Takut Bayar Royalti, Pemilik Warkop di Luwu Matikan Musik, Pengunjung Anjlok 30 Persen
Tim Redaksi
LUWU, KOMPAS.com –
Soal kewajiban membayar royalti untuk lagu yang diputar di kafe dan warung kopi (warkop) kembali menjadi polemik.
Di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, kebijakan ini membuat pemilik usaha kecil khawatir, terutama karena bisa menambah beban biaya operasional dan berpotensi menurunkan jumlah pelanggan.
Aturan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Regulasi tersebut mewajibkan setiap tempat usaha komersial yang memutar musik untuk membayar royalti kepada pencipta lagu dan pemilik hak terkait.
Fadli (32), pemilik Warkop 48 di Kecamatan Belopa, mengaku bingung dengan peraturan ini. Ia khawatir kebijakan royalti akan berdampak pada usahanya yang pendapatannya tidak menentu.
“Takutnya kami berdampak pada pelanggan karena tidak ada hiburan-hiburan untuk dengar musik,” kata Fadli saat dikonfirmasi, Jumat (8/8/2025) sore.
Menurut Fadli, musik adalah daya tarik utama bagi pelanggannya. Sejak isu ini mencuat, ia memutuskan untuk tidak lagi memutar musik di warkopnya. Akibatnya, jumlah pengunjung menurun drastis.
“Penurunan pengunjung mencapai 30 persen. Biasanya banyak pengunjung yang request lagu,” keluhnya.
Fadli berharap ada sosialisasi yang jelas dan solusi yang tidak memberatkan pelaku UMKM.
“Kami pelaku UMKM dirugikan dengan hal ini karena akan bertambah ongkos,” tambahnya.
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Palopo, Alghazali, menjelaskan bahwa pemutaran lagu di tempat usaha untuk kepentingan komersial memang diatur oleh undang-undang. Menurutnya, pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak eksklusif untuk mendapatkan royalti.
Alghazali menambahkan, banyak pemilik usaha salah paham, merasa sudah membayar royalti dengan membeli CD atau berlangganan layanan musik digital seperti Spotify.
“Padahal, langganan tersebut bersifat personal dan tidak memberikan lisensi untuk penggunaan komersial di ruang publik,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya kerja sama antara berbagai pihak, mulai dari lembaga manajemen kolektif (LMK), pencipta musik, hingga perhimpunan pemilik kafe, untuk memberikan edukasi yang komprehensif.
“Sosialisasi terkait perbedaan ini sering kali tidak sampai kepada pelaku usaha,” pungkas Alghazali.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Institusi: UIN
-
/data/photo/2025/08/08/6895ff6b424e3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Takut Bayar Royalti, Pemilik Warkop di Luwu Matikan Musik, Pengunjung Anjlok 30 Persen Regional 8 Agustus 2025
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5310110/original/031846100_1754658278-images_-_2025-08-08T184426.144.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
UNEJ Tarik Ribuan Peserta KKN dari Lumajang Usai Sepeda Motor Mahasiswa Dicuri
Liputan6.com, Lumajang – Universitas Jember (UNEJ) melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M), memutuskan menarik seluruh mahasiswanya yang turut serta dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kolaboratif 2025 di kabupaten Lumajang. Kebijakan ini diambil setelah terjadinya pencurian kendaraan bermotor milik mahasiswa peserta KKN Kolaboratif 2025.
Penarikan mahasiswa KKN itu terpaksa dilakukan pihak kampus untuk memberikan rasa aman dan bentuk perlindungan kepada mahasiswa.
Aksi pencurian kendaraan bermotor yang menimpa mahasiswa peserta KKN Kolaboratif 2025 di Kabupaten Lumajang bahkan bukan cuma satu kali.
Kejadian pertama menimpa mahasiswa yang terjun di Desa Alun-Alun Kecamatan Ranuyoso, ada dua sepeda motor yang dicuri. Satu milik mahasiswa FISIP UNEJ dan satu lagi milik mahasiswi UIN KHAS Jember.
Kejadian kedua menimpa mahasiswa UNEJ yang melaksanakan KKN Kolaboratif di Desa Tempeh Tengah, Kecamatan Tempeh.
Terkait hal itu, Sekertaris LP2M UNEJ bidang Pengabdian kepada Masyarakat, Ali Badrudin menyebutkan, semua PTN dan PTS yang mengikuti program KKN Kolaboratif di Lumajang telah bertemu secara daring dengan Pemkab Lumajang yang diwakili oleh Bappeda dan Bakesbangpol Lumajang.
Dalam rapat ini disepakati, semua PTN dan PTS untuk menarik semua mahasiswanya. Sebagai informasi para mahasiswa memulai KKN Kolaboratif tanggal 15 Juli dan seharusnya baru berakhir pada 20 Agustus 2025 nanti.
“Kami berencana menarik mahasiswa UNEJ mulai besok, penarikan ini hanya untuk lokasi Lumajang, sementara di kota lain tetap berjalan sesuai jadwal,” ujar Ali Badrudin Jumat (8/8/2025)
Untuk diketahui, pada program KKN Kolaboratif di Lumajang, UNEJ menerjunkan 1.070 mahasiswa yang tersebar di 102 desa di Lumajang.
Selain UNEJ, perguruan tinggi yang turut serta adalah Universitas Islam Jember, UIN KHAS Jember, STIA Pembangunan Jember, UNIPAR Jember, Poltekes Jember, Universitas Lumajang, dan STIKP Lumajang.
-

Tantangan dan Solusi Membangun Ekosistem Filantropi Indonesia
Jakarta: Filantropi Indonesia Festival (FIFest) 2025 digelar sebagai wadah penguatan budaya filantropi. Dengan mengusung pendekatan strategis dan integratif, FIFest mendorong kontribusi nyata sektor filantropi dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) secara berkelanjutan dan berdampak luas.
Dalam kegiatan ini, Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia, Rizal Algamar mengajak seluruh pihak untuk bisa bersama-sama melahirkan gagasan dan inisiatif baru yang dapat dierjemahkan menjadi aksi nyata bersama.
“Berbagai rekomendasi dari FIFest 2025 ini akan kita rumuskan untuk ditindaklanjuti agar membangun budaya dan ekosistem filantropi yang kuat,” ujar Rizal Algamar di sesi diskusi FIFest bertema ‘Dari Tradisi Menuju Transformasi Sosial: Rekonstruksi Budaya Filantropi di Indonesia untuk Membangun Ekosistem Filantropi yang Berkelanjutan’, Kamis, 7 Agustus 2025 di Hotel Borobudur, Jakarta.
Sementara itu, Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Filantropi Indonesia, Franciscus Welirang menambahkan bahwa FIFest sudah menajdi ajang dua tahunan sejak pertama kali digelar tahun 2016 silam. Menurutnya, dalam beberapa dekade terakhir, budaya kedermawanan di Indonesia terus tumbuh dan menjadi gaya hidup.
“Seperti gotong royong, bersedekah, tidak lagi jadi tradisi namun bertransformasi menjadi kekuatan sosial,” ungkap Franciscus Welirang.
Meski begitu, kegiatan filantropi tentunya memiliki tantangan tersendiri sehingga perlu adanya transformasi untuk menentukan arah yang tepat.
“Transformasi ini perlu dikawal bersama, untuk menentukan nilai dan arah filantropi di Indonesia. Tidak mudah berfilantropis, kegagalan dalam melaksanaan aktivitas, kecemburuan bisa terjadi. sehingga beberapa nilai juga sangat penting, seperti nilai kebersamaan, keterbukaan dalam komunikasi sosial. Perlu ekosistem hibrida yang memadukan nilai lokal dan agama dengan inovasi teknologi, praktik modern. Ini akan memperkuat lintas sektoral filantropi,” sambung Franciscus.
Tradisi dan budaya membentuk iklim filantropi Indonesia
Di sesi ini, FIFest menghadirkan Amelia Fauzia selaku Co-Chair Dewan Pakar Perhimpunan Filantropi Indonesia dan Direktur Social Trust Fund (STF) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam pemaparannya, Amelia membeberkan peran budaya yang membangun fondasi iklim filantropi di Indonesia. Menurutnya, budaya kedermawanan masyarakat Indonesia sejatinya lahir dari tradisi lokal seperti gotong royong, ajaran agama yang kuat, serta dipengaruhi kompleksitas permasalahan sosial-ekonomi.
“Budaya filantropi lahir dari interaksi dinamis antara nilai-nilai agama, adat istiadat lokal, pengalaman sejarah, serta faktor sosial dan psikologis yang membentuk rasa empati dan kepedulian sosial,” kata Amelia.
Setidaknya ada empat (4) pilar yang membentuk budaya filantropi di Indonesia. Yang pertama adalah ajaran agama seperti praktik zakat, sedekah, serta persepuluhan. Kedua tradisi yang mencakup praktik selamatan, arisan, dan urunan. Lalu yang ketiga adalah nilai sosial-psikologis lewat dorongan emosional dan rasa empati sesama. Terakhir yaitu nilai ke-Indonesiaan yang mengajarkan nilai gotong royong, Pancasila, serta Bhineka Tunggal Ika.
Filantropi Tradisional dan InstitusionalAmelia menjelaskan domain filantropi terbagi dua antara lain filantropi tradisional dan filantropi institusional. “Filantropi tradisional bersifat spontan dan berbasis empati, tidak terstruktur, serta tanpa strategi jangka panjang. Domain ini fokus pada bantuan langsung dan sesaat seperti memberi uang ke pengemis atau ikut gotong royong musiman,” terang Amelia.
Berbeda dengan tradisional, filantropi institusional justru dikelola secara profesional oleh NGO, yayasan, CSR, dan lain-lain serta terencana dan berbasis data. “Filantropi institusional berorientasi pada keadilan sosial dengan motivasi beragam termasuk altruistik, pragmatis, atau ideologis. Contohnya program pemberdayaan berbasis aset dan monitoring,” sambung Amelia.
Filantropi harus ditopang sistemUntuk menuju ekosistem filantropi yang inklusif dan transformatif, maka harus ada jembatan antara filantropi tradisional dengan institusional.
“Tradisi dan institusi harus saling menopan dan mengisi. Maka tantangan kita ke depan adalah membangun jembatan antar domain ini. Seperti yang dijelaskan, budaya memiliki dua sisi, baik yang mendukung maupun yang menghambat pembangunan yang berkelanjutan. Karena itu budaya saja tidak cukup, budaya harus ditopang oleh sistem,” pungkas Amelia.
Filantropi Indonesia Festival (FIFest) 2025 adalah platform katalitik yang mempertemukan pemangku kepentingan dari berbagai sektor untuk mendorong kemajuan filantropi Indonesia Indonesia melalui dialog, inovasi dan kolaborasi.
FIFest 2025 yang berlangsung dari tanggal 4-8 Agustus 2025 mengusung tema ‘Budaya dan Ekosistem Filantropi untuk Dampak yang Lebih Baik: Membuka Potensi Filantropi untuk SDGs dan Agenda Iklim’, dengan tujuan memperkuat peran strategis filantropi dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan secara inklusif dan berkelanjutan.
Jakarta: Filantropi Indonesia Festival (FIFest) 2025 digelar sebagai wadah penguatan budaya filantropi. Dengan mengusung pendekatan strategis dan integratif, FIFest mendorong kontribusi nyata sektor filantropi dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) secara berkelanjutan dan berdampak luas.
Dalam kegiatan ini, Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia, Rizal Algamar mengajak seluruh pihak untuk bisa bersama-sama melahirkan gagasan dan inisiatif baru yang dapat dierjemahkan menjadi aksi nyata bersama.
“Berbagai rekomendasi dari FIFest 2025 ini akan kita rumuskan untuk ditindaklanjuti agar membangun budaya dan ekosistem filantropi yang kuat,” ujar Rizal Algamar di sesi diskusi FIFest bertema ‘Dari Tradisi Menuju Transformasi Sosial: Rekonstruksi Budaya Filantropi di Indonesia untuk Membangun Ekosistem Filantropi yang Berkelanjutan’, Kamis, 7 Agustus 2025 di Hotel Borobudur, Jakarta.Sementara itu, Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Filantropi Indonesia, Franciscus Welirang menambahkan bahwa FIFest sudah menajdi ajang dua tahunan sejak pertama kali digelar tahun 2016 silam. Menurutnya, dalam beberapa dekade terakhir, budaya kedermawanan di Indonesia terus tumbuh dan menjadi gaya hidup.
“Seperti gotong royong, bersedekah, tidak lagi jadi tradisi namun bertransformasi menjadi kekuatan sosial,” ungkap Franciscus Welirang.
Meski begitu, kegiatan filantropi tentunya memiliki tantangan tersendiri sehingga perlu adanya transformasi untuk menentukan arah yang tepat.
“Transformasi ini perlu dikawal bersama, untuk menentukan nilai dan arah filantropi di Indonesia. Tidak mudah berfilantropis, kegagalan dalam melaksanaan aktivitas, kecemburuan bisa terjadi. sehingga beberapa nilai juga sangat penting, seperti nilai kebersamaan, keterbukaan dalam komunikasi sosial. Perlu ekosistem hibrida yang memadukan nilai lokal dan agama dengan inovasi teknologi, praktik modern. Ini akan memperkuat lintas sektoral filantropi,” sambung Franciscus.
Tradisi dan budaya membentuk iklim filantropi Indonesia
Di sesi ini, FIFest menghadirkan Amelia Fauzia selaku Co-Chair Dewan Pakar Perhimpunan Filantropi Indonesia dan Direktur Social Trust Fund (STF) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam pemaparannya, Amelia membeberkan peran budaya yang membangun fondasi iklim filantropi di Indonesia. Menurutnya, budaya kedermawanan masyarakat Indonesia sejatinya lahir dari tradisi lokal seperti gotong royong, ajaran agama yang kuat, serta dipengaruhi kompleksitas permasalahan sosial-ekonomi.
“Budaya filantropi lahir dari interaksi dinamis antara nilai-nilai agama, adat istiadat lokal, pengalaman sejarah, serta faktor sosial dan psikologis yang membentuk rasa empati dan kepedulian sosial,” kata Amelia.
Setidaknya ada empat (4) pilar yang membentuk budaya filantropi di Indonesia. Yang pertama adalah ajaran agama seperti praktik zakat, sedekah, serta persepuluhan. Kedua tradisi yang mencakup praktik selamatan, arisan, dan urunan. Lalu yang ketiga adalah nilai sosial-psikologis lewat dorongan emosional dan rasa empati sesama. Terakhir yaitu nilai ke-Indonesiaan yang mengajarkan nilai gotong royong, Pancasila, serta Bhineka Tunggal Ika.
Filantropi Tradisional dan Institusional
Amelia menjelaskan domain filantropi terbagi dua antara lain filantropi tradisional dan filantropi institusional. “Filantropi tradisional bersifat spontan dan berbasis empati, tidak terstruktur, serta tanpa strategi jangka panjang. Domain ini fokus pada bantuan langsung dan sesaat seperti memberi uang ke pengemis atau ikut gotong royong musiman,” terang Amelia.
Berbeda dengan tradisional, filantropi institusional justru dikelola secara profesional oleh NGO, yayasan, CSR, dan lain-lain serta terencana dan berbasis data. “Filantropi institusional berorientasi pada keadilan sosial dengan motivasi beragam termasuk altruistik, pragmatis, atau ideologis. Contohnya program pemberdayaan berbasis aset dan monitoring,” sambung Amelia.
Filantropi harus ditopang sistem
Untuk menuju ekosistem filantropi yang inklusif dan transformatif, maka harus ada jembatan antara filantropi tradisional dengan institusional.
“Tradisi dan institusi harus saling menopan dan mengisi. Maka tantangan kita ke depan adalah membangun jembatan antar domain ini. Seperti yang dijelaskan, budaya memiliki dua sisi, baik yang mendukung maupun yang menghambat pembangunan yang berkelanjutan. Karena itu budaya saja tidak cukup, budaya harus ditopang oleh sistem,” pungkas Amelia.
Filantropi Indonesia Festival (FIFest) 2025 adalah platform katalitik yang mempertemukan pemangku kepentingan dari berbagai sektor untuk mendorong kemajuan filantropi Indonesia Indonesia melalui dialog, inovasi dan kolaborasi.
FIFest 2025 yang berlangsung dari tanggal 4-8 Agustus 2025 mengusung tema ‘Budaya dan Ekosistem Filantropi untuk Dampak yang Lebih Baik: Membuka Potensi Filantropi untuk SDGs dan Agenda Iklim’, dengan tujuan memperkuat peran strategis filantropi dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan secara inklusif dan berkelanjutan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News(PRI)
-
/data/photo/2025/08/06/68930da93460a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
8 Imbas Pencurian Motor Saat KKN, Unej Tarik 11 Mahasiswanya dari Lumajang Surabaya
Imbas Pencurian Motor Saat KKN, Unej Tarik 11 Mahasiswanya dari Lumajang
Tim Redaksi
LUMAJANG, KOMPAS.com
– Universitas Jember (Unej) menarik 11 mahasiswa kuliah kerja nyata (KKN) dari Desa Alun-alun, Kecamatan Ranuyoso, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Kebijakan ini menyusul pencurian dua sepeda motor milik mahasiswa KKN di Kantor Desa Alun-alun.
Salah satu mahasiswa Unej bernama Thoriq, turut jadi korban pencurian tersebut. Satu motor lagi yang hilang, diketahui milik Ika Wahyu mahasiswa UIN Jember.
Adapun Kantor Desa Alun-alun dijadikan posko KKN oleh mahasiswa dari Unej dan UIN Jember.
Wakil Ketua Tim Kerja Hubungan Masyarakat Iim Fahmi Ilman mengatakan, pihaknya langsung menarik mahasiswa KKN di Desa Alun-alun, Kecamatan Ranuyoso.
Penarikan mahasiswa KKN terhitung sejak Rabu (6/8/2025), sesaat setelah mahasiswa Unej dilaporkan jadi korban pencurian sepeda motor di Kantor Desa Alun-alun.
“Berdasarkan informasi dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Unej, memang hari ini kami melaksanakan penarikan 11 mahasiswa UNEJ yang sedang melaksanakan KKN Kolaboratif di Desa Alun-alun, Kecamatan Ranuyoso,” kata Fahmi melalui pesan WhatsApp, Rabu (6/8/2025).
Fahmi mengatakan penarikan mahasiswa KKN ini merupakan langkah bijak dari kampus untuk memberikan rasa aman kepada para mahasiswa yang sedang melaksanakan tugas KKN.
Dengan penarikan mahasiswa ini, kata Fahmi, program KKN dari mahasiswa yang bertugas di Desa Alun-alun, dianggap selesai.
Mereka menyelesaikan tugas 15 hari lebih awal dari yang seharusnya berakhir pada 20 Agustus 2025.
Adapun, para mahasiswa dari Unej mulai diterjunkan KKN di Desa Alun-alun sejak 15 Juli 2025.
“Khusus untuk mahasiswa di desa Alun-alun ditarik ke kampus kembali dan dinyatakan KKN-nya sudah selesai, kami mempertimbangkan kondisi mental mahasiswa kami,” katanya.
Kantor Balai Desa Alun-alun, Kecamatan Ranuyoso, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur dibobol maling, Rabu (6/8/2025).
Akibatnya, dua unit sepeda motor milik mahasiswa kuliah kerja nyata (KKN) dari Universitas Jember (Unej) dan Universitas Islam Negeri Jember raib.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Menanam mangrove, menuai asa warga Tambakrejo
Sumber foto: Sutini/elshinta.com.
Menanam mangrove, menuai asa warga Tambakrejo
Dalam Negeri
Editor: Sigit Kurniawan
Senin, 04 Agustus 2025 – 20:10 WIBElshinta.com – Deru ombak dan suara bising mesin-mesin perahu nelayan mewarnai perjalanan ke lokasi hutan mangrove yang berada di pesisir pantai utara Kota Semarang, tepatnya di kawasan Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah. Lokasi konservasi mangrove ditempuh perjalanan naik kapal sekitar 20 menit. Sepanjang perjalanan terlihat aktivitas nelayan memasang keramba ikan. Air laut sudah mulai pasang ketika tiba ditempat sandar perahu nelayan.
Hamparan hutan mangrove terlihat, akar yang kuat dan daun yang rimbun seolah-olah tersirat sejuta harapan disana. Keberlangsungan ekosistem kawasan pesisir pantai utara Semarang yang akhir-akhir ini sering terjadi banjir rob. Keberadaan mangrove kini telah membawa harapan bagi warga di kawasan tersebut. Seperti kata Juraimi ketua Kelompok Peduli Lingkungan Camar (Cinta Alam Mangrove Asri dan Rimbun), berawal dari keprihatinan akibat kerusakan lingkungan dan abrasi, mereka membentuk kelompok Camar yang terdiri dari 10 orang pada tahun 2010 dengan semangat gotong royong dan penuh keterbatasan.
“Waktu itu saya bertekad menjadi orang yang bermanfaat untuk tanah kelahiran”, katanya, Senin (4/8).
Kegigihan Juraimi membuahkan hasil dengan adanya dukungan dari CSR PT Pertamina Patra Niaga, pada tahun 2010 membuat program untuk membina kampung nelayan di Tambakrejo. Awalnya ada 4 program yakni infrastruktur, pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Karena dianggap kurang lengkap akhirnya ditambah program peduli lingkungan ditahun 2011. Sejak itulah kelompok Camar dari tahun 2012 sampai 2019 sudah menanam 99.000 magrove yang ditanam dari ujung arteri sampai pinggir pantai. Ditahun 2019 pihaknya juga menerima aset yang sangat berharga yakni jogging track sepanjang 240 meter dikawasan konservasi mangrove pada saat itu berbarengan dengan Covid-19.
“Dari tahun 2019 hingga sekarang jumlah mangrove sudah mencapai 150.000 tanaman mangrove yang ditanam bantuan berbagai pihak”, ujar pegiat lingkungan tersebut seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Sutini.
Kelompok Camar tak hanya menjaga mangrove, tapi juga membangun ekosistem ekonomi dan wisata berbasis lingkungan (eduwisata) yang menghidupi ratusan warga Tambakrejo.
Salah satu warga, Amro mengaku rob sering melanda kawasan Tambakrejo meski demikian warga tetep melaut karena itulah kehidupan mereka. Sejak ada eduwisata magrove yang dikelola kelompok Camar, kini sebagian warga tidak hanya mengandalkan dari melaut yang semakin berkurang pendapatannya tetapi juga bisa menjadi pengemudi kapal untuk kunjungan ke lokasi konservasi. Meski tidak setiap hari ada tetapi paling tidak dalam seminggu 3-4 kali mengangkut pengunjung yang kebanyakan dari mahasiswa dan peneliti untuk monitoring tanaman mangrove.
“Seringnya kunjungan dari mahasiswa atau peneliti pada waktu pagi hari. Kadang rombongan antara 4 hingga15 orang itupun kunjungan tidak setiap hari ada, hanya 3-4 kali dalam seminggu. Untuk satu kali trip sewa kapal sebesar Rp. 150.000 yang bisa diisi maksimal 15 orang,” ujar pengemudi perahu ini.
Senada, Juraimi juga membenarkan adanya berkah dari mangrove bagi warga dikampungnya. Mereka menjadi biro jasa mengantar pengunjung yang ingin menyusuri hutan mangrove. “Kadang bisa melayani sampai 10 pengunjung, Alhamdulillah bisa menjadi tambahan penghasilan bagi para nelayan,” ungkapnya.
Sementara, di sisi lain para ibu juga ambil peran ikut meningkatkan perekonomian keluarga dengan cara memanfaatkan mangrove menjadi produk olahan seperti dibuat keripik mangrove, sirup, batik dan lain-lain.
“Dari mangrove kami olah jadi keripik, sirup, bahan untuk membatik. Sekarang Ibu-ibu disini bisa ikut mendapatkan penghasilan dari awalnya yang hanya menganggur,” ujar warga Tambakrejo, Sitatu.
Menurut Rektor UIN Walisongo Semarang Prof Imam Taufiq dalam jurnal kampus, keberadaan mangrove dinilai sangat penting. Mangrove menjadi ikhtiar bersama melindungi bumi dari bencana alam. Mangrove juga bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sekitar karena mampu menyerap semua jenis logam berbahaya dan membuat kualitas udara menjadi lebih bersih.
“Mangrove juga membantu alam dalam mendapatkan kualitas udara yang lebih baik dan bersih, sehingga Kota Semarang menjadi lebih nyaman dan sehat,” ungkapnya.
Area Manager Communications, Relations and CSR Pertamina Patra Niaga Jawa Bagian Tengah Taufiq Kurniawan menyampaikan menanam mangrove menjadi salah satu implementasi PT Pertamina mendukung kebijakan pemerintah Jawa Tengah khususnya pemerintah kota Semarang dalam hal mengatasi dampak abrasi yaitu rob yang bisa saja setiap waktu terjadi.
“Kita secara telaten membantu kelompok Camar menanam mangrove. Ketika mangrove ditanam tidak hanya untuk “mageri segoro” menjadi pagar laut, tapi juga untuk kita tau bahwa mangrove ini juga banyak kegunaan lainnya. Seperti menjadi batik, kue dan sebagainya”, ujar Taufiq.
Taufiq menyebut harapan penanaman mangrove program CSR ini akan berdampak mulitiplayer efek baik dari sisi laut terselamatkan, dari sisi nelayan mendapatkan pendapatan tambahan dan dari sisi pembibitan terselamatkan pemukiman nelayan dari dampak abrasi. Selain juga Ibu-ibunya bisa mendapatkan olahan dari tanaman mangrove yang ada.
“Ini sudah meluas tidak hanya jadi budidaya mangrove tetapi sudah menjadi eduwisata”, imbuhnya.
Lurah Tanjung Mas, Sony Yudha Pradana menjelaskan pada saat musim barat, ombak dari laut utara itu sangat kencang. Dengan adanya mangrove, hantaman itu tak langsung mengenai permukiman warga, sehingga mangrove menjadi benteng alami yang meredamnya.
Data yang disampaikan dari wilayah Kelurahan Tanjung Mas seluas 323 hektare, sekitar 30 hektare merupakan wilayah pesisir yang terdampak langsung abrasi dan banjir rob. Bahkan, diprediksikan sekitar lima persen dari luas total wilayah saat ini sudah tertutup air laut. Bahkan pemakaman sudah tidak terlihat.
Dijelaskan, upaya penyelamatan lingkungan sangat mendesak dilakukan. Oleh karena itu, Pemerintah bersama stakeholder terkait terus melakukan edukasi terkait lingkungan maupun pemberdayaan ekonomi masyarakat, termasuk melalui pemanfaatan mangrove.
Data dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Semarang, luasan hutan mangrove pada tahun 2021 mencapai 169,91 hektare, sebagian besar berada di Kecamatan Tugu. Sedangkan hasil survei pada tahun 2023 oleh WALHI menunjukkan penurunan menjadi 111,06 hektare. Secara umum, hutan mangrove di Semarang tersebar di beberapa kecamatan, termasuk Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara, dan Genuk. Kecamatan Tugu memiliki kawasan mangrove terluas dibandingkan kecamatan lain di Semarang. Kondisi mangrove Berdasarkan data tahun 2008, sekitar 73,33 persen hutan mangrove di Semarang dalam kondisi kritis dan rusak, sementara hanya 26,67 persen yang masih baik. Kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh erosi pantai, kerusakan tambak, dan reklamasi lahan.
Sumber : Radio Elshinta
-
/data/photo/2025/08/01/688c7eda35282.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kontroversi Bendera One Piece: Bentuk Kritik dan Respons Keras Pemerintah Megapolitan 2 Agustus 2025
Kontroversi Bendera One Piece: Bentuk Kritik dan Respons Keras Pemerintah
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Bendera bajak laut dari manga One Piece marak berkibar di sejumlah daerah menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) ke-18 Republik Indonesia.
Bendera tersebut terpasang di mana-mana, dari teras rumah, truk, hingga bertebaran di jagat media sosial.
Pengibaran bendera berlatar warna hitam dan bergambar sosok Jolly Roger yang khas dengan tulang bersilang di tengahnya itu dianggap sebagai simbol kekecewaan masyarakat terhadap negara.
Alih-alih menyambut baik kritik publik, pemerintah menganggap hal itu sebagai upaya memecah belah bangsa.
Maraknya pengibaran
bendera One Piece
dianggap sebagai simbol kekecewaan publik atas ketidakadilan yang dipertontonkan belakangan ini.
“Karena kondisi sekarang makin hari makin memperhatikan. Banyak ketidakadilan yang diperlihatkan. Yang benar jadi salah, yang salah jadi benar,” ujar Bayu (36), seorang Nakama, sebutan fans bagi penikmat serial manga One Piece, Jumat (1/8/2025).
Kekecewaan inilah yang melatarbelakangi para Nakama menyuarakan ketidakadilan dengan mengibarkan
bendera Jolly Roger
.
Menurut Bayu, pengibaran bendera One Piece juga bermakna adanya praktik penindasan dari berbagai bentuk yang dihadapi publik.
“Monkey D. Luffy (salah satu karakter utama dalam One Piece) punya cita-cita jadi orang paling memiliki kebebasan di seluruh lautan. Dia enggak segan lawan orang-orang kuat dan elite yang suka menindas,” kata dia.
“Mungkin semangat Luffy ini dianggap bisa mewakili sikap para Nakama,” lanjut dia.
Bayu berpendapat, pengibaran bendera Jolly Roger merupakan suatu hal yang sah.
“Toh bukan organisasi yang dilarang pemerintah. Sepanjang kita masih memasang bendera Merah Putih, merayakan hari kemerdekaan harusnya enggak masalah dong,” tegas dia.
Satya (32), bukan nama sebenarnya, salah satu Nakama yang memasang bendera Jolly Roger di depan rumahnya.
Satya mengatakan, pemasangan bendera Jolly Roger seyogianya sudah ada sejak One Piece pertama kali dirilis.
“Kami memasang bendera itu sebagai bentuk protes atas buruknya kebijakan pemerintah pascareformasi,” kata Satya.
Namun, kini kembali marak pemasangan bendera One Piece tersebut.
Para penikmat anime besutan Eiichiro Oda itu berbondong-bondong memasang menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia.
“Lambang ini sesuai serialnya. Gerakan perlawanan terhadap pemerintah korup dan menindas rakyat jelata. Ini murni keprihatinan kita terhadap keadaan bangsa,” tegas dia.
Menurut Satya, tindakan itu murni didasari oleh rasa cinta terhadap Tanah Air, sekaligus bentuk kritik terhadap penguasa saat ini.
“Kita tidak sedang melawan negara, tapi melawan ketidakadilan yang dibuat oleh sistem dan elite yang tak berpihak. Kritik ini bukan bentuk kebencian, tapi bentuk cinta,” tegas dia.
“Karena kalau kita diam, sama saja kita membiarkan ketidakadilan terus berlangsung. Negara ini milik bersama, dan kita punya hak untuk menyuarakan kebenaran,” imbuh dia.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menuding pengibaran bendera Jolly Roger sebagai upaya memecah belah bangsa.
“Kita juga mendeteksi dan juga dapat masukan dari lembaga-lembaga pengamanan intelijen, memang ada upaya-upaya namanya untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa,” kata Dasco ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (31/7/2025) malam.
Pihaknya menerima masukan dari sejumlah lembaga intelijen yang menyebutkan bahwa kemunculan simbol-simbol tersebut diduga mengindikasikan adanya gerakan sistematis untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Dasco mengimbau masyarakat agar tidak mudah terprovokasi dengan simbol-simbol atau gerakan yang dapat mengancam keutuhan bangsa.
Ia menekankan pentingnya menjaga solidaritas nasional di tengah pesatnya kemajuan yang sedang diraih Indonesia.
“Imbauan saya kepada seluruh anak bangsa, mari kita bersatu. Justru kita harus bersama melawan hal-hal yang seperti itu,” ungkapnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan menyebutkan, pengibaran bendera tersebut sebagai bentuk provokasi yang dapat menurunkan kewibawaan dan derajat bendera Merah Putih.
“Sebagai bangsa besar yang menghargai sejarah, sepatutnya kita semua menahan diri untuk tidak memprovokasi dengan simbol-simbol yang tidak relevan dengan perjuangan bangsa,” kata Budi Gunawan, dikutip dari Antaranews.
Budi Gunawan mengatakan, pemerintah sangat mengapresiasi segala bentuk kreativitas warga dalam berekspresi selama tidak melanggar batas dan mencederai simbol negara.
Namun, Budi Gunawan menegaskan bahwa pemerintah akan mengambil langkah tegas jika ada upaya kesengajaan dalam menyebarkan narasi tersebut.
Apalagi, menurut dia, ada konsekuensi hukum bagi mereka yang mengibarkan bendera merah putih di bawah lambang apa pun, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Oleh karena itu, Budi Gunawan berharap masyarakat bisa menghargai dan menghormati jasa para pahlawan dengan tidak merendahkan bendera merah putih yang telah menjadi simbol dan identitas negara.
Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Dosen Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El Guyanie menilai, fenomena pengibaran bendera Jolly Roger bukan sebagai upaya memecah belah bangsa.
Menurut Gugun, pengibaran bendera tersebut merupakan cara masyarakat menyampaikan nasionalismenya, di tengah pemerintah yang tidak responsif terhadap aspirasi masyarakat.
“Ritual 17-an itu akhirnya menunjukkan bahwa masyarakat punya cara-cara untuk menyampaikan nasionalisme dengan cara lain, ketika negara dan pemerintah yang berkuasa itu ternyata tidak responsif terhadap kemauan aspirasi masyarakat,” jelas Gugun.
Sebaliknya, ia menilai justru kebijakan pemerintah saat ini cenderung tidak melibatkan masyarakat. Hal ini dianggap justru sebagai pemecah belah bangsa.
Gugun mencontohkan beberapa kebijakan era Presiden Prabowo Subianto yang justru memberatkan masyarakat, seperti memblokir rekening dan mengambil tanah yang tidak produktif selama dua tahun.
“Terlibat (pemerintah) keputusan untuk memblokir atau mengambil tanah milik masyarakat yang tidak diproduktifkan tanpa meminta persetujuan masyarakat secara langsung dan tanpa mengindahkan masukan-masukan dari publik itu justru disayangkan,” kata dia.
“Kalau soal bendera One Piece itu dianggap memecah belahkan bangsa, justru kebijakan-kebijakan pemerintah ini yang memecah belahkan bangsa,” ujar dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/31/688aced5d03d3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
8 Selain Sering Terima Uang, Wakapolsek Juga Jaga Aset Bos Sindikat Uang Palsu Makassar
Selain Sering Terima Uang, Wakapolsek Juga Jaga Aset Bos Sindikat Uang Palsu
Tim Redaksi
GOWA, KOMPAS.com
– Sidang kasus
uang palsu
yang diproduksi di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar di Pengadilan Negeri (PN) Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Rabu (30/7/2025) mengungkap bahwa mantan Wakapolsek Tallo, AKP (Purn)
Sugito
, mengawasi sejumlah aset milik
Annar Salahuddin Sampetoding
.
Adapun Annar adalah bos sindikat uang palsu yang juga terdakwa utama dalam kasus ini.
Sidang yang berlangsung hingga pukul 17.00 WITA ini menghadirkan Sugito sebagai saksi meringankan.
Kesaksian Sugito menarik perhatian majelis hakim dan jaksa penuntut umum (JPU) karena pengakuannya yang menyebutkan bahwa ia sering menerima uang dari terdakwa.
Annar memiliki sejumlah aset di Makassar yang dijaga oleh Sugito.
“Saya sering menerima uang dari terdakwa, jumlahnya sudah tidak terhitung,” ungkap Sugito saat menjawab pertanyaan ketua majelis hakim.
Ketua majelis hakim kemudian menanyakan dari mana uang tersebut diperoleh oleh terdakwa.
“Beliau adalah seorang pengusaha sukses dan memiliki banyak aset di Kota Makassar. Seluruh asetnya saya awasi sejak puluhan tahun lalu, bahkan saat itu saya masih berpangkat sersan dua,” jelasnya.
Persidangan ini dipimpin oleh hakim ketua Dyan Martha Budhinugraeny, dengan hakim anggota Sihabudin dan Yeni.
Jaksa penuntut umum (JPU) terdiri dari Basri Bacho dan Aria Perkasa Utama.
Sidang diadakan secara maraton setiap hari Rabu dan Jumat, dengan 15 terdakwa yang dihadirkan dalam agenda sidang yang berbeda.
Kasus uang palsu ini terungkap pada bulan Desember 2024 dan mengejutkan warga setempat, karena uang palsu tersebut diproduksi di kampus 2
UIN Alauddin
Makassar, Jalan Yasin Limpo, Kabupaten Gowa.
Produksi uang palsu ini mencapai triliunan rupiah dengan menggunakan mesin canggih, dan hasilnya nyaris sempurna sehingga sulit terdeteksi oleh mesin hitung uang dan x-ray.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

/data/photo/2025/07/31/688b1cf626edd.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2015/04/10/1520383012-fot0158780x390.JPG?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)