Benarkah Bisa Ular Hijau Ekor Merah Lebih Mematikan dari Kobra?
Tim Redaksi
SURABAYA, KOMPAS.com
– Banyak anggapan yang menyebut kobra merupakan ular dengan bisa paling mematikan di dunia. Namun, ada
ular hijau ekor merah
yang memiliki bisa setara -bahkan lebih mematikan dari kobra.
Pemerhati satwa liar, Boedi Setiawan menuturkan, ular hijau ekor merah, atau yang juga disebut ular bangkai kapal (
Trimeresurus albolabris
), memiliki kandungan zat
hemotoksin
, seperti yang ada pada
bisa ular
kobra.
“Jika dibandingkan, ular kobra sama-sama termasuk jenis bisa yang tinggi karena mengandung hemotoksin,” tutur Cak Boeseth -sapaan akrabnya, saat dihubungi
Kompas.com
, Rabu (16/4/2025) kemarin.
Zat hemotoksin pada ular menyerang sel darah merah dan menghancurkannya, kemudian mengganggu pembekuan darah.
Ia menjelaskan bahwa gigitan dari ular hijau ekor merah akan terasa sakit, panas terbakar, dan bengkak kemerahan di sekitar area gigitan.
Selain itu, gigitan ular ini dapat menyebabkan pembengkakan, nekrosis atau kerusakan jaringan, sampai kematian.
Hanya butuh waktu sekitar 15 menit untuk membuat korban kehilangan nyawa.
“Kalau tidak segera ditangani, akan sistemik masuk ke pembuluh darah dan bisa akan menyebar ke seluruh tubuh.”
”
Nah,
kalau sampai tahap ini tidak tertangani, pasien bisa meninggal,” kata dia.
Untuk saat ini, belum ada penawar racun yang khusus untuk
bisa ular hijau ekor merah
.
Namun, korban yang terkena gigitan ular ini biasanya masih bisa disembuhkan dengan penyuntikan serum Bio SAVE atau SABU (Serum Anti
Bisa Ular
) yang diproduksi oleh PT Bio Farma (Persero).
“Biasanya pasien dirawat sekitar 5-7 hari dengan penyuntikan serum Bio SAVE atau SABU masih bisa sembuh,” ujar dia.
Meskipun begitu, Cak Boeseth mengingatkan agar tidak sembarangan membunuh ular karena keberadaannya berperan sebagai predator (pemangsa) maupun sekaligus prey (mangsa).
“Ular itu sebagai predator alami bagi tikus, burung, dan mamalia kecil yang berperan sebagai pengendali populasi hama,” tutur dia.
Dosen Divisi Klinik Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga (Unair) itu menambahkan, ular juga menjadi sumber makanan bagi beberapa mamalia, burung predator, dan reptil lainnya.
Oleh karenanya, keberadaan ular di alam tentu menjadi penyeimbang ekosistem sehingga dilarang untuk dibunuh.
“Jadi, jangan dibunuh. Kalau banyak ular yang dibunuh, akan menyebabkan pertumbuhan tikus merajalela, malah menjadi sumber penyakit dan hama di mana-mana,” sambung dia.
Ia berharap masyarakat bisa lebih teredukasi dan terbuka dalam memandang hewan liar. Sebab, hewan yang buas dan membahayakan juga berhak untuk hidup.
“Kembalikan lagi ke manfaat penciptaan makhluk itu di dunia, manusia sebagai
rahmatan lil alamin
(rahmat bagi seluruh alam) bagi seluruh alam semesta,” tutup dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Institusi: Universitas Airlangga
-
/data/photo/2025/04/17/68005aabcc2ea.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Benarkah Bisa Ular Hijau Ekor Merah Lebih Mematikan dari Kobra? Surabaya 17 April 2025
-

Rencana Indonesia Evakuasi Warga Gaza, Terkait Proposal Kontroversial Trump? – Halaman all
Indonesia berencana mengevakuasi warga Gaza untuk tujuan kemanusiaan, namun terkait dengan usulan kontroversial Trump.
Evakuasi bersifat sementara dan dengan persetujuan semua pihak.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Rencana Indonesia untuk mengevakuasi warga Gaza menuai perhatian dan pertanyaan mengenai keterkaitannya dengan usulan kontroversial Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mendorong pemindahan warga Palestina ke negara lain.
Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, sebelumnya menyatakan kesiapan Indonesia untuk membantu warga Gaza yang menjadi korban konflik, terutama bagi mereka yang membutuhkan perawatan medis dan perlindungan sementara.
Namun, langkah ini menimbulkan kekhawatiran terkait apakah itu akan sejalan dengan rencana kontroversial Trump.
Kritikan Terhadap Rencana Evakuasi
Pakar hubungan internasional, Radityo Dharmaputra dari Universitas Airlangga, menyebutkan bahwa pernyataan Prabowo dapat memberikan sinyal yang salah tentang posisi Indonesia terkait Palestina.
Menurutnya, rencana evakuasi ini bisa memberi kesan bahwa Indonesia mendukung ide Trump yang mengusulkan pemindahan warga Palestina dari Gaza ke negara lain.
Radityo mengatakan, “Ini bisa dianggap sebagai legitimasi terhadap usulan Trump. Jika ini diartikan sebagai langkah pemindahan permanen, bisa menimbulkan implikasi politik yang jauh lebih besar.”
Pernyataan Prabowo dan Komitmen Indonesia
Presiden Prabowo menegaskan bahwa evakuasi yang direncanakan Indonesia bersifat sementara dan khusus bagi warga Gaza yang membutuhkan bantuan, seperti korban luka atau anak-anak yatim.
“Kami siap menampung mereka yang membutuhkan perawatan medis, tetapi ini hanya bersifat sementara. Mereka akan kembali ke Gaza saat kondisi di sana membaik,” ujar Prabowo.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Sugiono, juga menjelaskan bahwa evakuasi ini masih dalam tahap konsultasi dengan pemerintah Palestina dan negara-negara di kawasan Timur Tengah.
“Rencana ini hanya akan dilaksanakan setelah ada persetujuan dari semua pihak terkait, termasuk rakyat Palestina,” ungkap Sugiono dalam wawancara yang diterima Tribunnews pada Jumat (11/4/2025).
Konsultasi dan Persetujuan Semua Pihak
Sugiono menekankan bahwa proses evakuasi ini harus mendapat persetujuan dari rakyat Palestina dan negara-negara kawasan.
“Jika ada yang tidak setuju, rencana ini bisa dibatalkan,” jelas Sugiono. Menurutnya, evakuasi hanya akan dilakukan secara sukarela dan tidak akan memaksa siapa pun.
Usulan Trump untuk Relokasi Warga Gaza
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump pada bulan Februari lalu mengusulkan untuk memindahkan warga Gaza yang mengungsi akibat invasi Israel ke negara lain, seperti Mesir atau Yordania.
Trump berpendapat bahwa Gaza adalah daerah yang tidak layak huni, dan relokasi akan memberi kesempatan bagi warga Palestina untuk hidup lebih baik.
“Saya merasa sangat berbeda tentang Gaza daripada banyak orang. Saya pikir mereka harus mendapatkan sebidang tanah yang bagus, segar, dan indah,” kata Trump saat bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Ruang Oval pada 4 Februari lalu.
Trump juga menyatakan bahwa ia yakin negara-negara seperti Mesir atau Yordania akan menerima warga Gaza untuk dijadikan tempat tinggal sementara.
“Jika kita dapat menemukan tanah yang tepat dan membangun tempat-tempat yang sangat bagus, itu akan jauh lebih baik daripada kembali ke Gaza,” tambah Trump.
Pro dan Kontra Rencana Evakuasi
Rencana evakuasi ini menuai beragam reaksi di Indonesia. Muhammadiyah, organisasi terbesar kedua di Indonesia, menyatakan dukungannya asalkan evakuasi ini bersifat sementara.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syafiq Mughni, mengatakan, “Kalau itu sifatnya sementara untuk kepentingan treatment dan perawatan kesehatan, tentunya bagus.”
Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan bahwa Indonesia harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam agenda negara-negara besar, terutama dalam hal pemindahan warga Gaza.
“Indonesia jangan sampai tertipu oleh manuver Israel yang ingin mengosongkan Gaza,” tegas Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas.
Dukungan dan Saran dari DPR
Di sisi lain, anggota DPR juga memberikan respons positif terhadap rencana ini, dengan syarat Indonesia dapat menyediakan fasilitas yang memadai bagi warga Gaza.
Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Akbarshah Laksono, mengingatkan pemerintah untuk mempersiapkan fasilitas pendidikan dan pelatihan kerja bagi warga Gaza yang dievakuasi.
“Hal-hal tersebut adalah bagian kecil dari yang harus disiapkan oleh pemerintah sebagai tuan rumah,” ujar Dave.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, menyambut baik rencana evakuasi ini sebagai bentuk empati dan kepedulian Indonesia terhadap rakyat Palestina.
“Rencana yang disampaikan Pak Prabowo adalah bentuk kepedulian dan empati pemerintah mewakili rakyat Indonesia,” kata Doli.
Komitmen Indonesia Terhadap Palestina
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam setiap langkah yang diambil.
Sebagai negara yang konsisten mendukung kemerdekaan Palestina, Indonesia memastikan bahwa setiap keputusan terkait rencana evakuasi warga Gaza akan melibatkan konsultasi dan persetujuan semua pihak terkait, termasuk rakyat Palestina dan negara-negara kawasan.
“Semua langkah ini harus dilakukan dengan kesepakatan bersama dan berdasarkan prinsip kemanusiaan,” pungkas Sugiono.
-

Gaduh Pemerkosaan di RSHS, Pakar Sarankan Pemantauan Lanjutan Kejiwaan PPDS Unpad
Jakarta –
Kementerian Kesehatan RI dinilai perlu melakukan pemantauan lanjutan kesehatan jiwa peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (FK Unpad). Hal ini diutarakan pengamat manajemen kesehatan lulusan Universitas Airlangga dr Puspita Wijayanti.
Pasalnya, satu kali skrining kesehatan jiwa dinilai tidak cukup untuk benar-benar memastikan kondisi psikis PPDS atau dokter residen secara menyeluruh.
“Pemeriksaan psikologis saat seleksi hanya memberikan foto diam (static snapshot) dari kondisi mental kandidat pada titik waktu tertentu. Ia berguna sebagai filter awal, tapi tidak memiliki fungsi prediktif terhadap kondisi psikis di kemudian hari,” sorot dr Puspita dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom Kamis (10/5/2025).
Kondisi mental peserta PPDS dalam sistem pendidikan kedokteran yang dikenal penuh dengan tekanan, tingginya jam kerja, beban emosional dari pendidikan maupun pasien, relasi hierarkis yang terkadang keras, serta kultur kompetisi, disebut bisa berubah secara drastis.
“Kesehatan jiwa dalam pendidikan klinik bukan perkara lolos tes awal, tapi bagaimana sistem secara aktif memantau, mendeteksi, dan merespons dinamika psikologis yang berkembang selama proses pembelajaran,” terangnya.
Sayangnya, menurut dia, banyak rumah sakit pendidikan dan institusi akademik yang belum menjalani tes pemantauan psikis secara lebih lanjut maupun sistematis.
Nihil evaluasi dan intervensi yang dilakukan di lapangan. Bahkan, dalam beberapa kasus, benar-benar tidak ada tempat aman untuk melaporkan kerentanan psikis tanpa stigma dan kesan ‘judging’.
“Ini bukan hanya celah pendidikan, tapi kebutaan sistemik terhadap kesehatan jiwa dalam dunia medis. Ironisnya, kita yang mengadvokasi kesehatan masyarakat justru gagal menjaga kesehatan mental internal kita sendiri,” sesal dia.
“Di titik ini, kita perlu menggeser paradigma: dari pendekatan seleksi sebagai ‘pembuktian kelayakan masuk’, menjadi sistem pemantauan sebagai perlindungan keberlanjutan.”
Sedikitnya ada beberapa catatan yang dinilai perlu dilakukan pemerintah. Pertama, evaluasi psikologis perlu dilakukan setiap enam bulan sekali atau setiap ada transisi rotasi SDM secara besar-besaran.
RS pendidikan juga disebut perlu membentuk unit kesehatan mental yang independen, serta adanya mekanisme self reporting dan peer alert system, yang dalam hal ini, peserta bisa mengakui beban mental atau melaporkan rekan yang mengalami tekanan berat tanpa risiko diskriminasi.
“Program residen harus dibekali dengan pelatihan pengenalan coping mechanism, emotional regulation, dan ethics under stress sebagai bagian dari kompetensi no klinik. Karena ketika tekanan tidak dikawal, burnout bisa menjelma menjadi disosiasi. Ketika kesehatan jiwa diabaikan, luka internal bisa berubah menjadi kekerasan eksternal,” pungkasnya.
(naf/up)
-

Hardjuno: Pengesahan RUU Perampasan Aset Tingkatkan Kepercayaan Publik akan Pemberantasan Korupsi – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho kembali menegaskan pengesahan Rancangan Undang -Undang (RUU) Perampasan Aset menjadi Undang-undang (UU) dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap upaya pemerintah dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Dengan memberikan wewenang lebih besar kepada lembaga penegak hukum, RUU ini diharapkan dapat mempercepat proses perampasan aset dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaannya.
“Urgensi pengesahan RUU ini sangat penting mengingat kelemahan regulasi saat ini yang menghambat pemulihan aset negara dan memberikan peluang bagi koruptor untuk menyembunyikan kekayaannya,” ujarnya di Jakarta, Kamis (10/4/2025).
Sebelumnya, saat bertemu dengan sejumlah Pemimpin Redaksi di Hambalang pada Minggu (6/4/2025) lalu, Presiden Prabowo menjawab berbagai pertanyaan salah satunya mengenai RUU Perampasan Aset.
Presiden telah menunjukkan kemarahan terhadap praktik korupsi yang merajalela.
Namun pernyataan Presiden Prabowo belum menyentuh inti permasalahan secara konkret, terutama terkait nasib RUU Perampasan Aset yang hingga kini belum disahkan.
“Tidak cukup dengan amarah, tapi tunjukan keseriusan dengan mengesahkan RUU itu,” tegasnya.
Hardjuno yang juga Kandidat Doktor Bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga (Unair) ini menjelaskan dukungan luas dari berbagai kalangan menunjukkan bahwa RUU ini merupakan kebutuhan mendesak untuk memperkuat sistem hukum.
“Saya kira, RUU ini menjadi instrument hukum yang kuat dan mendapatkan legitimasi serta dukungan dari masyarakat, memperkuat upaya pemberantasan korupsi dan mewujudkan sistem hukum yang lebih adil di Indonesia,” ujarnya.
“Presiden menyebut korupsi sebagai perampokan, dan itu tepat.
Tapi pernyataan seperti ‘saya juga geram’ ataupun menaikkan gaji hakim, tidak cukup. Bangsa ini sudah terlalu lama dirampok, dan yang dibutuhkan sekarang adalah langkah hukum yang konkret. Salah satunya: sahkan RUU Perampasan Aset,” tegasnya.
Hardjuno memahami kekesalan Presiden Prabowo terhadap sistem hukum yang kerap dimanipulasi, bahkan menyebut korupsi sebagai kejahatan yang disamarkan secara legal.
Namun sayangnya, Presiden Prabowo tidak tegas.
Bahkan Presiden justru memberi catatan soal pentingnya bersikap adil terhadap keluarga pelaku, seperti anak dan istri, serta menyebut bahwa aset yang dimiliki sebelum menjabat sebaiknya tidak ikut disita.
Pernyataan tersebut justru mencerminkan ambivalensi.
“Di satu sisi Presiden geram, di sisi lain beliau justru mulai masuk ke ruang kompromi moral. Ketika bicara soal anak-istri pelaku korupsi, kita memang harus adil. Tapi bukan berarti kita kehilangan ketegasan. Jangan sampai rasa kasihan menutup rasa keadilan publik,” ujarnya.
Ia juga menyayangkan sikap Presiden Prabowo yang tidak tegas menyebut RUU Perampasan Aset akan didorong untuk segera disahkan DPR.
Padahal, di tengah kemarahan publik terhadap korupsi, inilah saat paling tepat untuk menunjukkan keberpihakan pada rakyat.
“Rakyat tidak butuh presiden yang hanya ikut marah, rakyat butuh presiden yang memimpin penyelesaian. Kalau Presiden serius, segera buat pernyataan politik resmi mendesak DPR untuk mengesahkan RUU itu,” tegasnya.
Lebih lanjut Hardjuno juga mengingatkan RUU Perampasan Aset sebagai instrumen hukum sangat dibutuhkan oleh Indonesia untuk menutup celah kejahatan ekonomi, apalagi dalam kasus yang sulit dituntaskan secara pidana karena pelaku menyembunyikan atau mengalihkan aset dengan cerdik.
“RUU ini menggunakan pendekatan non-conviction based asset forfeiture. Artinya, aset bisa dirampas meski belum ada putusan pidana, selama bisa dibuktikan bahwa itu hasil kejahatan. Ini penting agar negara tidak selalu kalah cepat dari koruptor yang sudah menyiapkan pelarian sejak awal,” jelasnya.
Namun demikian, Hardjuno tetap menekankan bahwa RUU ini bukan berarti bebas risiko.
Karena itu, ia juga selalu menyuarakan pentingnya kehati-hatian dalam pelaksanaannya.“RUU ini harus ditegakkan dengan prinsip kehati-hatian, pengawasan ketat, dan mekanisme hukum yang adil. Kita tidak boleh gegabah. Tapi jangan pula takut mengambil langkah hanya karena ada risiko,” ujar Hardjuno.
Hardjuno menegaskan keberanian negara dalam menindak korupsi akan menjadi cermin keberanian bangsa ini menatap masa depan.
“RUU Perampasan Aset bukan hanya soal hukum, ini soal keberanian moral. Kita tidak bisa lagi membiarkan koruptor hidup mewah dan anak cucunya menikmati hasil kejahatan. Saatnya negara menunjukkan bahwa uang hasil korupsi tidak akan pernah aman,” pungkasnya.



/data/photo/2025/04/07/67f3a88115b9a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

