Institusi: Stanford University

  • Pendidikan & Riset Jadi Fondasi Ekonomi

    Pendidikan & Riset Jadi Fondasi Ekonomi

    Bisnis.com, JAKARTA — Pendidikan tinggi dan riset merupakan fondasi utama pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

    Peningkatan signifikan kualitas sumber daya manusia, riset, dan inovasi menjadi kunci mewujudkan Indonesia Emas 2045. Isu ini mengemuka di tengah tantangan brain drain, yakni keluarnya talenta terbaik Indonesia ke luar negeri yang berisiko mengurangi daya saing inovasi nasional.

    Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie, menyatakan bahwa pendidikan tinggi dan riset merupakan fondasi utama pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

    “Tanpa investasi pada ide dan inovasi, pertumbuhan ekonomi akan berhenti pada kondisi steady state,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (19/12/2025).

    Stella menyampaikan hal itu dalam acara Human Development Synergy Forum: Kemitraan Multi-Pihak untuk Memperkuat Kebijakan Ekosistem Pendidikan dan Riset Nasional.

    Acara tersebut digelar Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bersama dengan Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Indonesia dan Yayasan Bicara Data Indonesia di Jakarta, Kamis (18/12/2025).

    Secara keseluruhan, isu utama dalam forum ini adalah mendorong pergeseran paradigma menuju brain gain dengan menarik talenta untuk kembali dan berkontribusi, serta brain circulation melalui pembangunan jejaring kolaborasi riset dan transfer pengetahuan dengan diaspora. Perubahan ini selaras dengan visi Presiden Prabowo tentang penguatan SDM, sains, dan pendidikan.

    Lebih lanjut, Stella mengatakan, mengacu pada teori pertumbuhan ekonomi Paul Romer, investasi pada sumber daya manusia, pengetahuan, dan inovasi memberikan efek yang signifikan terhadap perekonomian.

    Menurutnya, kenaikan investasi riset sebesar 10% dapat meningkatkan PDB sekitar 0,2% dalam jangka pendek dan hingga 0,9% dalam jangka panjang.

    Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, anggaran untuk riset pada 2025 mencapai Rp3,2 triliun atau meningkat 218% ketimbang Rp1,47 triliun tahun sebelumnya. Peningkatan terbesar ini karena Mendiktisaintek mendapatkan dana riset dari LPDP yang bisa disalurkan langsung kepada universitas.

    Stella menyampaikan bahwa pemerintah memiliki gagasan untuk membangun research university yang kuat dengan kualitas riset yang mumpuni, dan tidak hanya jumlah publikasi.

    Dia mencontohkan dampak ekonomi universitas riset global, seperti Stanford University, yang menghasilkan manfaat ekonomi tahunan sekitar US$2,7 triliun dan menciptakan jutaan lapangan kerja.

    “Ini bukan opini, melainkan fakta ekonomi,” katanya.

    Dia menggarisbawahi pula pentingnya strategi spesialisasi riset untuk mengejar ketertinggalan. “Jangan investasi kecil-kecil di semua bidang. Kita harus pintar mengatur investasi riset untuk spesialisasi di mana Indonesia punya niche,” katanya.

    Misalnya rumput laut. Indonesia adalah penghasil rumput laut tropis terbesar di dunia dengan nilai pasar sebesar US$12 miliar. Namun, pemanfaatannya belum optimal karena saat ini Indonesia masih menjual bahan mentah.

    Bagi Stella, isu penting lainnya soal riset dan inovasi adalah dukungan industri. Berdasarkan paparannya, di Eropa, swasta berkontribusi 59% terhadap dana riset, Amerika Serikat 63%, sementara China, Korea Selatan, dan Jepang lebih dari 75%.

    “Kita harus meyakinkan swasta bahwa investasi terhadap riset di universitas akan menghasilkan profit tinggi karena industri berbasis teknologi dan ide saintifik memiliki profit margin tertinggi,” ujarnya.

    Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan Kemenko PMK, Ojat Darojat, menyebut akar persoalan daya saing inovasi Indonesia. Dia mengutip pandangan OECD yang menilai sistem pembelajaran Indonesia masih didominasi rote learning, yakni menghafal pengetahuan tanpa kemampuan menerapkan.

    Pola tersebut pada gilirannya menghasilkan inert knowledge yang merujuk kepada pengetahuan yang tidak terkonversi menjadi inovasi dan solusi nyata.

    “Kita masih memproduksi pengetahuan, belum mengaplikasikannya,” ujar Ojat seraya memberikan penekanan soal perlunya pergeseran menuju pembelajaran berbasis critical thinking serta sesuai dengan kebutuhan industri.

    Menurut data Global Innovation Index 2024 yang dirilis World Intellectual Property Organization (WIPO). Indonesia berada di peringkat 55 dari 139 negara, turun satu peringkat dari tahun sebelumnya.

    Posisi ini menempatkan Indonesia di urutan keenam di ASEAN, jauh tertinggal dari Singapura (peringkat 5), Malaysia (34), Vietnam (44), Thailand (45), dan Filipina (50).

    Peringkat input inovasi Indonesia berada di posisi 60, sementara output inovasi di peringkat 59. Hal tersebut menunjukkan kesenjangan antara kapasitas riset dan hasil yang berdampak ekonomi.

    Executive Director Yayasan Bicara Data Indonesia (YBDI), Yenny Bachtiar, menekankan bahwa tantangan brain drain tidak seharusnya dimaknai sebagai kehilangan semata, melainkan peluang untuk membangun brain gain melalui kemitraan yang terarah dan berkelanjutan.

    “Kebijakan pendidikan dan riset harus dibangun dari data yang akurat, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

    Yenny menegaskan peran data sebagai “alat navigasi” kebijakan agar riset tidak berhenti di publikasi, melainkan berujung pada solusi pembangunan.

    Dari perspektif global, Program Manager Friedrich-Ebert Stiftung (FES), Rina Julvianty, menilai investasi berkelanjutan pada pendidikan, riset, dan inovasi—yang ditopang kemitraan multipihak—merupakan fondasi daya saing bangsa.

    Adapun FES memposisikan diri sebagai jembatan antara riset dan kebijakan publik, menghubungkan praktik baik internasional dengan kebutuhan nasional.

    Forum ini secara khusus menghadirkan dua dialog kebijakan, yakni Sesi bertajuk Brain Drain: Membangun Kemitraan Global dalam Pendidikan dan Riset untuk Masa Depan Indonesia, serta Benchmarking Kemitraan Global Dalam Pendidikan dan Riset.

  • UGM Bentuk Emergency Response Unit Bantu Korban Bencana di Sumatera

    UGM Bentuk Emergency Response Unit Bantu Korban Bencana di Sumatera

    Jakarta

    Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara mendorong Universitas Gadjah Mada (UGM) membentuk Emergency Response Unit sebagai wujud tanggung jawab kemanusiaan. UGM bergerak cepat menyalurkan bantuan, mendampingi mahasiswa terdampak, hingga mengirim relawan medis dan psikososial ke lokasi bencana.

    Sebagai langkah awal, UGM menghimpun bantuan melalui penggalangan dana bersama sivitas akademika, mitra, dan alumni, sekaligus melakukan pendataan mahasiswa yang berasal dari wilayah terdampak. Tercatat, sebanyak 217 mahasiswa UGM terdampak bencana, terdiri dari 81 mahasiswa asal Aceh, 93 mahasiswa dari Sumatera Utara, dan 43 mahasiswa dari Sumatera Barat.

    Rektor Universitas Gadjah Mada Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph.D., menyampaikan ungkapan belasungkawa dan simpati mendalam atas musibah yang terjadi.

    “Semoga keluarga terdampak senantiasa diberikan kesabaran, ketabahan, pemulihan yang cepat, serta nantinya lebih kuat,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (18/12/2025).

    Ia menegaskan bahwa UGM terlibat dalam gerakan solidaritas kemanusiaan melalui berbagai inisiatif terintegrasi. UGM tidak hanya menyalurkan bantuan, tetapi juga berkontribusi dalam mitigasi dan perencanaan pascabencana.

    “Berbagai inisiatif tersebut, saat ini diintegrasikan dengan langkah pemerintah pada masa tanggap darurat dan dalam penyusunan roadmap rehabilitasi-rekonstruksi yang dikoordinir oleh Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan,” sambungnya.

    UGM juga memberangkatkan tim relawan medis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) serta RSA UGM. Tim yang terdiri dari dokter spesialis lintas disiplin, perawat, apoteker, nutrisionis, dan sanitarian ini bertugas melakukan pendataan kebutuhan obat-obatan dan alat medis, serta berkoordinasi dengan rumah sakit setempat agar layanan kesehatan tetap optimal. Selama masa tanggap darurat, UGM telah mengirimkan empat tim medis secara bergantian ke Aceh.

    Di bidang psikologis, UGM menurunkan tim psikososial untuk memberikan pendampingan langsung bagi para penyintas. Selain itu, UGM menyelenggarakan pelatihan pendampingan psikososial yang bekerja sama dengan Universitas Syiah Kuala untuk memperkuat kapasitas pendampingan berkelanjutan. Beberapa tim juga mengembangkan teknologi terapan, seperti pemasangan alat penjernih air bertenaga surya di puskesmas dan rumah sakit di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Utara, serta alat deteksi banjir dan tsunami di Aceh.

    Kampus Berdampak

    Melalui Dies Natalis bertema ‘Kampus Sehat, Pilar Kemandirian dan Ketahanan Bangsa’, UGM menegaskan komitmennya sebagai institusi pendidikan tinggi yang merawat ekosistem akademik bermutu dan berdampak. Komitmen ini menjadi bagian dari tanggung jawab UGM terhadap kemanusiaan, solidaritas kebangsaan, serta pembangunan berkelanjutan yang adaptif terhadap perubahan iklim.

    Sepanjang 2025, UGM mencatat berbagai kontribusi di bidang pengembangan SDM, sosial kemasyarakatan, dan perekonomian yang mencakup kemandirian bahan baku obat dan alat kesehatan, penanganan stunting dan TBC, kedaulatan pangan, transisi energi berkeadilan, hingga adaptasi lingkungan dan pengembangan teknologi berbasis kecerdasan buatan. Dalam seluruh proses tersebut, UGM berpegang pada prinsip merakyat, mandiri, dan berkelanjutan.

    Sebagai universitas nasional, UGM juga menjalankan mandat sosial melalui penyediaan pendidikan tinggi yang berkualitas dan terjangkau. Pada 2025, UGM menggandeng sekitar 229 mitra penyedia beasiswa dan menjangkau 18.617 mahasiswa penerima manfaat.

    Dari sisi pembiayaan, UGM meningkatkan kemandirian melalui kerja sama tridarma, pemanfaatan aset, dan unit usaha untuk menopang pendidikan, penelitian, serta pengabdian masyarakat. UGM juga mengembangkan Ekosistem Pembelajaran Inovatif (EPI) melalui EduTech, MOOC di platform LMS eLOK dan UGM Online sebagai wujud komitmen inklusivitas pengetahuan.

    Penguatan ekosistem inovasi juga dilakukan melalui diseminasi pengetahuan berbasis video. Hingga kini, UGM telah merilis ratusan konten edukatif lintas kluster.

    “UGM telah merilis 854 video diseminasi pengetahuan dari berbagai kluster di UGM, termasuk 531 video karya dosen yang tersedia di UGM Channel,” papar Ova.

    Karya Riset dan Inovasi

    Dalam penguatan kemandirian bangsa, UGM menempatkan riset dan inovasi sebagai pilar utama. Universitas berperan sebagai pusat inovasi teknologi dan hilirisasi riset untuk menopang kedaulatan intelektual dan teknologi nasional.

    Menurut Ova, riset dan inovasi menjadi elemen penting untuk perguruan tinggi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan.

    “Kita semua tentu meyakini bahwa riset dan inovasi menjadi elemen sangat penting bagi penguatan posisi pendidikan tinggi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan,” tuturnya.

    UGM terus membangun ekosistem riset melalui penetapan flagship penelitian, penguatan kelembagaan, peningkatan sarana prasarana, serta jejaring kemitraan internasional. Berbagai produk inovasi di bidang energi, pangan, teknik, sosio humaniora, hingga kesehatan dan farmasi telah berhasil dihilirisasi dan diserap industri.

    Selain itu, UGM juga memperkuat siklus riset ke hilirisasi mulai dari pengujian produk. Penguatan R&D dan inovasi, fabrication laboratories, hingga katalisasi pengembangan kewirausahaan melalui UGM Science Technopark.

    Di bidang energi, UGM berhasil mengembangkan inovasi untuk sumber alternatif Energi Baru Terbarukan (EBT) Biodiesel dan Bioetanol dalam kawasan hutan berupa pengembangan bioetanol dari tanaman sorgum. Sementara di bidang pangan, UGM telah menghasilkan berbagai komoditas pangan dan pengolahan melalui label Gamafood.

    Kemudian, di bidang inovasi kesehatan dan farmasi, UGM berhasil melakukan hilirisasi produk seperti Rapid Assessment Diabetic Retinopathy (RADR), RZ-VAC (Vacuum Assisted Closure), Dental SilkBon, Divabirth, Aphrofit, Konilife Memora, ImunoGama Konilife Memora, Essonina, OST-D, hingga Hesdrink.

    Lebih lanjut, di bidang publikasi internasional, UGM mencatat 1.825 publikasi dengan 690 kolaborasi internasional serta memiliki 12 jurnal terindeks Scopus. Ova pun menyampaikan apresiasi terhadap capaian para dosen UGM yang berhasil meningkatkan pemeringkatan di Stanford University.

    “Kita cukup berbangga, di tahun ini, 14 Dosen UGM Masuk Top 2% World Scientist 2025 dirilis oleh Stanford University, naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya yang hanya 7 dosen,” katanya.

    Selain itu, UGM juga mencatat sejumlah capaian komersialisasi, termasuk produksi benih padi Gamagora yang telah mencapai 28,6 ton dan tersebar di 15 kabupaten/kota di Indonesia.

    “Untuk padi Gamagora, produksi benih sudah mencapai 28,6 ton yang tersebar di 15 kabupaten dan kota diseluruh Indonesia,” jelas Ova.

    Pengabdian kepada Masyarakat

    Sebagai universitas berdampak, UGM menempatkan pemberdayaan masyarakat sebagai bagian penting tridarma perguruan tinggi. Melalui KKN-PPM, UGM sepanjang 2025 telah menerjunkan 9.242 mahasiswa ke 35 provinsi, 28 kabupaten/kota, dan lebih dari 500 desa/kelurahan.

    Program ini memperkuat kolaborasi dengan Kagama dan mitra internasional, bahkan mendapat apresiasi dari Presiden Timor Leste. Digitalisasi juga menjadi faktor pendukung internasionalisasi pengabdian masyarakat UGM.

    Di akhir pidato, Ova menyampaikan capaian UGM dalam pemeringkatan global. Pada QS World University Rankings 2026, UGM berhasil menempati peringkat ke-224 dunia, naik 15 peringkat dari tahun sebelumnya. UGM juga meraih peringkat pertama di Indonesia pada QS Sustainability Ranking 2026.

    “Terima kasih kepada seluruh sivitas universitas dan semua pihak yang telah memberikan kontribusi positif bagi pengembangan UGM. Kita selalu berupaya untuk membangun kemandirian. Namun, translasi kemandirian bangsa ini tentu memerlukan upaya kolektif kita semua sebagai bangsa dan negara,” pungkasnya.

    Dengan sejumlah program yang telah dirancang dan dijalankan, UGM berkomitmen untuk memperkuat kapabilitas dinamis melalui transformasi budaya dari Teaching Culture menuju Research and Innovation Culture. Dengan semangat ‘Merakyat, Mandiri, dan Berkelanjutan’, UGM meneguhkan perannya sebagai enabler pembangunan SDM dan teknologi masa depan.

    (akd/ega)

  • Waspada! Riset Ungkap Tanda Penurunan Fungsi Otak yang Terlihat dari Cara Bicara

    Waspada! Riset Ungkap Tanda Penurunan Fungsi Otak yang Terlihat dari Cara Bicara

    Jakarta

    Peneliti University of Toronto mengungkapkan masalah penurunan fungsi otak seperti penyakit alzheimer bisa diketahui dari cara seseorang bicara seseorang. Alzheimer adalah penyakit otak yang menyebabkan penurunan memori, kemampuan berpikir, dan fungsi sehari-hari secara bertahap. Kondisi ini terjadi karena kerusakan sel saraf di otak dan biasanya memburuk seiring waktu.

    Ahli menjelaskan kecepatan berbicara seseorang bisa menjadi indikator penurunan fungsi kognitif. Kondisi ini disebut dengan ‘lethologica’.

    Lethologica dialami oleh orang muda maupun tua, tapi semakin usia bertambah, khususnya di atas 60 tahun, menemukan nama benda memang bisa makin sulit. Peneliti lalu meminta 125 orang dewasa berusia 18-90 tahun untuk menggambarkan sebuah adegan secara rinci.

    Peserta diperlihatkan gambar benda sehari-hari sambil mendengarkan audio yang dibuat untuk membantu atau membingungkan mereka. Misalnya, ketika melihat gambar sapu, maka audio akan menyebut ‘sapu’. Atau, sebaliknya audio juga bisa menyebut ‘pel’ untuk menyesatkan otak sejenak.

    Semakin cepat kecepatan bicara alami seseorang pada tugas pertama, semakin cepat juga ia bisa memberi jawaban pada tugas kedua. Temuan ini mendukung processing speed theory, yang berargumen perlambatan umum dalam pemrosesan kognitif berada di pusat penurunan kognitif, bukan perlambatan di pusat memori saja.

    “Jelas bahwa orang tua jauh lebih lambat daripada orang muda dalam menyelesaikan berbagai tugas kognitif, termasuk tugas menghasilkan kata seperti menamai gambar, menjawab pertanyaan, atau membaca kata tertulis,” ucap psikolog Hsi T Wei, yang memimpin penelitian, dikutip dari Science Alert, Minggu (30/11/2025).

    “Dalam percakapan alami, orang tua juga cenderung menghasilkan lebih banyak ketidaklancaran seperti jeda kosong atau jeda terisi (misalnya ‘uh’ dan ‘um’) dan memiliki kecepatan bicara yang lebih lambat,” sambungnya.

    Temuan ini dinilai menarik, karena menunjukkan tanda penurunan fungsi otak tidak hanya ditentukan dari apa saja kata yang dikeluarkan, tapi seberapa cepat seseorang mengatakannya.

    Pada 2024, peneliti dari Stanford University menemukan jeda bicara yang lebih panjang dan kecepatan bicara yang lebih lambat berkaitan dengan kadar protein tau lebih tinggi, yang dikaitkan dengan ciri khas alzheimer.

    Rekaman neuroimaging dari 237 orang dewasa tanpa gangguan kognitif menunjukkan mereka yang memiliki beban protein tau lebih besar cenderung memiliki kecepatan bicara lebih lambat. Selain itu, juga ada jeda antara ucapan lebih panjang, dan lebih banyak jeda secara keseluruhan.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • Ginjal Rusak akibat Olahraga Terlalu Intens, Seberapa Sering Terjadi?

    Ginjal Rusak akibat Olahraga Terlalu Intens, Seberapa Sering Terjadi?

    Jakarta

    Dalam beberapa kasus, olahraga terlalu intens dikaitkan dengan risiko rhabdomyolysis. Kondisi yang ditandai dengan kerusakan sel-sel otot ini bisa berujung fatal, memicu kerusakan ginjal yang serius.

    Dikutip dari Cleveland Clinic, rhabdomyolysis menyebabkan komponen toksik dari jaringan otot masuk ke sistem peredaran darah lalu terbawa sampai ke ginjal. Akibatnya, kerusakan ginjal yang serius bisa terjadi.

    Kondisi ini disebabkan oleh banyak hal, termasuk trauma, pengobatan, maupun kondisi kesehatan tertentu. Kerusakan otot semacam ini juga terjadi akibat olahraga yang terlalu dipaksakan, yang dikenal sebagai exertional rhabdomyolysis.

    “Dehidrasi dan temperatur tinggi saat olahraga bisa meningkatkan risiko,” kata D Alan Nelson, PhD, MPAS, ilmuwan yang mempelajari kondisi tersebut di Stanford University School Of Medicine, dikutip dari MensHealth.

    “Pada exertional rhabdomyolysis, bayangkan aktivitas yang melibatkan kelompok otot yang besar hingga derajat yang ekstrem, seperti lari jauh, keras, dan cepat, crossfit, jalan jauh dengan rucksack (ransel pemberat), latihan sepakbola, triathlon, marathon,” jelas Nelson.

    “Ini adalah aktivitas yang sangat berat, dalam durasi yang tidak sewajarnya,” lanjutnya.

    Di Amerika Serikat, data menunjukkan rhabdomyolysis relatif jarang terjadi. Diperkirakan, sebanyak 26 ribu orang mengalaminya dalam setahun.

    Tanda-tanda Rhabdomyolysis

    Beberapa tanda rhabdomyolysis yang bisa dikenali antara lain:

    Pembengkakan ototMelemahnya ototNyeri ototPerubahan warna urine menjadi cokelat atau gelap.

    Meski demikian, Nelson mengingatkan tidak ada tanda spesifik yang benar-benar bisa jadi petunjuk. Menurutnya, hal yang sebaiknya dilakukan adalah sebisa mungkin menghindari risikonya.

    “Ini berbahaya. Pada waktunya ini terjadi, sudah terlambat untuk menghentikannya,” katanya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Istri di Jatim Donorkan Ginjal Untuk Suaminya”
    [Gambas:Video 20detik]
    (up/up)

  • Studi Penelitian Bongkar Manfaat Mengejutkan dari Kebiasaan Bergosip

    Studi Penelitian Bongkar Manfaat Mengejutkan dari Kebiasaan Bergosip

    Jakarta, Beritasatu.com- Bergosip selama ini identik sebagai salah satu bentuk kegiatan atau aktivitas yang tak bermanfaat. Jangan salah, ternyata menurut studi penelitian dari University of Maryland dan Stanford University bergosip tidak sepenuhnya buruk karena menawarkan berbagai manfaat bagi pelakunya.

    Penyebar gosip, tukang ngobrol, orang yang suka ikut campur, atau biasa disebut sebagai penggosip sering mendapat reputasi buruk. Dalam studi teoretis yang dipublikasikan pada 20 Februari 2024 di Proceedings of the National Academy of Sciences, para peneliti menemukan bahwa bergosip yang didefinisikan sebagai pertukaran informasi pribadi tentang pihak ketiga yang tidak hadir justru dapat memberikan manfaat sosial dan membantu individu dalam menjaga kerja sama dalam kelompok.

    Tidak hanya itu, bergosip dengan orang lain dinilai peneliti juga sekaligus menghindari diri kita dari orang-orang yang egois.

    Dikutip dari laman resmi College of Computer, Mathematical & Natural Sciences University of Maryland, Jumat (21/11/2025), menurut studi penelitian tersebut, bergosip sejatinya membantu orang memperoleh informasi reputasi yang sebelumnya sulit didapatkan, terutama dalam kelompok sosial besar atau ketika seseorang tidak mengenal orang lain dengan baik. Informasi yang didapat tersebut kemudian digunakan untuk menentukan apakah seseorang aman atau layak diajak bekerja sama.

    “Ketika orang-orang tertarik untuk mengetahui apakah seseorang adalah orang yang baik untuk diajak berinteraksi, jika mereka bisa mendapatkan informasi dari bergosip (diasumsikan informasi itu jujur) maka aktivitas ini bisa menjadi hal yang sangat berguna,” ujar Dana Nau, rekan penulis studi sekaligus pensiunan profesor di Departemen Ilmu Komputer dan Institut Penelitian Sistem University of Maryland.

    Siklus evolusi bergosip – (College of Computer, Mathematical & Natural Sciences University o/-)

    Studi penelitian dilakukan oleh para peneliti dengan menggunakan simulasi komputer untuk membantu memecahkan misteri yang telah lama ada dalam psikologi sosial: Bagaimana gosip berevolusi menjadi hobi yang begitu populer yang melampaui gender, usia, budaya, dan latar belakang sosial ekonomi.

    Hasilnya, penulis utama studi, Xinyue Pan, mencatat rata-rata seseorang menghabiskan satu jam per hari hanya untuk membicarakan orang lain. Menurutnya, hal ini menjadikan gosip fenomena sosial yang penting untuk dipahami dan merupakan bagian penting dari kehidupan sehari-hari manusia modern.

    Penelitian sebelumnya menunjukkan, bergosip dapat mempererat hubungan dan mendorong kerja sama. Namun, belum jelas apa manfaat yang diperoleh penggosip atau mengapa pendengar gosip pada umumnya bersedia menyimak informasi tersebut.

    Untuk menjawab pertanyaan itu, tim peneliti menggunakan simulasi komputer berbasis teori permainan evolusioner untuk meniru pengambilan keputusan manusia.

    “Ini benar-benar teka-teki. Tidak jelas mengapa bergosip, yang membutuhkan banyak waktu dan energi, justru berevolusi menjadi strategi adaptif,” ujar Michele Gelfand, profesor di Stanford Business School dan profesor emeritus di Departemen Psikologi University of Maryland.

    Simulasi tersebut mengamati bagaimana “agen” subjek studi virtual memutuskan apakah akan bergosip, bekerja sama, atau mengubah strategi setelah melihat perilaku agen lain. Menariknya, pada akhir simulasi memperlihatkan 90% agen virtual itu memilih menjadi penggosip.

    Para peneliti memandang, keberadaan penggosip membuat orang lain lebih cenderung berperilaku baik karena mereka tidak ingin menjadi sasaran dari rumor. Bagi para penggosip, kerja sama yang mereka terima dari orang lain justru bisa menjadi keuntungan tersendiri. Hal itu kemudian menginspirasi orang lain untuk bergosip karena mereka bisa melihat aktivitas memberikan timbal balik yang dinilai menguntungkan.

    “Jika orang lain berperilaku baik karena mereka tahu Anda bergosip, kemungkinan besar mereka akan bekerja sama dengan Anda dalam berbagai hal. Fakta bahwa Anda bergosip pada akhirnya memberikan keuntungan untuk diri sendiri sebagai seorang penggosip,” jelas Nau.

    Meskipun gosip memiliki konotasi negatif, peneliti menekankan bahwa informasi yang dibagikan oleh para penggosip dapat bersifat saling melengkapi. Terlepas dari apa isinya dan bagaimana gosip itu dikemas, gosip memiliki fungsi yang bermanfaat.

    “Gosip positif dan negatif sama-sama penting karena gosip memainkan peran penting dalam berbagi informasi tentang reputasi seseorang,” imbuhnya.

    Begitu orang-orang memiliki informasi ini, orang-orang dapat menemukan orang-orang baik lainnya untuk diajak bekerja sama, dan ini sebenarnya bermanfaat bagi kelompok tersebut. Jadi, bergosip tidak selalu buruk. Bisa juga menjadi hal yang positif.

    Simulasi dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang membantu atau menghambat penyebaran gosip disebut menyoroti konteks seseorang bisa memperkirakan lebih banyak penggosip akan berkembang.

    “Studi ini juga mengonfirmasi temuan penelitian sebelumnya: jaringan sosial kecil dengan konektivitas tinggi dan mobilitas rendah seperti di daerah pedesaan lebih mendukung berkembangnya kebiasaan bergosip,” kata Gelfand.

    Meski simulasi memberikan banyak wawasan, para peneliti menekankan bahwa model komputer tidak mampu menangkap kompleksitas manusia secara penuh. Namun, temuan tersebut dapat digunakan untuk merumuskan hipotesis yang kemudian diuji melalui studi perilaku.

    “Manusia itu sangat rumit dan kita tidak dapat membuat simulasi yang melakukan semua yang dilakukan manusia,” kata Nau. Namun, kita dapat mengembangkan wawasan yang kemudian mengarah pada hipotesis ilmiah yang dapat kita coba selidiki melalui studi yang melibatkan manusia sebagai partisipan,” papar Nau.

    Para peneliti berharap dapat melanjutkan studi lanjutan untuk menguji salah satu prediksi simulasi mereka pada manusia sebagai peserta terkait pemikiran gosip efektif ketika orang tidak memiliki metode lain untuk mengumpulkan informasi tentang reputasi orang lain.

    “Bagi saya, itu adalah salah satu bagian yang sangat menarik dari penelitian ini. Jika kita dapat mengembangkan hipotesis dan memverifikasi prediksi model-model tersebut pada studi manusia, maka itulah yang membuat hal semacam ini bisa bermanfaat,” tutup Nau.

    Dengan maraknya praktik bergosip dalam simulasi maupun kehidupan nyata, para peneliti menyimpulkan aktivitas ini tampaknya tidak akan hilang dari aktivitas manusia dalam waktu dekat.

  • Dulu Tukang Cuci Piring, Kini Jadi Manusia Berharta Rp 3.000 Triliun

    Dulu Tukang Cuci Piring, Kini Jadi Manusia Berharta Rp 3.000 Triliun

    Jakarta, CNBC Indonesia – Nama Jensen Huang, CEO dan pendiri Nvidia, kembali menjadi sorotan. Sosok yang dulu bekerja sebagai tukang cuci piring di restoran itu kini berhasil mengantarkan perusahaannya mencetak sejarah baru di Wall Street.

    Pada Rabu lalu (29/10), Nvidia menjadi perusahaan pertama di dunia yang menembus nilai pasar US$5 triliun atau sekitar Rp 83.000 triliun. Lonjakan ini menegaskan posisi Nvidia sebagai pusat dari ledakan industri kecerdasan buatan (AI) global. 

    Pencapaian ini memperlihatkan transformasi luar biasa Nvidia, dari perancang chip grafis yang dulu hanya dikenal di kalangan gamer, kini berubah menjadi tulang punggung infrastruktur AI dunia.

    Chip buatan Nvidia kini menjadi barang paling dicari, bahkan memicu ketegangan dalam rivalitas teknologi antara Amerika Serikat dan China.

    Sejak kemunculan ChatGPT pada 2022, Nvidia yang menjadi tulang punggung pengembangan AI terus mencatat rekor terbaru.

    Tonggak bersejarah nilai kapitalisasi pasar US$5.000 triliun juga dicapai hanya tiga bulan setelah Nvidia melampaui US$4 triliun, melampaui total nilai pasar seluruh aset kripto di dunia.

    Kesuksesan Nvidia secara langsung mengerek kekayaan pribadi Jensen Huang. Berdasarkan data real-time Forbes, total harta kekayaan pria berusia 62 tahun itu kini mencapai US$175,7 miliar (sekitar Rp2.900 triliun), menempatkannya di peringkat ke-8 orang terkaya di dunia.

    Dari Cuci Piring ke CEO

    Namun, jauh sebelum menjadi “raja AI”, Jensen Huang melewati jalan yang panjang dan keras. Pria kelahiran Taipei, 17 Februari 1963 itu, menghabiskan masa kecilnya di Taiwan dan Thailand sebelum akhirnya dikirim ke Amerika Serikat saat perang Vietnam memanas.

    Di usia remaja, Huang membantu orang tuanya mencari nafkah dengan bekerja sebagai tukang cuci piring di restoran cepat saji Denny’s. Di tempat sederhana itulah, bertahun-tahun kemudian, ia justru menemukan inspirasi besar yang mengubah hidupnya.

    Pada 1993, di salah satu cabang Denny’s di California Utara, Huang bertemu dua rekannya, Chris Malachowsky dan Curtis Priem, untuk mendiskusikan ide membuat chip yang bisa menampilkan grafik 3D realistis di komputer pribadi. Dari percakapan itu, Nvidia pun lahir.

    Huang menyelesaikan pendidikan teknik elektro di Oregon State University dan kemudian meraih gelar master dari Stanford University. Setelah sempat bekerja di Advanced Micro Devices (AMD), ia memutuskan membangun Nvidia dari nol.

    Ia mengakui, kesuksesannya tak lepas dari peran keluarga. Ia mengenang bagaimana sang ibu dengan sabar mengajarinya bahasa Inggris meski kemampuan ibunya pun terbatas.

    Setiap hari sang ibu memberi 10 kata dalam bahasa Inggris, untuk dipelajari arti dan pelafalannya.

    Berkat cara ini, Huang pun bisa lancar berkomunikasi, sekalipun tak membuat dirinya bebas dari perundungan teman. Kepada New Yorker, Huang bilang saat itu memang dia target bully karena berasal dari Asia, keturunan China, dan belum fasih berbahasa Inggris.

    “Saya adalah produk dari mimpi dan aspirasi kedua orang tua,” ujarnya dalam wawancara dengan CNBC International.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • 5
                    
                        Kisah Dosen Muda UGM Masuk Daftar Ilmuwan Paling Berpengaruh Dunia, Kembangkan Alat Uji Berbasis Kertas
                        Regional

    5 Kisah Dosen Muda UGM Masuk Daftar Ilmuwan Paling Berpengaruh Dunia, Kembangkan Alat Uji Berbasis Kertas Regional

    Kisah Dosen Muda UGM Masuk Daftar Ilmuwan Paling Berpengaruh Dunia, Kembangkan Alat Uji Berbasis Kertas
    Tim Redaksi
    YOGYAKARTA, KOMPAS.com
    – Sejumlah mahasiswa bersama seorang dosen tampak sibuk di laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM).
    Dengan jas lab dan kacamata pelindung, mereka meneliti sampel makanan menggunakan paper based analytical devices, alat uji berbasis kertas untuk mendeteksi kandungan berbahaya.
    Dosen yang mendampingi mereka adalah Eka Noviana, peneliti muda UGM yang baru saja masuk dalam daftar World’s Top 2 Percent Scientist 2024, yakni daftar ilmuwan paling berpengaruh di dunia versi Stanford University dan Elsevier.
    “Jujur saya sangat tersanjung, sangat bersyukur sekali dan agak kaget juga, karena sebagai peneliti saya masih pemula,” ujar Eka Noviana saat ditemui di Fakultas Farmasi UGM, Sabtu (11/10/2025).
    Eka Noviana lahir pada 1991 dan menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Farmasi UGM. Setelah itu, ia mendapatkan beasiswa melanjutkan studi S2 di University of Arizona, Amerika Serikat, dan S3 di Colorado State University.
    “Kebetulan saya di Farmasi, apoteker, tetapi saya tertariknya di bidang analitik. Analitik itu cabang dari Kimia, makanya S2 dan S3 saya ambil Kimia,” tuturnya.
    Meski kini dikenal sebagai peneliti muda berprestasi, Eka mengaku masa kecilnya tidak diwarnai cita-cita menjadi ilmuwan.
    “Kalau dulu saya cita-citanya malah ingin menjadi guru. Terus kemudian sampai di sini (UGM) sudah kuliah baru tahu ternyata apoteker itu banyak sekali kesempatan kerjanya, salah satunya akademisi, peneliti,” ungkapnya.
    Eka menyebut, selain dirinya, ada satu lagi dosen Farmasi UGM yang masuk dalam daftar ilmuwan paling berpengaruh dunia, yakni Prof Abdul Rohman, yang juga merupakan pembimbing skripsinya.
    “Beliau adalah dosen pembimbing skripsi saya dulu, jadi salah satu panutan saya. Kemudian saya berkesempatan sekolah ke luar negeri, ketemu mentor-mentor yang sangat inspiratif. Itu yang menginspirasi saya menjadi peneliti,” bebernya.
    Sebagian besar publikasi Eka berfokus pada pengembangan alat uji berbasis kertas (paper based analytical devices) untuk pengujian cepat, murah, dan mudah digunakan.
    “Kebetulan saat studi S3 saya berkesempatan belajar langsung ke salah satu pakar di bidangnya. Jadi pekerjaan yang kami lakukan terkait metode deteksi dengan kit kertas itu banyak mendapat sitasi sehingga salah satunya bisa masuk Top 2 Percent Scientist,” katanya.
    Menurut Eka, risetnya ini berupaya menghadirkan solusi deteksi cepat di lapangan, terutama bagi wilayah-wilayah terpencil yang sulit mengakses laboratorium modern.
    “Kita coba mengembangkan metode yang bisa digunakan langsung di lapangan. Harapannya ramah bagi pengguna yang tidak punya latar belakang lab. Gimana caranya membuat alat deteksi itu lebih aksesibel dari segi biaya maupun fasilitas,” urainya.
    “Apalagi Indonesia ini kepulauan. Tidak semua wilayah dapat mengakses alat laboratorium. Jadi kalau bisa dibawa ke lapangan, itu akan sangat berguna,” tambahnya.
    Perjuangan Eka dalam riset mengantarkannya menjadi dosen pertama yang dikunjungi dalam program “Blusukan: Mengunjungi Dosen Inspiratif”, hasil kolaborasi Paragon Technology and Innovation bersama Kemendikbudristek.
    “Jadi dari Paragon memang ada inisiatif kita untuk jemput dosen inspiratif yang nantinya bisa berbagi inspirasi terkait STEM dan sosial humaniora,” ujar CSR Paragon Fathiya Khairiya.
    Fathiya menjelaskan, kisah perjuangan para dosen seperti Eka dalam mendidik dan meneliti diangkat agar menjadi inspirasi tidak hanya bagi universitasnya, tetapi juga bagi masyarakat luas.
    “Paragon juga memberikan apresiasi berupa sarana riset dan pembelajaran kepada Ibu Eka (Eka Noviana),” bebernya.
    Program “Blusukan: Mengunjungi Dosen Inspiratif” akan berlangsung hingga Desember 2025, dengan 13 dosen inspiratif dari berbagai daerah di Indonesia yang akan dikunjungi.
    “Jadi seperti bola salju, dari satu dosen bisa memberi inspirasi, lalu menyebar ke ratusan bahkan ribuan orang,” pungkas Fathiya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Robot Pengganti Manusia Segera Tiba, Tandanya Makin Jelas Terlihat

    Robot Pengganti Manusia Segera Tiba, Tandanya Makin Jelas Terlihat

    Jakarta, CNBC Indonesia – Era robot humanoid atau yang menyerupai manusia semakin nyata. OpenAI, perusahaan pengembang ChatGPT, mulai serius menggarap riset robotika dengan merekrut sejumlah peneliti berpengalaman di bidang kecerdasan buatan (AI) dan sistem humanoid.

    Sumber yang mengetahui langkah perusahaan menyebutkan OpenAI kini tengah membentuk tim khusus untuk mengembangkan algoritma AI yang mampu mengendalikan robot humanoid maupun jenis robot lain. Sistem ini nantinya dilatih melalui teleoperasi dan simulasi.

    Bahkan, OpenAI dikabarkan telah mulai melatih algoritma AI agar lebih mampu memahami dunia fisik, sehingga robot bisa bernavigasi dan melakukan berbagai tugas layaknya manusia.

    Sejumlah perekrutan terbaru menegaskan keseriusan OpenAI. Chengshu Li, peneliti dari Stanford University yang fokus pada tolok ukur kemampuan robot humanoid dalam pekerjaan rumah tangga, resmi bergabung pada Juni 2025.

    Selain itu, beberapa peneliti lain dari laboratorium robotika juga telah direkrut, menurut informasi dari profil LinkedIn mereka.

    Meski menolak berkomentar langsung mengenai rencana robotikanya, OpenAI belakangan memasang banyak lowongan kerja terkait posisi tersebut.

    Beberapa posisi menuntut keahlian teleoperasi, simulasi dengan Nvidia Isaac, hingga perancangan sistem mekanik untuk produksi massal.

    Hal ini memunculkan spekulasi bahwa OpenAI bisa jadi sedang menyiapkan robot buatan sendiri atau mengembangkan sistem pelatihan robot berskala besar.

    Dalam keterangan lowongan tersebut, OpenAI menegaskan tim robotikanya berfokus pada pengembangan robot serbaguna dan mendorong pencapaian kecerdasan buatan umum (AGI) di dunia nyata.

    Langkah ini menandai kembalinya OpenAI ke riset robotika setelah sempat menghentikannya pada 2021. Sebelumnya, perusahaan pernah mencuri perhatian dengan algoritma yang mampu menyelesaikan Rubik’s cube menggunakan tangan robot mirip manusia.

    Stefanie Tellex, seorang ahli robotika dari Universitas Brown, mengatakan membangun robot yang lebih efektif akan membutuhkan perancangan dan pelatihan model AI yang mampu memproses input persepsi berdimensi tinggi dengan kecepatan tinggi, serta menghasilkan output fisik berdimensi tinggi dengan kecepatan tinggi.

    “Artinya model yang dapat melihat dan bertindak dengan ketepatan tinggi. Meski begitu, Tellex tidak mengetahui secara spesifik rencana OpenAI,” ujar dia, dikutip dari Wired, Senin (22/9/2025).

    OpenAI tidak sendirian, persaingan di bidang humanoid kian ketat dengan hadirnya startup seperti Figure, Agility, dan Apptronik. Perusahaan besar seperti Tesla dan Google juga sudah berinvestasi besar-besaran untuk mengembangkan robot mirip manusia.

    “Saya tidak melihat mereka memiliki keunggulan ajaib dibanding pihak lain,” kata Tellex.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Kerja Keras Tak Bakal Khianati Hasil Itu Mitos, Begini Kata Pakar Karier Stanford – Page 3

    Kerja Keras Tak Bakal Khianati Hasil Itu Mitos, Begini Kata Pakar Karier Stanford – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Banyak orang percaya ketika kita bekerja keras, hasilnya akan terlihat dengan sendirinya dan secara otomatis akan mendapat pengakuan. Namun kenyataannya, kesuksesan jarang datang semudah itu.

    Pakar kepemimpinan dan pengembangan karier, Jeffrey Pfeffer mengatakan, kerja keras saja tidak cukup untuk mendorong kemajuan karier.

    Dalam wawancara yang dikutip dari CNBC, Senin, (22/9/2025), Pfeffer menjelaskan, banyak orang, khususnya anak muda, masih beranggapan kerja akan otomatis dilihat dan dihargai oleh atasan.

    “Kerja keras akan diakui dengan sendirinya , jika Anda patuh dan mengikuti aturan, Anda akan berhasil,” ujar dia.

    Pfeffer sendiri merupakan penulis dari 16 buku, pengajar MasterClass, sekaligus profesor organizational behavior di Stanford University. Ia menegaskan, sekadar bekerja sesuai aturan justru membuat Anda mudah terlupakan. Menurut dia, karyawan yang paling berhasil adalah mereka yang berani tampil beda, berani menyuarakan keinginan, dan mau menonjolkan diri.

    “Anda dinilai dari bagaimana Anda menunjukkan diri Anda,” kata Preffer.

    “Karena itu, bagaimana Anda menunjukkan diri Anda sama pentingnya dengan apa yang sedang Anda kerjakan,” ia menambahkan.

     

  • Cari Kerja Makin Susah, Fresh Graduate Paling Berat

    Cari Kerja Makin Susah, Fresh Graduate Paling Berat

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) berpotensi mengambil alih peluang kerja para lulusan baru atau fresh graduate.

    Studi dari Stanford University menemukan bahwa pekerja muda berusia 22-25 tahun di bidang yang paling terdampak AI mengalami penurunan kesempatan kerja hingga 13% dibandingkan kelompok lain.

    Dalam laporan tersebut dijelaskan, profesi seperti pengembang perangkat lunak dan layanan pelanggan menjadi yang paling terdampak. Artinya, generasi muda yang baru memulai karier kini menghadapi persaingan lebih ketat untuk mendapatkan pekerjaan di sektor-sektor tersebut, demikian dikutip dari Mashable, Jumat (29/8/2025).

    Penelitian ini menggunakan data penggajian dari ADP dan menyebut kondisi pekerja muda bisa menjadi “alarm peringatan” atas gelombang kehilangan pekerjaan akibat AI di masa depan.

    Kekhawatiran publik juga tecermin dalam survei Reuters/Ipsos yang menunjukkan 71% warga Amerika khawatir terlalu banyak orang akan kehilangan pekerjaan karena AI. Bahkan CEO Anthropic, Dario Amodei, memprediksi AI pada akhirnya bisa menghapus setengah dari seluruh pekerjaan kantoran (white collar jobs).

    Meski begitu, studi Stanford juga mencatat sisi positif. Pekerja senior di bidang yang sama tidak mengalami penurunan serupa, sedangkan beberapa sektor entry-level lain justru mencatat pertumbuhan lapangan kerja. Dengan kata lain, dampak AI terhadap pasar kerja memang nyata, tetapi tidak terjadi di semua bidang.

    Namun, bagi para fresh graduate yang mengincar karier di sektor teknologi maupun layanan pelanggan, data ini menjadi sinyal bahwa perjalanan mencari pekerjaan bisa makin menantang.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]