak Semestinya Dibawa ke Ranah Pidana, Harusnya ke PTUN

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Asshiddiqie, turut menanggapi langkah Polda Metro Jaya yang menetapkan Roy Suryo Cs sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik terkait isu ijazah palsu Presiden ke-7, Jokowi.

    Dikatakan Jimly, persoalan ijazah tidak semestinya dibawa ke ranah pidana karena hal itu tidak akan menyelesaikan masalah.

    “Nanti soal ijazahnya, jangan soal pidana, nanti ujung-ujungnya penjara, gak menyelesaikan masalah,” ujar Jimly dikutip pada Minggu (9/11/2025).

    Diungkapkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, publik sejatinya hanya ingin mengetahui keaslian ijazah Jokowi, bukan menghukum pihak-pihak yang mempertanyakan.

    “Orang ini mau tahu ini ijazahnya benar apa enggak. Kalau polisi kan bukan pengadilan,” ucapnya.

    Jimly menyarankan agar polemik ijazah Jokowi diselesaikan melalui pengadilan tata usaha negara (PTUN), bukan lewat jalur pidana.

    “Yang paling bagus itu di pengadilan, tapi pengadilan tentang ijazah. Bukan pengadilan pidana, bukan penghinaan. Supaya ada proses mengenai ijazahnya secara administrasi,” jelasnya.

    Guru Besar Universitas Indonesia ini juga menilai bahwa isu ijazah palsu sering digunakan sebagai alat politik untuk menjatuhkan lawan.

    “Selama saya memimpin MK 5 tahun dan di KPP 5 tahun, kasus paling banyak itu soal ijazah palsu. Karena ijazah itu gampang dijadikan alasan untuk menjatuhkan lawan politik,” katanya.

    Ia menambahkan, sistem administrasi negara yang masih lemah sering kali menimbulkan kesalahan teknis pada dokumen, yang kemudian dimanfaatkan untuk menyerang tokoh tertentu.

  • Sekolah Harus Miliki Mekanisme Pelaporan dan Penanganan Bullying

    Sekolah Harus Miliki Mekanisme Pelaporan dan Penanganan Bullying

    JAKARTA – Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Dr. Ni Made Martini Puteri (Tinduk), menyoroti kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta Utara yang diduga dipicu oleh pengalaman korban menjadi sasaran perundungan (bullying).

    Ia menekankan pentingnya sekolah memiliki sistem yang jelas dalam mencegah dan menangani kasus bullying.

    “Sekolah harus memiliki mekanisme pelaporan dan penanganan bullying. Siapkan guru dan latih agar memahami isu ini,” ujar Dr. Martini kepada VOI Sabtu 8 November 2025.

    Menurutnya, sistem pelaporan harus menjaga kerahasiaan korban maupun pelapor. Sekolah juga perlu membuat standar operasional prosedur (SOP) yang memberikan perlindungan penuh bagi korban.

    “Jangan ingkari bahwa peristiwa bullying tidak terjadi. Jangan paksa korban untuk memaafkan, tetapi minta pelaku untuk meminta maaf kepada korban,” tegasnya.

    Dr. Martini juga mengingatkan pentingnya membangun budaya sekolah yang aktif mencegah bullying. Ia mendorong setiap siswa untuk berpartisipasi dengan tidak mendiamkan jika melihat tindakan perundungan terjadi.

    “Ambil sikap dan tunjukkan kepada pelaku bahwa kita tidak setuju terhadap bullying. Berikan dukungan bagi korban di muka publik,” ujarnya.

    Selain itu, sosialisasi kepada orang tua juga dinilai penting agar memahami bahwa bullying merupakan bentuk kekerasan yang tidak dapat dibenarkan.

    “Ajarkan pelaku untuk bertanggung jawab dan meminta maaf,” ucapnya .

    Ia menegaskan, karena bullying merupakan bentuk kekerasan, maka sekolah yang tidak merespons dan mengambil tindakan terhadap kasus tersebut sama saja tidak melindungi korban.

    “Karena bullying adalah kekerasan, maka sekolah yang tidak merespon dan mengambil tindakan terhadap terjadinya bullying, berarti tidak melindungi korban dan bahkan melanggar hak anak atas rasa aman,” pungkasnya.

  • Profil Jimly Asshiddiqie: Cendekiawan Hukum yang Kini Ditunjuk Pimpin Komisi Reformasi Polri

    Profil Jimly Asshiddiqie: Cendekiawan Hukum yang Kini Ditunjuk Pimpin Komisi Reformasi Polri

    Liputan6.com, Jakarta Presiden Prabowo Subianto melantik sejumlah tim Komisi Reformasi Polri di Istana Presiden, Jakarta Pusat pada Jumat (7/11/2025).

    Dalam kesempatan ini, Prabowo turut melantik Jimly Asshiddiqie, mantan ketua Mahkamah Konstistusi sebagai Ketua Komisi Reformasi Polri.

    Dilansir Liputan6.com dari website Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jimly Asshiddiqie lahir di Kota Palembang, Sumatera Selatan pada 17 April 1956. Dia pernah menempuh pendidikan tingkat S-1 Ilmu Hukum di Universitas Indonesia pada tahun 1977-1982. 

    Usai menyelesaikan pendidikan tingkat S-1 nya, Jimly kemudian kembali meneruskan pendidikan tingkat S-2 Hukum di Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia pada tahun 1984 hingga 1986. 

    Lalu, Jimly kembali mengambil Program Doktor kerja sama Rechtsfaculteit, Rijksuniversiteit, Leiden dengan gelar S-3 pada tahun 1987 hingga 1991. Tak hanya itu, pada tahun 1994 ia kembali menempuh studinya di Post-Graduate Course, Harvard Law School, Cambridge, Massachussett dan beberapa kursus singkat lain, baik di dalam maupun di luar negeri.

    Jimly diketahui juga aktif dalam sejumlah organisasi islam sejak tahun 1970. Dia diketahui pernah ikut serta dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) Palembang, menjabat sebagai ketua Umum Youth Islamic Study Club Al Azhar, dan Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia (BKPМI).

    Tak hanya itu, Jimly juga pernah menjadi bagian dari Majelis Ulama Indonesia. Dia menempati posisi sebagai Pengurus Harian (MUI), Ketua Dewan Penasihat Dewan Masjid Indonesia, Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia, hingga  Ketua Badan Pembina Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar.

    Bukan hanya aktif dalam berbagai organisasi islam. Jimly juga aktif dalam beberapa organisasi yang bergerak di bidang pendidikan. Di antaranya seperti Penasehat Asosiasi Pengajar HTN dan HAN,  Ketua Dewan Pembina Yayasan Jimly School of Law and Government (JSLG), Penasihat Asosiasi Pengajar HTN dan HAN, sampai jadi Penasihat Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

     

  • Akademisi hingga Industri Sepakat Bensin Campur Etanol Kunci Transisi Energi

    Akademisi hingga Industri Sepakat Bensin Campur Etanol Kunci Transisi Energi

    Bisnis.com, JAKARTA — Akademisi hingga pelaku industri kendaraan bermotor menyepakati bahwa rencana mandatory BBM campur etanol 10% (bioetanol) dan biodiesel harus dipercepat untuk mendukung target transisi energi dan penurunan emisi karbon. 

    Ketua Pusat Studi Kebijakan Energi Universitas Indonesia (Puskep UI) Ali Ahmudi menjelaskan Indonesia memiliki potensi bioenergi yang besar dan sebanding dengan negara-negara seperti Brasil yang berhasil mengembangkan penggunaan etanol hingga tingkat E100.

    “Kalau kita berpikir futuristik, maka seharusnya kita mendukung bioetanol dan biodiesel. Itu adalah cara kita keluar dari ketergantungan energi fosil dan menuju kedaulatan energi,” ujar Ali dalam diskusi publik Puskep UI, Jumat (7/11/2025). 

    Selain itu, pengembangan bioetanol juga berkaitan dengan ketahanan energi. Ali menegaskan bahwa kedaulatan energi hanya dapat dicapai jika sumber energi dikembangkan dari dalam negeri, termasuk dari bioenergi.

    Di sisi lain, Zarkoni Azis, Pendidik Bidang Bioenergi Puskap Energi UI, menjelaskan bahwa bioetanol dapat meningkatkan kualitas pembakaran karena memiliki angka oktan tinggi. 

    Campuran E10 dapat meningkatkan performa, dan dalam kondisi mesin yang dirancang khusus, penggunaan dapat diperluas hingga E85 bahkan E100, seperti yang dilakukan Brasil dan Amerika Serikat.

    “Penentuan kualitas BBN tidak cukup dengan melihat botol bening dan endapan. Ada sekitar 20 parameter pengujian yang harus digunakan untuk memastikan mutu bensin-etanol,” tuturnya.

    Dia menilai percepatan implementasi bioetanol dapat dilakukan bertahap, misalnya dari E5 menuju E10, sambil memastikan kesiapan infrastruktur distribusi serta desain material kendaraan yang sesuai. 

    Dengan potensi tanaman berpati seperti tebu, singkong, dan sorgum yang luas, Indonesia disebut memiliki modal dasar kuat untuk mendorong substitusi bensin berbasis fosil.

    Dalam kesempatan yang sama, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyatakan kesiapan industri otomotif nasional dalam mendukung pemanfaatan etanol sebagai campuran bahan bakar (biofuel). 

    Pemanfaatan etanol dinilai sejalan dengan upaya pengurangan emisi dan transisi menuju energi baru terbarukan. Selain biodiesel yang sudah diterapkan sejak lama, etanol juga berpotensi menjadi pilihan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

    Secara teknis, sebagian besar kendaraan yang diproduksi sejak tahun 2000 sudah kompatibel menggunakan bahan bakar dengan campuran etanol. Namun, penerapannya secara menyeluruh tetap memerlukan tahapan dan penyesuaian, termasuk kesiapan infrastruktur penyaluran dan pasokan bahan baku etanol dalam negeri. 

    Pemerintah disebut tengah menyusun roadmap bertahap menuju pengembangan kendaraan rendah emisi hingga kendaraan fleksibel (flex engine) yang mampu menggunakan berbagai jenis biofuel.

    Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara memandang Indonesia memiliki sumber biomassa yang melimpah untuk memproduksi etanol, mulai dari tebu (melalui molase), singkong, jagung, hingga sorgum. 

    Sejumlah daerah bahkan telah mulai memperluas penggunaan campuran etanol, misalnya Jawa Timur, yang memanfaatkan molase sebagai bahan baku E10. 

    Potensi ini dinilai dapat menekan impor bahan bakar maupun gula sekaligus mendorong pengembangan rantai pasok energi bersih di dalam negeri.

    “Industri kita siap. Kita mendukung penggunaan biofuel karena ini terkait dengan energi terbarukan. Etanol punya kelebihan seperti emisi yang lebih baik dan peningkatan angka oktan. Namun, penggunaannya tetap perlu diperhatikan standar dan tahapan implementasinya,” ujar Kukuh.

    Lebih lanjut, Kukuh menjelaskan bahwa penggunaan etanol sebagai campuran bahan bakar telah meluas secara global. Beberapa negara bahkan telah mencapai penggunaan tinggi, seperti Brasil dengan E85 hingga E100. 

    Indonesia telah memproduksi mesin kendaraan yang kompatibel hingga E85/E100 dan mengekspornya ke Brasil, meski penggunaan bahan bakarnya di dalam negeri belum merata. 

    Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan teknis industri otomotif nasional bukan menjadi hambatan utama, melainkan ketersediaan bahan bakar dan kebijakan implementasi yang masih perlu diperluas.

    Hingga saat ini, Kukuh menegaskan bahwa sebagian besar pabrikan kendaraan telah menyatakan kesiapannya untuk mendukung campuran etanol hingga tingkat E10. 

    “Kendaraan yang diproduksi sejak tahun 2000 rata-rata sudah kompatibel menggunakan campuran etanol sampai E10. Industri kendaraan bermotor siap mengadopsi hal ini, tinggal implementasinya yang perlu dilakukan secara bertahap sesuai standar,” pungkasnya. 

  • Viral Bensin Baru Bobibos, Pakar & Industri Pertanyakan Komposisi hingga Hasil Uji

    Viral Bensin Baru Bobibos, Pakar & Industri Pertanyakan Komposisi hingga Hasil Uji

    Bisnis.com, JAKARTA — Ramainya kehadiran bensin baru bermerek Bobibos, yang diklaim ramah lingkungan dan setara RON 98, menuai pertanyaan dari pelaku industri kendaraan bermotor dan pakar energi. 

    Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) Kukuh Kumara mengatakan, pihaknya belum mendapatkan informasi terperinci terkait asal usul atau spesifikasi dari bensin baru besutan PT Inti Sinergi Formula (Sultan Sinergi Indonesia Group) tersebut.

    “Spesifikasinya seperti apa, ujinya seperti apa, berapa lama dan sebagainya karena enggak bisa kita hanya ‘oh, ada orang klaim oke’, kan enggak,” kata Kukuh kepada wartawan, Jumat (7/11/2025). 

    Menurut dia, produsen dari BBM tersebut harus memberikan bukti sertifikasi dari lembaga-lembaga yang mengurus izin distribusi dan hasil uji kelayakan laboratorium. 

    Pihaknya akan meninjau lebih lanjut terkait kabar tersebut dan menunggu hasil uji dari Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) Kementerian ESDM. Dia pun berharap produk bahan bakar baru dapat diproses sesuai standar dan ketentuan. 

    “Dalam hal ini paling enggak saringan pertamanya kan pemerintah, dalam hal ini bisa diuji di Lemigas. Apa bener seperti itu klaimnya kan? Karena nanti masing-masing orang bisa klaim, ‘saya mengeluarkan ini, mengeluarkan itu’,” ujarnya. 

    Namun, pelaku industri tidak akan menutup diri. Kukuh menyebut, pihaknya terbuka untuk bekerja sama jika produsen BBM baru yang menjadi alternatif bahan bakar existing, mau untuk melakukan uji coba. 

    “Ya silakan anggota, siapa yang mau apa enggak. Oh kita buka, alternatif kenapa enggak gitu kan?” tuturnya. 

    Ditemui terpisah, Ketua Pusat Studi Kebijakan Energi dan Pertambangan (Puskep) Universitas Indonesia Ali Ahmudi mengatakan, perlu ada pembuktian terbuka terkait klaim kualitas dan spesifikasi bahan bakar tersebut. 

    Ali menjelaskan bahwa bahan bakar dengan nilai RON tinggi seperti RON 98 biasanya memerlukan proses pengolahan yang panjang dan penambahan zat aditif tertentu. 

    Bahkan, pada kilang minyak, produk yang berasal dari minyak bumi umumnya menghasilkan RON 92, 95, hingga 98 melalui tahapan teknologi yang kompleks.

    Dia pun mempertanyakan mekanisme yang digunakan Bobibos dalam mencapai nilai RON 98, termasuk terkait adanya penambahan hidrogen untuk memisahkan unsur oksigen dari struktur senyawa nabati sehingga menghasilkan hidrokarbon murni. 

    “Pertanyaannya ada dua, apakah betul RON-nya 98 dan bagaimana proses memperoleh hidrokarbon murninya?” katanya. 

    Dia menjelaskan, proses peningkatan kualitas bahan bakar nabati biasanya melibatkan reaksi kimia tertentu, termasuk penggunaan katalisator, baik alami seperti zeolit maupun berbasis bahan kimia sintetis. 

    “Misalnya minyak jelantah bisa menjadi avtur atau biodiesel setelah melalui pemecahan rantai hidrokarbon dengan katalisator,” tuturnya.

    Menurutnya, bahan bakar nabati murni tanpa campuran fosil seperti S100 atau B100 secara teknis memungkinkan untuk diproduksi. Namun, prosesnya tetap membutuhkan bahan tambahan atau katalis yang mendukung reaksi konversi tersebut. 

    Untuk itu, menekankan perlunya transparansi formula, proses reaksi, serta hasil pengujian laboratorium untuk memastikan kualitas, keamanan, dan kesesuaian standar BBM tersebut jika akan dipasarkan luas.

  • Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK

    Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK

    Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendata sudah ada 171 Bupati dan Wali Kota yang terjerat kasus korupsi.
    Sedangkan gubernur mencapai 30 orang. Data ini belum ditambah dengan data terbaru, yakni dua kepala daerah yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK dua bulan belakangan.
    Dua orang tersebut adalah Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis.
    Pada tahun sebelumnya, Kompas.com mencatat lima kepala daerah yang ditangkap KPK atas kasus korupsi.
    Mereka adalah Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada Ritonga, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor, dan terakhir Pj Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa.
    Kasus kepala daerah terjerat korupsi yang berulang membuat publik bertanya, mengapa mereka seolah tak belajar dan tak jera dengan kejahatan yang dianggap
    extraordinary
    atau kejahatan luar biasa di Indonesia ini?
    Ketua IM57+ Lakso Anindito mengatakan, ada tiga faktor yang menjadi penyebab paling sering kepala daerah terjerat kasus korupsi.

    Pertama, sektor pengadaan barang dan jasa yang masih longgar dan menimbulkan kerawanan kecurangan dan permainan.
    Karena sistem transparansi dinilai tidak cukup, akan tetapi masih ada proses tender yang bersifat formalitas untuk menunjuk pemenang yang sudah ditetapkan di awal lelang.
    “Nah itu menandakan bahwa sektor ini masih merupakan sektor yang signifikan ya tingkat perawatannya dan perlu ada tindakan segera untuk melakukan proses reformasi,” katanya.
    Kedua, adalah persoalan sistem yang masih menggunakan berbagai peluang dan kesempatan untuk bisa mendukung pembiayaan politik dan pribadi kepala daerah.
    Salah satu contoh adalah Gubernur Riau yang menggunakan kekuasaannya untuk memeras bawahannya dengan istilah “jatah preman”.
    “Yang ketiga saya ingin menyoroti biaya politik yang mahal,” katanya.
    Menurut Lakso, biaya politik ini tak terhenti ketika para kepala daerah memenangkan pemilihan, tetapi terus mengalir ketika mereka telah dilantik.
    Biaya politik seperti biaya dukungan kepada aparat penegak hukum dan pengeluaran untuk melanggengkan kekuasaan lewat oknum di DPRD bisa saja menjadi beban untuk kepala daerah.
    “Nah biaya-biaya siluman inilah yang sebetulnya menjadi salah satu faktor yang memperparah kondisi tersebut,” katanya.
    Program Officer Divisi Tata Kelola Partisipasi dan Demokrasi Transparansi Internasional Indonesia (TII) Agus Sarwono mengatakan, fenomena kepala daerah korup ini bisa jadi disebabkan ongkos politik yang mahal.
    “Yang pasti kan ini implikasi dari biaya politik yang sangat tinggi ya. Dan tentu kan mahalnya biaya politik itu menjadi salah satu faktor penyebab ya,” imbuhnya kepada Kompas.com, Rabu (5/11/2025).
    Dia mengutip data dari KPK yang menyebut modal kampanye untuk kepala daerah bisa mencapai Rp 20-100 miliar.
    Menurut Agus, konsekuensi logis dari modal besar adalah mengembalikannya dengan cara yang besar juga.
    Upaya balik modal ini yang sering dilakukan dengan berbagai macam cara yang ilegal, seperti pemanfaatan anggaran publik sampai memainkan perizinan proyek dan juga pungutan liar.
    Dalam konteks Riau, Agus menyebut ada “jatah preman” yang dilakukan sebagai upaya mengambil keuntungan lewat jalur ilegal.
    “Ini kan menunjukkan bahwa modusnya itu masih menggunakan modus-modus yang lama modus korupsinya, Tapi lebih sistematis saja sebetulnya. Banyak pihak yang ikut terlibat,” katanya.
    Karena motif yang berulang ini, Agus menilai perlu ada gerakan cepat revisi pemilihan umum khususnya kepala daerah agar biaya politik tak lagi menjadi beban.
    Dosen Ilmu Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, kepala daerah yang nekat korupsi padahal baru beberapa bulan menjabat sebagai gejala lemahnya sistem hukum di Indonesia.
    Dia mengaitkan pada ongkos pemilihan kepala daerah yang dinilai tinggi, namun saat transparansi laporan biaya kampanye, tak pernah ada data kredibel yang menyebut ongkos pilkada tersebut mahal.
    “Ini menunjukkan bahwa politik biaya tinggi justru terjadi di ruang gelap, arena di luar jangkauan mekanisme pelaporan dan pengawasan,” kata Titi kepada Kompas.com, Kamis (6/11/2025).
    Titi mengatakan, sistem hukum Indonesia terlihat lemah di sini. Karena praktik jual beli suara dan kursi kekuasaan dibiarkan saja, dan negara tak bisa mengatur hal tersebut.
    “Dalam hal ini, kita sedang berhadapan dengan pembiaran sistematis oleh negara, di mana regulasi dan mekanisme pengawasan pendanaan politik baik oleh KPU, Bawaslu, maupun lembaga keuangan, tidak dibekali instrumen yang memadai untuk menelusuri aliran dana sesungguhnya dalam kontestasi elektoral,” ucapnya.
    Karena itu, transparansi dana kampanye hanya menjadi formalitas administratif, bukan mekanisme substantif akuntabilitas publik.
    Solusi yang ditawarkan Titi adalah membenahi secara total pendanaan politik harus menjadi prioritas nasional.
    Menurut Titi, negara tidak bisa terus menyerahkan pembiayaan politik sepenuhnya kepada individu calon atau partai tanpa tanggung jawab publik.
    “Harus ada inisiatif pendanaan politik berbasis negara yang transparan, adil, dan terukur sehingga politik tidak lagi menjadi arena transaksional yang melahirkan korupsi sebagai balas modal,” ucapnya.
    Titi juga mengatakan, harus ada reformasi sistemik pendanaan politik yang menempatkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas sebagai fondasi utama.
    Tanpa itu, Titi menilai kasus korupsi kepala daerah hanya akan terus berputar dalam siklus yang sama berupa biaya tinggi, korupsi tinggi, dan kepercayaan publik yang terus menurun.
    Selain soal sistem pembiayaan politik, pengawasan dana kampanye harus direformasi total dan harus menjadi fokus dari negara.
    Dia berharap PPATK dilibatkan dalam pengawasan dana kampanye sebagai bentuk mengawasi aliran uang yang beredar di pemilu secara menyeluruh.
    Metode kampanye juga harus didesain agar lebih adil dan memberi insentif bagi kampanye dengan kampanye terjangkau.
    “Penegakan hukum atas politik uang juga harus sepenuh efektif oleh karena itu harus ada rekonstruksi aparat yang terlibat dalam pengawasan dan penegakan hukumnya,” katanya.
    Misal dengan mengatur patroli aparat penegak hukum dan optimalisasi kewenangan tangkap tangan atas praktik politik uang.
    “KPK juga perlu terlibat dalam pengawasan dan penindakan praktik uang ini. Sebab akar dari korupsi politik adalah politik uang. Maka harus ada upaya luar biasa untuk memberantasnya,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.