Institusi: UII

  • Kompleksitas Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

    Kompleksitas Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

    Jakarta

    Sudah lewat satu bulan putusan MK Nomor 135/PUU-XII/2024 dibacakan, pemerintah dan DPR masih belum merespons putusan yang bersifat final dan mengikat tersebut ke dalam sebuah bentuk kebijakan konkret: revisi UU Pemilu dan Pilkada.

    Dalam putusan tersebut, MK memutus pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal: Pemilu nasional untuk memilih presiden dan DPR/DPD, dan pemilu lokal untuk memilih gubernur, walikota/bupati dan DPRD yang diperpanjang paling cepat 2 tahun dan paling lambat 2,5 tahun setelah pemilu nasional selesai dilaksanakan.

    Alasannya sederhana, MK berkaca pada dua peristiwa pemilu serentak sebelumnya (2019 dan 2024); karena pemilih kebingungan ketika disodorkan banyaknya surat suara dan calon; dekatnya jarak waktu antara pemilu dan pilkada yang membuat pemilih jenuh; beratnya beban penyelenggara yang berakibat pada kelelahan hingga kematian.

    Selain itu ada juga alasan sulitnya parpol dalam mempersiapkan kader untuk bertarung; dan yang paling penting karena permasalahan daerah kerapkali tidak mendapat perhatian serius akibat tertimpa isu nasional.

    Kontradiksi Norma dan Pilihan Paling Mungkin

    Apabila dicermati, dalam putusan ini MK tidak bertindak dalam fungsinya sebagai negative legislator (pembatal undang-undang), melainkan sebagai positive legislator (pembentuk undang-undang).

    Meskipun MK masuk ke dalam wilayah teknis penyelenggaraan pemilu yang seharusnya menjadi wewenang pembentuk undang-undang (open legal policy), tetap dapat dibenarkan dan putusannya tetap dianggap sah secara hukum (erga omnes).

    Karena, di tengah rusaknya kualitas demokrasi akibat kartelisasi politik yang kuat seperti sekarang ini, MK dapat melakukan penyelamatan demokrasi melalui judicial activism untuk menjembatani kehendak rakyat yang suaranya seringkali diabaikan di dalam ruang pembentukan kebijakan.

    Namun, akibat campur tangan MK dalam membuat norma baru tersebut, kontradiksi hukum tak dapat dielakkan, khususnya dalam mengatasi permasalahan pemilu lokal yang jadwal pelaksanaannya bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

    Dalam pemilu lokal, MK memutus dilaksanakan paling cepat dua tahun dan paling lambat dua setengah tahun setelah pemilu nasional usai dilaksanakan. Konsekuensinya, akan ada kekosongan masa jabatan dalam waktu yang cukup lama (2-2,5 tahun) yang harus dipikirkan oleh pembentuk undang-undang untuk diisi oleh siapa dan bagaimana cara pengisiannya.

    Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah selama masa transisi, mungkin masih bisa dilakukan penunjukan penjabat (Pj) oleh presiden dan mendagri.

    Meskipun pilihan tersebut bertentangan dengan prinsip yang paling penting di dalam demokrasi, yakni legitimasi, kemungkinan yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah demikian. Tapi dengan catatan bahwa masyarakat sipil harus mendesak presiden dan DPR untuk mempersiapkan norma yang membatasi dan mengawasi para Pj tersebut agar tidak menjadi alat politik kekuasaan untuk cawe-cawe memenangkan calon tertentu.

    Sementara, untuk mengisi kekosongan masa jabatan DPRD, belum ada landasan norma yang bisa dijadikan tempat bersandar untuk memperpanjang masa jabatan mereka. Sehingga mau tidak mau harus dibuat aturan mainnya agar tidak terjadi kekosongan jabatan.

    Jika opsi yang dipilih adalah memperpanjang masa jabatan DPRD selama dua tahun, tentu saja kebijakan itu bertentangan dengan konstitusi yang menyatakan bahwa keberadaan lembaga DPRD harus berasal dari mandat rakyat yang dipilih secara sah melalui pemilu.

    Jika pun selama dua tahun itu ditunjuk pelaksana tugas, maka juga bertentangan dengan nilai demokrasi yang mengedepankan legitimasi ketimbang legalitas.

    Di antara kebuntuan itu, pilihan yang paling mungkin untuk dilakukan adalah dengan dibuatnya pemilu sela untuk memilih anggota DPRD yang akan menjabat selama 2 hingga 2,5 tahun sampai dilaksanakannya pemilu lokal di tahun 2032.

    Yang Prosedural dan Yang Substansial

    Jika ditelaah lebih dalam, walaupun putusan tersebut dianggap oleh sebagian pengamat adalah putusan yang progresif, tapi nyatanya, hanya menyentuh persoalan prosedural. Bukan persoalan substansial dari berbagai persoalan pemilu yang sudah-sudah. Mahar politik, politik uang, pengerahan aparat dan birokrat untuk memenangkan calon tertentu, dan lain sebagainya.

    Berharap adanya jeda selama 2 sampai 2,5 tahun agar partai politik bisa bernafas dan mempersiapkan kader secara serius juga adalah sebuah alasan paling utopis yang pernah ada di negeri demokrasi yang mau berumur 80 tahun merdeka ini.

    Dalam Kronik Otoritarianisme Indonesia yang ditulis Zainal Arifin Mochtar dan Muhidin M. Dahlan, Herlambang P. Wiratraman mengatakan, demokrasi di Indonesia cenderung telah didominasi dan difasilitasi oleh sistem politik yang telah terkartelisasi.

    Fenomena ini oleh Richard S Katz dan Peter Mair disebut dengan istilah “partai kartel” yang kenunculannya ditandai dengan hubungan erat antara partai politik dan negara yang saling bekerja sama dalam berkolusi untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Salah satunya berkolusi dalam memenangkan pemilu.

    Tak bisa dipungkiri, demokrasi elektoral kita telah dilumuri politik uang. Biaya politik elektoral yang tinggi membuat partai politik memberi karpet merah kepada pemilik modal untuk ikut serta mengendalikan pemilu dan menjadi bagian di dalam negara. Akibatnya, pemilu hanya menjadi sarana bagi oligarki untuk mengontrol kebijakan negara.

    Untuk dapat berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya, partai politik tidak lagi memilih calon legislatif maupun eksekutif berdasarkan standar ideologis. Lebih condong kepada standar pragmatis. Sudah menjadi rahasia umum, mulai dari sejak fase pra pemilu (rekrutmen calon), yang dilihat paling pertama oleh partai politik bukanlah kualitas (kapabilitas), tetapi kuantitas (seberapa besar isi brangkas).

    Alhasil, mengutip laporan ICW (Indonesia Corruption Watch), yang diperoleh dari pemilu berbiaya tinggi tersebut adalah: Dari total 580 anggota DPR periode 2024- 2029, sekitar 354 orang (61%) terafiliasi dengan sektor bisnis. Dengan kata lain, sebagian besar anggota DPR yang memenangkan pemilu dan duduk di parlemen hari-hari ini adalah politisi pebisnis. Bukan ideolog, bukan pula aktivis, atau politisi yang berasal dari beragam latar belakang.

    Dengan besarnya postur politisi pebisnis yang duduk di DPR saat ini, jangan heran apabila mereka abai melaksanakan demokrasi deliberatif dalam pengambilan keputusan politik negara, terutama dalam proses pembentukan undang-undang kontroversial akhir-akhir ini (UU BUMN, UU Minerba, UU TNI).

    Data ini tidak hanya memperburuk kualitas parlemen dan pemerintahan kita, tapi juga akan memperpanjang nasib demokrasi elektoral yang berbiaya tinggi. Apalagi, di tahun 2024, menurut data yang dirilis Bank Dunia, angka kemiskinan masyarakat Indonesia mencapai 194,4 juta jiwa atau setara 68,2% dari total populasi sebanyak 285,1 juta penduduk.

    Kondisi ini tentu saja tidak bisa diselesaikan dengan sekali pukul perubahan jadwal pemilu, tapi juga harus diiringi dengan pembenahan di berbagai sektor: Partai politik, pembiayaan partai politik dan pemilu, hingga sistem pengawasan yang kuat. Jika tidak, kaki-kaki oligarki di dalam tubuh negara akan semakin kokoh, dan pemilu 2029 dan 2032 hanya akan memperluas potensi politik uang yang muaranya akan menghasilkan pemimpin serakah.

    Dengan begitu, mau sistem pemilu seperti apapun, baik serentak ataupun tidak, terpisah antara nasional dan lokal sekalipun, jika tidak diiringi dengan pembenahan lintas sektor, maka pemisahan jadwal pemilu hanya akan memperpanjang peluang oligarki untuk mengontrol kebijakan publik dengan seluruh perangkat yang mereka punya. Uang, media, aparat, dan segenap perangkat lainnya. Pada akhirnya, putusan MK tidak menyumbang apa-apa untuk peningkatan kualitas demokrasi kita.

    Zieyad Alfeiyad Ahfi atau Ziyad Ahfi. Mahasiswa pascasarjana hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta yang tengah mengambil studi Hukum Tata Negara.

    (rdp/rdp)

  • Mahfud Sebut Perpanjangan Masa Jabatan DPRD-Kepala Daerah Harus Lewat Revisi UU
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        25 Juli 2025

    Mahfud Sebut Perpanjangan Masa Jabatan DPRD-Kepala Daerah Harus Lewat Revisi UU Nasional 25 Juli 2025

    Mahfud Sebut Perpanjangan Masa Jabatan DPRD-Kepala Daerah Harus Lewat Revisi UU
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pakar hukum tata negara,
    Mahfud MD
    menyinggung soal memperpanjang masa jabatan anggota
    DPRD
    dan
    kepala daerah
    yang dipilih pada 2024.
    Itu merupakan satu dari lima alternatif yang diusulkan Mahfud dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisah pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah mulai 2029.
    Untuk mengakomodasi opsi tersebut, pemerintah dan DPR perlu merevisi undang-undang yang berkaitan dengan masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah.
    “Apa boleh Pak? Boleh, karena ketentuan-ketentuan mengenai pemilu, perpanjangannya, penundaannya, dan sebagainya itu diatur dengan undang-undang,” ujar Mahfud dalam diskusi publik di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Kamis (24/7/2025).
    Mahfud sendiri menceritakan soal dirinya yang ikut kena “semprot” akibat putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisah pemilu nasional dan daerah.
    Mantan ketua MK itu pun berpandangan, putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 memang terasa inkonstitusional dan menunjukkan ketidakkonsistenan lembaga tersebut.
    “Karena memang terasa putusan MK ini dituding inkonstitusional, itu rasanya memang ada alasannya. Inkonstitusional kenapa? Jabatan itu kan lima tahunan, kok tiba-tiba diperpanjang. Yang boleh memperpanjang jabatan itu kan hanya konstitusi itu sendiri, ramai,” ujar Mahfud.
    “Bahkan yang mengatakannya ini kemudian partai resmi peserta pemilu seperti Nasdem, itu bilang inkonstitusional. Tapi memang, kita melihat putusan MK itu tidak konsisten,” sambungnya.
    Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan MK Fajar Laksono Suroso pernah menyebut, Indonesia sudah memiliki pengalaman memperpanjang maupun memangkas masa jabatan anggota DPRD.
    Hal tersebut disampaikannya ketika menjawab adanya wacana perpanjangan masa jabatan DPRD akibat putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029.
    Ia menjelaskan, pada 1971, masa jabatan anggota DPR saat itu diperpanjang satu tahun untuk menyelaraskan pemilu pada 1977. Sehingga masa jabatan anggota DPR saat itu menjadi enam tahun.
    Hal serupa juga terjadi pada 1998, di mana masa jabatan anggota DPR dipotong satu tahun karena adanya tuntutan pemilu ulang dan reformasi.
    “Katakanlah ya, ini sebagai contoh, katakanlah ada perpanjangan masa jabatan DPR, toh kita juga sudah punya presedennya,” ujar Fajar dalam webinar yang digelar Pusat Studi Hukum Konstitusional (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Kamis (10/7/2025).
    Fajar mengatakan, MK sendiri paham adanya konsekuensi akibat keluarnya putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu.
    Namun, ia menjelaskan bahwa keputusan untuk memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029 memiliki landasan konstitusional, yuridis, dan teoretik yang kuat.
    MK, kata Fajar, mempersilakan pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional, dalam menindaklanjuti putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 tersebut.
    “Jadi menurut saya, pembentuk undang-undang diberikan apa ya, keluasan oleh MK untuk melakukan rekayasa konstitusional, untuk memastikan apa yang disebut sebagai pemisahan pemilu nasional dan lokal itu tadi,” ujar Fajar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dua Babak Pesta Demokrasi

    Dua Babak Pesta Demokrasi

    Jakarta

    Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 135/PUU-XXII/2024 yang diucapkan Kamis, 26 Juni 2025 pada akhirnya memisahkan pelaksanaan pemilu serentak menjadi pemilu nasional (untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden) dan pemilu daerah atau lokal (untuk memilih anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota) mulai tahun 2029 mendatang. Hal tersebut menjadi penanda penting dalam lanskap demokrasi elektoral di Indonesia. Dengan putusan ini pula, “pemilu lima kotak” yang menjadi ciri khas pemilu serentak selama ini, akan dihapuskan.

    Alasan Mahkamah yang mengaminkan posita Pemohon Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pun sangat jelas: kualitas demokrasi mengalami penurunan karena beban sistem yang terlalu besar. Akan tetapi, benarkah pemisahan waktu pemilu yang demikian akan menyelesaikan semua masalah? Atau justru menimbulkan persoalan baru yang tak kalah serius?

    Rasional dan Demokratis?

    Mahkamah pada dasarnya berpedoman pada putusannya terdahulu, yakni Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 yang memberikan sejumlah model keserentakan pemilu yang dinilai tetap konstitusional, antara lain: (1) Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD; (2) Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota; (3) Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota; (4) Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota; (5) Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota; (6) Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.

    Dalam Putusan tersebut, MK menegaskan bahwa penentuan model yang dipilih menjadi wilayah pembentuk undang-undang untuk memutuskan. Akan tetapi sejak saat itu pembentuk undang-undang belum pernah melakukan perubahan terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada, hingga secara faktual terlaksana model pemilu serentak alternatif angka 1 (lima kotak) pada 2019 dan 14 Februari 2024 dan dilanjutkan dengan pemilukada serentak bertahap dan serentak keseluruhan pada 27 November 2024. Setelah mempelajari desain jadwal dan praktik penyelenggaraan selama ini, Mahkamah berpendapat bahwa penyelenggaraan pemilu serentak yang dilanjutkan dengan pemilukada serentak di tahun yang sama/berdekatan menimbulkan tumpang tindih tahapan, membebani penyelenggara, melemahkan partai politik, mengaburkan isu lokal, menurunkan kualitas pilihan pemilih, hingga memicu kelelahan dan korban jiwa.

    Oleh karena itu, Mahkamah menilai bahwa model penyelenggaraan pemilu yang memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu lokal (sebagaimana alternatif angka 4) merupakan pilihan yang lebih rasional dan demokratis. Pemisahan ini memberikan ruang waktu yang cukup untuk memastikan setiap tahapan berjalan optimal, memperkuat pelembagaan partai politik, menjaga fokus isu lokal agar tidak tenggelam oleh wacana nasional, serta menghindarkan penyelenggara dan pemilih dari kelelahan ekstrem. Mahkamah pun menegaskan pentingnya jarak waktu antara dua jenis pemilu tersebut, yakni paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan pejabat hasil pemilu nasional, sebagai batas waktu yang ideal untuk menyelenggarakan pemilu lokal.

    Lebih lanjut, Mahkamah menyatakan bahwa pengaturan masa transisi bagi jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) melalui rekayasa konstitusional. Demi menjamin konsistensi dengan prinsip kedaulatan rakyat dan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas, Mahkamah memberikan tafsir konstitusional bersyarat terhadap beberapa norma dalam UU Pemilu dan UU Pilkada. Artinya, norma-norma tersebut tetap berlaku sepanjang dimaknai sebagai pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu lokal. Putusan ini juga mengisyaratkan urgensi agenda penyusunan reformasi terhadap undang-undang yang terkait dengan politik dan pemilihan umum.

    Mahal, Melelahkan, dan Potensi Politisasi Baru?

    Meski Putusan MK yang memilih untuk memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu lokal memiliki landasan dan pertimbangan rasional, tidak bisa dipungkiri bahwa putusan itu juga akan menyisakan sejumlah persoalan serius yang patut dikritisi. Pertama, persoalan efisiensi anggaran. Jika pemilu lima kotak sebelumnya dianggap rumit, maka pemilu dua babak justru berpotensi jauh lebih mahal. Pelaksanaan dua kali pemilu dalam satu siklus lima tahunan berarti penggandaan seluruh instrumen logistik, pengamanan, serta biaya kampanye. Untuk negara yang pada Pemilu dan Pemilukada 2024 menganggarkan lebih Rp100 triliun, beban fiskal ini jelas signifikan dan memerlukan pertimbangan ulang dari sisi efisiensi dan keberlanjutan keuangan negara.

    Kedua, dari sisi partisipasi publik, model dua kali pemilu dalam lima tahun berisiko menurunkan tingkat keterlibatan pemilih. Pemilu lokal yang dianggap kurang menarik dibanding pemilu presiden dikhawatirkan memicu kejenuhan, apatisme politik, dan menurunnya legitimasi hasil pemilu di daerah. Ketiga, potensi politisasi masa transisi juga tidak bisa diabaikan. Jika tidak ada pengaturan yang tegas dan transparan, kekosongan jabatan akibat jeda waktu antara pemilu nasional dan lokal berpotensi diisi oleh penjabat kepala daerah yang ditunjuk pemerintah pusat, yang pada akhirnya membuka ruang sentralisasi kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang atas nama transisi. Selain itu, untuk anggota DPRD juga dipastikan diperpanjang masa jabatannya atau diganti dengan kebijakan pergantian antar waktu (PAW) dari masing-masing partai yang sarat dipolitisasi.

    Dengan demikian, putusan ini, meskipun progresif dan terkesan lebih rasional, tetaplah memerlukan desain kebijakan lanjutan yang cermat agar tidak menimbulkan efek paradoksal yang justru melemahkan kualitas demokrasi itu sendiri. Sebab pada hakikatnya, tidak ada kata murah untuk sebuah sistem demokrasi—baik dalam arti finansial maupun dalam pengertian sosial dan institusional yang lebih luas. Demokrasi selalu menuntut investasi besar: biaya anggaran, energi politik, serta kapasitas kelembagaan. Karena itu, yang terpenting bukan semata penghematan, melainkan bagaimana seluruh proses itu diarahkan untuk menghasilkan politik yang lebih akuntabel, representatif, dan berintegritas

    Memisahkan Pemilu, Menyusun Ulang Demokrasi

    Putusan MK yang memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu lokal memiliki semangat bukan hanya bertujuan mengatur teknis tahapan elektoral, melainkan refleksi/evaluasi atas nilai-nilai dan praktik demokrasi selama ini. Desain pemilu bukanlah ruang kosong tanpa makna ideologis; ia merupakan cermin dari arah dan komitmen politik kita sebagai bangsa dalam menjaga kedaulatan rakyat. Namun, desain yang ideal tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik hari ini—mulai dari kapasitas pemilih, kondisi partai politik, hingga birokrasi penyelenggara pemilu. Karena itu, pemisahan pemilu bukan jaminan perbaikan demokrasi, melainkan peluang untuk menuju ke sana, asalkan disertai reformasi menyeluruh yang konsisten dan konkrit. Tanpa penguatan institusi, pendidikan politik yang masif, pembiayaan partai yang akuntabel, dan seleksi calon yang ketat, pemisahan pemilu hanya akan memindahkan beban dari lima kotak suara menjadi dua kalender yang sama padatnya.

    Maka, putusan ini harus dimaknai bukan hanya sebagai rekayasa konstitusional, tetapi juga ajakan bersama untuk berpikir ulang, yakni: bagaimana kita merancang ulang hubungan antara rakyat dan negara dalam sistem elektoral yang lebih sehat? Apakah kita siap menyambut pembaruan ini secara utuh, atau justru akan terjebak dalam transisi yang menambah kerumitan demokrasi kita yang belum matang?

    Jawaban dari keduanya ialah bergantung pada sejauh mana negara ini, partai politik, dan publik bersedia menata ulang bukan hanya jadwal, tetapi substansi dari demokrasi itu sendiri.

    Retno Widiastuti. Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti PSHK Fakultas Hukum UII

    (imk/imk)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Berikut Daftar 11 Tuntutan Komardin Soal Ijazah Jokowi yang Ditolak UGM, Dikaitkan Dokumen Pribadi

    Berikut Daftar 11 Tuntutan Komardin Soal Ijazah Jokowi yang Ditolak UGM, Dikaitkan Dokumen Pribadi

    GELORA.CO – Universitas Gadjah Mada (UGM) menolak 11 tuntutan dari advokat Komardin terkait kasus ijazah Jokowi (Joko Widodo) mantan Presiden RI.

    Mediasi perkara 106/Pdt.G/2025/PN Smn tentang ijazah Jokowi ini menemui jalan buntu di Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Selasa (17/6) siang.

    Penggugat dan tergugat dalam kasus ijazah Jokowi ini tidak menemui kata sepakat alias buntu.

    Ariyanto, selaku kuasa hukum tujuh orang tergugat dari Rektor UGM hingga Kepala Perpustakaan UGM, menilai, semua data yang diminta oleh penggugat atau Komardin adalah ranah pribadi.

    Sehingga, UGM tidak bisa mengeluarkan itu. “Enggak mungkin damai. Hari Selasa lanjut sidang. Mediasi sudah selesai,” katanya, Selasa.

    Dia juga menjelaskan, dalam proses mediasi ini pihaknya sudah menghadirkan prinsipal sesuai dengan permintaan hakim mediator yaitu diwakili oleh Biro Hukum UGM.

    Sementara itu, selaku penggugat, advokat Komardin menjelaskan, ada 11 dokumen yang diminta pada UGM sebagai syarat damai.

    Selanjutnya, dokumen-dokumen ini akan diperiksa oleh enam tim forensik dari Mabes Polri, Puspom TNI, Universitas Indonesia, Universitas Islam Indonesia, tim ahli dari UGM, dan tim ahli dari penggugat.

    “Kalau dokumen diberikan maka gugatan sebesar Rp 1.069 triliun pada UGM dibatalkan,” kata advokat asal Makassar ini usai proses mediasi di PN Sleman, Selasa (17/6).

    “Termasuk gugatan Rp 10 miliar pada Kasmudjo. Terlepas apakah nantinya hasil pemeriksaan menunjukkan dokumen asli atau palsu,” katanya lagi.

    “Tapi UGM menolak permintaan kami. Saya menduga tidak waras. Kami tuntut Rp 1000 triliun lebih tapi mediasi ditolak,” katanya lagi.

    Dia menilai dokumen yang diminta bukanlah data pribadi. Namun, data yang diperlukan oleh publik.

    “Saya kasih contoh ketika pemilihan bupati. Itu kalau ada sengketa harus dibawa di pengadilan. Semuanya harus dibuktikan,” katanya.

    Usai gagalnya mediasi, Komardin mengaku sudah menyiapkan diri untuk sidang pekan depan. Termasuk menyiapkan saksi-saksi yang mungkin bisa dihadirkan.

    Berikut 11 dokumen yang diminta Komardi pada UGM sebagai syarat damai.

    1. Daftar nama-nama Dosen Fakultas Kehutanan UGM yang mengajar pada tahun 1980 sampai 1985

    2. Daftar nama-nama calon mahasiswa UGM pada Fakultas Kehutanan yang mendaftar pada tahun ajaran 1979/1980

    3. Daftar nama-nama mahasiswa UGM yang lulus pada Fakultas Kehutanan tahun ajaran 1979/1980

    4. Kartu Rencana Studi (KRS) dari semester 1 sampai semester akhir atas nama Joko Widodo pada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

    5. Daftar nama-nama mahasiswa UGM Fakultas Kehutanan yang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata serta alamat lokasi KKN yang bernama Joko Widodo

    6. Menyerahkan Skripsi atas nama Joko Widodo Fakultas Kehutanan UGM mantan Persiden RI

    7. Menyerahkan 10 Skripsi mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM yang lulus pada tahun 1985 sebagai pembanding skripsi Joko Widodo

    8. Menyerahkan Duplikat Ijazah yang dinyatakan sah atas nama Joko Widodo mantan Persiden RI

    9. Menyerahkan seluruh atau semua Duplikat Ijazah yang dinyatakan sah yang lulus pada tahun 1985 pada Fakultas Kehutanan UGM sebagai pembanding ijazah Joko Widodo mantan Persiden RI

    10. Menyerahkan Nama ketua Jurusan Teknologi Kayu yang merupakan juruan yang dipilih Joko Widodo, nama Dekan Fakultas Kehutanan dan Nama Rektor UGM pada tahun 1985

    11. Menyerahka duplikat Ijazah S1, S2 dan S3 Rektor UGM, Wakil Rektor 1, Wakil Rektor 2, Wakil Rektor 3, Wakil Rektor 4, Dekan Fakultas Kehutanan, Kepala Perpustakaan UGM fakultas Kehutanan yang menjabat saat ini, dan ijazah S1, S2 Bapak Kasmodjo ke pengadilan untuk ikut diperiksa sebagai pembanding.***

  • MK Gugurkan 5 Gugatan Mahasiswa soal Uji Materi UU TNI

    MK Gugurkan 5 Gugatan Mahasiswa soal Uji Materi UU TNI

    Bisnis.com, Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) menolak 5 permohonan uji materi terkait UU TNI yang dulu sempat menimbulkan polemik di masyarakat.

    Empat permohonan uji materi di antaranya ditolak lantaran pihak pemohon tidak punya kedudukan hukum yang kuat untuk menguji UU TNI tersebut di Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, satu permohonan lainnya ditolak karena tidak mampu membuktikan kerugian konstitusional dari UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI.

    Wakil Ketua MK Saldi Isra mengemukakan pada permohonan uji materi nomor 79 yang diajukan oleh 6 orang mahasiswa, pemohon dianggap tidak mampu menjelaskan secara rinci hubungan langsung antara pemohon sebagai mahasiswa dengan pembentukan sampai disahkannya UU 3/2025 tentang TNI

    Tidak hanya itu, Saldi juga mengemukakan bahwa pemohon hanya menyerahkan bukti berupa leafletatau brosur pelaksanaan diskusi publik terkait dengan RUU TNI, RUU Polri, dan RUU Kejaksaan.

    “Mahkamah tidak mendapatkan bukti ada kegiatan nyata Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI yang membuktikan adanya kegiatan keterkaitan langsung dengan proses pembentukan Undang-Undang 3/2025 sehingga tidak dapat menunjukkan adanya hubungan sebab akibat atau causa verband antara anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon dengan proses pembentukan Undang-Undang 3/2025,” tuturnya di Jakarta, Minggu (8/6).

    Selanjutnya, permohonan uji materi nomor 74 juga ditolak oleh MK. Pasalnya, menurut Saldi, keempat orang mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia (UII) dianggap tidak bisa membuktikan partisipasi yang nyata dalam proses pembentukan UU Nomor 3 Tahun 2025. 

    Selain itu, para pemohon juga tidak jelas di dalam uraian kerugian hak konstitusional di UU TNI dan kaitan dengan para pemohon.

    “Para Pemohon tidak memberikan uraian penjelasan dan tidak terdapat bukti apapun yang mendukung aktivitas para Pemohon dalam kapasitasnya sebagai mahasiswa,” katanya.

    Kemudian pada permohonan nomor 66, kata Saldi, pihak pemohon tidak mampu menguraikan secara jelas adanya legal standing atau hubungan antara kerugian konstitusional yang spesifik dan aktual akibat dari pembentukan UU TNI. 

    Menurut pertimbangan Saldi, dalil para pemohon hanya berisi dugaan ada proses pembentukan yang tertutup dan tidak transparan serta tidak dilibatkannya para pemohon dalam partisipasi publik.

    Selain itu, bukti yang diajukan pemohon seperti tangkapan layar dari media daring, laman Kementerian Sekretariat Negara, dan DPR, tidak relevan untuk membuktikan adanya kerugian konstitusional. 

    “Para Pemohon seharusnya bisa lebih aktif menyikapi proses pembentukan UU a quo, baik dalam bentuk diskusi, membuat kajian atau tulisan, dan menyuarakan penolakan secara publik. Keberatan semata tidak cukup membuktikan adanya pertautan kepentingan konstitusional yang dilanggar,” ujar Saldi. 

    Selanjutnya pada permohonan nomor 58, dia juga mengatakan pemohon hanya bisa menyampaikan mengalami kesulitan dalam mengakses informasi pembentukan UU TNI tersebut. 

    Namun, hal itu tidak disertai dengan bukti atau uraian mengenai kegiatan konkret sebagai aktivis, seperti penyampaian pendapat kepada pembentuk undang-undang, keterlibatan dalam diskusi atau seminar, maupun publikasi tulisan terkait UU TNI.

    “Walaupun para Pemohon menyatakan dirinya sebagai aktivis, mereka tidak menunjukkan bukti adanya aktivitas yang menunjukkan keterlibatan nyata dalam proses pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025,” tutur Saldi.

    Terakhir adalah permohonan uji materi UU TNI dengan nomor permohonan 55, di mana para pemohon tidak dapat membuktikan upaya aktifnya dalam proses pembentukan UU 3/2025. 

    Para pemohon hanya menjelaskan terkait kerugian yang dialami sebagai mahasiswa dan masyarakat sipil yang tengah kesulitan mengakses informasi proses pembentukan UU 3/2025 tentang TNI.

    “Namun, tidak dikuatkan dengan uraian dan bukti mengenai yang menunjukkan satu pun upaya aktif dari para Pemohon dalam proses pembentukan Undang-Undang 3/2025, misalnya kegiatan seminar, diskusi, tulisan pendapat para Pemohon kepada pembentuk undang-undang, ataupun kegiatan lain yang dapat menunjukkan keterlibatan para Pemohon dalam proses pembentukan,” kata Saldi.

  • IMA Makassar Rancang Ruang Tumbuh UMKM

    IMA Makassar Rancang Ruang Tumbuh UMKM

    FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Indonesia Marketing Association (IMA) Chapter Makassar, melalui Divisi Sustainability Initiative, menggelar kegiatan perdana bertajuk Makassar Sustainability IDECTION, Rabu (21/5), di IndigoHub Makassar.

    Kegiatan ini menjadi langkah awal diseminasi ide dan gagasan terkait praktik keberlanjutan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam dunia usaha, khususnya sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

    Mengusung tema “Sustainable Supply Chain Management untuk UMKM”, kegiatan ini membidik isu penting yang sering luput dari perhatian pelaku usaha kecil: bagaimana mengelola rantai pasok untuk meningkatkan efisiensi, menekan biaya produksi, dan memastikan keberlangsungan distribusi produk dan ketersediaan bahan baku.

    Kegiatan ini dibuka oleh Dr. Ir. Taufik Nur, IPU, CSCA, APEC Eng., Vice President Sustainability Initiative IMA Chapter Makassar, yang menekankan pentingnya keberlanjutan sebagai bagian dari strategi bisnis jangka panjang. “UMKM harus naik kelas, dan salah satu caranya adalah dengan membenahi rantai pasok. Bukan hanya soal efisiensi, tapi juga soal etika dan dampak lingkungan,” ujarnya.

    Diskusi makin menarik dengan hadirnya para pakar dari bidang industri dan akademisi, di antaranya: Prof. Dr. Elisa Kusrini MT., CPIM., CSCP., SCOR_P dari FTI UII Yogyakarta yang membahas sistem SCOR dan praktik terbaik dalam supply chain; Dr. Taufiq Immawan, ST., MM., dari FTI UII Yogyakarta dan Direktur UMKM Akademi Yogyakarta, yang memberikan perspektif langsung dari pelaku pendamping UMKM; dan Dr. Nurul Chairany, dari FTI UMI dan Direktur Sustainability Initiative IMA Chapter Makassar, yang menyoroti tantangan lokal dalam membangun rantai pasok hijau. Kelanjutan dari kegiatan ini akan dilaksanakan kegiatan pendampingan untuk meningkatkan level sehingga dapat bersaing pada pasar lokal dan nasional.

  • 2
                    
                        Soal Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Mahfud Ingatkan Jangan Sampai Cederai Logika Konstitusi
                        Nasional

    2 Soal Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Mahfud Ingatkan Jangan Sampai Cederai Logika Konstitusi Nasional

    Soal Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Mahfud Ingatkan Jangan Sampai Cederai Logika Konstitusi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam),
    Mahfud MD
    mengingatkan, agar isu dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo tidak ditarik terlalu jauh, hingga menciderai logika konstitusi dan sistem hukum negara.
    Menurutnya, bila terjadi pemalsuan, proses hukum pidana tetap bisa berjalan, tetapi tidak akan menggugurkan aspek ketatanegaraan.
    “Kalau pidana iya, pidananya bisa, kalau terjadi pemalsuan itu karena kebohongan, kebohongan publik karena pemalsuan itu bisa. Tapi, pidana itu tidak menyangkut ketatanegaraan atau orangnya,” kata Mahfud dikutip dari tayangan channel YouTube “Mahfud MD Official”, Minggu (4/5/2025).
    Saat itu, Mahfud menyampaikan pidato dalam seminar tentang Undang-Undang Kepresidenan yang diselenggarakan Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII), 24 April 2025.
    Kompas.com
    telah mendapatkan izin dari tim Mahfud untuk mengutip pernyataannya.
    Guru Besar UII ini kemudian menyampaikan bahwa status ijazah tersebut tidak akan berdampak pada keabsahan keputusan-
    keputusan kenegaraan
    yang telah diambil Jokowi selama menjabat sebagai presiden.
    “Saya sih tidak peduli, apakah ijazah Pak Jokowi itu asli atau tidak, saya tidak peduli, karena itu tidak akan ada akibatnya terhadap proses ketatanegaraan kita,” kata Mahfud.
    Mahfud menjelaskan, dalam konteks
    hukum tata negara
    , keabsahan kebijakan dan keputusan presiden tidak otomatis gugur hanya karena muncul isu terkait dokumen pribadi seperti ijazah.
    Ia menilai bahwa kerangka hukum dan administrasi negara menjamin kepastian hukum atas keputusan yang sudah dibuat secara sah oleh pihak berwenang.
    “Kalau pendekatannya hukum tata negara dan hukum administrasi negara, dalilnya itu adalah keputusan yang sudah dibuat secara sah oleh kedua belah pihak itu harus dijamin kepastian hukumnya, bahwa itu berlaku,” ujar Mahfud.
    Ia juga mencontohkan, apabila presiden dianggap tidak sah karena ijazahnya bermasalah, maka akan timbul kekacauan hukum yang luas, mulai dari pengangkatan menteri, hakim, sampai perjanjian internasional.
    “Kalau betul ijazah Pak Jokowi palsu, lalu ada yang bilang semua keputusannya batal, tidak sah, saya bilang ndak lah, apa hubungannya? Menteri diangkat oleh presiden, terus dianggap tidak sah, kebijakan internasional batal, ya bubar negara ini,” ucap Mahfud.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • UU MK Digugat karena Keterwakilan Perempuan Minimal 30 Persen untuk Hakim Konstitusi Belum Diatur
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 April 2025

    UU MK Digugat karena Keterwakilan Perempuan Minimal 30 Persen untuk Hakim Konstitusi Belum Diatur Nasional 23 April 2025

    UU MK Digugat karena Keterwakilan Perempuan Minimal 30 Persen untuk Hakim Konstitusi Belum Diatur
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sebanyak enam mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menggugat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) ke MK.
    Para mahasiswa tersebut adalah Aulia Shifa Salsabila, Meika Yudiastriva, Safira Ika Maharani, Nadia Talitha Ivanadentrio, Dzaky Al Fakhri, dan Satrio Anggito Abimanyu.
    Mereka menggugat UU MK karena belum mengatur adanya
    keterwakilan perempuan
    30 persen untuk komposisi
    hakim konstitusi
    .
    Para pemohon menyebut, ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UU MK tersebut tidak menentukan secara jelas mengenai jumlah komposisi hakim konstitusi perempuan dan laki-laki.
    Akibatnya, para pemohon menilai terdapat ketidakpastian hukum karena secara aktual dan potensial tidak terdapat kepastian kuota kursi menjadi hakim konstitusi.
    Atas dalil tersebut, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
    “Sepanjang tidak dimaknai ‘
    Hakim Konstitusi
    diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden, dengan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen untuk selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden’,” ucap Safira, dalam sidang perkara nomor 27/PUU-XXIII/2025, Rabu (23/4/2025).
    Dalam nasihatnya, Hakim Konstitusi Ridwan meminta para pemohon untuk teliti memaknai dasar gender dalam pengujian norma.
    Hal ini penting dilakukan pemohon agar alasannya tidak sekadar menyatakan tindakan afirmatif dengan mencantumkan 30 persen kuota hakim perempuan dari sembilan hakim konstitusi.
    Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih sebagai Ketua Majelis meminta para pemohon untuk mencermati kedudukan hukum sebagai mahasiswa.
    “Ketersambungannya agak jauh, bagaimana
    legal standing
    bisa meyakinkan atas kerugian konstitusional. Pertimbangkan kembali Pasal 18 Ayat (1) ini tidak bisa dipisahkan dengan Pasal 24C UUD 1945 dan jabatan MK ini
    selective official
    . Jika dikabulkan, apa dampaknya dan tidakkah akan menimbulkan diskriminasi,” ucap Enny.
    Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Enny memberikan kesempatan kepada para pemohon untuk melakukan perbaikan dengan waktu selambat-lambatnya hingga Selasa, 6 Mei 2025.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Penegak Hukum Terlibat Korupsi Harus Dihukum Berat

    Penegak Hukum Terlibat Korupsi Harus Dihukum Berat

    loading…

    Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap putusan perkara Pemberian Fasilitas Ekspor CPO dan turunannya. Foto/Dok.Kejagung/Ilustrasi/Maspuq Muin

    JAKARTA – Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Muzakir melihat perlunya hukuman berat untuk aparat penegak hukum yang terlibat suap kasus korupsi. Pasalnya, aparat aparat penegak hukum sudah merusak penegakan hukum perkara korupsi.

    Hal itu dikatakannya menjawab pertanyaan tentang tuntutan hukuman berat yang harus dilakukan jaksa penuntut umum (JPU) yang menangangi perkara suap Rp60 miliar kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN).

    Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap MAN karena diduga menerima suap Rp60 miliar saat menangani perkara CPO di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat. “Saya setuju (dituntut hukuman mati atau hukuman berat). Bukan hanya hakimnya, tapi semua penegak hukum,” kata Muzakir, Senin (21/4/2025).

    Hukuman berat ini harus dijatuhkan kepada mereka. Sebab sebagai penegak hukum malah mereka yang merusak tatanan hukum sendiri. Sebagai orang yang harusnya memberantas korupsi malahan mereka yang melakukan korupsi.

    Muzakir melihat perlunya ada revolusi terhadap mental para hakim dan penegak hukum. Para penegak hukum harus disumpah dan diminta mengembalikan semua harta hasil suap atau korupsinya. “Kalau tidak bersih disingkirkan saja,” katanya.

    Dalam persoalan hukuman berat kasus korupsi, menurut Muzakir, harus dibedakan antara otak pelaku korupsi, dan orang-orang bawah yang hanya menjalankan tugas. Muzakir menilai, orang yang masuk penjara karena korupsi memang belum tentu bersalah.

    Karena bisa saja kalangan bawah yang terjerat korupsi hanya menjalankan perintah dari atasannya. “Cuma ketiban sampur mereka harus menjalani hukuman. Sementara yang lain tidak diproses, karena penegakkan hukumnya yang diskriminatif,” kata dosen pengajar di UII Yogyakarta ini.

    Dia berpendapat banyak kasus korupsi yang para otak korupsinya justru tidak diproses karena mereka memiliki bargaining politik. “Jadi sekarang itu penegakan hukum diskriminatif. Pasti ada yang dikorbankan. Pertanyaan saya apakah orang-orang seperti ini (anak buah,Red) harus dihukum mati?” imbuhnya.

    Muzakir memandang bahwa seharusnya mereka yang dihukum mati atau dihukum berat adalah para pengambil kebijakan. Persoalannya, justru otak kasus justru banyak yang tidak diproses hukum. “Untuk dilakukan hukuman mati syaratnya penegakan hukum harus objektif, tidak boleh diskriminatif. Kasian mereka, orang-orang kecil ini yang jadi korban,” pungkasnya.

    (rca)

  • 10 Air Rebusan Daun Penurun Kadar Gula Darah Tinggi, Binahong-Brotowali

    10 Air Rebusan Daun Penurun Kadar Gula Darah Tinggi, Binahong-Brotowali

    Jakarta

    Kadar gula darah dalam tubuh haruslah dijaga agar selalu dalam level normal. Glukosa darah yang terus tinggi dalam waktu lama dapat menyebabkan masalah kesehatan serius antara lain serangan jantung, stroke, kerusakan mata dan ginjal.

    Selain konsumsi obat resep dokter, air rebusan daun dari sejumlah tanaman bisa diminum sebagai upaya menurunkan gula darah tinggi. Daun perlu direbus selama beberapa menit dan sisa airnya dapat dikonsumsi secukupnya secara rutin.

    Air Rebusan Daun Untuk Turunkan Gula Darah

    Mulai dari daun binahong, brotowali, hingga daun sirih merah bisa dimanfaatkan untuk menstabilkan glukosa darah yang tinggi. Berikut penjelasannya:

    1. Daun Binahong

    Ilustrasi daun binahong Foto: Getty Images/iStockphoto/Dian Saputra

    Mengutip buku The Miracle of Herbs oleh drPraptiUtami danDestyErviraPuspaningtyas, S.Gz, daunbinahong dapat mengatasi berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes. Kandungantriterpenoidsaponin dalam daunnya bantu menurunkan glukosa darah

    Studi preklinis oleh Dr Farida Hayati MS, Apt. dan Mir A Kemila, peneliti di Jurusan Farmasi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, mengungkap konsumsi air rebusan daun binahong sama efektifnya dengan meminum obat penurun gula darah.

    Menurutnya, flavonoid menjadi senyawa penurun glukosa darah. Flavonoid mempunyai cincin benzena dan gugus gula yang reaktif terhadap radikal bebas. Gugus gula ini yang dapat menangkap radikal bebas penyebab diabetes.

    2. Brotowali

    Brotowali memiliki rasa pahit sehingga diyakini bisa menstabilkan kadar glukosa darah. Mengutip buku Bunga Rampai Herbal Indonesia oleh Kintoko dan Hardi Astuti Witasari, kolumbin dan pikroretin merupakan senyawa golongan alkaloid yang bertanggung jawab atas rasa pahit brotowali.

    Khasiat penurunan gula darah berkat brotowali dibuktikan oleh penelitian Sriyapai (2012) kepada 36 pengidap diabetes tipe 2. Pemberian serbuk brotowali rutin setiap hari selama 2 bulan bisa menurunkan glukosa darah secara signifikan.

    3. Daun Sirih Merah

    Ilustrasi Daun Sirih Merah Foto: Getty Images/SandyHappy

    Daun sirih merah mengandung senyawa fitokimia meliputi alkaloid, flavonoid, karvakol, eugenol, saponin, dan tanin, dikutip dari buku Daun Ajaib Tumpas Penyakit oleh Lina Mardiana. Senyawa aktif alkaloid dan flavonoid disebutkan punya efek penurun kadar glukosa darah.

    Uji praklinis pada hewan yang dilakukan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) Bogor mengungkap pemberian ekstrak sirih merah 20 gram per kilogram bobot tikus dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus hingga 34,3%.

    Efektivitasnya lebih tinggi daripada obat antidiabetes komersial yang hanya menurunkan 27% gula darah. Meski penelitian dilakukan pada hewan, hasil uji ekstrak daun sirih dapat dijadikan acuan untuk penggunaan pada pengidap diabetes.

    4. Daun Kersen

    Daun kersen berkhasiat menurunkan kadar gula darah di atas normal, merujuk buku Buah Bligo (Benincasa hispida) dan Daun Kersen (Muntingia calabura) Sebagai Antidiabetik oleh Retno Dwi N dan Dewi Pertiwi.

    Daun ini mengandung zat flavonoids yang dikenal bisa menurunkan glukosa darah. Senyawa kuersetin yang berperan menjaga performa sel pankreas tetap normal sehingga mempengaruhi penurunan gula darah juga ditemukan di dalam daun kersen.

    5. Daun Salam

    Daun salam mengandung sejumlah senyawa aktif, mencakup flavonoid, minyak atsiri, dan tanin, mengacu buku Diabetes Kandas Berkat Herbal oleh Ersi Herliana. Flavonoid yang bersifat antioksidan bantu mengendalikan diabetes dengan memungkinkan tubuh memproses insulin secara efisien.

    Di dalam daun ini juga tersimpan vitamin A dan C, zat besi, mangan, kalsium, hingga magnesium. Berkat sejumlah kandungan senyawa baiknya, daun salam juga memiliki kemampuan antiinflamasi, antibakteri, dan antijamur.

    6. Daun Kelor

    Ilustrasi daun kelor Foto: Getty Images/Jaka Suryanta

    Vitamin C, beta karoten, kuersetin, dan asam klorogenat adalah antioksidan yang terkandung di dalam daun kelor. Mengutip buku Tanaman Kelor (Moringa oleifera): Nilai Gizi, Manfaat, dan Potensi Usaha oleg F.G. Winarno, asam klorogenat terbukti bisa mencegah absorpsi gula.

    Berdasarkan penelitian terhadap hewan yang dipublikasikan The Asian Pacific Journal of Cancer Prevention, daun kelor juga mampu menurunkan kadar glukosa darah.

    Tingginya kandungan polifenol di dalam daun ini juga memiliki aktivitas antioksidan yang bantu menstabilkan gula darah.

    7. Daun Tin

    Bukan hanya buah, daun tin berkhasiat menurunkan glukosa darah. Di tersimpan kandungan flavonoid dan triterpenoid yang bantu mengendalikan kadar gula darah. Flavonoid diketahui merupakan senyawa antioksidan yang bisa mencegah peningkatan glukosa.

    8. Daun Kaca Piring

    Merujuk buku Kumpulan Tanaman Obat di Kecamatan Tirtajaya oleh Neni Sri Gunarti, dkk, daun dari tanaman kaca piring dapat diolah menjadi minuman penurun gula darah dengan cara direbus. Daun ini juga berkhasiat dalam meredakan demam, sariawan, hingga sembelit.

    9. Daun Kumis Kucing

    Ilustrasi daun kumis kucing Foto: iStock

    Dalam buku Mengenal 10 Tanaman Obat Keluarga oleh Maslan Harahap dijelaskan senyawa a-Glukosidase yang terkandung dalam kumis kucing dapat mengganggu kerja enzim dan memecah karbohidrat menjadi glukosa di saluran pencernaan. Sehingga mencegah peningkatan kadar gula darah.

    Senyawa antioksidan di tanaman ini juga berpotensi menurunkan risiko komplikasi diabetes akibat stres oksidatif. Berdasarkan sejumlah studi, 116 senyawa aktif teridentifikasi pada kumis kucing antara lain kelompok flavonoid, saponin, hingga minyak atsiri.

    10. Daun Johar

    Flavonoid ditemukan dalam daun johar. Menurut buku Bioaktivitas dan Konstituen Kimia Tanaman Obat Indonesia karya Sri Fatmawati, alkaloid dan antrakuinon yang terkandung di dalamnya juga bermanfaat dalam menstabilkan glukosa darah.

    Sejumlah daun tanaman di atas dapat direbus dan diminum sisa airnya untuk menurunkan kadar glukosa tubuh yang di atas normal. Jika tertarik mengonsumsinya, terutama pasien diabetes, dapat berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu.

    (azn/row)