Institusi: UGM

  • Gen Z Borong Obat Cacing untuk Dikonsumsi, Amankah? Ini Pendapat Para Pakar

    Gen Z Borong Obat Cacing untuk Dikonsumsi, Amankah? Ini Pendapat Para Pakar

    Jakarta

    Belakangan ramai soal generasi Z memborong obat cacing untuk dikonsumsi. Hal ini menyusul kasus balita di Sukabumi, Raya, mengalami cacingan yang kemudian meninggal akibat infeksi. Banyak dari netizen lantas mengaku parno sehingga memilih untuk mengonsumsi obat cacing.

    “Jangan lupa minum obat cacing 6 bulan sekali. Terakhir minum pas SD, sekarang umur 26 baru minum lagi,” tulis narasi video viral di TikTok, dikutip detikcom, Senin (25/8/2025).

    “Para Gen Z ketar-ketir dan langsung memberanikan diri minum obat cacing lagi, terakhir minum pas SD,” tulis narasi lain.

    Aman Dikonsumsi Asal Sesuai Aturan

    Guru Besar Parasitologi Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia (FKUI) Prof Dr Dra Taniawati Supali, menjelaskan obat cacing yang belakangan diborong Gen Z dan mudah ditemukan di apotek sebenarnya aman dikonsumsi oleh orang dewasa, asalkan diminum sesuai aturan dan tidak berlebihan.

    Prof Tania menekankan saat ini yang terpenting adalah memberikan edukasi kepada para orang tua untuk memberikan obat cacing pada anak setidaknya setiap enam bulan.

    “Aman sih sebetulnya, asal sesuai aturan ya minumnya. Kalau dia makannya cuman satu-satu gitu tidak apa-apa (jangan kebanyakan),” kata Prof Tania saat ditemui di Jakarta Pusat, Senin (25/8/2025).

    Ia menuturkan, di daerah dengan cakupan vaksinasi rendah, misalnya campak, penolakan terhadap obat cacing juga kerap terjadi. Banyak orang tua, terutama ibu, belum memahami cara memberikan obat cacing dengan benar kepada anak, bahkan ada yang memilih membuang obat tersebut.

    Menurutnya, edukasi sangat diperlukan terutama di wilayah endemis, seperti desa-desa di mana kebiasaan buang air besar masih dilakukan di tanah.

    “Kalau daerah endemis, kan banyak di desa-desa itu dia BAB-nya di tanah jadi nular lagi, kan cacingnya bertelur di tanah, tumbuh jadi larva terus masuk dari tangan, jadi perlu edukasi,” sambungnya.

    Senada, Pakar Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Zullies Ikawati membenarkan, konsumsi obat cacing memang sebaiknya dilakukan rutin 6 bulan sekali. Terutama bagi mereka yang hidup di daerah dengan prevalensi kasus cacingan yang tinggi.

    “Mengapa perlu 6 bulan sekali? Telur cacing bisa bertahan lama di tanah dan lingkungan, sehingga mudah terjadi reinfeksi. Siklus hidup cacing memungkinkan seseorang kembali terinfeksi dalam beberapa minggu sampai bulan setelah pengobatan,” kata Prof Zullies kepada wartawan, Jumat (22/8).

    “Dosis tunggal obat cacing (albendazol 400 mg atau mebendazol 500 mg) efektif membunuh cacing dewasa, tetapi tidak mencegah telur atau larva baru masuk,” sambungnya.

    Siapa yang Diprioritaskan Minum Obat Cacing?

    Prof Zullies menambahkan, ada kelompok-kelompok yang memiliki prioritas untuk mengonsumsi obat cacing secara rutin, setidaknya enam bulan sekali. Ini disesuaikan dengan risiko yang dimiliki oleh tiap kelompok.

    Berikut kelompok-kelompok yang harus mengonsumsi obat cacing.

    ⁠Anak-anak usia prasekolah (1-5 tahun), rentan karena sering bermain di tanah tanpa alas kaki.Anak usia sekolah (6-14 tahun), termasuk target utama program pemberian obat cacing di sekolah dasarWanita usia subur, termasuk ibu hamil trimester kedua dan ketiga untuk mencegah anemia akibat infeksi cacing.Orang dewasa yang tinggal di daerah endemis dengan sanitasi buruk (misalnya bekerja di sawah, perkebunan, tambang, atau pekerjaan yang sering kontak dengan tanah).Populasi dengan status gizi rendah karena cacingan memperburuk malnutrisi dan anemia.

    Namun, ada juga kelompok yang tidak diwajibkan untuk mengonsumsi obat cacing tiap 6 bulan sekali. Menurut Prof Zullies, ini bisa terjadi karena dukungan lingkungan dan kebersihan pribadi yang baik.

    “Orang dewasa di daerah perkotaan dengan sanitasi baik, air bersih, serta kebersihan pribadi terjaga, biasanya tidak perlu minum obat cacing rutin tiap 6 bulan,” kata Prof Zullies.

    “Namun tetap dianjurkan bila ada risiko tinggi atau gejala,” tutupnya.

    Halaman 2 dari 3

    (suc/kna)

    Tren Gen Z Beli Obat Cacing

    7 Konten

    Kasus meninggalnya seorang bocah di Sukabumi karena kecacingan yang tidak tertangani menuai sorotan banyak pihak. Bahkan memunculkan tren baru di kalangan Gen Z, yakni ramai-ramai beli dan minum obat cacing sendiri.

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Peneliti Asal Belanda Kagum Lihat Habitat Alami Bekantan di Pulau Curiak

    Peneliti Asal Belanda Kagum Lihat Habitat Alami Bekantan di Pulau Curiak

    KALSEL – Pulau Curiak, pulau di luar kawasan konservasi yang dikelola oleh Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) menyambut kehadiran tamu, seorang peneliti dari Wageningen University & Research (WUR) Belanda bernama Dr Corina van Middelaar.

    Kedatangannya ke Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan itu adalah untuk mempelajari kehidupan bekantan di sana. Ia sangat terkesan dengan temuannya di pulau tersebut.

    “Sungguh menakjubkan melihat bekantan dan melihat mereka melompat dari pohon ke pohon dan terutama yang jantan yang paling kuat dan paling besar, sangat mengesankan, sungguh sangat hebat,” kata Founder SBI Foundation Dr Amalia Rezeki menerjemahkan ucapan Corina atas kekagumannya terhadap bekantan di Pulau Curiak, mengutip ANTARA pada Minggu, 24 Agustus.

    Corina ditemani Amalia Rezeki bersama tim SBI menyusuri kawasan greenbelt atau area hijau Stasiun Riset Bekantan Pulau Curiak.

    Suasana alami hutan mangrove rambai (Sonneratia caseolaris) dengan suara kicauan beragam burung khas lahan basah menghiasi pesona kawasan yang sekarang menjadi bagian dari situs Meratus UNESCO Global Geopark.

    Sontak Corina dikejutkan oleh suara bekantan pejantan alpha dari kelompok Bravo yang berkumpul di Menara Pantau.

    Corina yang jauh-jauh dari negeri kincir angin ke Kalimantan Selatan ingin melihat bekantan di alam liar, takjub melihat perilaku bekantan monyet besar dari dunia lama ini, yang status konservasinya oleh lembaga konservasi internasional (IUCN) dimasukkan dalam daftar merah dengan kategori Endangered Species atau terancam punah.

    Dia pun berpesan kepada Amalia Rezeki yang juga sebagai Biologist Conservation dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) agar terus melanjutkan kerja besarnya yang luar biasa dalam upaya melestarikan monyet langka dan endemik dari Kalimantan ini.

    Pada kesempatan kunjungannya ke Stasiun Riset Bekantan, Corina juga turut mempelajari program restorasi mangrove rambai yang dilakukan SBI bekerja sama dengan masyarakat lokal.

    Kemudian dia juga ikut menanam bibit pohon mangrove rambai yang menjadi tradisi setiap kunjungan wisatawan minat khusus di Pulau Curiak.

    Kedatangan Corina ke Stasiun Riset Bekantan didampingi mitranya dari Indonesia Ir Tri Satya Mastuti Widi, Ph.D., IPM., ASEAN Eng dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM).

    Tri Satya pulalah yang mengenalkan bekantan di Belanda dalam sharing diskusi tentang penelitian bekantan di Stasiun Riset Bekantan Pulau Curiak.

    Sementara Amalia Rezeki mengucapkan terima kasih atas kunjungan Corina yang disertai keluarganya itu.

    Dia berharap di kemudian hari bisa lebih terjalin komunikasi, serta dapat dibangun kerja sama baik di bidang riset maupun konservasi.

    Corina van Middelaar merupakan peneliti yang ahli di bidang sistem produksi hewan, peternakan sapi perah, analisis lingkungan, peternakan berkelanjutan, gas rumah kaca hingga jejak air.

    Wageningen University & Research (WUR) tempatnya mengabdi sebagai akademisi adalah universitas riset negeri terkemuka di Wageningen, Belanda, yang berspesialisasi dalam ilmu hayati dan sumber daya alam, terutama di bidang pertanian, kehutanan, pangan, dan lingkungan.

    Universitas ini dikenal sebagai pusat riset global untuk ilmu pangan dan pertanian, serta memiliki peringkat teratas dunia dalam bidang tersebut versi QS World University Rankings.

  • Ova Emilia Rektor UGM Tergugat Rp 29 M Kasus Bank BPR, Netizen: Tersandera Kasus Ternyata

    Ova Emilia Rektor UGM Tergugat Rp 29 M Kasus Bank BPR, Netizen: Tersandera Kasus Ternyata

    GELORA.CO – Pernyataan Rektor UGM dalam sebuah video dan wawancara di televisi swasta mendapatkan berbagai tanggapan dari masyarakat dan warganet.

    Tidak hanya itu, netizen juga ungkap data jika Ova Emilia Rektor UGM tergugat Rp 29 M yang merupakan pemegang saham Bank BPR Tripilar Arthajaya.

    Diketahui dari putusan Pengadilan Negeri-Hubungan Industrial dan Tindak Pidana Korupsi Yugyakarta nomor 156/PDT/2018/PT.YYK menyebutkan jika Ova Emilia merupakan pemegang saham dari Bank BPR Tripilar Arthajaya.

    Ova Emilia yang merupakan tergugat IV merupakan pemegang saham mencapai 99.8 persen atau pemegang saham mayoritas.

    Dari putusan Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 156/PDT/2018/Pt TTK Menyatakan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, dan Tergugat IV telah melakukan perbuatan melawan Hukum.

    Adapun tergugat III adalah Abdul Nasil atau Jang Keun Won yang merupaka suami dari Ova Emilia yang merupakan Tergugat IV.

    Selain itu putusan ini juga menguatkan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta tanggal 1 Agustus 2018, Nomor : 190/Pdt.G/2017/PN.Yyk yang dimohonkan banding tersebut.

    Dengan adanya kasus ini, membuat netizen menghubungkan bagaimana Ova Emilia yang merupakan Rektor UGM terlihat memberikan pembelaannya atas izajah Joko Widodo.

    Ova dalam video yang tersebar di media sosial menyampaikan jika UGM punya bukti dan data bahwa Joko Widodo resmi menjadi lulusan dari UGM.

    Dalam akun youtube @Universitas Gadjah Mada, Ova menyampaikan jika UGM memiliki dokumen otentik terkait keseluruhan proses pendidikan Joko Widodo di UGM. 

    Dokumen ini meliputi tahap penerimaan yang bersangkutan di UGM, proses kuliah selama menempuh sarjana muda, pendidikan sarjana, KKN hingga wisuda.

    Informasi yang lebih rinci telah dirilis dalam bentuk podcast di sini.

    “Joko Widodo dinyatakan lulus dari UGM pada tanggal 5 November 1985 dan UGM telah memberikan ijazah yang sesuai dengan ketentuan kepada yang  bersangkutan saat diwisuda tanggal 19 November 1985,” tambahnya.

    Menanggapi pernyataan Ova, dr Tifauzia Tyassuma di akun X @DokterTifa menyampaikan rasa penasarannya kenapa Rektor UGM tersebut sampai memberikan pernyataan tersebut.

    “Mbak Ova. Ngapain sih mbak, bikin video begini,” tanyanya.

    “Orang yang panjenengan bela itu yang seharusnya bikin video begini, BUKAN REKTOR UGM!,” tegas dr Tifa.

    Selain itu dr Tifa juga menuliskan kenapa tidak Joko Widodo sendiri yang memberikan bantahan dan membuktikan jika izajahnya asli serta menunjukan kepada rakyat.

    “UGM itu bukan milik Joko Widodo!, UGM itu bukan pegawainya Joko Widodo!, Rektor UGM itu bukan hamba sahayanya Joko Widodo!,” tulis dr tifa

    Selaian itu netizen juga ikut mengomentari Ova yang terjerat kasus tersebut dan menuding jika pembelaan Ova ke Joko Widodo untuk mengamankan kasusnya

    “Buseeeeeeeeeeeeeeeeeeeetttttt tersandera kasus ternyata,” tulis akun @AbaGhomel.

    “Oalah, pantesan membela yang mau membela dia. Ternyata politik balas Budi, politik saling sandera dan politik saling melindungi, masih dipakai di sini,” akun @TriWibowoST1 ikut mengomentari.

  • Dokter Tifa Skak Pernyataan Ova Emilia, Nah Rektor Bilang Sendiri Jokowi Bukan Mahasiswa di Program Sarjana!

    Dokter Tifa Skak Pernyataan Ova Emilia, Nah Rektor Bilang Sendiri Jokowi Bukan Mahasiswa di Program Sarjana!

    GELORA.CO –  Tanggapi Ova Emilia, Dokter Tifa skak pernyataan Rektor Universitas Gajah Mada.

    “Menit 01:12 ….Proses kuliah selama menempuh Sarjana Muda…”

    Nah! Artinya Rektor sendiri menyatakan bahwa Joko Widodo bukan Mahasiswa yang diterima di Program studi SARJANA!

    Artinya apa?

    Artinya, JOKO WIDODO tidak mungkin ada di daftar penerimaan Mahasiswa Baru yang lulus Ujian PP-1 yang diumumkan di Surat Kabar Nasional tanggal 18 Juli 1980, seperti yang disampaikan oleh BARESKRIM!

    Demikian tweet akun X Dokter Tifa, dikutip pada Sabtu (23/8).

    “Mbak Ova sebagai Rektor pasti tahu, bahwa Mahasiswa yang diterima di Program Sarjana Muda, bukanlah Peserta Ujian PP-1, tetapi mengikuti jalur penerimaan mahasiswa baru tersendiri, dan pengumuman penerimaannya sebagai Mahasiswa Program Sarjana Muda, tidak melalui Surat Kabar Nasional!”

    Itulah sebabnya, Surat Kabar Nasional, yang ada di Jogja yaitu Kedaulatan Rakyat dan Berita Nasional atau Bernas, di tahun 1980, semuanya RAIB dari Perpustakaan Daerah.

    Dimana menurut Petugas Perpustakaan Daerah, koran-koran tersebut, telah DIAMANKAN oleh Polisi dan UGM!

    “Sudahlah mbak Ova, Bu Rektor, panjenengan daripada kalau ngomong malah blunder terus-terusan, saya sarankan, lebih baik diam.”

    Diam akan lebih baik bagi UGM.

    Dan diam akan lebih baik bagi mbak Ova sendiri.

    Ingat kasus BPR belum incracht, dan ada kasus gedung hitam yang sekarang ini sepertinya mangkrak juga saya lihat pembangunannya.

    Jangan nambah masalah dengan ikut-ikutan jadi tameng bagi kebohongan Jokowi Widodo!

    Hal sama juga ditweet akun X QNC Opposite Channel (REBORN).

    Rektor UGM TER-GUUUOOBLOK!!

    Bagaimana mungkin joko widodo dinyatakan sebagai alumni UGM??

    Ijazah setara sekolah menengah atas saja dia tidak punya!

    Kami memiliki semua alat bukti yang sah dari mulai Surat, Saksi, Persangkaan & Pengakuan.

    Tunggu saja saatnya ini Rektor kami gugat!

    Sekian lama ribut soal ijazah Jokowi asli atau tidak, baru kali ini ada pernyataan resmi dari Rektor Universitas Gajah Mada (UGM).

    Dinyatakan Rektor UGM Ova Emilia bahwa UGM sudah menyatakan beberapa kali secara tegas, bahwa Joko Widodo alumni UGM.

    “Saya Ova Emilia Rektor UGM berikut pernyataan resmi terkait ijazah Joko Widodo,” ujarnya dikutip dari akun X baharirwan, dikutip pada Sabtu (23/8).

    “Pertama, UGM mengikuti dengan baik perkembangan di masyarakat terkait adanya pihak yang mempertanyakan keaslian ijazah seorang alumni UGM yang bernama Joko Widodo,” ujar Ova.

    Kedua, lanjut Ova, secara UGM menghormati

    hak warga negara untuk mempertanyakan isu apa pun dan untuk memcari jawaban atas pertanyaan tersebut.

    “Ketiga, UGM sudah menyatakan beberapa kali secara tegas, bahwa Joko Widodo adalah alumni Universitas Gajah Mada.”

    Keempat, Ova menyebubt UGM memiliki dokumen otentik terkait keseluruhan proses pendidikan Joko Widodo di UGM.

    Dokumen ini meliputi tahap penerimaan yang berangkutan di UGM.

    “Mulai proses kuliah selama menempuh sarjana muda, pendidikan sarjana, KKN hingga wisuda,” kata Ova.

    Menurutnya informasi yang lebih rinci telah dirilis dalam bentuk podcast.***

  • Membaca Penjelasan Rektor UGM yang Masih Menyisakan Tanda Tanya

    Membaca Penjelasan Rektor UGM yang Masih Menyisakan Tanda Tanya

    Oleh: Beathor Suryadi, Politisi Senior PDIP

    Membaca penjelasan Rektor UGM, saya melihat ada benarnya, tetapi tetap terasa belum lengkap.

    Bagi saya, ijazah pada dasarnya adalah milik pribadi seorang alumni, selama dokumen itu hanya digunakan untuk kepentingan pribadi.

    Namun, status itu akan berubah ketika seorang alumni mencalonkan diri di ruang publik, misalnya dalam Pilkada atau Pemilihan Presiden.

    Contohnya, ijazah Joko Widodo dari tahun 1985 hingga 2005 tentu sepenuhnya menjadi milik pribadinya.

    Tetapi ketika beliau mendaftar sebagai calon Wali Kota Solo, ijazah itu otomatis berubah status menjadi dokumen publik.

    Prosesnya ditentukan oleh berita acara verifikasi yang dilakukan KPUD Solo bersama pihak UGM.

    Dalam tahap ini, dokumen yang dibawa partai politik untuk mendaftarkan kandidat akan dicocokkan dengan arsip yang ada di Fakultas Kehutanan UGM.

    Nah, berita acara verifikasi itu sangat penting. Dari situ bisa diketahui apakah dokumen yang dibawa ke KPUD identik dengan yang ada di UGM, atau justru ada perbedaan.

    Jika berbeda, berarti ada dua dokumen yang tidak sama.

    Boleh saja Ibu Rektor UGM menyatakan bahwa ijazah yang ada di kampus adalah asli.

    Namun, yang menjadi pertanyaan adalah: mengapa dalam Pilkada Solo tahun 2005 dan 2010, nama ijazah UGM tidak pernah terdengar?

    Baik ketika Jokowi menjabat Wali Kota maupun saat berkampanye, isu ijazah itu seolah tak pernah muncul.

    Baru pada tahun 2012, ketika mendaftar di KPUD DKI sebagai calon gubernur, nama ijazah UGM disebut dan dipublikasikan.

    Inilah yang kemudian menimbulkan polemik: apakah ada dua versi ijazah atas nama Joko Widodo, yakni yang diterbitkan UGM dan yang disebut-sebut berasal dari Pasar Pramuka?

    Saat ini, menurut informasi, dokumen atas nama Jokowi baik yang ada di UGM, di rumah beliau, maupun di KPUD Solo sudah berada di tangan pihak Polda Metro Jaya.

    Bahkan, ada kabar menarik dari Budi, anak almarhum Dumatno. Ia menyebut bahwa foto di salah satu ijazah Jokowi justru menampilkan wajah ayahnya.

    Pertanyaan pun muncul: apakah ijazah yang diterbitkan UGM itu sama dengan yang disebut-sebut dari Pasar Pramuka?

    Salam juang,

    Beathor Suryadi

    Klarifikasi Resmi dari UGM

    Sebagai catatan penting, pada Jumat, 22 Agustus 2025, Rektor Universitas Gadjah Mada, Ova Emilia, telah menegaskan bahwa ijazah Sarjana Presiden Joko Widodo adalah asli dan sah.

    UGM, kata Ova, memiliki dokumen lengkap perjalanan akademik Jokowi, mulai dari penerimaan mahasiswa, masa studi, hingga kelulusan pada 5 November 1985.

    Ijazah pun diberikan resmi saat wisuda pada 19 November 1985.

    UGM juga menegaskan bahwa tanggung jawab kampus selesai ketika seorang mahasiswa dinyatakan lulus.

    Setelah itu, penggunaan dan perlindungan dokumen adalah tanggung jawab alumni.

    Dengan pernyataan ini, pihak kampus berharap polemik seputar ijazah Presiden Jokowi bisa diluruskan dan tidak lagi menjadi perdebatan yang berlarut-larut.***

  • Tanggapi Pernyataan Terbaru Rektor UGM, Dokter Tifa: Malah Blunder Terus-terusan

    Tanggapi Pernyataan Terbaru Rektor UGM, Dokter Tifa: Malah Blunder Terus-terusan

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pernyataan terbaru Rektor UGM, Ova Emilia, yang kembali membela Jokowi terkait ijazah mendapat respons dari dr Tifauzia Tyassuma atau Dokter Tifa.

    Melalui postingan di akun media sosialnya, alumni Fakultas Kedokteran UGM yang juga pegiat media sosial ini menyampaikan ada hal yang dinilianya blunder dari pernyataan Sang Rektor.

    “Menit 01:12 ‘….Proses kuliah selama menempuh Sarjana Muda…’ Nah! Artinya Rektor sendiri menyatakan bahwa Joko Widodo bukan Mahasiswa yang diterima di Program studi SARJANA! Artinya apa?,” tulis Dokter Tifa, dikutip Sabtu (23/8/2025).

    Artinya, lanjutnya, Joko Widodo tidak mungkin ada di daftar penerimaan Mahasiswa Baru yang lulus Ujian PP-1 yang diumumkan di Surat Kabar Nasional tanggal 18 Juli 1980, seperti yang disampaikan oleh Bareskrim!

    “Mbak Ova sebagai Rektor pasti tahu, bahwa Mahasiswa yang diterima di Program Sarjana Muda, bukanlah Peserta Ujian PP-1, tetapi mengikuti jalur penerimaan mahasiswa baru tersendiri, dan pengumuman penerimaannya sebagai Mahasiswa Program Sarjana Muda, tidak melalui Surat Kabar Nasional!,” beber Dokter Tifa.

    Itulah sebabnya, sambung ahli epidemiologi ini, Surat Kabar Nasional, yang ada di Jogja yaitu Kedaulatan Rakyat dan Berita Nasional atau Bernas, di tahun 1980, semuanya raib dari Perpustakaan Daerah. Di mana menurut Petugas Perpustakaan Daerah, koran-koran tersebut, telah diamankan oleh Polisi dan UGM!

    “Sudahlah mbak Ova, Bu Rektor, panjenengan daripada kalau ngomong malah blunder terus-terusan, saya sarankan, lebih baik diam,” harap Dokter Tifa.

  • Rektor UGM Tegaskan Ijazah Jokowi Asli: Kami Punya Bukti Otentik

    Rektor UGM Tegaskan Ijazah Jokowi Asli: Kami Punya Bukti Otentik

    Bisnis.com, JAKARTA – Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali buka suara mengenai polemik ijazah Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) yang dituding tidak asli oleh Roy Suryo.

    Dilansir akun Youtube Universitas Gadjah Mada, Rektor UGM, Ova Emilia menegaskan ijazah Jokowi merupakan dokumen asli yang diterbitkan oleh UGM. 

    “Joko Widodo dinyatakan lulus dari UGM pada 5 November 1985 dan UGM telah memberikan ijazah sesuai dengan ketentuan yang bersangkutan saat wisuda 19 November 1985,” tegas Ova, dikutip Sabtu (23/8/2025).

    Dia mengatakan UGM memiliki dokumen otentik terkait proses pendidikan Jokowi selama menjadi mahasiswa UGM, sehingga dapat dipertanggungjawabkan. 

    Adapun dokumen tersebut meliputi, proses kuliah selama menempuh sarjana, pendidikan sarjana, Kuliah Kerja Nyata (KKN), hingga wisuda.

    Lebih lanjut, Ova menyampaikan UGM tidak dapat memberikan informasi yang bersifat pribadi kepada publik karena merupakan ketentuan hukum universitas.

    “Sesuai ketentuan hukum, UGM dapat menyampaikan data dan informasi yang bersifat publik dan wajib melindungi data yang bersifat pribadi,” jelasnya.

    Dia menyebut perlindungan data pribadi berlaku bagi seluruh civitas akademika UGM, termasuk para alumni.

    Selain itu, menurutnya keterbukaan informasi terkait ijazah juga sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemegang ijazah yang dalam hal ini Joko Widodo. 

  • Blak-Blakan Rektor UGM Jelaskan Polemik Ijazah Jokowi, Dekan Fakultas Ungkap Nilai IPK-nya

    Blak-Blakan Rektor UGM Jelaskan Polemik Ijazah Jokowi, Dekan Fakultas Ungkap Nilai IPK-nya

    Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Sigit Sunarta menegaskan, Joko Widodo lulus sebagai sarjana dengan nilai IPK yang jauh di atas syarat yang ditetapkan.

    Joko Widodo dinyatakan lulus dari UGM pada 5 November 1985. UGM telah memberikan ijazah yang sesuai dengan ketentuan kepada yang bersangkutan saat diwisuda pada 19 November 1985.

    Saat siaran podcast #UGMMENJAWAB IJAZAH JOKO WIDODO yang dirilis pada Jumat (22/8/2025) sore, Dekan Sigit menjawab pertanyaan mengenai tuduhan Jokowi sebenarnya tidak layak lulus sebagai sarjana.

    “Jadi di Fakultas Kehutanan, pada pada tahun itu ya, tahun 1980 saat Pak Jokowi masuk, itu masih menggunakan sistem yang lama. Dimana mahasiswa bisa lulus di strata sarjana muda dan bisa di sarjana,” jelasnya.

    Sigit menerangkan saat itu, untuk bisa meraih gelar sarjana muda, mahasiswa harus menempuh minimal 120 SKS dan meraih IPK minimal di angka 2,00. Kemudian agar bisa memperoleh gelar sarjana, maka harus menambah 40 SKS dan meraih IPK minimal 2,30. 

    “Pak Jokowi punya IPK yang memenuhi  memenuhi syarat lanjut ke sarjana. Pak Jokowi memiliki IPK yang jauh di atas sarjana 2,30 itu,” katanya.

    Sigit memastikan pihaknya sampai saat ini masih memiliki salinan asli IP, IPK, KHS dan lain sebagaianya terkait dengan masa kuliah Jokowi di Fakultas Kehutanan UGM. Namun karena ini merupakan data pribadi, pihaknya tidak bisa menyebar kemana-mana.

    “Bahkan keaslian dokumen ini dibenarkan tim forensik Polri saat pemeriksaan.  Semuanya masih berbentuk fisik kertas jaman-jaman dahulu, gitu ya yang sudah pudar warna-warna-nya,” terangnya.

     

  • Tren Beli Obat Cacing di Kalangan Gen Z Buntut Meninggalnya Bocah Sukabumi

    Tren Beli Obat Cacing di Kalangan Gen Z Buntut Meninggalnya Bocah Sukabumi

    Jakarta

    Kasus kematian Raya, balita di Sukabumi, Jawa Barat, pasca infeksi kecacingan sontak menjadi perhatian publik. Penyakit yang selama ini dianggap ringan ternyata bisa berdampak serius bila tidak kunjung diobati, lantaran berpengaruh pada kondisi gizi anak.

    Imbas peristiwa tersebut, tidak sedikit warganet utamanya generasi Z panik dan buru-buru membeli obat cacing. Video-video di TikTok memperlihatkan sejumlah Gen Z yang kembali minum obat cacing setelah bertahun-tahun tidak pernah mengonsumsinya.

    “POV: gen z setelah lihat kasus yang lagi viral, langsung buru-buru minum obat cacing setelah 2 tahun nggak minum obat cacing,” beber salah satu pengguna akun TikTok **iau**lll, seperti dilihat detikcom Jumat (22/8/2025).

    “Jangan lupa minum obat cacing 6 bulan sekali. Terakhir minum pas SD, sekarang umur 26 baru minum lagi,” tulis salah satu narasi video viral.

    “Ketakutan Gen Z: minum obat cacing,” komentar pengguna TikTok lain.

    Kasus Raya memicu diskusi lebih luas di publik, apakah orang dewasa yang tinggal di perkotaan dengan kondisi sehat juga perlu rutin minum obat cacing?

    Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Riyadi, SpA, Subs IPT(K), MKes, menegaskan obat cacing pada dasarnya aman dikonsumsi segala usia. Lantaran kecacingan tidak hanya menyerang anak-anak, tetapi juga bisa dialami orang dewasa.

    “Minum obat cacing kalau bergejala boleh, umur 1 tahun sampai umur berapa pun bisa. Di atas 1 tahun, kalau ada gejala, ada indikasi, jangan lupa minum obat harus dengan saran dokter,” jelas dr Riyadi dalam agenda temu media IDAI, Jumat (22/8/2025).

    Namun, ia mengingatkan agar penggunaan obat cacing tetap harus sesuai indikasi. “Obat cacing itu kayak antibiotik, dia antimikroba. Jangan berlebihan karena ada kemungkinan resisten,” tegasnya.

    Infeksi cacing bisa terjadi pada siapa saja, termasuk orang dewasa. Penularannya biasanya melalui makanan yang terkontaminasi atau kebiasaan hidup dengan sanitasi buruk.

    Dikutip dari Mayo Clinic, gejalanya dapat berupa:

    Gatal di area anus atau vaginaGangguan pencernaan seperti diare, mual, atau nyeri perutPenurunan berat badan tanpa sebab yang jelasRasa lelah berkepanjangan

    Menurut dr Riyadi, meskipun jarang secara langsung menyebabkan kematian, kecacingan memiliki dampak kronis. “Kecacingan bisa membuat seseorang lebih rentan terinfeksi penyakit lain dan memperburuk kesehatan dalam jangka panjang,” ujarnya.

    Tidak Semua Orang Perlu Minum

    Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada, Prof Zullies Ikawati, mengingatkan agar masyarakat tidak serta-merta latah ikut membeli obat cacing jika tidak ada indikasi. Menurutnya, konsumsi obat cacing tidak diwajibkan bagi semua kelompok masyarakat.

    “Orang dewasa yang sehat, tinggal di lingkungan dengan sanitasi baik, air bersih, serta kebersihan pribadi terjaga, sebenarnya tidak perlu minum obat cacing setiap enam bulan. Namun, tetap dianjurkan bila ada risiko tinggi atau gejala,” tutur Prof Zullies.

    Meski begitu, ia menegaskan bahwa pemberian obat cacing rutin enam bulan sekali sangat dianjurkan bagi mereka yang tinggal di daerah endemis atau wilayah dengan angka kecacingan masih tinggi.

    “Pemberian obat cacing dianjurkan secara rutin setiap 6 bulan sekali, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa yang tinggal di daerah endemis. Hal ini sejalan dengan rekomendasi WHO dan Kementerian Kesehatan RI melalui program mass drug administration (MDA),” jelasnya.

    Risiko Infeksi Ulang

    Prof Zullies menambahkan, obat cacing yang selama ini diberikan, seperti albendazol 400 mg atau mebendazole 500 mg dosis tunggal, efektif membunuh cacing dewasa, tetapi tidak bisa mencegah telur atau larva baru masuk ke tubuh.

    “Seseorang bisa kembali terinfeksi dalam beberapa minggu hingga bulan setelah pengobatan. Obat hanya membunuh cacing dewasa,” ungkapnya.

    Karena itu, bagi kelompok berisiko tinggi, pemberian obat cacing secara berkala menjadi penting agar infeksi tidak berulang dan tidak menimbulkan dampak kesehatan jangka panjang.

    Kelompok Prioritas Pemberian Obat Cacing

    Prof Zullies merinci kelompok masyarakat yang lebih rentan terinfeksi cacing, sehingga menjadi prioritas dalam pemberian obat cacing rutin, yaitu:

    Anak prasekolah (1-5 tahun): sering bermain tanah tanpa alas kaki.Anak usia sekolah (6-14 tahun): target utama program pemberian obat cacing di sekolah dasar.Wanita usia subur: termasuk ibu hamil trimester kedua dan ketiga.Orang dewasa di daerah endemis dengan sanitasi buruk: seperti pekerja sawah, kebun, tambang, atau mereka yang sering kontak dengan tanah.Populasi dengan status gizi rendah.

    “Dengan memahami sasaran dan jadwal yang tepat, pemberian obat cacing akan lebih efektif dalam mencegah malnutrisi, anemia, serta dampak jangka panjang akibat kecacingan,” pungkas Prof Zullies.

    Fenomena paniknya Gen Z yang ramai-ramai membeli obat cacing memperlihatkan adanya kekhawatiran yang wajar, tetapi perlu dilandasi informasi yang tepat. Obat cacing aman dan bermanfaat, tetapi harus digunakan sesuai indikasi dan anjuran tenaga kesehatan.

    Bagi masyarakat yang tinggal di daerah endemis atau masuk kelompok berisiko, pemberian obat cacing rutin merupakan langkah penting untuk menjaga kesehatan. Namun, bagi mereka yang hidup di lingkungan bersih dengan sanitasi baik, konsumsi obat cacing bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan gejala yang muncul dan tetap perlu anjuran dokter.

    Halaman 2 dari 4

    Simak Video “Video: Dokter Ingatkan soal Tren Beli Obat Cacing Usai Kasus Balita Sukabumi”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)

    Tren Gen Z Beli Obat Cacing

    5 Konten

    Kasus meninggalnya seorang bocah di Sukabumi karena kecacingan yang tidak tertangani menuai sorotan banyak pihak. Bahkan memunculkan tren baru di kalangan Gen Z, yakni ramai-ramai beli dan minum obat cacing sendiri.

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • 7
                    
                        Menghitung Amnesti atau Abolisi bagi Immanuel Ebenezer
                        Nasional

    7 Menghitung Amnesti atau Abolisi bagi Immanuel Ebenezer Nasional

    Menghitung Amnesti atau Abolisi bagi Immanuel Ebenezer
    Alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada
    SAAT
    menyaksikan retreat Kabinet Merah Putih pada Oktober 2024 lalu, saya membatin, “Siapa gerangan menteri yang akan digaruk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) paling pertama?”
    Berselang empat bulan kemudian, hati saya mengajukan pertanyaan serupa, “Dari ratusan kepala daerah yang menyimak pidato penutupan retreat oleh Presiden Prabowo Subianto, siapa yang akan dijadikan KPK sebagai kasus ‘pecah telur’?”
    Dua pertanyaan di atas kini terjawab sudah: Bupati Kolaka Timur dan Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker).
    Khusus pada kasus Wamenaker Immanuel Ebenezer, tampaknya ia tidak perlu terlalu khawatir. Presiden Prabowo memang pernah melontarkan sejumlah ancaman retributif terhadap para koruptor.
    Misalnya, Prabowo menginginkan para koruptor dihukum penjara selama lima puluh tahun. Tidak sebatas dibui, koruptor juga akan dikirim ke penjara khusus di pulau paling pelosok. Bahkan, para penggangsir uang negara yang kabur ke Antartika pun akan Presiden buru.
    Namun pada sisi lain, Presiden juga mempertonton watak santunnya. Presiden katakan, ia siap memaafkan para koruptor seandainya bandit-bandit itu mengembalikan kekayaan yang telah mereka keruk dengan cara ilegal.
    Yang mutakhir, halusnya budi pekerti Presiden terhadap mereka yang diperkarakan terkait kasus tindak pidana korupsi (tipikor) juga tampak pada pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hastyo Kristiyanto.
    Klaim Presiden, abolisi dan amnesti sedemikian rupa dilatarbelakangi oleh semangat persatuan, harmoni, dan restorasi. Diksi-diksi tersebut sesungguhnya bersayap, multitafsir, bahkan membingungkan.
    Terkait restorasi, misalnya, kata ini lazimnya dimaknai sebagai penataan ulang relasi antara pelaku dan korban pidana.
    Masalahnya, dalam kasus tipikor, para koruptor akan dirukunkan dengan siapa? Juga tidak ada kejelasan tentang individu maupun lembaga yang merepresentasikan para korban, terlebih jika dianggap bahwa korupsi merupakan kejahatan tanpa korban (
    victimless crime
    ).
    Restorasi pun mensyaratkan adanya permintaan maaf oleh pelaku, diiringi kesediannya untuk memulihkan hak-hak yang telah dirampas dari korban.
    Pada kenyataannya, di persidangan, Tom dan Hasto menyangkal seluruh dakwaan jaksa. Penyangkalan itu menjadi dasar bagi mereka untuk tidak menyampaikan permohonan maaf.
    Pengembalian kerugian negara yang dianggap jaksa telah Tom dan Hasto akibatkan pun serta-merta menjadi tidak relevan. Alhasil, semakin sulit diterima nalar: di mana sisi restorasinya?
    Dalam dunia pemasyarakatan, peringanan sanksi pidana didahului oleh penakaran risiko (
    risk assessment
    ). Lewat penakaran tersebut, akan diperoleh ramalan terukur tentang kadar kebahayaan seorang pesakitan, potensinya mengulangi pidana, dan tingkat responsnya terhadap program pembinaan selama yang bersangkutan berada di dalam penjara.
    Amnesti dan abolisi sangat mungkin menihilkan penyelanggaraan
    risk assessment
    itu. Sehingga, pemerintah sesungguhnya tidak memiliki data pemasyarakatan untuk memperhitungkan ketenteraman masyarakat pascadiberikannya amnesti dan abolisi kepada Hasto dan Tom.
    Konsekuensinya, tidak hanya amnesti dan abolisi terkesan sebagai penyikapan yang amat subjektif, tapi juga menomorsekiankan hak masyarakat akan kehidupan yang lebih baik.
    Amnesti dan abolisi sepertinya memang tidak bisa dicermati dengan kacamata hukum dan pemasyarakatan. Memahami amnesti dan abolisi sebagai hak presiden, maka sangat masuk akal untuk berasumsi bahwa politik merupakan pertimbangan utama—jika bukan satu-satunya—di balik keputusan Presiden Prabowo itu.
    ‘Layanan istiimewa’ bagi Tom dan Hasto disebut-sebut diberikan sebagai upaya Presiden mempersatukan kubu-kubu politik.
    Jika demikian adanya, maka hitung-hitungan di atas kertas Immanuel Ebenezer alias Noel pun berpeluang besar mendapatkan amnesti, bahkan abolisi.
    Presiden Prabowo tentu mempunyai catatan lengkap tentang rekam jejak Noel. Setelah menjadi pendukung loyal Joko Widodo semasa menjabat Presiden, Noel kemudian menjelma sebagai pendukung garis keras Prabowo-Gibran.
    Di belakang Noel ada ratusan ribu warga, bahkan jutaan warga yang dimobilisasi untuk mencoblos duet Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024.
    Begitu bekilaunya jasa-jasa baik Noel, sehingga Prabowo—selaku individu pemaaf dan pemersatu itu—tentu tidak akan mengalami amnesia politik terhadap segala kebaikan Noel.
    Jadi, terlepas proses pembuktian hukum nantinya, dan apa pun tindak perangai yang akan Noel peragakan di ruang-ruang penegakan hukum, Noel sejak sekarang sudah dapat membangun siasat politik agar kelak masuk dalam radar Presiden Prabowo sebagai penerima abolisi atau pun amnesti.
    Sampai di situ, Noel boleh tenang. Namun, tidak demikian dengan tersangka-tersangka lain pada kasus tipikor yang sama. Apa pasal?
    Saya memahami abolisi dan amnesti sebagai keputusan politik presiden sebatas bagi individu yang tengah berperkara hukum. Keputusan presiden itu sama sekali tidak berimplikasi terhadap perkara hukum individu dimaksud.
    Perkara hukumnya tidak sirna seiring dengan pemberian amnesti atau pun abolisi. Dengan kata lain, perkara hukumnya tetap bisa diaktifkan dan terus dilanjutkan.
    Memaknai amnesti dan abolisi terhadap individu sebagai penghentian perkara hukum secara keseluruhan akan sama artinya dengan penghapusan suatu kasus tipikor sebagai kejahatan serius yang bersifat sistemik.
    Dasar bagi keharusan untuk mengembalikan kerugian yang telah diakibatkan oleh para pelaku juga akan hilang begitu saja.
    Tafsiran terkait abolisi dan amnesti di atas sepatutnya dipandang sebagai sikap keberpihakan terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum yang telah bersusah payah menggerakkan mekanisme pidana guna meminta pertanggungjawaban para pelaku tipikor.
    Berkas-berkas yang telah lembaga-lembaga itu susun tidak sepatutnya masuk ke dalam laci dan teronggok di situ selama-lamanya.
    Oleh karenanya, seluruh dokumen penegakan hukum atas perkara tipikor tersebut semestinya terus ditindaklanjuti terhadap individu-individu lainnya yang tersangkut perkara hukum yang sama dan tidak mendapat amnesti maupun abolisi.
    Dengan berpijak pada tafsiran tersebut, seluruh institusi dalam sistem peradilan pidana tidak usah berkecil hati jika Presiden Prabowo mempersembahkan amnesti maupun abolisi kepada Noel.
    Berkas hukum untuk keperluan persidangan harus terus dimaksimalkan penuntasannya. Sembari masyarakat mempertanyakan ulang sikap mendua Presiden Prabowo terkait pemberantasan tipikor di Tanah Air: hukum seberat-beratnya ataukah maafkan setulus-tulusnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.