Institusi: UGM

  • PTS vis a vis PTN-BH

    PTS vis a vis PTN-BH

    loading…

    Muhammad Irfanudin Kuniawan – Dosen Universitas Darunnajah. Foto/Dok pribadi

    Muhammad Irfanudin kurniawan
    Dosen Universitas Darunnajah (UDN)

    Pagi itu, suasana Focus Group Discussion (FGD) pendirian Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam (MPI) di Universitas Darunnajah (UDN) terasa berbeda. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar diskusi akademik; ada sebuah refleksi mendalam tentang hakikat otonomi dan inovasi dalam dunia pendidikan tinggi. Kehadiran Prof. Dr. Phil. Sahiron, M.A., Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama, membawa perspektif yang cukup menggugah.

    Satu hal yang menarik adalah gelar yang tersemat di namanya “Dr. Phil.” Alih-alih gelar Ph.D. atau Dr yang lebih umum, nomenklatur ini mencerminkan tradisi akademik Jerman yang menekankan pada kedalaman filosofis. Dalam beberapa literatur disebutkan “Philosophy is the study of fundamental questions about existence, knowledge, and value.”, Ini bisa didefinisikan, sebagai studi tentang pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai eksistensi, ilmu, dan nilai. Artinya ini bukan sekadar gelar, tetapi sebuah panggilan untuk memahami esensi dari setiap kebijakan dan keputusan yang diambil, termasuk dalam regulasi perguruan tinggi.

    Kebijakan bukan hanya soal aturan, tetapi juga tentang arah masa depan. Ketika Pimpinan Darunnajah, KH. Hadiyanto Arief, mengutarakan visi besar pendirian Program Studi Manajemen Pesantren. Banyak pihak yang menyampaikan bahwa sampai saat ini, nomenklatur untuk prodi tersebut belum tersedia, ini membuat tim terhenti di batas regulasi. Sebuah ganjalan bagi dunia akademik yang seharusnya menjadi pusat inovasi. Nah, di sinilah pentingnya sebuah refleksi filosofis: apakah pendidikan tinggi sekadar pengelolaan administratif, ataukah ia adalah laboratorium kehidupan bagi gagasan-gagasan yang melampaui batas?

    Prof. Sahiron kemudian mengungkapkan bahwa pemerintah sedang merancang Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang program studi kreatif, yang bertujuan memberikan ruang bagi kampus-kampus untuk membuka program yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan zaman. Sekilas, ini terdengar seperti kabar baik. Namun, pertanyaannya tetap sama: mengapa harus ada batasan nomenklatur yang menghambat kelahiran ide-ide segar? Jika inovasi selalu harus menunggu regulasi, apakah kita benar-benar telah memberikan ruang bagi kemajuan?

    Diskusi semakin menarik ketika mencuat perbandingan dengan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) seperti UGM dan IPB. Status ini memungkinkan mereka memiliki otonomi yang lebih luas dalam pengelolaan akademik, keuangan, dan organisasi. Secara teori, PTN-BH diharapkan mampu mengurangi beban negara dengan pengelolaan yang lebih mandiri. Namun, di sisi lain, peserta diskusi mengangkat satu pertanyaan mendasar: bukankah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) sudah sejak awal mandiri? Jika PTN-BH diberikan keleluasaan untuk berinovasi karena alasan kemandirian, mengapa PTS yang sejak awal tidak bergantung pada anggaran negara justru masih terbelenggu oleh regulasi yang ketat?

    Prof. Sahiron mengakui kebenaran logika ini. Namun, ia juga menekankan bahwa pemerintah, melalui kementerian, tetap memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan dan pengendalian guna memastikan mutu perguruan tinggi tetap terjaga. Ini adalah argumen yang masuk akal, tetapi kembali lagi, bukankah terlalu banyak pengendalian bisa menjadi hambatan bagi inovasi? Haruskah PTS selalu berada dalam bayang-bayang regulasi yang dirancang dengan standar PTN?

    Pada akhirnya, PTS harus berani melepaskan diri dari jeratan administratif yang kaku dan mulai menempuh jalan inovasi. Bukan sekadar menunggu regulasi berubah, tetapi mendobrak kebuntuan dengan kreativitas dan keberanian. Sebagai institusi yang tidak membebani negara, PTS seharusnya memiliki hak yang lebih besar untuk bereksperimen, menciptakan ekosistem pendidikan yang adaptif, dan menjadi laboratorium bagi model pembelajaran yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman. Jika PTN-BH diberi ruang untuk bertumbuh dengan otonomi, maka PTS harus berani melampaui batas, bukan sebagai pesaing, tetapi sebagai pionir dalam lanskap pendidikan tinggi yang terus berkembang.

    (wur)

  • Tagar Indonesia Gelap Viral di Media Sosial, Luhut Binsar Pandjaitan: yang Gelap Kau Bukan Indonesia

    Tagar Indonesia Gelap Viral di Media Sosial, Luhut Binsar Pandjaitan: yang Gelap Kau Bukan Indonesia

    TRIBUNJATIM.COM – Tagar Indonesia Gelap ramai digunakan di media sosial.

    Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan pun buka suara.

    Ia menepis anggapan masyarakat yang beredar di media sosial melalui tagar Indonesia Gelap (#IndonesiaGelap).

    “Kalau ada yang bilang itu Indonesia gelap, yang gelap kau bukan Indonesia. Jadi kita jangan terus mengeklaim sana-sini,” ujarnya dalam acara The Economic Insights 2025 di Jakarta, Rabu (19/2/2025), dikutip dari Tribun Bogor.

    Menurut dia, kondisi Indonesia masih cukup baik meskipun dia mengakui sedang terjadi berbagai permasalahan.

    Namun, permasalahan ini banyak dialami oleh negara lain selain Indonesia.

    Salah satunya terkait isu kurangnya lapangan kerja.

    Luhut bilang, masalah tersebut juga dialami negara lain seperti Amerika Serikat (AS).

    “Ada orang bilang wah di sini lapangan kerja kurang, di mana yang lapangan kerja enggak kurang? Di Amerika juga bermasalah, di mana saja bermasalah,” ucapnya.

    Dia pun membeberkan pemerintah tidak tinggal diam ketika terjadi masalah kekurangan lapangan kerja.

    Pemerintah telah memberdayakan 300 orang generasi muda yang bekerja di Perum Peruri untuk mengelola GovTech.

    Selain itu, sebut Luhut, Indonesia justru beruntung karena memiliki pasar yang besar dengan jumlah penduduk yang mencapai 282 juta jiwa per Semester I 2024.

    INDONESIA GELAP – Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menepis anggapan masyarakat yang beredar di media sosial melalui tagar Indonesia Gelap (#IndonesiaGelap). (Kompas.com)

    Diprediksi pada 2030 jumlah ini akan bertambah menjadi 300 juta jiwa.

    “Jadi kita harus lihat ini. Kita sebagai orang Indonesia harus bangga juga bahwa we are doing right gitu, we are doing so good so far,” tuturnya.

    Sebagai informasi, #IndonesiaGelap terus menggema di media sosial X sejak awal Februari kemarin dan menjadi sorotan utama warganet.

    Tagar ini mencerminkan kegelisahan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai bermasalah.

    Kemunculan #IndonesiaGelap bermula dari kritik warganet terhadap berbagai kebijakan yang dianggap merugikan rakyat.

    Beberapa di antaranya adalah aturan baru terkait penjualan elpiji 3 kg yang menyebabkan kelangkaan gas, efisiensi anggaran yang berdampak pada gelombang PHK, hingga pemangkasan tunjangan bagi dosen dan tenaga pendidik.

    Situasi ini memicu gelombang protes, yang berpuncak pada aksi demonstrasi besar-besaran mahasiswa di berbagai daerah pada Senin, 17 Februari 2025.

    Sebelumnya, media sosial juga diramaikan dengan tagar Kabur Aja Dulu.

    Adapun tagar Kabur Aja Dulu ini dianggap sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap kondisi ekonomi, sosial, dan keadilan di dalam negeri.

    Kondisi tersebut diduga karena adanya sejumlah kebijakan pemerintah belakangan ini yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat.

    Tren tagar Kabur Aja Dulu sendiri dianggap sebagai bentuk keinginan masyarakat untuk meninggalkan Indonesia demi bekerja atau melanjutkan studi di luar negeri.

    Awalnya, tagar ini beredar masif di media sosial X dan banyak warganet menggunakan “#KaburAjaDulu” dalam cuitannya.

    Tagar tersebut disertai dengan ajakan untuk para anak muda untuk mengambil pendidikan, bekerja, hingga sekadar tinggal di luar negeri.

    Tren Kabur Aja Dulu kemudian dikaitkan dengan sistem pendidikan di Tanah Air yang memiliki biaya mahal, rendahnya ketersediaan lapangan kerja, dan upah per bulan yang rendah.

    Bahkan, menggunakan tagar tersebut warganet juga mengunggah informasi terkait kesempatan studi atau bekerja di luar negeri untuk “kabur” dari Indonesia.

    Banyak warganet berbagi informasi seputar lowongan kerja, beasiswa, les bahasa, serta pengalaman berkarier dan kisah hidup di luar negeri dengan menggunakan tagar Kabur Aja Dulu.

    Sejumlah ahli juga memberikan komentar terkait tren #KaburAjaDulu yang ramai di media sosial belakangan ini.

    Salah satunya dari Sosiolog UIN Walisongo Semarang, Nur Hasyim menyebut, tren Kabur Aja Dulu merupakan ekspresi kemarahan, keputusasaan, dan protes yang disampaikan publik melalui media sosial kepada pemerintah.

    Hasyim menilai, kebijakan yang diambil pemerintah belakangan tidak berpihak pada masyarakat.

    Termasuk kebijakan yang menginstruksikan efisiensi anggaran yang berdampak pada sejumlah sektor penting, seperti pendidikan, energi, hingga penanganan bencana dan krisis iklim.

    Hal ini kemudian membuat generasi muda kehilangan harapan untuk mencari penghidupan di Tanah Air, Indonesia.

    Sejalan dengan itu, Sosiolog di Universitas Gadjah Mada (UGM) Oki Rahadianto Sutopo mengatakan, kemunculan tagar KaburAjaDulu adalah bentuk refleksivitas atas kesenjangan global yang terjadi dewasa ini.

    Menurutnya, anak muda mulai sadar mengenai kesenjangan global, terutama terkait kualitas hidup di berbagai negara yang bisa diketahui berkat kemajuan teknologi.

    Kesenjangan global tersebut termasuk perbedaan jaminan kesehatan, kualitas pendidikan, kesempatan lapangan kerja, hingga kebebasan anak muda untuk berekspresi.

    Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com

  • Profil Lengkap Wakil Kepala BSSN Pratama Dahlian Persadha

    Profil Lengkap Wakil Kepala BSSN Pratama Dahlian Persadha

    Bisnis.com, JAKARTA  — Presiden Prabowo Subianto mengangkat Pratama Dahlian Persadha sebagai Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Pratama selama ini dikenal sebagai tokoh yang aktif dalam mengkritisi hal-hal terkait keamanan siber. 

    Dia juga pendiri lembaga riset siber independent bernama Communication and Information System Security Research Center.

    Pria kelahiran 14 Oktober 1977, Blora, Jawa Tengah, Indonesia itu pernah menjabat di berbagai posisi. Sebelum menjadi ketua di Cissrec, Pratama mengajar di sebagai Dosen Antropologi Digital di Universitas Gadjah Mada. Selain itu, Pratama juga pernah berprofesi sebagai Pengajar Ketahanan Siber di Lemhanas.

    Pratama juga pernah bekerja di Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) pada 1999-2014. Selama berkarir di Lemsaneg. Pratama juga pernah menduduki sejumlah jabatan mulai dari Plt. Direktur Pengamanan Sinyal, Ketua Tim Pengamanan IT KPU pada Pemilu 2014, Wakil Ketua Tim Pengamanan Pesawat Kepresidenan RI, hingga Penanggung Jawab Jaringan Komunikasi Sandi Nasional.

    Setelah menempati sejumlah posisi penting, Pratama mendirikan Cissrec dan menjadi ketua dari lembaga riset independen tersebut.

    Selama menjabat sebagai Ketua Cissrec, Pratama menyoroti beberapa isu krusial mulai dari kasus Bjorka, Sistem KPU, hingga kebocoran pusat data nasional sementara (PDNS).

    Dia mengatakan bahwa Kominfo, sebelum berubah menjadi Komdigi, seharusnya betul-betul belajar dari kejadian ini dan memperkuat PDNS 1 serta infrastruktur baru yang nantinya menggantikan PDNS 2 sehingga hal seperti ini maupun hal-hal lainnya tidak menggangu jalannya sistem PDN, sehingga lembaga pemerintah seharusnya tidak perlu khawatir untuk menempatkan data mereka di PDN.

    Pratama juga tercatat sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) dan pengajar S2 Antropologi UGM.

  • Pakar UGM Minta Pemerintah Kaji Ulang Pemangkasan Anggaran dan Minta Pejabat Tidak Bergaya Hidup Mewah

    Pakar UGM Minta Pemerintah Kaji Ulang Pemangkasan Anggaran dan Minta Pejabat Tidak Bergaya Hidup Mewah

    Liputan6.com, Yogyakarta – Sebanyak 17 kementerian/lembaga yang lolos dari kebijakan pemangkasan anggaran mendapatkan banyak sorotan tajam dari masyarakat, karena berpotensi berdampak pada pelayanan publik. Guru Besar UGM Bidang Manajemen Kebijakan Publik, Wahyudi Kumorotomo mengatakan program pemangkasan anggaran pada sektor mendasar pelayanan publik ini cenderung timpang dan akan berdampak menurunnya kualitas pelayanan publik. “Program penghematan ini cenderung timpang, sektor-sektor tertentu yang sebenarnya lebih fundamental, lebih mendasar untuk pelayanan publik justru kena pemangkasan,” katanya, Jumat (14/2/2025).

    Kementerian yang lebih strategis dan lebih penting bagi rakyat, seperti Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Kementerian Hak Asasi Manusia, dan Kementerian Kebudayaan justru mendapatkan pemotongan anggaran, sementara Kementerian Pertahanan tidak terkena kebijakan ini.

    Menurutnya, hal ini sebetulnya dapat ditunda, dan dana dari anggaran tersebut dapat dialokasikan untuk pelayanan pendidikan, kesehatan, dan sosial masyarakat. “Bukan berarti tidak setuju penghematan, realokasi, atau efisiensi apapun namanya, tetapi efisiensi itu juga harus tepat,” jelasnya.

    Wahyudi meminta pemerintah agar mengkaji ulang efisiensi ini, di tengah profil kabinet yang membengkak yang tentu anggaran naik hampir dua kali lipat daripada anggaran tahun sebelumnya yang hanya memiliki 34 kementerian. Menurutnya, dengan peraturan yang masih tetap sama, kabinet akan tetap menyedot dana yang besar.

    Ia memberikan contoh, bahwa menteri dan wakil menteri memiliki jatah tunjangan yang tidak terlalu berbeda. Wakil menteri bahkan mendapatkan 85% tunjangan dari jabatan menteri. “Kenyataanya menteri dan wakil menteri yang kita miliki sudah banyak, apalagi ditambah dengan staf khusus yang terus bertambah, sudah pasti akan menyedot anggaran. Terlebih, banyak dari staf khusus ini tidak berhubungan langsung dengan misi dari Kementerian dan tidak selalu meningkatkan kinerja pemerintahan yang bersangkutan,” paparnya.

    Wahyudi sepakat jika pemangkasan anggaran dapat dilakukan pada pos-pos anggaran yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik seperti mengurangi perjalan-perjalan dinas yang tidak perlu, menggunakan ATK yang masih bisa digunakan, mengurangi kegiatan seminar dan juga renovasi gedung yang masih bisa digunakan. “Saya kira untuk pos anggaran ini jika dipangkas tentu tidak akan menjadi masalah,” terangnya.

    Wahyudi menyoroti di sektor-sektor vital di bidang kesehatan, pengurangan jam pelayanan, pengurangan alat kesehatan dan obat-obatan akan bisa berdampak buruk kepada masyarakat. Meurutnya pemangkasan anggaran ini seharusnya bersifat kolektif dan tidak timpang sebelah, dan para pejabat harusnya memberikan contoh berhemat kepada masyarakat.

    “Jangan pejabat menekan rakyat untuk berhemat, tetapi ternyata pejabat tetap juga memelihara gaya hidup yang juga boros. Itu jelas akan menyakiti hati rakyat pada umumnya, kalau pejabat tetap masih dengan gaya hidup yang boros dan tidak peduli pada situasi yang sebenarnya. Sedang sebenarnya kita sama-sama menghadapi situasi yang sulit,” imbuhnya.

    Ia meyakini rakyat dapat memahami saat penghematan perlu dilakukan, Namun, seluruh pihak terlebih pemerintah betul-betul serius dan berkomitmen dalam mengendalikan dirinya supaya tidak bermewah-mewah dan melakukan pemborosan. Ia pun berharap pemerintah melihat realita di masyarakat diman abanyak masyarakat banyak terdampak. “Pemerintah harus memikirkan bagaimana orang tua dari anak-anak itu bisa tetap mendapatkan pekerjaan dan menghidupi keluarga mereka, dan melanjutkan hidup,” tegasnya.

  • Tren KaburAjaDulu, Gus Ipul: Lihat Sisi Positifnya, Mereka ke Luar Negeri Cari Pengalaman – Halaman all

    Tren KaburAjaDulu, Gus Ipul: Lihat Sisi Positifnya, Mereka ke Luar Negeri Cari Pengalaman – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul mengajak masyarakat menanggapi positif tren anak muda Indonesia pergi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan karena sulitnya mereka mencari pekerjaan di negeri sendiri. 

    Hal itu memunculkan tagar #KaburAjaDulu menggema di berbagai platform media sosial. Gus Ipul mengatakan, sudah banyak warga negara Indonesia mencari nafkah di luar negeri. 

    “Mari kita berpikir positif saja. Yang dimaksud dengan “kabur aja dulu” itu apa? Banyak warga kita yang ke Jepang, misalnya, karena di sana ada peluang kerja,” ujar Gus Ipul di Kantor Kemensos, Jakarta, Selasa (18/2/2025).

    Dia juga berpendapat, mobilitas orang begitu tinggi dan akses antarnegara sudah begitu mudah. Karenanya, tren #KaburAjaDulu hanya istilah biasa. 

    “Sekarang ini, mobilitas sangat tinggi. Akses sudah terbuka. Jadi, kita lihat sisi positifnya. ‘Kabur aja dulu’ itu hanya istilah saja,” kata Gus Ipul. 

    Warga negara Indonesia yang pindah ke luar negeri, menurut Gus Ipul, dapat memberikan manfaat untuk negara. 

    Gus Ipul mengajak masyarakat melihat tren #KaburAjaDulu ini secara positif.

    “Banyak orang keluar negeri untuk bekerja, lalu pulang dengan membawa pengalaman dan ilmu yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan bangsa,” tutur Gus Ipul. 

    “Jadi, mari kita berpikir positif. Mereka ke luar negeri dalam rangka belajar, mencari pengalaman, lalu kembali dan berkontribusi bagi bangsa,” pungkasnya. 

    Kampanye Protes dn Perlawanan Anak Muda ke Pemerintah

    Presiden Partai Buruh Said Iqbal menilai kampanye tanda pagar #KaburAjaDulu di media sosial merupakan bentuk protes sekaligus perlawanan anak muda karena minimnya lapangan kerja di Indonesia.

    “Kabur Aja Dulu itu adalah perlawanan oleh kaum muda, oleh anak-anak muda yang sudah sekolahnya mahal, capek-capek belajar. Tiba-tiba begitu memasuki dunia kerja setelah lulus, lapangan pekerjaan tidak tersedia,” kata Said Iqbal kepada awak media di Jakarta, Senin (17/2/2025).

    Said Iqbal menilai, informasi bursa tenaga kerja yang lemah. Ia lalu mempertanyakan peran dari Kementerian Ketenagakerjaan.

    “Kemenaker kemana saja? Maka mereka (anak muda) mencari pekerjaan ke luar negeri, beberapa negara memang kekurangan tenaga kerja,” terangnya.

    “Malaysia saja, untuk industri tertentu, kekurangan tenaga kerja. Singapura juga sudah mulai kekurangan tenaga kerja. Jepang sudah mulai membuka (lapangan pekerjaan). Korea Selatan sudah membuka. Eropa dan bahkan di Amerika, sepanjang mereka legal, kesempatan kerja lebih tinggi,” jelasnya.

    Bekerja di luar negeri, tentu karena mengejar upah yang lebih tinggi.

    “Upah kita terlalu murah buat kawan-kawan yang kerja lulusan sarjana. Orang lulus S1, UI, ITB, IPB, UGM, upahnya minimum. Kan kurang ajar. Sekolahnya sudah capek. Apalagi yang swasta,” terangnya.

    Atas fenomena #KaburAjaDulu, ditegaskannya bahwa ini merupakan sebuah perlawanan.

    “Perlawanan secara diam-diam oleh netizen dan anak muda terhadap negara yang tidak berpihak kepada mereka dalam penyediaan lapangan kerja,” jelasnya.

    Menteri Tenaga Kerja Tak Pedulikan Tren #KaburAjaDulu

    Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebeneze (Noel) enggan merespons soal tagar #KaburAjaDulu di media sosial yang mendorong warga negara Indonesia (WNI) untuk bekerja di luar negeri.

    Noel bilang Pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan tidak memperdulikan tagar atau seruan itu.

    Dia mempersilahkan kepada WNI yang ingin berkarir di luar negeri untuk tidak perlu kembali ke Indonesia.

    “Mau kabur, kabur saja lah. Kalau perlu jangan balik lagi, hihihi,” kata Noel di Kantor Kemendes PDT, Jakarta, Senin (17/2/2025), seraya tertawa.

     

  • Aksi #IndonesiaGelap, Mahasiswa UGM Akan Turun ke Jalan 20 Februari

    Aksi #IndonesiaGelap, Mahasiswa UGM Akan Turun ke Jalan 20 Februari

    GELORA.CO – Sejumlah mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia telah turun ke jalan pada Senin (17/2) kemarin. Mereka mengusung tema #IndonesiaGelap.

    Mereka mengekspresikan ketidakpuasan, juga menyampaikan beberapa tuntutan. Antara lain, mencabut Inpres Nomor 1 tahun 2025 yang terkait efisiensi, menolak dwifungsi TNI hingga evaluasi program Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Lalu bagaimana di Yogyakarta?

    Ketua BEM KM UGM 2025 Terpilih, Tiyo Ardianto, mengatakan pihaknya akan turun ke jalan pada Kamis, 20 Februari. Mereka akan bergabung dengan mahasiswa dari kampus lain dan masyarakat.

    “(Aksi) Kamis, 20 Februari mendatang melebur bersama mahasiswa dari kampus lain dan seluruh masyarakat di DIY,” kata Tiyo melalui pesan singkat, Selasa (18/2).

    Sementara itu soal di mana titik para mahasiswa dan masyarakat menyampaikan aspirasinya, Tiyo belum mendetailkan.

    “Segera kami informasikan,” bebernya.

    Demo pada 20 Februari mendatang juga masih tetap akan mengusung tema #IndonesiaGelap seperti demo-demo yang digelar mahasiswa berbagai daerah kemarin.

    Rencana demo di Yogya juga disampaikan Aliansi Mahasiswa UGM dalam postingan Instagramnya.

    “GASS AKSI LANGSUNG! POWER TO THE PEOPLE!,” tulis akun Instagram @aliansimahasiswaugm

  • Wakil Ketua MPR: Kampus berperan penting dalam kebijakan berbasis data

    Wakil Ketua MPR: Kampus berperan penting dalam kebijakan berbasis data

    Keterlibatan kampus dalam kebijakan ini penting karena rekomendasi yang disampaikan berbasis riset dan data yang ilmiah

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menekankan bahwa kampus berperan penting dalam penyusunan kebijakan berbasis data agar kebijakan pemerintah semakin tepat sasaran dan bermanfaat untuk masyarakat.

    “Keterlibatan kampus dalam kebijakan ini penting karena rekomendasi yang disampaikan berbasis riset dan data yang ilmiah,” kata Eddy saat menjadi pembicara seminar nasional di Universitas Gadjah Mada (UGM), sebagaimana keterangan diterima di Jakarta, Selasa.

    Menurut dia, kampus dengan segala sumber daya dan riset ilmiahnya dibutuhkan dalam pembuatan kebijakan berbasis data dengan tujuan kebijakan yang dihasilkan dapat memberi manfaat bagi masyarakat secara tepat.

    Ia mencontohkan, kebijakan berbasis data yang akurat diperlukan dalam mengatur subsidi gas minyak bumi cair (LPG) 3 kilogram. Pasalnya, subsidi untuk masyarakat kurang mampu itu masih diakses oleh kalangan mampu.

    “Mulai dari kafe, restoran, orang-orang kaya, hingga artis memakai gas LPG 3 kilogram. Ini salah sasaran karena LPG 3 kilogram seharusnya hanya digunakan oleh UMKM dan saudara-saudara kita yang tidak mampu,” ujar Eddy.

    Oleh karena itu, Eddy mendukung upaya pemerintah untuk terus membenahi subsidi LPG 3 kilogram. Dia juga mendorong agar kampus terlibat dalam upaya tersebut.

    “MPR mendorong keterlibatan kampus dalam memastikan subsidi ini tepat sasaran dengan berbasis data ilmiah,” ucap dia menegaskan.

    Di sisi lain, Eddy mendorong kampus untuk berperan lebih banyak dalam kebijakan transisi menuju energi terbarukan. Menurut dia, inovasi di bidang energi yang dihasilkan kampus perlu diperluas skalanya menjadi level kebijakan.

    “Indonesia saat ini memiliki ketahanan energi yang relatif mapan, meski belum mandiri. Karena itu, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan penggunaan energi terbarukan di satu sisi dan di sisi lain berupaya menurunkan penggunaan energi fosil tanpa harus mengorbankan ketahanan energi kita,” ujarnya.

    Eddy menyampaikan pernyataan tersebut dalam seminar nasional dengan tema “Urgensi Transisi Energi Mencegah Dampak Perubahan Iklim” di UGM, Yogyakarta, Senin (17/2). Seminar dihadiri oleh civitas academica UGM, termasuk guru besar, dosen, hingga mahasiswa.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Chandra Hamdani Noor
    Copyright © ANTARA 2025

  • Roadmap bioetanol mendesak, pengamat ingatkan dampak terburuk

    Roadmap bioetanol mendesak, pengamat ingatkan dampak terburuk

    Sumber foto: https:/linkcuts.org/w3xbhnji/elshinta.com.

    Roadmap bioetanol mendesak, pengamat ingatkan dampak terburuk
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 17 Februari 2025 – 14:12 WIB

    Elshinta.com – Di tengah gencarnya upaya pengembangan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (BBN), pemerintah diingatkan untuk segera membuat roadmap yang lebih jelas dan terstruktur. Terlebih, bioetanol sudah ditetapkan sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN). Demikian disampaikan pengamat energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Tumiran. 

    Tumiran sependapat, roadmap terstruktur sudah sangat mendesak. Kalau tidak segera dibuat, dikhawatirkan berdampak buruk terhadap pengembangan bioetanol itu sendiri. “Ya, bisa gagal. Makanya harus ada roadmap yang terstruktur. Siapa targetnya, pelakunya siapa, bagaimana skenario pricing, dan lain-lain. Semua harus jelas,” kata Tumiran kepada media hari ini, Senin (17/2). 

    Menurut mantan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) tersebut, roadmap memang harus jelas dan terstruktur. Dari sisi produksi, misalnya, berapa juta ton yang ditargetkan. Dari target tersebut, kemudian dipetakan lagi, apa saja bahan bakunya. Misal tebu, jagung, singkong, dan sebagainya. ”Roadmap itu harus jelas. Itu penting,” lanjutnya. 

    Ketiadaan roadmap, imbuh Tumiran, bahkan bisa berdampak terhadap keseimbangan antara produksi dan penyerapan bioetanol itu sendiri. “Kalau produksi berlimpah lalu tidak terserap, bagaimana? Makanya,  harus ada sinergi. Skenario harus jelas,” tegas Tumiran. 

    Tidak hanya itu. Tumiran juga mengingatkan, pentingnya regulasi harga. Antara lain, pemerintah harus menghilangkan pajak bagi bioetanol untuk BBN. Karena bioetanol untuk BBN, misalnya, tentu tidak bisa disamakan dengan etanol untuk minuman keras. “Itu juga harus dipetakan dulu oleh pemerintah. Termasuk apa saja hambatannya dan juga bagaimana skenarionya,” imbuh Tumiran. 

    Terpisah, peneliti ekonomi Universitas Pasundan Bandung, Acuviarta Kartabi, juga sependapat. “Jadi roadmap merupakan alat untuk memperjelas tahapan dari sebuah proyek besar seperti proyek strategis nasional (PSN). Termasuk pengembangan bioetanol. Apalagi, proyek ini multisektor,” ujar Acuviarta.

    Mengenai pentingnya roadmap, Acuviarta menjelaskan, karena pengembangan bioetanol tidak bisa hanya dibebankan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tetapi ada juga kementerian lain, seperti Kementerian Pertanian dan sebagainya. “Para kementerian itu harus berbagi peran untuk pengembangan bioetanol,” lanjutnya.

    Menurutnya, mulai dari strategi, kebijakan, program sampai ke pelaksanaan kegiatan yang akan dilakukan menjadi jelas dengan roadmap sehingga arah pengembangannya pun tidak kabur. Selain itu, ada timeline yang jelas sehingga program bioetanol bisa mudah termonitor dan dievaluasi. 

    Tanpa roadmap yang terstruktur, imbuh Acuviarta, akan membuat para pihak yang terlibat pada program itu berjalan sendiri-sendiri. “Karena peran dan fungsi para pihak yang terlibat dalam pengembangan bioetanol akan menjadi tidak jelas di bagian hulu dan hilirnya,” ujarnya. 

    Sumber : Elshinta.Com

  • Indonesia Gelap? Pakar Politik UB Ungkap Makna dan Dampaknya bagi Pemerintah

    Indonesia Gelap? Pakar Politik UB Ungkap Makna dan Dampaknya bagi Pemerintah

    Malang (beritajatim.com) – Aksi Indonesia Gelap kembali menjadi sorotan setelah menjadi bentuk protes simbolik masyarakat terhadap kebijakan yang dianggap merugikan kepentingan publik. Menurut Andhyka Muttaqin, S.AP., M.PA., dosen Universitas Brawijaya (UB) Malang, aksi ini mencerminkan keresahan masyarakat terhadap kebijakan yang tidak transparan dan kurang melibatkan partisipasi publik.

    Gerakan Indonesia Gelap dilakukan dengan cara mencolok namun tetap damai, seperti mematikan lampu, mengenakan pakaian hitam, atau menghentikan konsumsi media tertentu. Andhyka, yang merupakan Assistant Professor di Departemen Administrasi Publik UB, menjelaskan bahwa aksi ini bukan sekadar demonstrasi biasa, tetapi bagian dari demokrasi yang sehat.

    Aksi ini muncul sebagai respons terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Dalam beberapa kasus, aksi ini dilakukan ketika pemerintah dinilai membatasi kebebasan berpendapat atau mengeluarkan kebijakan tanpa konsultasi publik yang memadai.

    “Misalnya, jika suatu kebijakan berpotensi mengurangi kebebasan pers atau akses informasi, masyarakat akan menunjukkan penolakan mereka melalui aksi ini,” jelas Andhyka, lulusan S1 UB dan S2 UGM.

    Aksi ini memiliki makna mendalam yang mencerminkan ketidakpuasan terhadap kebijakan tertentu. Andhyka menyebut Indonesia Gelap punya sejumlah makna simbolik.

    “Pertama, kegelapan sebagai simbol ketidakadilan. Mematikan lampu atau berhenti mengonsumsi media tertentu bisa diartikan sebagai protes terhadap kebijakan yang dianggap tidak transparan,” ujarnya pada beritajatim.com, (17/2/2025).

    Kedua, kesadaran kolektif dan solidaritas. Ketika banyak orang bergabung, aksi ini menjadi simbol bahwa ada keresahan bersama di masyarakat. Ketiga, tekanan sosial dan politik karena aksi ini menjadi pengingat bagi pemerintah bahwa masyarakat sedang mengawasi kebijakan yang diambil.

    Jika aksi ini dilakukan secara luas dan mendapat dukungan berbagai elemen masyarakat, dampaknya bisa signifikan. Menurut Andhyka salah satunya berdampak pada pemerintah yang melihat bahwa kebijakan yang diambil mendapat penolakan.

    “Jika tekanan cukup kuat, ada kemungkinan kebijakan tersebut dikaji ulang atau bahkan direvisi. Aksi ini juga meningkatkan kesadaran politik dan mendorong partisipasi aktif dalam demokrasi,” ujarnya.

    Selain itu, dosen UB ini menyebut aksi ini juga berdampak terhadap media dan dunia Internasional. Jika mendapat perhatian luas, aksi ini bisa menjadi sorotan global terhadap kondisi demokrasi di Indonesia.

    Aksi Indonesia Gelap bukan sekadar protes biasa, tetapi bagian dari mekanisme demokrasi yang sehat. Menurut Andhyka, selama dilakukan secara damai dan terorganisir, aksi ini bisa menjadi alat efektif untuk menekan pemerintah agar lebih transparan dan responsif terhadap aspirasi rakyat

    “Masyarakat memiliki suara yang berharga dalam menentukan arah kebijakan negara. Aksi ini adalah salah satu bentuk partisipasi publik yang harus dihargai dalam sistem demokrasi,” tutup Andhyka Muttaqin.

    Dengan meningkatnya kesadaran politik masyarakat, aksi ini menjadi pengingat bahwa kebijakan negara harus tetap berpihak pada kepentingan publik dan transparansi pemerintahan. (dan/ian)

  • Muncul Tagar Kabur Aja Dulu, Menaker Sebut Ada Peluang Kerja di Luar Negeri – Page 3

    Muncul Tagar Kabur Aja Dulu, Menaker Sebut Ada Peluang Kerja di Luar Negeri – Page 3

    Tagar #KaburAjaDulu yang viral di media sosial menjadi cermin keresahan sebagian masyarakat Indonesia, terutama generasi muda, terhadap kondisi sosial ekonomi dan peluang kerja di dalam negeri. Munculnya tagar kabur aja dulu merupakan ekspresi kekecewaan terhadap kondisi ekonomi dan politik dalam negeri.Banyak yang merasa masa depannya tidak menentu di Indonesia, hingga mendorong mereka untuk mencari peluang di luar negeri.

    Seperti yang diungkapkan oleh akun X @Ju***Ekspor, “baru rame #KaburAjaDulu, gue udah bilang dari beberapa tahun lalu, Indonesia ini makin kacau. Bisnis makin ga sehat, permainan orang dalam, impor menggila, inflasi terus naik, gaji ga naik, kualitas hidup ga ada. Makanya gua pindah ke luar negeri, buka bisnis diluar negeri.”

    Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, memberikan perspektif yang berbeda. Ia menilai fenomena ini sebagai hal yang lumrah, dan bukan berarti menunjukkan kurangnya kecintaan pada Tanah Air.

    “Kabur bukan berarti tidak cinta Indonesia. Mereka berharap nanti kalau situasi sudah baik, situasi politik atau ekonomi sudah baik, nanti pulang lagi, dan itu bisa terjadi,” jelas Tadjudin mengutip dari kanal Bisnis Liputan6.com, 11 Februari 2025.