Institusi: Universitas Andalas

  • Cara Mudah Mencegah Lonjakan Gula Darah usai Santap Nasi

    Cara Mudah Mencegah Lonjakan Gula Darah usai Santap Nasi

    Jakarta

    Nasi merupakan makanan pokok bagi banyak orang, tak terkecuali di Indonesia. Namun, di balik rasa yang mengenyangkan, nasi sering dikaitkan dengan lonjakan kadar gula darah.

    Untungnya, ada cara sederhana yang mencegah dampak lonjakan gula darah dari nasi. Hal ini ditemukan dalam sebuah studi kecil yang diterbitkan dalam jurnal Nutrition and Diabetes.

    Cara Mudah Mencegah Lonjakan Gula Darah dari Konsumsi Nasi

    Mengonsumsi nasi yang dipanaskan kembali bisa memperlambat lonjakan gula darah pada pengidap diabetes. Dikutip dari laman Business Insider, sekelompok peneliti Polandia dari Universitas Ilmu Kedokteran Poznan mempelajari 32 pasien dengan diabetes tipe 1. Mereka membandingkan kadar gula darah peserta setelah mengonsumsi dua jenis makanan uji yang berbeda.

    Satu makanan berupa nasi putih bulir panjang sekitar 46 gram karbohidrat yang disiapkan dan disajikan segera. Makanan lainnya adalah porsi yang sama, tetapi tapi didiamkan dalam lemari es selama 24 jam, kemudian dipanaskan kembali dan disajikan.

    Para peneliti menemukan, ketika peserta mengonsumsi nasi yang sudah dingin, kadar gula darah mereka secara signifikan lebih stabil, dengan kenaikan keseluruhan yang lebih rendah, dan waktu mencapai puncak gula darah yang lebih singkat, dibandingkan saat mengonsumsi nasi yang baru dimasak.

    Hasil penelitian menunjukkan, karbohidrat dingin seperti nasi bisa membantu mengontrol kadar gula darah, berkat jenis karbohidrat tertentu yang disebut dengan pati resisten. Porsi nasi dingin dalam penelitian mengandung pati resisten yang jauh lebih banyak dibandingkan nasi yang baru dimasak.

    Bukti menunjukkan bahwa pati resisten dicerna lebih lambat. Akibatnya, pati resisten bisa membantu menyeimbangkan penyerapan karbohidrat lain untuk menyeimbangkan kadar gula darah, mirip dengan serat.

    Meski penelitian ini berskala kecil dan fokus pada populasi tertentu, penelitian sebelumnya mendukung gagasan bahwa pendinginan makanan kaya karbohidrat bisa mengubah cara penyerapannya.

    Studi lainnya yang serupa pada tahun 2015 dengan orang tanpa diabetes menemukan hasil yang sebanding. Nasi dingin menyebabkan lonjakan gula darah yang lebih rendah.

    Para ahli mengatakan, mendapat lebih banyak pati resisten dari karbohidrat yang didinginkan juga memberi manfaat lain, seperti mengatur nafsu makan agar merasa kenyang setelah makan, mencegah penurunan energi atau membantu menurunkan berat badan.

    “Jika orang-orang sedang berupaya menurunkan lemak tubuh dan ingin menstabilkan kadar gula darah mereka, atau jika mereka ingin meningkatkan produktivitas dan menghindari kelelahan di sore hari, mengonsumsi lebih banyak pati resisten bisa bermanfaat,” kata ahli nutrisi Rhianon Lambert kepada Insider.

    Perhatikan Asupan Makanan Lainnya

    Dalam mengelola diabetes, ahli gizi Dr dr Tan Shot Yen, M Hum menekankan untuk berkonsultasi dengan pakar. Hal ini penting untuk lebih memahami masalah pola hidup dan gaya makan yang akan diterapkan.

    Menurut dr Tan, menurunkan kadar gula darah tak hanya dengan nasi yang didinginkan. Penting untuk memerhatikan makanan pendamping atau lauk yang dikonsumsi dengan nasi.

    “Jadi percuma saja kita makan nasi kering kemarin sudah dari kulkas kalau misalnya menu makannya adalah gorengan, masih ditambah kecap, minumnya masih teh manis, bubar,” beber dr Tan dikutip dari detikTV.

    “Daripada makannya yang sudah nggak enak, nasinya kering, dingin lagi, sementara penyebabnya nggak semata-mata hanya karena faktor nasi,” tuturnya.

    Ditinjau oleh: Mhd. Aldrian, S.Gz, lulusan Ilmu Gizi Universitas Andalas, saat ini menjadi penulis lepas di detikcom.

    (elk/naf)

  • Punya Hipertensi? Sebaiknya Hindari Menu Sarapan Ini Agar Tekanan Darah Aman

    Punya Hipertensi? Sebaiknya Hindari Menu Sarapan Ini Agar Tekanan Darah Aman

    Jakarta

    Tekanan darah tinggi atau hipertensi seringkali disebut sebagai silent killer sebab gejalanya seringkali tidak terlihat. Kondis ini sering disebabkan oleh faktor genetik, pola makan yang buruk, hingga gaya hidup yang kurang aktif.

    Meski tekanan darah tinggi bisa menyebabkan masalah yang lebih serius jika tidak diobati, ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengelola dan menurunkan tekanan darah, salah satunya dengan mengonsumsi makanan rendah sodium. Selain itu, penting untuk mengetahui beberapa makanan yang sebaiknya dihindari.

    Dikutip dari laman Eat This, beberapa menu sarapan yang perlu dihindari oleh pengidap hipertensi yaitu:

    1. Makanan Asin

    Tanpa disadari, beberapa makanan sarapan populer mengandung banyak sodium. Padahal, banyak ahli gizi yang telah mengingatkan bahwa peningkatan natrium bisa menyebabkan tekanan darah tinggi.

    Sebuah laporan dalam jurnal Nutrients menyatakan bahwa mengurangi asupan natrium tak hanya bisa mengurangi risiko hipertensi, tapi juga risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular. Menurut ahli gizi Amy Goodson, MS, RD, CSSD, LD, banyak dari sosis atau beberapa sandwich frozen yang dikonsumsi untuk sarapan mengandung sodium tinggi yang bisa menyebabkan tekanan darah tinggi jika dikonsumsi dalam jumlah besar dalam waktu lama.

    “Jika Anda memilih salah satu makanan ini, penting untuk memadukannya dengan sesuatu yang rendah sodium, seperti buah atau biji-bijian utuh seperti oat,” kata Goodson.

    2. Tidak Ada Buah dan Sayur

    Kebiasaan lain yang tidak baik untuk pengidap tekanan darah tinggi adalah tidak mengonsumsi cukup buah dan sayuran di pagi hari. Dikutip dari laman Cleveland Clinic, orang dewasa yang mencoba menurunkan tekanan darah disarankan untuk mengonsumsi 5-9 porsi buah dan sayur dalam sehari. Jika tidak mengonsumsi 1-2 porsi saat sarapan, maka tujuan ini akan sulit tercapai.

    “Buah dan sayuran secara alami bebas natrium dan banyak di antaranya mengandung kalium, yang bisa membantu menurunkan tekanan darah tinggi pada beberapa orang,” kata Goodson.

    3. Terlalu Banyak Gula

    Mengonsumsi terlalu banyak gula tambahan bisa menyebabkan berbagai komplikasi kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan asupan gula juga bisa menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik.

    “Gula dan makanan olahan sangat memicu peradangan dan meningkatkan kadar gula darah serta respons insulin, juga respons peradangan dalam tubuh Anda. Peradangan juga dapat meningkatkan tekanan darah,” kata ahli diet Dana Ellis Hunnes, PhD, MPH, RD.

    Hindari Melakukan Diet Ketat

    Tak hanya beberapa menu sarapan yang perlu dihindari, kebiasaan melakukan diet ketat juga tidak baik untuk pengidap tekanan darah tinggi.

    Mungkin banyak orang yang berasumsi bahwa melakukan diet ketat untuk menurunkan berat badan bisa membantu menurunkan tekanan darah. Namun, beberapa ahli gizi menyarankan untuk berhati-hati dalam seberapa ketat diet yang diterapkan.

    “Menerapkan pola makan ketat dalam upaya menurunkan berat badan dengan cepat dapat membahayakan tekanan darah Anda,” kata ahli diet Rachel Fine, RDN.

    Diet ketat diketahui bisa mengurangi banyak nutrisi yang dibutuhkan tubuh dan bisa merugikan orang-orang yang perlu menurunkan tekanan darah. Jadi jika ingin menurunkan bera badan, coba konsultasikan dengan dokter atau ahli gizi tentang pola makan yang ramah hipertensi.

    Ditinjau oleh: Mhd. Aldrian, S.Gz, lulusan Ilmu Gizi Universitas Andalas, saat ini menjadi penulis lepas di detikcom.

    (elk/kna)

  • Relawan FK Universitas Ciputra Diterjunkan ke Sumatra, Cegah Penyakit Pascabanjir

    Relawan FK Universitas Ciputra Diterjunkan ke Sumatra, Cegah Penyakit Pascabanjir

    Surabaya (beritajatim.com) – Sebanyak 10 relawan dari Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Ciputra (UC) Surabaya diberangkatkan ke wilayah terdampak banjir di Sumatra untuk mencegah munculnya penyakit pascabencana. Tim medis akan bertugas hingga 31 Januari 2025.

    Rektor Universitas Ciputra, Wirawan Endro Dwi Radianto, mengatakan relawan akan dikoordinasikan dengan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas setibanya di lokasi.

    “Ini nanti akan fokus di Sumatra Barat, di Padang. Teman-teman akan sampai di sana, kemudian akan koordinasi dengan FK Universitas Andalas,” kata Wirawan, Jumat (19/12/2025).

    Ia menjelaskan, penugasan difokuskan pada respons kesehatan pascabencana dan pencegahan wabah. Baginya, ini bukti empati kampus terhadap korban banjir di Sumatra.

    Sementara itu, Dekan FK UC Surabaya, Hendy Hendarto, menerangkan penugasan dilakukan melalui tiga pendekatan.

    Pertama, penanganan penyakit akut yang umum muncul pascabencana, seperti infeksi saluran pernapasan akut, diare, penyakit kulit, dan leptospirosis, termasuk dampak psikologis pada warga terdampak.

    Pendekatan kedua adalah pencegahan wabah melalui pemantauan dan deteksi dini penyakit. Langkah ini dilakukan agar penyakit yang muncul tidak berkembang menjadi kejadian luar biasa akibat keterbatasan layanan kesehatan di lokasi bencana.

    Pendekatan ketiga berupa edukasi kesehatan kepada masyarakat, terutama terkait perilaku hidup bersih dan higienis di tengah keterbatasan sarana dan prasarana pascabencana.

    “Tim relawan yang diberangkatkan ini adalah dokter-dokter yang memiliki keahlian, seperti ahli kebencanaan, dokter bedah, dokter umum, serta ada juga mahasiswa kedokteran,” terangnya.

    Hendy menambahkan, para relawan dipilih dari pendaftar yang menyatakan kesiapan untuk bertugas di daerah bencana, dengan dukungan logistik, obat-obatan, dan perlengkapan medis yang telah disiapkan sebelum keberangkatan. [ipl/but]

  • Dokter Ungkap Tanda Tubuh Kelebihan Gula yang Perlu Diperhatikan

    Dokter Ungkap Tanda Tubuh Kelebihan Gula yang Perlu Diperhatikan

    Jakarta

    Banyak orang kini menyadari bahwa konsumsi gula berlebihan tidak baik bagi kesehatan. Karena itu, tak sedikit yang mulai berupaya mengurangi asupan gula dalam keseharian.

    Pasalnya, terlalu banyak mengonsumsi gula telah dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan, mulai dari obesitas, diabetes, tekanan darah tinggi, kerusakan gigi, hingga kolesterol tinggi. Oleh karena itu, penting untuk mengenali tanda-tanda peringatan yang bisa muncul akibat konsumsi gula berlebihan.

    Tanda Tubuh Kebanyakan Gula

    Spesialis di bidang dermatologi, flebologi, proktologi, dan pengobatan gizi, dr Lela Ahleman membagikan lima gejala yang perlu diperhatikan dari terlalu banyak mengonsumsi gula. Dikutip dari laman Express UK, berikut daftarnya.

    1. Penambahan Berat Badan dan Rasa Lapar yang Terus Menerus

    Gula memiliki kepadatan kalori yang tinggi. Artinya, terlalu banyak mengonsmsinya bisa meyebabkan kenaikan berat badan dengan cepat. Tapi, ini bukan satu-satunya alasan kenapa gula bisa menyebabkan penambahan berat badan.

    Menurut dr Ahlemann, terlalu banyak makan gula bisa membuat seseorang terus-menerus merasa lapar. Hal ini karena gula meningkatkan kadar glukosa darah dalam jangka pendek, tapi tidak mengenyangangkan karena kurangnya serat.

    “Ketika Anda selalu lapar, Anda akhirnya makan lebih banyak daripada yang Anda butuhkan, yang pada akhirnya menyebabkan kenaikan berat badan,” kata dr Ahlemann.

    2. Munculnya Jerawat

    Menurut dr Ahlemann, konsumsi gula bisa menyebabkan kadar hormon yang disebut insulin-like growth factor 1 atau IGF-1 meningkat.

    “Bersama dengan insulin, IGF-1 merangsang kelenjar sebaceous dan keratinisas berlebihan di area sebaceois, yang menyebabkan kelenjar tersebut tersumbat, sehingga menimbulkan jerawat dan peradangan,” ungkapnya.

    3. Perubahan Suasana Hati

    Mengonsumsi gula menyebabkan kadar glukosa meningkat dengan cepat yang memicu pelepasan insulin. Akan tetapi, lonjakan ini sering kali sangat kuat, sehingga kadar gula darah tidak kembali ke tingkat normal dan malah anjlok di bawah kadar normal.

    “Ini disebut hipoglikmia, yang kemudian menyebabkan keinginan makan yang kuat. Pada beberapa orang, hal ini juga menyebabkan perubahan suasana hati dan mudah marah,” tambahnya.

    4. Sistem Kekebalan Tubuh yang Lemah

    Kondisi tubuh yang lebih sering sakit dari biasanya bisa disebabkan oleh pola makan, khususnya gula yang dikonsumsi.

    “Biasanya, gula diserap oleh tubuh melalui usus kecil. Namun, jika jumlah gula sederhana, seperti glukosa dan fruktosa, yang kita konsumsi melebihi kapasitas usus kecil kita, maka gula tersebut akan berakhir di usus besar,” kata dr Ahlemann.

    Bakteri yang hidup di usus besar kemudian memakan gula tersebut. “Pemberian makanan secara selektif menyebabkan perkembangbikan bakteri ini,” tambahnya.

    “Masalahnya adalah sayangnya bakteri tersebut membawa endotoksin pada permukaan bakterinya, yang kemudian bisa meninggalkan usus dan masuk ke aliran darah, menyebabkan peradagan tanpa gejala, yang mempercepat penuaan dan melemahkan sistem kekebalan tubuh,” katanya.

    5. Penuaan yang Cepat

    dr Ahlemann mengatakan bahwa secara asupan gula yang tinggi secara ilmiah terbukti menyebabkan pembentukan produk akhir glikasi lanjut atau Advanced Glycation End Products (AGEs), yang merusak serat kolagen.

    “Ketika terlalu banyak AGEs, serat kolagen kita menjadi kaku, rapuh, dan mengalami degenerasi. Tubuh juga kurang mampu memperbaiki dirinya sendiri, yang berarti kualitas kolagen kita semakin memburuk,” tambahnya.

    Ditinjau oleh: Mhd. Aldrian, S.Gz, lulusan Ilmu Gizi Universitas Andalas, saat ini menjadi penulis lepas di detikcom.

    (elk/suc)

  • Pengamat Anggap Pemerintah Abai, Belum Tetapkan Banjir Sumatera Jadi Bencana Nasional

    Pengamat Anggap Pemerintah Abai, Belum Tetapkan Banjir Sumatera Jadi Bencana Nasional

    Liputan6.com, Padang – Banjir Sumatera menyisakan duka, lebih dari seribu nyawa terenggut, ratusan hilang, akses terputus dan perekonomian lumpuh. Namun hingga tiga minggu setelah peristiwa yang meluluhlantakkan tiga provinsi ini, pemerintah tak kunjung menetapkan status bencana nasional.

    Alih-alih menetapkan status bencana nasional, pemerintah justru sibuk dengan narasi ‘Indonesia bangsa yang kuat’ dan jargon-jargon lainnya.

    Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Ilhamdi Putra mengatakan narasi yang disodorkan pemerintah tidak berbanding lurus dengan apa yang terjadi di lapangan.

    “Hingga tiga minggu pascabanjir bandang dan longsor yang terjadi di Sumatera, Presiden Prabowo tak menetapkan status bencana nasional, menurut saya ini adalah pengabaian yang disengaja,” kata Ilhamdi, Kamis (18/12/2025).

    Ia memandang, abainya negara dalam bencana Sumatera tak bisa dilepaskan dari Prabowo yang merupakan seorang elite sekaligus seorang presiden. Namun di sisi lain, ia juga merupakan bagian dari oligarki. Ia adalah seorang pengusaha.

     

    Akibatnya, ketika membicarakan jalannya pemerintahan hari ini, salah satu contoh konkret bisa dilihat dari penetapan atau tepatnya tidak ditetapkannya status bencana nasional atas bencana yang terjadi di tiga provinsi di Sumatera.

    Dari situ terlihat dengan jelas bagaimana pola pengambilan kebijakan pemerintah didasari oleh itikad yang tidak baik, serta adanya akumulasi kepentingan antara elit politik dan oligarki dalam pemerintahan Indonesia saat ini.

    Kelalaian terlihat dari lambannya distribusi bantuan, penanganan korban, akses informasi, hingga pencarian jenazah yang belum selesai. Dalam banyak kasus, masyarakat justru bergerak lebih cepat daripada negara. Ini adalah fakta yang sangat nyata.

    “Situasi ini seharusnya jadi alarm bagi pemerintah,” jelasnya.

     

  • Kanker Usus Intai Generasi Muda, 4 Makanan-Minuman Ini Bisa Jadi Pemicunya

    Kanker Usus Intai Generasi Muda, 4 Makanan-Minuman Ini Bisa Jadi Pemicunya

    Jakarta

    Secara historis, kanker usus besar dianggap sebagai kanker yang didiagnosis di usia lanjut. Namun, penelitian menemukan belakangan banyak orang lebih muda mendapatkan diagnosis yang sama.

    Pemicunya, bisa karena pola makan. Berikut sejumlah makanan yang bisa meningkatkan risiko kanker usus besar.

    Makanan Apa Saja yang Meningkatkan Risiko Terkena Kanker Usus Besar?

    Membatasi makanan tertentu bisa menjadi langkah penting untuk mengurangi risiko kanker ini. Dikutip dari laman Health, berikut beberapa makanan yang bisa meningkatkan risiko terkena kanker usus besar di usia muda.

    1. Daging Merah Olahan

    Sejumlah penelitian mengaitkan konsumsi daging merah dan daging merah olahan dengan kanker usus besar. Salah satunya, studi dari Cleveland Clinic menemukan metabolit (zat yang diproduksi tubuh saat memecah makanan) dari jenis daging ini, serta perubahan pada mikrobioma setelah mengonsumsinya. Hal ini bisa meningkatkan risiko kanker usus besar di bawah usia 60 tahun.

    Pasien lebih muda yang banyak mengonsumsi daging merah dan daging merah olahan memiliki kadar metabolit berbahaya yang lebih tinggi di usus. Penelitian sebelumnya juga mengaitkan perubahan mikrobioma akibat pola makan tinggi daging merah dan daging olahan merah dengan peningkatan risiko kanker usus besar.

    2. Minuman Manis dan Mengandung Gula

    Penelitian Cleveland Clinic juga mengidentifkasi konsumsi minuman manis sebagai faktor risiko kanker usus besar yang muncul lebih dini.

    Temuan lainnya ditemukan dalam jurnal Gut yang menganalisis 96.000 wanita. Wanita yang mengonsumsi dua atau lebih minuman manis bergula per hari memliki risiko dua kali lipat terkena kanker usus besar lebih awal, dibandingkan wanita yang mengonsumsi kurang dari dua minuman per hari.

    Setiap minuman 8 ons atau 800 gram per hari dikaitkan dengan peningkatan risiko 16 persen.

    3. Makanan Ultra Processed Food (UPF)

    Sebuah studi pada 2023 menemukan konsumsi makanan UPF meningkatkan risiko berkembangnya prekursor kaker usus besar, seperti polip, tumor, dan lesi. Adapun beberapa makanan ultra olahan di antaranya:

    Daging olahanMinuman manisSereal sarapanMakanan bekuKeripikPermen

    4. Alkohol

    Studi tahun 2023 menunjukkan semakin banyak seseorang minum alkohol, semakin besar peluang terkena kanker usus besar dini. Konsumsi 1-2, 3-4, atau lebih dari lima minuman beralkohol per minggu meningkatkan risiko kanker usus besar masing-masing sebesar 7 persen, 14 persen dan 27 persen, dibandingkan dengan orang yang tidak minum alkohol.

    Makanan yang Bisa Mengurangi Risiko Kanker Usus Besar

    Mengonsumsi makanan yang kaya nutrisi dan minim pengolahan bisa membantu mengurangi risiko kaker ini. Beberapa makanan yang dikaitkan dengan penurunan risiko kanker usus besar di antaranya:

    Biji-bijian utuhKacang-kacanganYoghurtMinyak zaitun extra virgin

    Ditinjau oleh: Mhd. Aldrian, S.Gz, lulusan ilmu gizi Universitas Andalas, saat ini menjadi penulis lepas di detikcom.

    (elk/naf)

  • Pilkada via DPRD, Solusi Politik Berbiaya Mahal atau Hidupkan Masalah Lama?

    Pilkada via DPRD, Solusi Politik Berbiaya Mahal atau Hidupkan Masalah Lama?

    Pilkada via DPRD, Solusi Politik Berbiaya Mahal atau Hidupkan Masalah Lama?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wacana kepala daerah dipilih oleh DPRD kembali mencuat, digaungkan oleh elite partai politik dan pemerintah.
    Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai pemilihan kepala daerah dengan cara tak langsung tidak bertentangan dengan hukum.
    “Undang-undang tidak melarang kalau seandainya dilaksanakan sepanjang dilakukan secara demokratis,” ujar Tito di Kantor Kemendagri, Jakarta, Kamis (11/12/2025).
    Tito beralasan, demokratis itu bisa berarti dua hal, dipilih secara langsung atau melalui perwakilan di DPRD.
    Dalil pemerintah juga menyebutkan konstitusi negara, Undang-Undang Dasar 1945 tidak melarang adanya pemilihan secara tidak langsung tersebut.
    Selain itu, partai yang santer menyuarakan wacana ini adalah Golkar.
    Pada HUT Ke-61 partai berlambang beringin itu, Ketua Umumnya Bahlil Lahadalia secara terbuka menyebut wacana tersebut.
    “Khusus menyangkut
    pilkada
    , setahun lalu kami menyampaikan kalau bisa pilkada dipilih lewat DPRD saja. Banyak pro-kontra, tapi setelah kita mengkaji, alangkah lebih baiknya memang kita lakukan sesuai dengan pemilihan lewat DPR kabupaten/kota biar tidak lagi pusing-pusing. Saya yakin ini perlu kajian mendalam,” kata Bahlil.
    Anggota Komisi II DPR-RI, Ahmad Doli Kurnia mengatakan, sepanjang pemilihan kepala daerah yang digelar secara langsung, ada ekses yang semakin besar dan tak terkendali.
    Tak lain adalah biaya politik yang terllalu besar yang menyentuh pada penyelenggaraan dan “biaya lain” yang disebut bisa mengancam moral bangsa.
    “Biaya-biaya itu ternyata belum tentu menghasilkan kepala daerah yang ideal, bukan hanya dari aspek kualitas penyelenggaraan pemerintahan, namun ternyata fakta menunjukkan bahwa banyak sekali Kepala Daerah yang terjerat masalah hukum, terutama kasus korupsi,” kata Doli kepada
    Kompas.com
    , Senin (15/12/2025).
    Sebab itu, Doli menilai wacana pemilihan kembali ke DPRD adalah opsi yang patut dipertimbangkan untuk menjaga prinsip
    demokrasi
    dai menjawab masalah politik berbiaya mahal tersebut.
    Selain berbicara sebagai anggota Komisi II, politikus Golkar ini juga menyebut partainya sudah mengkaji fenomena pilkada dengan biaya mahal ini.
    “Dari hasil kajian sementara itu, tentu kami sudah punya beberapa opsi. Terkait Pilkada, kami memang sudah punya kecenderungan untuk melaksanakan Pilkada kembali ke DPRD, terutama untuk pemilihan Gubernur,” ucapnya.
    Doli menjelaskan, meski berangkat dari fenomena politik berbiaya mahal, sikap partai Golkar diambil berdasarkan alasan otonomi daerah.
    Karena menurut kajian partai dengan warna dominan kuning ini, pemilihan gubernur melalui DPRD juga bisa bersifat demokratis dan tidak dilarang konstitusi, persis seperti yang dikatakan Mendagri Tito Karnavian.
    Sikap Golkar ini masih belum final untuk pemilihan di tingkat kabupaten/kota. Doli mengatakan, kepala daerah tingkat dua perlu tetap dipilih secara langsung agar pemimpinnya mendapat legitimasi dari rakyat.
    “Namun, dengan mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar dan jangka panjang, yang mengharuskan adanya penghematan biaya negara serta untuk menjaga moral bangsa, tentu kita bisa memilih kembali ke DPRD.
    Jadi untuk Pilkada Kabupaten/Kota kami cenderung juga kembali ke DPRD, walaupun kami punya opsi lain, yaitu dilaksanakan secara asimetris/hybrid, ada Kabupaten/Kota yang tetap dilaksanakan secara langsung dan ada dilaksanakan melalui DPRD,” ucapnya.
    Merujuk dua artikel
    Kompas
    berjudul ”Politik Uang Pemilihan Kepala Daerah: Anggota Dewan, Kiri-Kanan Oke” (14 Maret 2000) dan ”Politik Uang Pemilihan Kepala Daerah: Kejarlah Calon Gubernur, Uang Kutangkap” (15 Maret 2000), yang diulas kembali dalam liputan bertajuk “Jejak Politik Uang Saat Kepala Daerah Masih Dipilih oleh DPRD” politik uang terjadi saat pilkada melalui DPRD.
    Praktik “biaya lain-lain yang merusak moral bangsa” itu digambarkan secara gamblang dalam pemilihan bupati Sukoharjo pada Januari 2000.
    Saat itu, hampir semua bakal calon dilaporkan mengeluarkan dana besar untuk mengamankan dukungan fraksi.
    Sejumlah kandidat disebut menghabiskan hingga Rp 500 juta hanya untuk tahap pencalonan.
    Fenomena serupa muncul di Boyolali pada Februari 2000 ketika suara fraksi mayoritas DPRD justru berpindah dalam pemungutan suara.
    Rumor yang beredar saat itu menyebutkan harga satu suara anggota DPRD berkisar Rp 50 juta hingga Rp 75 juta, disertai praktik ”karantina” anggota dewan di rumah calon menjelang pemilihan.
    Praktik transaksi politik lebih vulgar di Lampung Selatan, dalam proses pemilihan bupati periode 2000–2005, tim sukses calon bupati mendatangi rumah anggota DPRD, menginapkan mereka di hotel, dan memberikan uang tunai dengan nilai bervariasi.
    Sejumlah anggota DPRD mengaku menerima uang antara Rp 10 juta hingga Rp 25 juta, bergantung pada posisi mereka sebagai anggota atau pimpinan fraksi.
    Praktik politik uang tersebut merebak di berbagai daerah dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
    Hal ini yang disebut peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Beni Kurnia sebagai bentuk tidak adanya jaminan biaya pilkada menjadi lebih murah.
    Pasalnya, praktik transaksi di lorong gelap justru akan semakin kuat, seperti yang pernah terjadi pada 25 tahun silam.
    “Yang lebih mungkin terjadi adalah pergeseran
    locus
    politik uang, dari pemilih rakyat ke elit politik di DPRD. Dalam konteks praktik pemerintahan daerah, transaksi politik semacam ini justru lebih sulit diawasi karena berlangsung dalam ruang tertutup dan dibungkus dalam proses politik internal lembaga perwakilan,” katanya.
    Dia juga menegaskan, problem mahalnya biaya pilkada tak bisa dikatakan sejalan dengan bentuk pemilihan secara langsung.
    Pilkada yang mahal, kata Beni, adalah masalah tata kelola pengawasan politik uang dan transaksi tiket pencalonan oleh partai politik yang selama ini sulit untuk dijatuhi sanksi.
    Beni mengatakan, konstitusi memang tidak secara eksplisit memberikan kewajiban pilkada langsung.
    Walakin, perkembangan konstitusi pasca reformasi telah menempatkan rezim pilkada langsung sebagai instrumen demokrasi lokal dan wujud dari kedaulatan rakyat.
    “Problem mahalnya biaya pilkada dan praktik korupsi kepala daerah lebih tepat dibaca sebagai kegagalan tata kelola dan pengawasan, bukan kegagalan sistem pemilihan langsung itu sendiri,” katanya.
    Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Nurcahyadi Suparman atau Armand mengatakan, wacana ini sebagai bentuk kemunduran terhadap kedaulatan rakyat, khususnya di tingkat lokal.
    “Dengan kita memindahkan Pilkada langsung ke ruang-ruang DPR/DPRD, itu sebetulnya sudah atau menjadi langkah mundur dari upaya penguatan demokratisasi lokal itu,” ucapnya.
    Dia juga menyebut ada upaya melempar tanggungjawab dari masalah politik berbiaya mahal.
    Karena menurut Armand, yang menyebabkan politik berbiaya mahal adalah mekanisme transaksi di lorong gelap yang terjadi antara kandidat dan partai politik.
    “Karena itu menurut kami, biaya politik ini sangat mahal karena memang partai politik itu sendiri yang membuat biaya itu mahal,” katanya.
    Sebab itu, Armand menilai jalan keluarnya bukan kembali pada masa kedaulatan rakyat dirampas kembali, tapi pada perbaikan tata kelola dan regenerasi partai politik yang baik.
    “Padahal kalau partai itu punya sistem kaderisasi dan rekrutmen yang bagus, mestinya hal-hal seperti itu (politik berbiaya mahal) bisa disimplifikasi,” ucapnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan

    Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan

    Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan
    Penulis meraih gelar Doktor Hukum dari Universitas Andalas dan saat ini berkiprah sebagai Hakim dari Peradilan Tata Usaha Negara, serta aktif sebagai akademisi dan peneliti. Selain itu, penulis juga merupakan anggota Editorial Board Journal of Social Politics and Humanities (JSPH). Tulisan yang disampaikan adalah pendapat pribadi berdasarkan penelitian, dan tidak mewakili pandangan institusi.
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

    No man is above the law, and every man, whatever his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm
    .” — A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution
    DALAM
    tradisi negara hukum klasik, A.V. Dicey dengan tegas menyatakan bahwa “
    no man is above the law, and every man, whatever his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm
    .”
    Prinsip ini menegaskan bahwa kekuasaan, betapapun kuatnya, tidak pernah memiliki legitimasi untuk menghindar dari hukum, apalagi menafsirkan ulang putusan lembaga peradilan demi kepentingannya sendiri.
    Lon L. Fuller mengingatkan bahwa “
    a system of law must be addressed to the understanding of those who are bound by it
    .”
    Hukum kehilangan makna moralnya ketika ia diproduksi atau diterapkan secara manipulatif, terlebih ketika putusan pengadilan yang seharusnya memberi kepastian justru dikelola ulang melalui kebijakan administratif.
    Kemudian, Tom Ginsburg menegaskan bahwa “
    courts matter because they can serve as a commitment device, binding political actors to constitutional rules
    .”
    Dalam kerangka ini, pengadilan tidak sekadar forum penyelesaian sengketa, melainkan mekanisme pengikat yang mencegah institusi negara mengubah arah hukum sesuai kepentingan kekuasaan sesaat.
    Kajian-kajian tersebut menegaskan prinsip dasar negara hukum modern: supremasi konstitusi dan putusan pengadilan harus menjadi rujukan tertinggi bagi seluruh organ negara, termasuk institusi penegak hukum.
    Dalam hal ini, demokrasi konstitusional hanya dapat bertahan jika seluruh institusi negara tunduk pada putusan pengadilan, tanpa membuka ruang bagi penafsiran ulang yang bersifat sepihak oleh pemegang kekuasaan.
    Dalam konteks Indonesia, prinsip ini menjadi sangat relevan ketika kebijakan internal suatu lembaga negara justru memunculkan tafsir berjarak, bahkan berpotensi bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
    Polemik seputar Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian menjadi contoh nyata bagaimana ketegangan antara kewenangan administratif dan ketaatan konstitusional kembali mengemuka.
    Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 telah memberikan garis batas yang tegas mengenai kedudukan anggota Polri dalam jabatan sipil.
    Inti putusan tersebut adalah penegasan bahwa anggota Polri yang menduduki jabatan di luar institusi kepolisian wajib mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
    Frasa dalam Undang-Undang Polri yang sebelumnya membuka ruang penugasan tanpa pengunduran diri dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena menciptakan ketidakpastian hukum.
    Putusan ini bukan sekadar koreksi normatif, melainkan penegasan prinsip konstitusional tentang pemisahan peran antara aparat keamanan dan jabatan sipil.
    Dalam negara demokratis, keberadaan aparat bersenjata di ruang-ruang sipil harus dibatasi secara ketat untuk mencegah tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan.
    Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya dipahami sebagai perintah konstitusional yang bersifat final dan mengikat, bukan sebagai opsi kebijakan yang dapat ditafsirkan ulang melalui peraturan internal lembaga.
    Dalam kerangka ini, pernyataan para pakar hukum yang menegaskan bahwa Perpol tidak dapat menggugurkan atau mengubah makna putusan Mahkamah Konstitusi menjadi sangat relevan.
    Hierarki norma hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia secara jelas menempatkan putusan Mahkamah Konstitusi di atas peraturan lembaga, termasuk peraturan kepolisian.
    Ketika garis batas konstitusional telah ditarik secara tegas oleh Mahkamah, maka ruang diskresi institusional menjadi sangat terbatas.
    Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 mengatur penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian, termasuk penempatan pada 17 kementerian dan lembaga negara.
    Secara formal, peraturan ini menyatakan bahwa penugasan tersebut dilakukan dengan melepaskan jabatan internal kepolisian.
    Namun, persoalan utamanya bukan semata pada pelepasan jabatan struktural, melainkan pada status keanggotaan Polri itu sendiri: apakah yang bersangkutan masih berstatus anggota aktif atau telah sepenuhnya beralih menjadi warga sipil.
    Di sinilah letak problem mendasarnya. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berhenti pada soal jabatan internal, melainkan menekankan keharusan pengunduran diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
    Artinya, status sebagai anggota Polri aktif tidak lagi dapat dipertahankan ketika seseorang menduduki jabatan sipil.
    Ketika Perpol membuka ruang bagi penugasan luas di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk yang bersifat administratif dan regulatif, muncul kesan bahwa Polri sedang membangun tafsir administratif sendiri terhadap batasan konstitusional yang telah ditetapkan.
    Kebijakan semacam ini berisiko menimbulkan ketegangan normatif. Di satu sisi, Polri tentu memiliki kepentingan institusional untuk mendukung berbagai fungsi negara melalui penugasan personelnya.
    Namun di sisi lain, kepentingan tersebut tidak boleh mengorbankan prinsip kepastian hukum dan ketaatan pada putusan pengadilan.
    Ketika peraturan internal terkesan “mengakali” makna putusan Mahkamah Konstitusi, yang dipertaruhkan bukan hanya soal legalitas administratif, tetapi juga wibawa konstitusi itu sendiri.
    Selain itu, penempatan anggota Polri aktif di berbagai lembaga sipil juga berpotensi menimbulkan persoalan meritokrasi dan keadilan karier bagi aparatur sipil negara.
    Mahkamah Konstitusi secara eksplisit telah menyinggung potensi kerancuan dan ketidakadilan dalam pengisian jabatan sipil apabila ruang tersebut dibuka bagi aparat keamanan yang masih aktif.
    Oleh karena itu, Perpol 10/2025 seharusnya diuji secara kritis, bukan hanya dari sudut kepentingan fungsional Polri, tetapi juga dari dampaknya terhadap sistem kepegawaian sipil secara keseluruhan.
    Kritik terhadap Perpol 10/2025 tidak boleh dipahami sebagai serangan terhadap institusi Polri. Sebaliknya, kritik ini justru penting untuk menjaga profesionalisme Polri sebagai institusi penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan dalam kepatuhan terhadap konstitusi.
    Dalam negara hukum, kepatuhan terhadap putusan pengadilan bukan sekadar kewajiban formal, melainkan fondasi legitimasi kekuasaan itu sendiri.
    Polri memiliki posisi strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena itu, setiap kebijakan internalnya akan selalu berada dalam sorotan publik.
    Ketika kebijakan tersebut menimbulkan kesan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, kepercayaan publik berpotensi terkikis. Padahal, kepercayaan publik adalah modal utama bagi efektivitas penegakan hukum.
    Langkah yang lebih bijak adalah melakukan penyesuaian kebijakan secara terbuka dan konstitusional.
    Jika Polri menilai bahwa penugasan tertentu memang diperlukan untuk kepentingan negara, maka jalur yang ditempuh seharusnya adalah perubahan undang-undang melalui mekanisme legislasi, bukan melalui peraturan internal yang berpotensi menabrak putusan pengadilan.
    Dengan demikian, kepentingan fungsional negara dapat tetap dijaga tanpa mengorbankan prinsip supremasi konstitusi.
    Pada akhirnya, polemik Perpol 10/2025 menjadi ujian penting bagi eksistensi Indonesia sebagai negara hukum.
    Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh direduksi menjadi sekadar rujukan normatif yang bisa ditafsirkan ulang sesuai kebutuhan institusional.
    Ketaatan penuh terhadap putusan tersebut justru akan memperkuat posisi Polri sebagai institusi profesional, modern, dan sepenuhnya tunduk pada hukum.
    Dalam konteks inilah kritik yang konstruktif perlu terus disuarakan, bukan untuk melemahkan Polri, melainkan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tetap berada dalam koridor konstitusi dan demokrasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Waspada! Minuman Favorit Ini Berisiko Picu Stroke, Sebaiknya Dibatasi

    Waspada! Minuman Favorit Ini Berisiko Picu Stroke, Sebaiknya Dibatasi

    Jakarta

    Mungkin banyak yang tidak menyangka, minuman yang kerap menemani rutinitas sehari-hari ternyata dapat memicu masalah kesehatan serius.

    Sebuah studi menunjukkan konsumsi jenis minuman tertentu dapat meningkatkan risiko stroke. Sebelum terlambat, ada baiknya mulai membatasi asupan minuman-minuman tersebut.

    Minuman Favorit yang Berisiko Picu Stroke

    Menurut penelitian yang dipimpin oleh Galway University, Irlandia, terlalu banyak mengonsumsi soda, jus buah, dan kopi bisa secara signifikan meningkatkan risiko stroke.

    “Temuan terpenting kami adalah adanya kaitan antara peningkatan risiko stroke dengan konsumsi kopi yang tinggi atau sering mengonsumsi minuman bersoda atau jus buah,” kata Profesor Andrew Smyth, ahli epidemiologi di Galway, dikutip dari Newsweek.

    Stroke terjadi saat suplay darah ke otak terganggu, yang menyebabkan kerusakan pada sel-sel otak. Dalam 87 persen kasus, hal ini disebabkan oleh gumpalan darah, tapi juga bisa disebabkan oleh pendarahan di otak yang dikenal sebagai perdarahan intraserebral. Berikut hasil temuannya:

    1. Soda

    Dikutip dari laman Medical News Today, para peneliti menemukan, minuman berkarbonasi, baik yang menggunakan gula maupun pemanis buatan, seperti soda, dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan terjadinya stroke pertama atau perdarahan intrakranial (ICH) hingga 22 persen.

    2. Minuman Buah dengan Tambahan Gula dan Pengawet

    Peneliti juga menemukan, minuman buah yang dikaitkan dengan peningkatan risiko pendarahan intraserebral sebesar 37 persen. Dua minuman ini perhari melipatgandakan risiko tersebut hingga tiga kali lipat. Namun hal ini tidak berlaku untuk semua minuman buah.

    “Tidak semua minuman buah diciptakan sama,” kata Smyth dalam sebuah pernyataan.

    “Jus buah segar kemungkinan besar memberikan manfaat, tetapi minuman buah yang terbuat dari konsentrat dengan banyak tambahan gula dan pengawet, mungkin berbahaya.”

    Wanita tampak lebih terpengaruh oleh jus buah dan minuman buah dalam risiko ini. Mereka yang lebih banyak mengonsumsinya dikaitkan dengan risiko perdarahan intraserebral yang lebih besar dibandingkan pria.

    3. Kopi

    Para peneliti juga menemukan kopi dikaitkan dengan risiko stroke. Minum lebih dari empat cangkir kopi per hari dikaitkan dengan peningkatan stroke lebih dari sepertiga. Tapi, minum kopi dalam jumlah sedikit tidak menunjukkan peningkatan risiko tersebut.

    “Kami mengimbau masyarakat untuk membatasi kopi hingga kurang dari empat cangkir per hari, mengurangi atau meminimalisir konsumsi minuman bersoda dan jus atau minuman buah, dan ketika memilih minuman dingin, sebaiknya pilih air putih sebanyak mungkin,” kata Smyth.

    “Bagi mereka yang banyak mengonsumsi minuman tersebut, kami menyarankan untuk mengurangi frekuensi konsumsinya secara keseluruhan,” tambahnya.

    Tidak semua minuman yang diteliti para ilmuwan dikaitkan dengan peningkatan stroke. Beberapa jenis teh dikaitkan dengan penurunan stroke sekitar 20 persen.

    Mengonsumsi 3-4 cangkir teh hitam per hari dikaitkan dengan penurunkan risiko sebesar 29 persen. Jumlah teh hijau yang sama juga dikaitkan dengan penurunan risiko stroke sebesar 27 persen.

    Namun, mereka yang menambahkan susu ke dalam teh tampaknya justru menghambat manfaat ini. Teh dengan susu tidak terkait dengan penurunan risiko stroke.

    Ada pula perbedaan, tergatung pada tempat peserta penelitian. Hubungan antara minuman bersoda dan risiko stroke paling kuat di Eropa Timur dan Tengah, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Selatan. Sementara, teh dikaitkan dengan peluang stroke lebih rendah di Tiongkok dan Amerika Selatan, tapi peluang stroke yang lebih tinggi di Asia Selatan.

    Ditinjau oleh: Mhd. Aldrian, S.Gz, lulusan ilmu gizi Universitas Andalas, saat ini menjadi penulis lepas di detikcom.

    (elk/suc)

  • 6
                    
                        Parpol Musiman dan Hilangnya Kedekatan dengan Masyarakat
                        Nasional

    6 Parpol Musiman dan Hilangnya Kedekatan dengan Masyarakat Nasional

    Parpol Musiman dan Hilangnya Kedekatan dengan Masyarakat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Partai politik menjadi salah satu jembatan komunikasi antara rakyat dengan penguasa.
    Pada masanya,
    partai politik
    pernah menjadi jalur komunikasi yang baik, menjadi tempat memberikan aspirasi untuk didengar oleh penguasa.
    Namun, di
    era digital
    , jalur komunikasi tersebut sudah
    by-pass
    , langsung.
    Dengan menyebut akun Prabowo Subianto di media sosial, masyarakat sudah bisa menyalurkan satu aspirasi tertentu.
    Era internet ini mengubah cara partai politik berkomunikasi dan merayu suara rakyat.
    Partai berbasis massa semakin menipis, sedangkan basis elektoral semakin banyak, atau dikenal dengan partai musiman.
    Hal ini disampaikan Pengamat Politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan, dalam acara diskusi yang diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, di Novotel Cikini, Jakarta Pusat, Rabu.
    Dia mengatakan, teknologi yang hadir di abad 21, khususnya terkait dengan dunia digital, memberikan akses langsung masyarakat kepada penguasa.
    Peristiwa ini membuat fungsi partai politik yang sebelumnya sebagai penyalur aspirasi hilang.
    Partai berbasis massa kemudian mulai bergeser, beradaptasi dengan pola elektoral, muncul saat dibutuhkan, dan hadir musiman saat pemilu.
    “Maka ada kecenderungan partai untuk menjadi partai elektoral. Jadi, dia hadir ya karena memang dia perlu hadir di masyarakat waktu pemilu saja,” ucap dia.
    Lektor Kepala dan Ketua Program Doktoral Ilmu Politik di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) ini mengatakan, perubahan pola dari partai berbasis massa menjadi partai elektoral membuat suara partai politik tidak lagi relevan sebagai representasi masyarakat secara luas.
    Fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara seperti Amerika, Australia, dan Inggris.
    Djayadi menyebut, di negara-negara digdaya pusat peradaban demokrasi tersebut, sudah mulai mengalami defisit keanggotaan partai politik.
    Alasannya sama, yakni partai mulai mengubah pola komunikasi mereka dari yang berbasis massa, dekat dengan rakyat dan memperjuangkan aspirasi rakyat, menjadi partai musiman yang hanya turun ketika pemilu akan berlangsung.
    “Di era sekarang memang sudah sulit mengharapkan (ada parpol berbasis massa). Kita cek lah di seluruh dunia, di Australia, di Amerika, di Inggris, jumlah orang yang menjadi anggota partai itu makin berkurang jumlahnya,” imbuh dia.
    Peneliti senior Pusako Unand, Muhammad Ichsan Kabullah, memiliki pandangan yang mirip terkait dengan pergeseran tren parpol berbasis massa menjadi parpol berbasis elektoral.
    Namun, Ichsan menilai, peristiwa ini bukan sebagai pola komunikasi baru di perpolitikan Indonesia, melainkan fenomena yang disebabkan oleh pragmatisme partai politik.
    Menurut dia, pola komunikasi musiman ini terjadi karena tak ada lagi parpol yang memperjuangkan ideologi mereka secara jelas dan tegas.
    “Kita tidak bisa membedakan partai Islam A dengan partai Islam B. Semuanya sama saja jualannya sama. Atau partai nasionalis misalnya hari ini, karena kita miskin ideologi. Nah, itu problemnya. Sehingga ini yang membuat kita berjarak,” ucap dia.
    Dia memberikan contoh, saat peristiwa bencana banjir di Sumatera, tidak ada partai politik yang menyinggung penyebab bencana, sekalipun sudah diketahui penyebab utamanya adalah deforestasi kawasan hutan Sumatera.
    Sekalipun itu partai politik lokal yang berada di Aceh.
    Menurut Ichsan, keengganan partai politik untuk memberikan gagasan idealis tentang peristiwa saat ini memberikan bukti bahwa parpol sendirilah yang menjaga jarak dengan masyarakat.
    Ichsan kemudian mengutip salah satu tulisan seorang antropolog politik India, Akhil Gupta, dalam
    Blurred Boundaries
    .
    Dalam tulisan itu disebutkan, masyarakat India sering memberikan posisi partai politik sebagai perpanjangan komunikasi dengan pemerintah.
    Kantor parpol dan aktor parpol dianggap menjadi salah satu titik poin komunikasi, sehingga partai politik bisa menjalankan fungsi utama mereka, termasuk menjadi bagian untuk menyalurkan program pemerintah.
    Di Indonesia bukan tak pernah terjadi.
    Program pangan murah juga pernah dilakukan beberapa partai politik.
    “Tapi itu kan sifatnya sangat event, seremonial, dan sebagainya (sebagai pemikat elektoral semata),” tutur dia.
    Djayadi Hanan kemudian menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilihan umum nasional dengan pemilihan umum tingkat daerah sebagai jalan tengah untuk memaksa kembali partai politik hadir lebih intens di tengah masyarakat.
    Putusan MK tersebut mengamanatkan agar ada jeda 2-2,5 tahun untuk penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional maupun lokal.
    Mengapa hal ini dianggap sebagai jalan tengah?
    Djayadi menyebut, partai politik dengan basis elektoral akan mencari simpati masyarakat pada saat pemilu.
    Dengan pola pemilu yang semakin banyak, partai politik akan semakin sering mendengar dan mendekatkan diri dengan masyarakat.
    Dia memberikan contoh Amerika Serikat yang secara formal memiliki pemilu 2 tahun sekali, khususnya untuk anggota DPR mereka.
    Pilpres berlangsung empat tahun sekali, sedangkan senat 1/3 kursi diperebutkan setiap 2 tahun sekali.
    “Jadi, anggota DPR di Amerika itu sibuk sekali menghubungi masyarakat, baru selesai pemilu harus menghubungi lagi karena dia dalam dua tahun harus (mencari dukungan untuk) terpilih lagi,” kata dia.
    Rutinitas pemilihan di Amerika ini memberikan ruang interaksi antara partai politik dan masyarakat yang akan disuarakan aspirasinya kepada eksekutif.
    Sebab itu, Djayadi berharap, lebih banyak pemilu lebih baik untuk mengembalikan kehadiran parpol di tengah masyarakat.
    Dia bahkan sempat mengusulkan agar pemilihan dipisah pada tiga tahap, yakni pemilihan nasional, tingkat provinsi, dan terakhir kabupaten/kota.
    Namun, menurut dia, putusan MK menjadi jalan tengah terbaik saat ini untuk diakomodir pembentuk undang-undang sebagai upaya perbaikan menghadirkan kembali partai politik di tengah masyarakat.
    “Maka moderatnya saya kira ya keputusan MK itu moderatnya. Ya 2,5 tahun ada pemilu,” ujar dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.