Institusi: Universitas Esa Unggul

  • ​Guru Besar Esa Unggul Nilai Perpol 10/2025 Tidak Bertentangan dengan Putusan MK, Begini Penjelasannya

    ​Guru Besar Esa Unggul Nilai Perpol 10/2025 Tidak Bertentangan dengan Putusan MK, Begini Penjelasannya

    Jakarta: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi. Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta, Prof Juanda, menilai aturan itu tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

    Prof Juanda menjelaskan untuk menilai sebuah produk hukum itu benar atau tidak, sah atau tidak maka sarana menilai dan pengujinya dapat dilihat dalam perspektif formiel dan materiel. Secara formiel suatu produk hukum atau keputusan Pemerintah dapat dinilai tidak sah  karena keliru atau tidak tepat mekanisme pembentukannya atau keliru pejabat yang mengeluarkannya atau produk hukum tersebut dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang. 

    “Misalnya Peraturan Kepolisian dikeluarkan oleh Kapolri tetapi dikeluarkan oleh bukan Kapolri,” jelasnya seperti dikutip Selasa, 16 Desember 2025.

    Lebih lanjut, ia mengatakan secara materiel bahwa produk hukum yang diterbitkan tersebut secara materi muatan tidak sesuai dengan jenis produk hukum yang diatur di dalam UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan bertentangan dengan asas serta norma hukum yang lebih tinggi.

    Misalnya bertentangan dengan asas dan norma yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di dalam Pasal 5 UU tersebut telah mengatur bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

    a. kejelasan tujuan;
    b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
    c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
    d. dapat dilaksanakan;
    e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
    f. kejelasan rumusan; dan
    g. keterbukaan.

    “Pertanyaannya apakah Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 ditemukan menyalahi aspek formiel dan materiel sebagaimana diuraikan di atas. Termasuk menyalahi dan bertenatngan dengan ke 7 (tujuh) asas yang dimaksud,” kata Juanda yang juga Ketua Dewan Pembina Peradi Maju Indonesia.

    Juanda menyebut sepanjang tidak ditemukan kesalahan dari aspek formiel dan materiel maka Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 sah.  Namun seandainya ada yang pihak-pihak  beranggapan atau menilai Peraturan Kepolisian tersebut keliru maka gunakan saja sarana hukum pengujiannya yang diatur  di dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) yaitu;

    (1)     Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
    (2)  Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

    “Artinya, sepanjang belum ada proses pengujian terhadap Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 di Mahkamah Agung, maka secara asas maupun norma yang berlaku maka Peraturan Kepolisian dimaksud tetap sah berlaku dan memiliki daya laku, daya guna dan daya ikat,” bebernya.
     

    Pernyataan tersebut diperkuat dengan asas hukum yang berlaku yang menyatakan produk hukum tetap sah, selama belum dinyatakan pembatalan  oleh Pengadilan yang berwenang. 

    Juanda menjelaskan asas tersebut dikenal dengan Asas Presumption of Legality atau Presumption of Validity (Asas Dugaan Keabsahan), bagian dari Asas Presumptio Iustae Causa (dugaan adanya alasan yang sah) yang berarti produk hukum/ keputusan pemerintah dianggap sah dan berlaku sampai ada pembatalan resmi oleh Pengadilan.

    Memperhatikan  amar Putusan Mahkamah Konstitusi  Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tanggal 13 November 2025 yaitu;

    1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
    2. Menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
    3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

    “Sesungguhnya  hanya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI  yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” terangnya.

    Ia menambahkan selain frasa yang dinyatakan dalam “amar putusan” tersebut  yang bertentangan maka secara hukum  frasa lain di dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) tetap berlaku, oleh karena itu makna “jabatan di luar kepolisian “ yaitu  jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian masih tetap berlaku dan memiliki daya ikat .

    “Oleh karena itu maka putusan Mahkamah Konstitusi No.114/PUU-XXIII/2025 secara normatif sesungguhnya tidak memiliki implikasi hukum yang luas dan tidak berdampak pada penghapusan atau peniadaan hak Anggota Kepolisian Negara RI yang aktif untuk menduduki jabatan di luar Kepolisian, sepanjang mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, mereka  tidak harus mundur atau pensiun,” tegasnya.

    Ia juga menekankan bahwa berdasarkan amar putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025 tersebut, tidak ada alasan dan dasar normatif yang kuat untuk dijadikan dasar untuk melarang bagi Anggota Polri  menduduki jabatan yang memiliki sangkut pautnya dengan tugas-tugas kepolisian meskipun di luar institusi kepolisian.

    “Tidak ada keraguan, rumusan demikian adalah rumusan norma yang expressis verbis yang tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan lain,” imbuhnya. 

    Karena itu, menurutnya Mahkamah perlu menegaskan, “jabatan” yang mengharuskan anggota Polri mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, dengan merujuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 20/2023), jabatan tersebut adalah jabatan ASN yang terdiri atas jabatan manajerial dan jabatan nonmanajerial [vide Pasal 13 UU 20/2023].
     
    “Kalimat di atas merupakan penegasan dari Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya. Dari pertimbangan hukumnya dimaksud, semakin memperkuat analisis dan argumentasi hukum saya yang sejak awal menilai bahwa permohonan pemohon dan putusan ini tidak ada implikasi hukum yang  signifikan yang berujung pada suatu ketentuan yang melarang Anggota Polri untuk menjabat jabatan tertentu diluar struktur Kepolisian. 

    Dalam pandangannya, Amar putusan MK No.114/PUU-XXIII/2025 tersebut secara esensial  hanya mempertegas bahwa;

    1. Frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

    2. Terhadap kewajiban mengundurkan diri atau pensiun sebagaimana diatur dalam Pasal 28 yat (3) UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, dengan merujuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 20/2023), jabatan tersebut adalah jabatan ASN yang terdiri atas jabatan manajerial dan jabatan nonmanajerial.

    Juanda menyebut poin Angka 2 tersebut merupakan pendapat Mahkamah yang  artinya, bahwa jabatan tertentu di luar Institusi Kepolisian  yang mempunyai sangkut paut dengan tugas-tugas Kepolisian, tetap boleh dijabat oleh Anggota POLRI aktif dengan tidak perlu mundur, berhenti atau pensiun sepanjang  mengikuti prosedur, mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur di dalam UU No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara dan PP 11 tahun 2017 yang dirubah dengan PP 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS. 

    “Ke depan yang penting menurut saya dalam rangka proses penempatan Anggota Polri dalam jabatan tertentu di luar Kepolisian adalah di samping mempedomani  prosedur, mekanisme yang terdapat dalam UU ASN dan PP manejemen PNS juga harus mempedomani tentang ruang lingkup  tugas yang mempunyai sangkut pautnya dengan kepolisian,” jelasnya.

    Karena itu,  menurutnya kedepan agar tidak menimbulkan polemik dan keliru maka sudah seharusnya diatur dalam Undang-Undang Kepolisian atau Peraturan pemerintah tentang  jenis-jenis tugas jabatan tertentu yang mempunyai sangkut pautnya dengan tugas kepolisian. Hal itu penting diatur dalam rangka perubahan dan pembenahan UU Kepolisian RI di masa yang datang agar tidak menimbulkan masalah hukum dan salah tafsir. 

    “Namun sebelum adanya pengaturan ke dalam bentuk UU atau PP, pengaturan dalam Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 10 Tahun 2025 salah satu sarana hukum antara yang dimungkinkan untuk mengisi kekosongan norma yang ada. Dan oleh karena itu secara normatif Perpol No. 10 Tahun 2025 secara hukum substantif tidak bertentangan dengan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025,” ungkapnya.

    “Sebaiknya dimasa yang akan datang diperkuat untuk diatur pula di dalam Perubahan Undang-Undang Kepolisian atau Peraturan pemerintah yang terkait. Namun sebelum adanya pengaturan ke dalam bentuk UU atau PP, tentu pengaturan dalam Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 10 Tahun 2025 salah satu sarana hukum antara yang dimungkinkan untuk mengisi kekosongan norma yang ada.”

    Jakarta: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi. Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta, Prof Juanda, menilai aturan itu tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
     
    Prof Juanda menjelaskan untuk menilai sebuah produk hukum itu benar atau tidak, sah atau tidak maka sarana menilai dan pengujinya dapat dilihat dalam perspektif formiel dan materiel. Secara formiel suatu produk hukum atau keputusan Pemerintah dapat dinilai tidak sah  karena keliru atau tidak tepat mekanisme pembentukannya atau keliru pejabat yang mengeluarkannya atau produk hukum tersebut dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang. 
     
    “Misalnya Peraturan Kepolisian dikeluarkan oleh Kapolri tetapi dikeluarkan oleh bukan Kapolri,” jelasnya seperti dikutip Selasa, 16 Desember 2025.

    Lebih lanjut, ia mengatakan secara materiel bahwa produk hukum yang diterbitkan tersebut secara materi muatan tidak sesuai dengan jenis produk hukum yang diatur di dalam UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan bertentangan dengan asas serta norma hukum yang lebih tinggi.
     
    Misalnya bertentangan dengan asas dan norma yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di dalam Pasal 5 UU tersebut telah mengatur bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
     
    a. kejelasan tujuan;
    b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
    c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
    d. dapat dilaksanakan;
    e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
    f. kejelasan rumusan; dan
    g. keterbukaan.
     
    “Pertanyaannya apakah Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 ditemukan menyalahi aspek formiel dan materiel sebagaimana diuraikan di atas. Termasuk menyalahi dan bertenatngan dengan ke 7 (tujuh) asas yang dimaksud,” kata Juanda yang juga Ketua Dewan Pembina Peradi Maju Indonesia.
     
    Juanda menyebut sepanjang tidak ditemukan kesalahan dari aspek formiel dan materiel maka Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 sah.  Namun seandainya ada yang pihak-pihak  beranggapan atau menilai Peraturan Kepolisian tersebut keliru maka gunakan saja sarana hukum pengujiannya yang diatur  di dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) yaitu;
     
    (1)     Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
    (2)  Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
     
    “Artinya, sepanjang belum ada proses pengujian terhadap Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 di Mahkamah Agung, maka secara asas maupun norma yang berlaku maka Peraturan Kepolisian dimaksud tetap sah berlaku dan memiliki daya laku, daya guna dan daya ikat,” bebernya.
     

     
    Pernyataan tersebut diperkuat dengan asas hukum yang berlaku yang menyatakan produk hukum tetap sah, selama belum dinyatakan pembatalan  oleh Pengadilan yang berwenang. 
     
    Juanda menjelaskan asas tersebut dikenal dengan Asas Presumption of Legality atau Presumption of Validity (Asas Dugaan Keabsahan), bagian dari Asas Presumptio Iustae Causa (dugaan adanya alasan yang sah) yang berarti produk hukum/ keputusan pemerintah dianggap sah dan berlaku sampai ada pembatalan resmi oleh Pengadilan.
     
    Memperhatikan  amar Putusan Mahkamah Konstitusi  Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tanggal 13 November 2025 yaitu;
     
    1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
    2. Menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
    3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
     
    “Sesungguhnya  hanya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI  yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” terangnya.
     
    Ia menambahkan selain frasa yang dinyatakan dalam “amar putusan” tersebut  yang bertentangan maka secara hukum  frasa lain di dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) tetap berlaku, oleh karena itu makna “jabatan di luar kepolisian “ yaitu  jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian masih tetap berlaku dan memiliki daya ikat .
     
    “Oleh karena itu maka putusan Mahkamah Konstitusi No.114/PUU-XXIII/2025 secara normatif sesungguhnya tidak memiliki implikasi hukum yang luas dan tidak berdampak pada penghapusan atau peniadaan hak Anggota Kepolisian Negara RI yang aktif untuk menduduki jabatan di luar Kepolisian, sepanjang mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, mereka  tidak harus mundur atau pensiun,” tegasnya.
     
    Ia juga menekankan bahwa berdasarkan amar putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025 tersebut, tidak ada alasan dan dasar normatif yang kuat untuk dijadikan dasar untuk melarang bagi Anggota Polri  menduduki jabatan yang memiliki sangkut pautnya dengan tugas-tugas kepolisian meskipun di luar institusi kepolisian.
     
    “Tidak ada keraguan, rumusan demikian adalah rumusan norma yang expressis verbis yang tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan lain,” imbuhnya. 
     
    Karena itu, menurutnya Mahkamah perlu menegaskan, “jabatan” yang mengharuskan anggota Polri mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, dengan merujuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 20/2023), jabatan tersebut adalah jabatan ASN yang terdiri atas jabatan manajerial dan jabatan nonmanajerial [vide Pasal 13 UU 20/2023].
     
    “Kalimat di atas merupakan penegasan dari Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya. Dari pertimbangan hukumnya dimaksud, semakin memperkuat analisis dan argumentasi hukum saya yang sejak awal menilai bahwa permohonan pemohon dan putusan ini tidak ada implikasi hukum yang  signifikan yang berujung pada suatu ketentuan yang melarang Anggota Polri untuk menjabat jabatan tertentu diluar struktur Kepolisian. 
     
    Dalam pandangannya, Amar putusan MK No.114/PUU-XXIII/2025 tersebut secara esensial  hanya mempertegas bahwa;
     
    1. Frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
     
    2. Terhadap kewajiban mengundurkan diri atau pensiun sebagaimana diatur dalam Pasal 28 yat (3) UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, dengan merujuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 20/2023), jabatan tersebut adalah jabatan ASN yang terdiri atas jabatan manajerial dan jabatan nonmanajerial.
     
    Juanda menyebut poin Angka 2 tersebut merupakan pendapat Mahkamah yang  artinya, bahwa jabatan tertentu di luar Institusi Kepolisian  yang mempunyai sangkut paut dengan tugas-tugas Kepolisian, tetap boleh dijabat oleh Anggota POLRI aktif dengan tidak perlu mundur, berhenti atau pensiun sepanjang  mengikuti prosedur, mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur di dalam UU No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara dan PP 11 tahun 2017 yang dirubah dengan PP 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS. 
     
    “Ke depan yang penting menurut saya dalam rangka proses penempatan Anggota Polri dalam jabatan tertentu di luar Kepolisian adalah di samping mempedomani  prosedur, mekanisme yang terdapat dalam UU ASN dan PP manejemen PNS juga harus mempedomani tentang ruang lingkup  tugas yang mempunyai sangkut pautnya dengan kepolisian,” jelasnya.
     
    Karena itu,  menurutnya kedepan agar tidak menimbulkan polemik dan keliru maka sudah seharusnya diatur dalam Undang-Undang Kepolisian atau Peraturan pemerintah tentang  jenis-jenis tugas jabatan tertentu yang mempunyai sangkut pautnya dengan tugas kepolisian. Hal itu penting diatur dalam rangka perubahan dan pembenahan UU Kepolisian RI di masa yang datang agar tidak menimbulkan masalah hukum dan salah tafsir. 
     
    “Namun sebelum adanya pengaturan ke dalam bentuk UU atau PP, pengaturan dalam Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 10 Tahun 2025 salah satu sarana hukum antara yang dimungkinkan untuk mengisi kekosongan norma yang ada. Dan oleh karena itu secara normatif Perpol No. 10 Tahun 2025 secara hukum substantif tidak bertentangan dengan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025,” ungkapnya.
     
    “Sebaiknya dimasa yang akan datang diperkuat untuk diatur pula di dalam Perubahan Undang-Undang Kepolisian atau Peraturan pemerintah yang terkait. Namun sebelum adanya pengaturan ke dalam bentuk UU atau PP, tentu pengaturan dalam Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 10 Tahun 2025 salah satu sarana hukum antara yang dimungkinkan untuk mengisi kekosongan norma yang ada.”
     

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News

    (RUL)

  • Tak Bertentangan dengan Putusan MK, Perpol Nomor 10 Tahun 2025 Tetap Sah Berlaku

    Tak Bertentangan dengan Putusan MK, Perpol Nomor 10 Tahun 2025 Tetap Sah Berlaku

    Liputan6.com, Jakarta – Pasca diucapkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 pada 13 November 2025, muncul beragam tafsir dan perdebatan di ruang publik, khususnya terkait keberlakuan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025. Perbedaan pandangan tersebut merupakan hal yang wajar dalam negara hukum dan demokrasi, serta dilindungi oleh UUD NRI Tahun 1945.

    Namun demikian, penting bagi masyarakat untuk memperoleh penjelasan hukum yang utuh dan berbasis norma. Berdasarkan analisis yang disampaikan Prof. Dr. Juanda, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul sekaligus Ketua Dewan Pembina Peradi Maju Indonesia, Perpol Nomor 10 Tahun 2025 secara normatif sah berlaku dan tidak bertentangan dengan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025.

    Menilai Keabsahan Peraturan: Aspek Formiel dan Materiel

    Dalam hukum tata negara, keabsahan suatu produk hukum dinilai dari dua aspek, yakni formiel dan materiel. Secara formiel, suatu peraturan dinilai sah apabila dibentuk oleh pejabat yang berwenang dan melalui mekanisme yang benar. Sementara secara materiel, isi peraturan tersebut harus sesuai dengan jenis, hierarki, dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

    Pasal 5 UU tersebut menegaskan tujuh asas pembentukan peraturan yang baik, mulai dari kejelasan tujuan, pejabat pembentuk yang tepat, hingga keterbukaan. Sepanjang tidak ditemukan pelanggaran terhadap aspek-aspek tersebut, maka secara hukum Perpol Nomor 10 Tahun 2025 dinyatakan sah.

    Apabila terdapat pihak yang berpendapat sebaliknya, mekanisme pengujiannya telah diatur secara tegas. Peraturan di bawah undang-undang, termasuk Perpol, diuji melalui Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi. Selama belum ada putusan pembatalan dari pengadilan yang berwenang, maka berlaku asas Presumption of Legality (Asas Dugaan Keabsahan), yang menyatakan bahwa suatu produk hukum tetap sah dan mengikat.

    Makna Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025

    Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 secara tegas hanya membatalkan satu frasa, yakni “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Frasa tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Di luar frasa tersebut, norma lainnya tetap berlaku. Artinya, pengertian jabatan di luar kepolisian yang tidak mempunyai sangkut paut dengan tugas kepolisian masih sah dan memiliki daya ikat hukum.

    Dengan demikian, Putusan MK ini tidak menghapus hak anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan di luar institusi kepolisian, sepanjang jabatan tersebut memiliki keterkaitan dengan tugas-tugas kepolisian.

    Tidak Ada Pertentangan dengan Perpol Nomor 10 Tahun 2025

    Berdasarkan amar dan pertimbangan hukum MK, tidak terdapat dasar normatif yang melarang anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan tertentu di luar struktur kepolisian selama jabatan tersebut memiliki sangkut paut dengan fungsi kepolisian. Bahkan, Mahkamah Konstitusi secara eksplisit menegaskan bahwa kewajiban mengundurkan diri atau pensiun hanya berlaku bagi jabatan yang tidak memiliki keterkaitan dengan tugas kepolisian, dengan merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

    Oleh karena itu, Perpol Nomor 10 Tahun 2025 secara substantif tidak bertentangan dengan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, melainkan justru berfungsi sebagai instrumen hukum untuk mengisi kekosongan norma sebelum pengaturan lebih lanjut dituangkan dalam undang-undang atau peraturan pemerintah.

    Kesimpulan

    Berdasarkan analisis normatif yang disampaikan, dapat ditegaskan bahwa:

    Perpol Nomor 10 Tahun 2025 sah berlaku sepanjang tidak ditemukan cacat formiel dan materiel serta belum dibatalkan oleh pengadilan berwenang.
    Perpol tersebut tidak bertentangan dengan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 maupun UU Kepolisian.
    Anggota Polri aktif tetap dapat menduduki jabatan tertentu di luar kepolisian tanpa harus mundur atau pensiun, selama jabatan tersebut memiliki sangkut paut dengan tugas kepolisian.

    Dengan pemahaman yang utuh ini, diharapkan masyarakat tidak lagi melihat Perpol Nomor 10 Tahun 2025 sebagai aturan yang bertentangan dengan konstitusi, melainkan sebagai bagian dari tertib hukum yang berjalan sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.

     

     

  • Ferry Irwandi Tepis Fitnah Politisasi Derita Korban Banjir Sumatera

    Ferry Irwandi Tepis Fitnah Politisasi Derita Korban Banjir Sumatera

    Jakarta, Beritasatu.com – Aktivis sekaligus influencer Ferry Irwandi membantah tudingan dirinya mempolitisasi derita korban banjir bandang dan membuat konten adanya kasus pemekosaan di lokasi bencana di Sumatera. Ferry juga mengaku tidak pernah menyebut ketidakhadiran negara di Aceh untuk menangani korban.

    “Saya tidak pernah mengatakan itu,” kata Ferry saat dikonfirmasi Beritasatu.com via telepon, Senin (8/12/2025).

    Ferry menegaskan dirinya tidak mau ambil pusing dengan tudingan miring yang dialamatkan kepadanya. Dia ingin fokus menyalurkan bantuan kepada korban banjir dan tanah longsor.

    Ferry juga menyampaikan klarifikasi atas fitnah yang dituding kepadanya melalui akun Instagramnya @irwandiferry.

    “Hari ini serentak saya difitnah oleh banyak orang dengan narasi yang sama, orang yang berbeda-beda, tetapi satu kecaman dan narasi. Selama ini saya enggak peduli, tetapi untuk yang ini sudah keterlaluan,” tulis Ferry.

    Ferry Irwandi dalam misi penyaluran bantuan ke warga Kabupaten Tamiang dan Kabupaten Simpang, Aceh yang terdampak banjir dan longsor Sumatera. – (TikTok.com/@irwandiferry)

    Berikut pernyataan lengkap Ferry Irwandi membantah isu politisasi korban bencana banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang disampaikan melalui akun media sosialnya.

    Pertama, saya tidak mengatakan bahwa pemerintah tutup mata.

    Kedua, saya tidak pernah sama sekali mempolitisasi isu yang dimaksud dan membuat konten khusus soal isu sensitif yang dikatakan. Satu-satunya pembicaraan ini muncul cuma di live penggalangan dana seminggu yang lalu, itupun muncul dari kontak seluler yang menceritakan situasi di sana, sama sekali tidak pernah dinarasikan seperti yang tertulis di media.

    “Teman-teman media yang menulis berita ini, mohon klarifikasi dan verifikasinya, karena sudah bermuatan fitnah ke saya. Saya mohon berita ini dapat diturunkan,” pinta Ferry.

    Ferry menegaskan semua pihak saat ini berkolaborasi saling bantu dalam membantu korban bencana di Sumatera, mulai dari relawan, NGO, pemerintah pusat, pemerintah daerah, TNI, dan Polri.

    “Semua merasa saling berbagi kerja dan berjalan dengan baik, janganlah kaya gini,” pungkas Ferry.

    Sebelumnya, sempat beredar potongan video Ferry Irwandi bicara dengan seseorang melalui telepon saat live penggalangan donasi untuk korban banjir Sumatera di media sosialnya. Ferry mengungkapkan dirinya mendapat pesan suara (voice note) ada pemerkosaan di lokasi bencana.

    “Tadi aku dikasih voice note, dikasih cerita horor ada pemerkosaan beberapa perempuan,” katanya.

    Setelah video itu viral, muncul beragam tanggapan dari publik, ada juga yang mengecam, seperti disampaikan Ketua Pusat Studi Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Gender (Pusdeham Institut) Risnauli Siahaan.

    Dia menilai perkataan Ferry yang menyebut ada pemerkosaan di lokasi bencana menyiratkan seorang negara tidak hadir dalam proses pemulihan korban.

    Menurutnya, pernyataan tersebut berpotensi menyesatkan publik dan melukai perasaan para korban bencana, khususnya perempuan yang saat ini sedang berada dalam kondisi trauma, kehilangan, dan ketidakpastian.  

    “Kami sebagai kaum perempuan, terlebih sebagai perempuan Batak, sangat lirih dan terpukul mendengar ucapan tersebut. Di tengah situasi duka dan upaya pemulihan, justru dilempar narasi yang belum tentu benar, yang bisa menambah beban psikologis korban,” kata Risnauli.

    Pakar komunikasi politik Universitas Esa Unggul Indonesia Syurya Muhammad Nur menilai narasi yang disampaikan Ferry Irwandi soal ada perempuan diperkosa di lokasi bencana Sumatera melanggar etika komunikasi publik.  

    “Penyampaian isu pelecehan seksual di lokasi bencana yang disebarkan lewat konten oleh Ferry ini tanpa verifikasi memadai dan berpotensi melukai psikologis korban,” kata Syurya dalam keterangannya.  

    Diketahui, Ferry Irwandi menjadi sorotan sejak demo besar-besaran akhir Agustus 2025. Sikap kritisnya terhadap pemerintah dan keberaniannya membongkar wancana pemberlakuan darurat militer saat itu menuai simpati publik.

    Ferry pernah hendak dilaporkan oleh TNI ke Mabes Polri atas dugaan pencemaran nama baik, tetapi karena derasnya kecaman publik akhirnya TNI melunak.

    Ferry kembali menarik perhatian publik saat banjir besar dan tanah longsor melanda wilayah bagian utara Sumatera pada akhir November 2025. Dia berhasil mengumpulkan donasi senilai Rp 10 miliar dalam 24 jam. Bantuan yang terkumpul disalurkan ke korban bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

    Warganet memuji gerak cepat Ferry dalam menggalang donasi dan menembus Aceh Tamiang, daerah yang terisolasi setelah banjir bandang untuk menyalurkan bantuan langsung ke para korban yang sudah berhari-hari kelaparan.

  • Gerindra dan PSI Tutup Pintu untuk Budi Arie, Pengamat Singgung Sosok Kutu Loncat

    Gerindra dan PSI Tutup Pintu untuk Budi Arie, Pengamat Singgung Sosok Kutu Loncat

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Penolakan Partai Gerindra dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terhadap Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, memunculkan banyak dugaan di publik.

    Namun, bagi sebagian kalangan, sikap dua partai itu dianggap sebagai hal wajar dalam dinamika politik, terutama ketika menyangkut proses rekrutmen kader.

    Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, mengatakan setiap partai memiliki hitungan matang sebelum menerima seseorang bergabung.

    Mulai dari rekam jejak, loyalitas, hingga potensi mendongkrak dukungan publik selalu menjadi pertimbangan utama.

    “Gerindra, kadernya menilai lebih banyak negatifnya bila menerima Budi Arie. Sebagian kader Gerindra setidaknya menilai Budi Arie hanya sosok kutu loncat yang tak banyak manfaatnya bagi partainya,” kata Jamiluddin dalam pernyatannya, dikutip Sabtu (22/11/2025).

    Menurutnya, penolakan itu bukan sekadar penilaian personal, tapi sudah menjadi suara yang berkembang di internal Gerindra.

    Bahkan, kata dia, ada kekhawatiran bahwa kehadiran Budi Arie justru dapat membawa masalah baru.

    “Budi Arie bisa saja dinilai layaknya virus yang dapat menebar penyakit di Gerindra. Karena itu, kader Gerindra merasa lebih baik menghindar dan bahkan menjauh dari virus,” ujarnya.

    Tidak hanya Gerindra, PSI juga disebut punya alasan tersendiri. Partai yang dipimpin Kaesang Pangarep itu menilai Budi Arie tidak memiliki nilai jual secara elektoral.

    “Karena itu, PSI merasa tidak perlu menawarkan ke Budi Arie untuk bergabung untuk menjadi kadernya,” ujar Jamiluddin.

  • Wajar Ditolak Gerindra dan PSI: Budi Arie Kutu Loncat!

    Wajar Ditolak Gerindra dan PSI: Budi Arie Kutu Loncat!

    GELORA.CO -Penolakan Partai Gerindra dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terhadap Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi merupakan hal yang wajar terjadi dalam dinamika politik.

    Menurut Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, setiap partai memiliki kalkulasi dan seleksi yang ketat sebelum menerima seseorang sebagai kader. 

    Termasuk mempertimbangkan rekam jejak, loyalitas, hingga manfaat elektoral yang mungkin diberikan.

    “Gerindra, kadernya menilai lebih banyak negatifnya bila menerima Budi Arie. Sebagian kader Gerindra setidaknya menilai Budi Arie hanya sosok kutu loncat yang tak banyak manfaatnya bagi partainya,” kata Jamiluddin kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin, 17 November 2025.

    Jamiluddin  menambahkan, di internal Gerindra, muncul anggapan bahwa kehadiran Budi Arie justru berpotensi membawa masalah.

    ?“Budi Arie bisa saja dinilai layaknya virus yang dapat menebar penyakit di Gerindra. Karena itu, kader Gerindra merasa lebih baik menghindar dan bahkan mrnjauh dari virus,” ujarnya.

    Sementara itu, PSI disebut memiliki pertimbangan berbeda. Partai besutan Kaesang Pangarep itu dinilai tidak melihat nilai jual politik dari Budi Arie.

    “Karena itu, PSI merasa tidak perlu menawarkan ke Budi Arie untuk bergabung untuk menjadi kadernya,” ujar Jamiluddin.

    Bagi PSI, lanjutnya, sosok yang direkrut harus memiliki kemampuan menaikkan elektabilitas dan dukungan publik. 

    “Karena itu, tak ada manfaat bagi PSI merekrut Budi Arie menjadi kadernya,” tandasnya.

  • Budi Arie Salah Langkah Berlabuh ke Gerindra bila Motifnya Cari Perlindungan

    Budi Arie Salah Langkah Berlabuh ke Gerindra bila Motifnya Cari Perlindungan

    GELORA.CO -Langkah Ketua Umum Projo, Budi Arie bergabung ke Partai Gerindra tidak tepat bila motifnya untuk mendapatkan perlindungan politik.

    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, menilai, para kader tentu tidak ingin Gerindra dijadikan sebagai tempat berlindung bagi pihak-pihak yang sedang berhadapan dengan persoalan hukum. 

    Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dikenal tidak pernah menolerir kader yang tersangkut masalah hukum.

    “Prabowo tidak akan melindungi kadernya yang bermasalah hukum,” ujar Jamiluddin kepada RMOL, Sabtu, 15 November 2025.

    Karena itu, Jamiluddin menilai bila alasan Budi Arie merapat ke Gerindra adalah untuk menghindari tekanan hukum, maka pilihan tersebut justru keliru. Penolakan sejumlah DPC Gerindra terhadap wacana masuknya Budi Arie dinilai berangkat dari prinsip itu.

    “Budi Arie akan sia-sia berlabuh ke Gerindra bila motifnya ingin mendapatkan perlindungan politik. Sebab, Prabowo tidak akan mentolerir kadernya yang bermasalah hukum,” tandasnya.

    Aspirasi kader di sejumlah daerah yang menolak wacana bergabungnya Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi ke Partai Gerindra direspons santai Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco.

    Menurut Dasco, hal tersebut merupakan dinamika yang wajar dalam dunia politik.

    “Ya namanya dinamika di politik, itu soal tidak menerima, atau ada yang menerima itu kan biasa,” kata Dasco kepada wartawan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 13 November 2025. 

  • Akademisi dorong pekerja pahami laporan keuangan untuk negosiasi upah

    Akademisi dorong pekerja pahami laporan keuangan untuk negosiasi upah

    Jakarta (ANTARA) – Dosen Akuntansi Universitas Esa Unggul sekaligus akuntan profesional Daryanto Hesti Wibowo mendorong para pekerja untuk mampu memahami laporan keuangan (lapkeu) perusahaan agar dapat melakukan negosiasi upah dengan lebih efisien.

    Ia mengatakan di Jakarta, Rabu, bahwa kemampuan membaca dan menganalisis laporan keuangan kini menjadi keterampilan penting bagi serikat pekerja untuk memperjuangkan hak dan kesejahteraan anggotanya.

    Dengan memahami kondisi finansial perusahaan secara objektif, serikat pekerja dapat bernegosiasi dengan dasar data, bukan sekadar asumsi atau pernyataan yang bersifat subjektif.

    “Nanti kita negosiasinya sudah by data (dengan data), sudah nggak banyak debat lagi. Kita tunjukin, ibaratnya kita ‘buka kartu’, sudah langsung tepat sasaran apa yang mau kita sampaikan,” kata Daryanto dalam Workshop Literasi Keuangan Serikat Pekerja yang digelar di Antara Heritage Center (AHC), Jakarta.

    Ia menyatakan, kemampuan menganalisis rasio-rasio utama seperti likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas menjadi fondasi dalam memahami apakah perusahaan memiliki ruang untuk menaikkan upah atau memperbaiki kesejahteraan karyawan.

    Rasio likuiditas, contohnya, menunjukkan kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendek, sedangkan profitabilitas memperlihatkan margin laba bersih yang dapat menjadi argumen kuat dalam perundingan upah.

    “Kalau kita kaitkan, misalnya ini rasio profitabilitas tinggi dan margin laba yang sehat jadi argumen kuat untuk kenaikan upah, karena menunjukkan perusahaan menghasilkan keuntungan yang memadai,” jelasnya.

    Daryanto menambahkan, pendekatan berbasis data tidak hanya memperkuat posisi tawar pekerja, tapi juga meningkatkan kredibilitas serikat di mata manajemen.

    Ia menuturkan, kini mulai banyak serikat pekerja yang mempelajari analisis horizontal dan vertikal pada laporan keuangan.

    Analisis horizontal digunakan untuk melihat tren kinerja dari tahun ke tahun, sedangkan analisis vertikal membandingkan pos keuangan dalam satu periode, misalnya laba kotor terhadap pendapatan bersih.

    Daryanto menyampaikan, memiliki literasi keuangan yang baik mengenai laporan keuangan perusahaan dapat membantu mempermudah proses negosiasi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara serikat pekerja dan perusahaan.

    “Makanya, kalau nanti kita sudah punya literasi keuangan yang lebih baik, maka PKB-nya nanti kita jadi lebih bagus (mampu) untuk negosiasinya,” imbuh Daryanto Hesti Wibowo.

    Workshop Literasi Keuangan Serikat Pekerja bertajuk “Membangun Pemahaman Finansial untuk Perjuangan yang Lebih Kuat” tersebut dilaksanakan melalui skema kolaborasi pemberdayaan berbasis masyarakat antara Aliansi Serikat Pekerja Federasi Serikat Pekerja (FSP) ASPEK Indonesia, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek), serta Universitas Esa Unggul.

    Pewarta: Uyu Septiyati Liman
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Penolakan Gerindra Terhadap Budi Arie Keputusan Tepat

    Penolakan Gerindra Terhadap Budi Arie Keputusan Tepat

    GELORA.CO -Sikap sejumlah organisasi sayap hingga Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Gerindra untuk menolak rencana Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, bergabung ke Gerindra, dinilai sebagai langkah yang tepat dan masuk akal.

    Penolakan ini muncul setelah Budi Arie memberi sinyal kuat bahwa Projo akan berlabuh ke Partai Gerindra untuk memperkuat barisan pendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

    Pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, menjelaskan bahwa penolakan tersebut memiliki dasar yang logis, yaitu keinginan kuat kader untuk menjaga dan mempertahankan idealisme Gerindra.

    Menurut Jamiluddin, penolakan kader terhadap tokoh yang dianggap oportunis seperti Budi Arie sangat beralasan. Ia khawatir orang yang oportunis dapat merusak soliditas dan kohesivitas internal partai.

    “Penolakan itu logis karena ingin menjaga dan mempertahankan idealisme Gerindra,” kata Jamiluddin kepada wartawan di Jakarta, Selasa, 11 November 2025.

    Jamiluddin menyimpulkan bahwa Gerindra lebih baik menolak masuknya tokoh tersebut demi menjaga keutuhan internal partai.

    Sebelumnya, sinyal merapat ke Gerindra disampaikan langsung oleh Budi Arie saat pidato pembukaan Kongres III Projo di Jakarta, Sabtu 1 November 2025. 

    Di hadapan ribuan kadernya, Budi Arie menyatakan langkah ini bertujuan memperkuat dukungan politik dan soliditas kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. 

  • Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Keterwakilan perempuan dalam alat kelengkapan dewan (AKD), mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), hingga Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), masih menghadapi berbagai tantangan.
    Isu kesetaraan gender dan minimnya kaderisasi partai terhadap politisi perempuan menjadi dua faktor utama yang menghambat peningkatan representasi perempuan di tubuh AKD.
    Situasi ini kembali menjadi sorotan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara nomor 169/PUU-XXII/2024 pekan lalu.
    Dalam putusan itu, MK menyoroti perlunya perbaikan dalam posita dan petitum uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3 2014) serta perubahan pada UU MD3 Tahun 2018 yang berkaitan dengan UUD 1945.
    Melalui perbaikan petitum, para pemohon meminta agar ditetapkan minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam pimpinan AKD.
    Sementara dalam posita, mereka menekankan pentingnya pengarusutamaan gender, pencegahan pembangkangan konstitusi dalam pengaturan representasi perempuan, serta jaminan konstitusional atas keterwakilan tersebut.
    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga mengimbau agar DPR dan partai politik mencari formula yang tepat agar keputusan MK bisa dijalankan tanpa mengorbankan efektivitas kerja parlemen.
    “DPR harus mampu mensiasati keputusan MK itu agar pemenuhan 30 persen legislator perempuan di setiap AKD tetap dapat menjaga kinerja sesuai fungsinya,” ujar dia ketika dihubungi, Senin (3/11/2025).
    Jamiluddin menilai, kunci utama keberhasilan implementasi keputusan MK ada di tangan partai politik.
    “Ke depan setiap partai perlu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi calon legislatif. Caleg yang disiapkan juga harus dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan di setiap AKD,” ujarnya.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas menjadi hal penting. Tantangan ini menjadi PR bagi semua partai menjelang Pileg 2029,” pungkasnya.
    Sementara itu, dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, hambatan utama dalam keterwakilan perempuan dalam AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi kepada Kompas.com, Senin (3/11/2025).
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambah Titi.
    Titi mengatakan ada bias gender yang memandang bahwa isu perempuan bukanlah prioritas utama. Di sisi lain, keterwakilan perempuan cenderung tak mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya.
    “Masih terdapat pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama. Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” ungkap dia.
    Hambatan lainnya adalah minimnya pelatihan kepemimpinan politik di lingkungan parlemen. 
    Jamiluddin juga menilai implementasi keputusan MK tersebut tidak akan mudah, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas legislator perempuan.
    “Bila jumlah legislator perempuan tidak mencukupi, maka keputusan MK dengan sendirinya tak dapat dilaksanakan. Sebab, jumlahnya tak cukup untuk dibagi rata minimal 30 persen di setiap AKD,” jelasnya.
    Hal serupa, lanjutnya, juga berlaku dari sisi kompetensi. Jika kemampuan para legislator perempuan hanya terkonsentrasi di bidang tertentu, distribusi merata di seluruh AKD justru berpotensi kontraproduktif.
    “Kalau kompetensi legislator perempuan hanya menumpuk di beberapa AKD, maka pendistribusian 30 persen itu hanya akan menjadi pemaksaan. Akibatnya, mereka bisa ditempatkan di komisi yang tak sesuai dengan keahliannya,” ucap Jamiluddin.
    Ia menilai hal tersebut bisa berdampak pada menurunnya produktivitas kinerja legislator perempuan dalam menjalankan tiga fungsi utama DPR pengawasan, anggaran, dan legislasi.
    “Kalau hal itu terjadi, legislator perempuan akan sulit melaksanakan fungsinya secara maksimal,” katanya.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dengan cara berkoordinasi dengan semua fraksi parpol di parlemen.

    “Keputusan MK ini akan kami tindak lanjuti, termasuk berdiskusi dengan tiap perwakilan fraksi. Terutama teknis pelaksanaan keputusan MK tersebut di tingkatan komisi,” kata Puan dalam siaran pers, Jumat (31/10/2025).
    Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka mengatakan, hambatan dalam keterwakilan perempuan di parlemen berawal dari proses politik, yakni sejak pencalonan hingga penetapan calon legislatif.
    “Memang tidak mudah dari mulai proses pencalonan, penjaringan, penyaringan, hingga penetapan calon di elektoral,” ujarnya.
    Ia menekankan bahwa peran perempuan di parlemen sejatinya merupakan perpanjangan tangan dari partai politik, bukan sekadar individu. Karena itu, ia mendorong partai untuk memperkuat proses kaderisasi politik bagi perempuan.
    “Yang di parlemen itu kan perpanjangan partai, bukan person. Jadi penting kiranya kerja politik ini memperkuat kaderisasi partai terhadap perempuan,” katanya.
    Rieke menekankan pentingnya partai politik memandang keterwakilan perempuan bukan hanya sebagai pemenuhan kuota 30 persen, tetapi bagian dari sistem ketatanegaraan yang utuh.
    “Ini tidak bisa dimaknai hanya sebagai momen elektoral yang terpisah dari kehidupan bernegara. Harus dalam perspektif sistem ketatanegaraan yang menganut trias politika, di mana partai politik mempersiapkan kader perempuannya dengan pemahaman yang kuat tentang tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat,” jelas Rieke.
    Terpisah Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri.
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Mengutip laman kompas.id, sejak Pemilu 1955 hingga 2019, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai 30 persen. Pemilu pertama tahun 1955 menghasilkan 16 perempuan yang duduk di parlemen. Jumlah ini hanya setara 5,9 persen dari total 272 anggota parlemen.
    Pada masa Orde Baru, yaitu pada Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, persentase keterwakilan perempuan berada pada angka 6,7 persen hingga 12,4 persen. Persentase tertinggi keterwakilan perempuan pada masa Orde Baru terjadi pada Pemilu 1992. Saat itu, 62 perempuan berhasil terpilih sebagai anggota DPR. Jumlah itu mencapai 12,4 persen dari total 500 anggota DPR.
    Sementara itu, saat ini jumlah anggota DPR sebanyak 580 orang, dan keterwakilan perempuan hanya 127 orang. Sehingga secara persentase masih 21,9 persen.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Tantangan Nyata Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Jumlahnya Naik tetapi Belum Ideal

    Tantangan Nyata Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Jumlahnya Naik tetapi Belum Ideal
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Keterwakilan perempuan di alat kelengkapan dewan (AKD) DPR RI masih belum ideal.
    Dari total 580 anggota parlemen, hanya 127 di antaranya perempuan, tepatnya setara 21,9 persen.
    Angka itu masih terpaut cukup lebar dari ketentuan baru yang ditegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan uji materi Nomor 169/PUU-XXII/2024 pekan lalu.
    Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa minimal keterwakilan perempuan dalam seluruh AKD harus mencapai 30 persen.
    Mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), hingga Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), BKSAP, MKD, dan BURT.
    Pada akhirnya, putusan ini menjadi penegasan kembali komitmen terhadap politik hukum kesetaraan gender di parlemen.
    Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri kepada Kompas.com, Senin (3/11/2025).
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Terpisah, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka mengatakan bahwa putusan sudah sesuai dengan jumlah yang ada saat ini.
    “Jadi total sekarang kan 127 anggota perempuan dari total 580 anggota. Menurut saya ini menjadi penting, tidak dimaknai untuk bagaimana ini sekadar jumlah. Tapi, bagaimana partai itu betul-betul memberikan kaderisasi yang tepat kepada kader-kadernya,”
    “Pendidikan politik yang komprehensif dan mempersiapkan dari mulai sekolah partainya untuk merencanakan perwakilan perempuan itu memiliki kemampuan secara spesifik untuk nanti ditugaskan menjadi wakil rakyat dan kemudian ditugaskan di komisi-komisi yang sesuai dengan kemampuan politiknya di bidang itu,” tambah dia.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dengan cara berkoordinasi dengan semua fraksi parpol di parlemen.
    “Keputusan MK ini akan kami tindak lanjuti, termasuk berdiskusi dengan tiap perwakilan fraksi. Terutama teknis pelaksanaan keputusan MK tersebut di tingkatan komisi,” kata Puan dalam siaran pers, Jumat (31/10/2025).
    Adapun dalam perbaikan bagian posita dan petitum, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3 2014) dan UU MD3 Tahun 2018 terhadap UUD 1945.
    Diantaranya, perbaikan petitum, para pemohon meminta penetapan paling sedikit 30 persen perempuan pada pimpinan AKD.
    Sementara pada perbaikan posita atau bagian dalil yang diajukan dalam sidang tersebut, mencakup pengarusutamaan gender, pembangkangan konstitusi dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam AKD, serta jaminan terhadap keterwakilan perempuan.
    “Oleh karena itu menurut saya bahwa penting kiranya kerja politik, karena yang di parlemen itu kan perpanjangan partai sebetulnya, bukan person. Tapi dia institusi kepartaian sehingga itu saja ini harapan saya bisa memperkuat bagaimana kaderisasi dari partai politik terhadap perempuan,” lanjut Rieke.
    Mengutip laman kompas.id, sejak Pemilu 1955 hingga 2019, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai 30 persen. Pemilu pertama tahun 1955 menghasilkan 16 perempuan yang duduk di parlemen. Jumlah ini hanya setara 5,9 persen dari total 272 anggota parlemen.
    Pada masa Orde Baru, yaitu pada Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, persentase keterwakilan perempuan berada pada angka 6,7 persen hingga 12,4 persen.
    Persentase tertinggi keterwakilan perempuan pada masa Orde Baru terjadi pada Pemilu 1992. Saat itu, 62 perempuan berhasil terpilih sebagai anggota DPR. Jumlah itu mencapai 12,4 persen dari total 500 anggota DPR.
    “Kemajuan yang patut diapresiasi, walau masih jauh dari target ideal minimal 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, sebagaimana semangat afirmasi kesetaraan gender dalam politik Indonesia,” lanjut Puan.
    Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, ada hambatan utama yang menyebabkan keterwakilan perempuan dalam AKD tak sampai 30 persen.
    “Hambatan utama keterwakilan perempuan di AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin,” kata Titi.
    Dia bilang, hal ini diperparah dengan aturan dalam perekrutan partai dan negosiasi politik di parlemen.
    Ditambah lagi, posisi strategis sering didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, dan bukan prinsip kesetaraan gender.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi.
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambahnya.
    Di sisi lain, Titi melihat adanya pandangan bias gender dalam partai, yang menilai bahwa isu perempuan bukan prioritas utama. Ditambah lagi, anggota legislatif perempuan yang kebanyakan tidak mendapatkan dukungan dari partainya.
    “Masih terdapat pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama. Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” kata dia.
    Titi menilai dalam upaya mendorong jumlah perempuan dalam AKD, pendidikan politik dalam kaderisasi partai dinilai penting. Pelatihan kepemimpinan dinilai mampu meningkatkan kapasitas dan jaringan politik perempuan dalam partai.

    “Hambatan lainnya adalah minimnya pelatihan kepemimpinan politik dan pengarusutamaan gender di lingkungan parlemen, yang membuat kapasitas dan jaringan politik perempuan tidak berkembang optimal,” lanjut Titi.
    Rieke menambahkan, pada dasarnya mempersiapkan kader-kader perempuan yang siap untuk menjadi calon legislatif bukanlah perkara yang mudah. Dia bilang, kaderisasi parpol terhadap anggota perempuan perlu dilakukan.
    “Memang tidak mudah untuk dari mulai keterpilihan proses dari pencalonan, penjaringan, penyaringan, kemudian penetapan sebagai calon di elektoral. Oleh karena itu menurut saya bahwa penting memperkuat bagaimana kaderisasi dari partai politik terhadap perempuan,” kata Rieke.
    Rieke juga menilai, pendidikan politik yang komprehensif dapat mempersiapkan kader politik yang tidak hanya mampu bertugas di DPR, dan memiliki kemampuan pilitik yang memumpuni.
    “Partai (perlu) merencanakan perwakilan perempuan itu yang memiliki kemampuan secara spesifik untuk nanti ditugaskan, dipersiapkan untuk menjadi wakil rakyat dan kemudian ditugaskan di komisi-komisi yang sesuai dengan kemampuan politiknya,” lanjut dia.
    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul sekaligus mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta M. Jamiluddin Ritonga menegaskan bahwa ke depannya setiap partai perlu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi caleg.
    “Caleg yang disiapkan juga dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk setiap AKD. Melalui persiapan yang matang, diharapkan caleg perempuan lebih banyak lagi yang terpilih ke Senayan,” kata Jamiluddin.
    “Bila ini terwujud maka Keputusan MK baik secara kuantitas maupun kualitas lebih berpeluang dipenuhi dan dilaksanakan,” lanjut Jamiluddin.
    Dia menegaskan bahwa partai adalah merupakan awal atau cikal – bakal kader politik perempuan tumbuh, memiliku kualitas untuk ditempatkan sebagai wakil rakyat di parlemen.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas tampaknya menjadi penting. Tantangan ini jadi PR bagi semua partai yang akan ikut bertarung pada Pileg 2029,” tegas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.