Institusi: ReForminer Institute

  • Kunci Mencapai Target Produksi Migas Nasional di Lapangan Mature

    Kunci Mencapai Target Produksi Migas Nasional di Lapangan Mature

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah telah menetapkan target lifting minyak sebesar 610.000 barel per hari (bph) pada 2026 dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Angka tersebut meningkat dari target lifting minyak pada APBN 2025 yang sebesar 605.000 bph.

    Peningkatan target itu juga didasari optimisme pemerintah, di mana realisasi lifting minyak pada November 2025 diklaim telah mencapai level 610.000 bph.

    Kendati demikian, target peningkatan produksi migas yang telah ditetapkan pemerintah pada dasarnya tidak mudah untuk dicapai, mengingat sebagian besar lapangan existing yang menjadi andalan sudah dalam kondisi mature.

    Di sisi lain, ketergantungan terhadap lapangan mature menjadi salah satu penyebab menurunnya produksi migas nasional selama periode 2014–2024. Secara rata-rata, produksi minyak selama periode tersebut turun sebesar 3,42% per tahun, sementara produksi gas turun sekitar 1,72% per tahun.

    Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute mengatakan, penyempurnaan kebijakan fiskal hulu migas menjadi kunci utama untuk dapat mencapai target produksi migas nasional yang sebagian besar telah berada pada kondisi mature.

    Perbaikan kebijakan fiskal menjadi faktor penentu utama untuk meningkatkan investasi hulu migas nasional. Laporan IHS Markit (S&P Global) pada Juni 2025 mencatat bahwa overall attractiveness iklim investasi hulu migas Indonesia menempati peringkat ke-9 dari 14 negara di Asia Pasifik.

    Dari empat indikator penilaian, yaitu legal and contractual, fiscal systems, oil and gas risk, serta activity and success, Indonesia tercatat memperoleh rating rendah pada aspek fiscal systems (5,11), dan legal and contractual (5,34).

    Sementara itu, dua indikator lainnya yaitu oil and gas risk dan activity and success mendapatkan rating masing-masing sebesar 5,53 dan 6,03.

    Menurut Komaidi, munculnya permasalahan pada aspek fiskal di sektor hulu migas nasional akibat hilangnya elemen fundamental dari regulatory framework pada sektor hulu migas yaitu penerapan prinsip assume and discharge. 

    Sebagai landasan hukum utama dalam kegiatan hulu migas, imbuhnya, Undang-Undang Migas No. 22/2001 tidak lagi menerapkan asas lex specialis (assume and discharge).

    “Melalui Pasal 31, UU Migas No.22/2001 menyebutkan bahwa perlakuan perpajakan di sektor hulu migas disesuaikan dengan ketentuan Undang-undang Perpajakan yang berlaku,” kata Komaidi dalam sebuah diskusi, Kamis (4/12/2025).

    Dengan kondisi saat ini, ReforMiner menilai perlu adanya penyempurnaan regulasi, khususnya pada aspek fiskal, agar kembali selaras dengan konsep kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) dan dilakukan secara menyeluruh, baik pada level praktis maupun pada aspek-aspek fundamental.

    Pada tataran praktikal, perbaikan dapat dilakukan melalui penyempurnaan kebijakan fiskal pada skema PSC Cost Recovery, yang mencakup pengembalian prinsip assume and discharge untuk menjamin kepastian atas pajak tidak langsung; revisi PP 79/2010 jo. PP 27/2017 dengan menyederhanakan proses pengajuan insentif perpajakan tanpa persyaratan keekonomian yang berlapis; serta penegasan ketentuan fiskal terkait PBB, PPN, dan PPNBM melalui regulasi yang lebih konsisten dan otomatis. Penyusunan pedoman insentif berbasis parameter objektif (marginal field, frontier, mature field) juga diperlukan.

    Sejalan dengan itu, penyempurnaan kebijakan fiskal pada skema PSC Gross Split juga diperlukan di antaranya melalui revisi PP 53/2017 dengan memperluas pembebasan pajak tidak langsung hingga tahap eksploitasi; pemberlakuan mekanisme pembebasan otomatis, khususnya untuk PPN/PPNBM; penyediaan fasilitas perpajakan tanpa persyaratan surat keterangan fasilitas perpajakan (SKFP); serta pengurangan PBB 100% untuk seluruh tahapan operasi secara otomatis.

    Komaidi menegaskan, perlu dilakukan penyempurnaan mekanisme transisi fiskal terkait dengan perubahan skema kontrak dan pengelolaan Tax Loss Carry Forward (TLCF), dengan memastikan kompensasi kerugian tetap berlaku dalam skema baru; pemberlakuan surut; penyediaan formula transisi untuk mencegah lonjakan beban pajak dan menghindari peningkatan Direct Tax Loss (DTL); serta penegasan bahwa biaya komitmen pasti (K3P) dapat diakui kembali sebagai biaya operasi dalam skema Cost Recovery.

    “Dalam tataran fundamental, penyelesaian segera atas proses revisi undang-undang migas yang ada menjadi kebutuhan mendesak. Dua prinsip utama yaitu assume and discharge dan lex specialis, perlu ditegaskan kembali sebagai landasan fiskal dalam pengusahaan PSC,” tuturnya.

    Prinsip assume and discharge (A/D) menetapkan bahwa kontraktor hanya menanggung pajak langsung, sementara pajak tidak langsung dibebaskan dan ditanggung oleh pemerintah.

    Dengan demikian, porsi bagi hasil antara negara dan kontraktor merupakan penerimaan bersih karena seluruh komponen pajak telah diperhitungkan melalui mekanisme ini.

    Reformasi migas untuk menjaga stabilitas..

  • Target Lifting Minyak 610.000 Bph Dinilai Sulit Tercapai pada 2026

    Target Lifting Minyak 610.000 Bph Dinilai Sulit Tercapai pada 2026

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menilai target lifting minyak sebesar 610.000 barel per hari (bph) pada 2026, sukar dicapai.

    Angka 610.000 bph itu merupakan target yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Angka tersebut meningkat dari target lifting minyak pada APBN 2025 yang sebesar 605.000 bph.

    Peningkatan target itu juga didasari optimisme pemerintah, di mana realisasi lifting minyak pada November 2025 diklaim telah mencapai level 610.000 bph.

    Praktisi Migas Hadi Ismoyo berpendapat,  upaya untuk mencapai target lifting tahun depan akan berat. Bahkan, jika pemerintah ikut menghitung Natural gas liquid (NGL) dalam lifting minyak.

    “Menurut saya cukup berat untuk mencapai 610.000 bph, walau including NGL,” ucap Hadi kepada Bisnis, Rabu (3/12/2025).

    Mantan sekjen Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) itu berpendapat, pada 2026 tidak ada Plan of Development (POD) yang menghasilkan minyak secara signifikan.

    Menurutnya, pemerinath dan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) hanya akan melakukan percepatan produksi sumur eksplorasi atau Put on Production (PoP). Selain itu, pemerintah juga akan mendorong Optimasi Pengembangan Lapangan (OPL).

    “2026 tidak ada New POD dengan significant oil production. So far hanya mengandalkan well work program dan POP and OPL. Singkat kata, kurang nendang,” tutur Hadi.

    Di samping itu, dia juga menilai pada tahun depan pemerintah akan mengandalkan produksi dari sumur rakyat atau sumur tua. Hal ini seiring terbitnya Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 14 Tahun 2025 tentang Kerja Sama Pengelolaan Bagian Wilayah Kerja untuk Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi.

    Melalui aturan baru tersebut, KKKS dapat melakukan kerja sama pengolahan bagian wilayah kerja (WK), tata kelola, keamanan sosial, dan perlindungan investasi demi memberdayakan sumur ilegal itu.  

    Khusus sumur rakyat, kegiatan operasinya akan dinaungi BUMD, koperasi, atau UMKM yang bekerja sama dengan KKKS. Kelak, KKKS pun wajib membeli minyak dari sumur rakyat tersebut dengan harga 80% dari Indonesian Crude Price (ICP).

    Lebih lanjut, Hadi mengingatkan agar pemerintah dalam jangka pendek segara melakukan Chemical Enhanced Oil Recovery (CEOR) di lapangan-lapangan  Original Oil In Place (OOIP).

    Lapangan OOIP adalah lapangan yang memiliki total volume minyak asli yang berada di dalam suatu reservoir sebelum produksi dimulai

    “Segera lakukan massive CEO di lapangan2 high OOIP seperti di Rokan misalnya atau tempat-tempat lain yang punya OOIP more than 100 MMSTB [Million Standard Stock Tank Barrels],” ucapnya.

    Sementara untuk jangka menengah dan panjang, peningkatan produksi yang signifikan hanya bisa dilakukan melalui program eksplorasi yang masif.

    “Dan itu tidak bisa instant. Butuh 5 sampai 10 tahun fastrack project di new basin unexplored,” kata Hadi.

    Sementara itu, Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat lifting minyak pada tahun depan diproyeksi mandek di level 600.000 hingga 610.000 bph.

    Menurutnya, untuk meningkatkan kinerja lifting minyak pemerintah perlu menyederhanakan perizinan. Hal ini juga untuk memperlancar eksekusi sejumlah program.

    “Perlu perubahan sistem, mestinya bukan izin, tetapi persetujuan saja untuk melakukan kegiatan, yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM sebagai leading sectornya,” kata Pri Agung.

    Di samping itu, dia juga berpendapat bahwa perbaikan disharmoni regulasi seperti pajak tidak langsung, seperti tax loss carry forward untuk kontrak yang berubah dari kontrak bagi hasil (KBH) gross split ke KBH cost recovery, juga perlu dilakukan. 

    “Itu akan membantu KKKS dalam hal keekonomian proyek, sehingga akan lebih mendorong kegiatan eksplorasi produksi,” katanya.

  • Pakar: Mandatory BBM Campur Etanol 10% Perlu Regulasi yang Jelas

    Pakar: Mandatory BBM Campur Etanol 10% Perlu Regulasi yang Jelas

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat energi Reforminer Institute Pri Agung menilai arah kebijakan pemerintah terkait mandatory campuran BBM dengan etanol 10% harus diiringi dengan payung hukum yang jelas dan tegas. 

    Menurut dia, kebijakan tersebut juga masih memerlukan peta jalan pengembangan industri etanol yang tepat dan konkret. Pasalnya, kebutuhan volume bioetanol yang diperlukan dinilai tidak sedikit, sedangkan kemampuan produksi nasional masih terbatas. 

    “Sebaiknya dikonkretkan dalam bentuk peraturan perundangan yang menetapkan target serta tahapan pencapaiannya,” kata Pri kepada Bisnis, Rabu (8/10/2025). 

    Dalam hal ini, dia menyoroti pengaturan mengenai kebijakan harga jual yang perlu diperjelas dan perhitungan harga keekonomiannya yang juga perlu didukung dalam bentuk insentif ataupun kompensasi seperti biodiesel atau skema lainnya. 

    Arah dan regulasi dari pemerintah menjadi penting sebagai pedoman bagi industri etanol dalam negeri. Jika acuannya jelas dan dijalankan konsisten, Pri menilai, industri etanol dalam negeri dengan sendirinya akan mengikuti. 

    “Jika market-nya memang jelas dan bisa diandalkan, industri tentu akan berupaya memenuhinya,” tuturnya.

    Apalagi, saat ini kapasitas produksi etanol nasional masih di bawah 500.000 kiloliter per tahun. Namun, dia optimistis angka tersebut bisa meningkat jika kebijakan dijalankan dengan konsisten.

    “Ini sudah sejalan dengan ketahanan energi, transisi energi, mengurangi impor BBM, dan menggerakkan ekonomi nasional,” imbuhnya.

    Sebagaimana diketahui, pemerintah menyiapkan kebijakan mandatori campuran etanol 10% dengan BBM jenis bensin atau E10. Kementerian ESDM mengklaim hal ini selaras dengan program mandatori biodiesel yang telah menerapkan campuran biodiesel  dengan kadar 40% ke solar atau B40.  

    Sayangnya, ekosistem industri etanol nasional belum terbentuk, sehingga masih menggantungkan diri pada pasokan impor. Hal ini kontradiktif dengan semangat swasembada energi yang diusung Presiden Prabowo Subianto.  

    Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengamini mandatori E10 tidak akan diterapkan tahun depan. Dia menyebut, hal tersebut masih perlu dipersiapkan dari segi bahan baku dan pengolahannya.  

    “Bapak Presiden sudah menyetujui untuk direncanakan mandatory 10% etanol. Dengan demikian kita akan campur bensin kita dengan etanol tujuannya agar kita tidak impor banyak,” kata Bahlil di Jakarta, Selasa (7/10/2025).  

    Adapun dalam mendorong kebijakan ini, Menteri Bahlil ingin meniru kesuksesan peta jalan campuran minyak nabati berbasis sawit dengan solar. Pemerintah telah memandatkan penggunaan B40 pada tahun ini.

  • TKDN Hulu Migas Lampui Target, Pakar: Industri Jadi Motor Ekonomi

    TKDN Hulu Migas Lampui Target, Pakar: Industri Jadi Motor Ekonomi

    Bisnis.com, JAKARTA – Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di sektor hulu minyak dan gas (migas) menunjukkan capaian positif sepanjang 2025. Realisasi TKDN yang melampaui target pemerintah dinilai sebagai bukti nyata peran industri lokal dalam memperkuat perekonomian nasional.

    Data SKK Migas mencatat, hingga Juni 2025, TKDN pada proyek strategis nasional (PSN) telah mencapai 58%, jauh di atas target 18%. Sementara itu, pada proyek non-PSN, TKDN tercatat sebesar 59%, melampaui target 57%.

    Deputi Dukungan Bisnis SKK Migas, Eka Bhayu Setta mengatakan pencapaian TKDN hulu migas menunjukkan multiplier effect yang nyata terhadap perekonomian nasional. 

    “Industri dalam negeri tidak hanya menjadi penonton, tetapi ikut aktif berkontribusi dalam rantai pasok migas,” kata dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (21/9/2025). 

    Sepanjang Semester I/2025, nilai kontrak barang dan jasa di sektor hulu migas mencapai US$3,57 miliar atau sekitar Rp58,7 triliun. 

    Dari jumlah tersebut, belanja dalam negeri menembus US$1,83 miliar atau sekitar Rp30,1 triliun, menunjukkan kontribusi besar bagi industri nasional.

    Tak hanya memberi dampak ekonomi makro, penerapan TKDN juga dirasakan di daerah. Pihaknya juga disebut telah merevisi kebijakan pengadaan, sehingga memungkinkan perusahaan lokal mengakses kontrak hingga Rp50 miliar. 

    Langkah tersebut diyakini mendorong lahirnya lebih banyak pengusaha lokal yang terlibat dalam rantai pasok industri migas.

    “Ke depan, TKDN harus terus ditingkatkan agar setiap dolar investasi migas yang masuk ke Indonesia memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa,” jelasnya.

    Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menegaskan penerapan TKDN bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga pemberdayaan. 

    “Selain menopang ketahanan energi, sektor hulu migas juga berkontribusi langsung terhadap pemberdayaan industri hulu migas melalui penerapan TKDN,” tuturnya.

    Dengan capaian ini, sektor hulu migas tidak hanya memperkuat ketahanan energi, tetapi juga menjadi motor penting pemberdayaan industri nasional dan daerah, sekaligus mendukung target pertumbuhan ekonomi pemerintah menuju Visi Indonesia Emas 2045.

    Sekretaris Daerah Provinsi Riau, Syahrial Abdi menyebut keberadaan industri hulu migas memberikan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat daerah.

    Di antara kontribusi paling nyata adalah dana bagi hasil (DBH) migas yang menjadi penopang Anggaran dan Belanja Daerah (APBD). Tahun 2023, DBH Migas untuk Riau tercatat sebesar Rp3,2 triliun, turun menjadi Rp2,3 triliun pada 2024, dan diperkirakan naik sedikit menjadi Rp2,6 triliun pada 2025, dengan asumsi harga minyak US$ 82 per barel.

     Keberadaan industri hulu migas juga turut melengkapi benefit dari sektor hilir migas yang memutar roda ekonomi daerah. Data Badan Pusat Statistik mencatat, ekonomi Riau semester II 2025 tumbuh 4,59% sekaligus menempatkannya sebagai wilayah dengan Produk Regional Domestik Bruto (PDRB) kedua terbesar di Sumatera setelah Sumatera Utara.

     “Ini mungkin bisa langsung mendorong pembangunan daerah secara tidak langsung untuk pertumbuhan ekonomi di masyarakat. Artinya ada uang yang berputar juga di masyarakat,” pungkasnya.

  • Nasib Proyek Kilang Minyak RI saat Tren Global Berguguran

    Nasib Proyek Kilang Minyak RI saat Tren Global Berguguran

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah memastikan pengembangan kilang minyak di dalam negeri akan terus dilakukan meski bisnis kilang secara global tengah tertekan.

    Bisnis kilang dari perusahaan migas dunia saat ini kesulitan mendapatkan margin lantaran rendahnya harga minyak serta kondisi kelebihan pasok (oversupply) minyak mentah dan produk kilang.

    Berdasarkan data yang dicatat PT Pertamina (Persero), oversupply minyak dunia saat ini mencapai sekitar 2 juta barel per hari. Kelebihan ini disebabkan oleh tambahan suplai dari kilang baru yang beroperasi atau onstream.

    Kondisi tersebut menyebabkan profitabilitas atau spread produk kilang rendah. Rerata spread (selisih antara harga produk kilang dan harga minyak mentah), khususnya gasoline, berada di bawah biaya operasi (processing cost).

    Imbasnya sebanyak 26 kilang di berbagai dunia diperkirakan akan tutup menjelang 2030. Lebih terperinci, pada 2027, diperkirakan akan ada sembilan kilang yang tutup di AS, Eropa, Asia, Australia, dan Selandia Baru. Lalu, sebanyak 17 kilang di Afrika, Uni Eropa, dan Asia diperkirakan tutup pada 2030.

    Sementara itu, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menuturkan bahwa Indonesia masih perlu menambah kapasitas kilang minyak seiring masih terus meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri.

    Menurutnya, tutupnya kilang minyak di sejumlah negara maju disebabkan transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan.

    “Ini kan ada yang diolah di dalam kilang dalam negeri, ada yang berasal dari impor. Jadi ini kita lihat, ini bagaimana optimalisasi kilang yang ada dalam negeri,” kata Yuliot di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (12/9/2025).

    Dia mencontohkan, transisi energi di China yang masif dilakukan lewat shifting kendaraan listrik, termasuk kendaraan pribadi, angkutan umum, hingga angkutan berat yang menggunakan baterai.

    Kondisi shifting penggunaan energi di sektor transportasi China saat ini disebut telah mencapai 50% menggunakan baterai listrik. Bahkan, Yuliot menyebut SPBU BBM di China telah tutup lebih dari 60% dari kondisi awal.

    “Jadi kan kita melihat ini karena ada perubahan penggunaan energi juga, ya ini mungkin itu dampaknya adalah terhadap ini kilang-kilang secara global,” tuturnya,

    Namun, jika dibandingkan dengan Indonesia, konsumsi BBM atau bahan bakar dari fosil masih tinggi mengikuti daya beli masyarakat saat ini. Adapun, kebutuhan BBM nasional saat ini mencapai 1,5 juta barel per hari.

    Bahkan, kebutuhan tersebut belum sejalan dengan kemampuan produksi dari kilang dalam negeri. Alhasil, pemerintah masih perlu mengimpor minyak dari negara dengan tetap mempertimbangkan neraca perdagangan.

    “Kalau tidak tercukupi dari kilang dalam negeri, berarti kita harus melakukan impor dari luar negeri, tapi ini dalam neraca trade balance, ya kita juga harus mengulangi komitmen kita,” tuturnya.

    Adapun, saat ini terdapat 18 proyek kilang modular dengan nilai investasi sekitar Rp160 triliun. Proyek prioritas hilirisasi dan ketahanan energi ini diserahkan oleh Satgas Hilirisasi kepada BPI Danantara.

    Selain itu, terdapat sejumlah proyek kilang yang menjadi proyek strategis nasional (PSN), antara lain Kilang Bontang, Kilang Minyak Tuban (ekspansi), Refinery Development Master Plan (RDMP) Refinery Unit (RU) VI Balongan, dan RDMP RU IV Cilacap (rescoping).

    Terkait tantangan bisnis kilang, Pjs. Corporate Secretary PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Milla Suciyani mengatakan bahwa pihaknya masih terus fokus dalam pengembangan operasional kilang, baik dari sisi kapasitas maupun pengembangan produk melalui inovasi-inovasi.

    “KPI juga terus menjaga komitmen untuk mendukung ketahanan energi untuk Indonesia,” ujar Milla kepada Bisnis, Jumat (12/9/2025).

    Tantangan Keekonomian

    Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan, prospek bisnis kilang minyak di Indonesia bisa sangat menarik jika dikembangkan dengan tepat.

    “Ini butuh peran pemerintah juga dan tadi saya bilang, keekonomian kilang di Indonesia kan enggak terlalu bagus. Jadi harus ada yang bisa ditawarkan sebagai tambahan, seperti petrokimia atau enggak jaminan dari pemerintah, misalkan untuk investor di kilang minyak,” kata Moshe kepada Bisnis.

    Dia pun menyoroti rencana investasi Danantara Indonesia untuk membangun 17 kilang minyak modular senilai US$8 miliar bersama perusahaan asal Amerika Serikat (AS).

    Menurut Moshe, kilang modular tidak berisiko dari segi kapasitas yang terbilang kecil yakni di kisaran 100.000 barel ke bawah. Meskipun risikonya rendah, dari segi nilai keekonomian tetap dinilai rentan.

    “Jadi, risiko harus berbagi jangan semua risiko itu diserap oleh Danantara itu sendiri. Jadi kita harus cari partner sama-sama untuk mengurangi risiko, dari sisi keekonomian itu juga sangat rentan,” ujarnya.

    Dalam hal ini, dia menegaskan bahwa investasi di kilang berisiko dari segi keekonomian karena cost over run atau biaya tidak terduga yang bisa membengkak.

    “Misalkan US$100 juta, tiba-tiba membengkak jadi US$200 juta, pembengkakan biaya itu yang menjadi risiko. Pengembangan kilang itu sendiri apalagi kalau keekonomiannya tipis,” jelasnya.

    Apalagi daya beli masyarakat di Indonesia terbilang rendah sehingga kilang di dalam negeri harus menyesuaikan harga agar tidak terlalu tinggi. Untuk itu, dia mendorong untuk menambah manfaat kilang untuk produksi petrokimia.

    “Jadi saya pikir bukan karena itu yang jadi masalah di Indonesia, kilang ini kan memang dari awal memang sudah dibilang proyek yang risiko tinggi dengan keekonomian yang tidak begitu besar,” tuturnya.

    Di sisi lain, dia juga menerangkan bahwa tren kilang global yang diperkirakan akan tutup tidak akan berpengaruh ke sentimen di Indonesia. Pasalnya, kebutuhan dalam negeri masih terus tumbuh tinggi.

    Senada, Founder & Advisor Research Institute for Mining and Energy Economics (ReforMiner Institute) Pri Agung Rakhmanto menilai penambahan kapasitas kilang minyak dalam negeri menjadi keniscayaan untuk mendukung ketahanan energi nasional.

    Dia mengatakan, bagi negara-negara berkembang di wilayah Asia Pasifik, kebutuhan kapasitas kilang terus meningkat, utamanya negara yang tidak masuk dalam The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 

    “Indonesia, sebagaimana tergolong non-OECD yang masih memerlukan fosil untuk pertumbuhan ekonomi, jelas memerlukan penambahan kapasitas kilang,” kata Pri.

    Sementara itu, dia menilai negara Uni Eropa dan AS belakangan ini tidak menambah kapasitas kilang karena telah menerapkan energi baru terbarukan yang dapat diandalkan.

    “Sementara di Middle East [Timur Tengah] juga karena memang overcapacity, dan juga karena akan pembaruan, untuk dibangun kilang-kilang baru yang juga sekaligus kilang petrokimia, untuk menghasilkan nilai tambah lebih tinggi. Beda konteks dengan keadaan dan kebutuhan Indonesia,” tuturnya. 

    Bahkan, negara-negara OECD cenderung mempertahankan bahkan mengurangi kapasitas kilang dalam beberapa dekade terakhir. Sementara itu, negara non-OECD terus mengembangkan industri kilang hingga saat ini. 

    Dalam catatannya yang dikutip dari berbagai sumber, terdapat 25 rencana penambahan kilang hingga tahun 2028. Adapun, 5 kilang di antaranya akan dibangun China, 11 kilang di India, 2 kilang Iran, Bahrain, Iraq, Jordan, Oman, Arab Saudi, Nigeria, dan Meksiko. 

    Pada 2000, hampir separuh kapasitas kilang dunia 45% tercatat berada di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang. Namun, beberapa tahun terakhir, kapasitas kilang di Timur Tengah, China dan India tumbuh hampir setiap tahun dan lebih dari 34% kapasitas kilang dunia pada 2024. 

    Kondisi inilah yang juga terjadi di Indonesia. Pri menilai RI justru harus lebih ekspansif membangun kilang, pasalnya dia justru melihat Indonesia masih stagnan dalam pengembangan ekosistem di hulu migas ini. 

    “Jadi, membangun kilang, untuk Indonesia, saya melihatnya positif dan itu memang kebutuhan ya. Dari perspektif kebijakan energi, itu memang bagian dari hilirisasi migas untuk ketahanan energi yang kita perlukan. Bukan hanya untuk ketahanan energi, tapi juga ketahanan ekonomi,” tuturnya. 

    Sebab, kemandirian energi lewat produksi minyak dalam negeri dapat mengurangi devisa impor migas dan membuat Indonesia terlepas dari kondisi pasar migas global. 

    Dia menegaskan bahwa pengembangan kilang menjadi keharusan bagi Indonesia. Sebab, selama ini pembangunan kilang dalam negeri stagnan dan tersendat aspek politik, pendanaan, serta prioritas pilihan investasi. 

    “Bagaimanapun, impor crude [minyak mentah] tetap lebih baik daripada dibandingkan impor hasil olahannya [bahan bakar]. Ada tahapan dan proses peningkatan nilai tambah ekonomi yang didapat dari keberadaan kilang yang mengolah itu,” pungkasnya. 

  • Menyoal Beda Data Produksi Minyak dan Klaim Bahlil

    Menyoal Beda Data Produksi Minyak dan Klaim Bahlil

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah telah merilis data produksi minyak sepanjang semester I/2025. Namun, terdapat perbedaan data versi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan SKK Migas.

    Berdasarkan data yang disampaikan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, rata-rata produksi minyak sepanjang semester I/2025 mencapai 602.000 barel per hari (bph). Angka tersebut baru mencapai 99,5% dari target dalam APBN 2025 yang sebesar 605.000 bph

    Adapun, produksi minyak pada Juni 2025 mencapai 608.100 bph. Menurut Bahlil, realisasi ini merupakan rekor lantaran baru pertama kali hampir melampaui target APBN sejak 2008.

    “Sejak 2008 sampai 2024 target realisasi lifting kita tidak pernah mencapai yang sama dengan target APBN selalu di bawah target. Kita lihat Januari [2025] 599.600 [bph], Juni sudah 608.100, target APBN 605.000,” ucap Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (11/8/2025).

    Adapun, Kementerian ESDM tak merilis data lifting minyak sepanjang semester I/2025.

    Sementara itu, berdasarkan data SKK Migas, realisasi produksi minyak telah mencapai 579.300 bph per semester I/2025. Angka ini baru mencapai 95,8% dari target, sedangkan realisasi lifting minyak mencapai 578.000 bph per semester I/2025. Realisasi tersebut baru mencapai 95,5% dari target lifting minyak dalam APBN 2025 yang sebesar 605.000 bph.

    Kepala SKK Migas Djoko Siswanto menjelaskan, capaian lifting minyak dan produksi minyak memang berbeda.

    Sebab, tidak semua kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) atau perusahaan migas langsung melakukan lifting minyak setelah berproduksi. Beberapa KKKS, kata dia, menampung minyak yang mereka produksi untuk kemudian di-lifting bersamaan.

    Terkait hal ini, Praktisi Migas Hadi Ismoyo menilai data produksi minyak yang lebih bisa dipertanggung jawabkan adalah dari SKK Migas. Pasalnya, lembaga tersebut membuat pembaruan data setiap pekan dalam Shipcoord Meeting yang dihadiri seluruh KKKS.

    “Data yang asli dan otentik ya data di SKK Migas karena di-update setiap Minggu dalam Shipcoord Meeting yang dihadiri seluruh KKKS Produksi. Sehingga bisa dipertanggung jawabkan,” ucap Hadi kepada Bisnis, Rabu (13/8/2025).

    Mantan Sekjen Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) itu menjelaskan, dalam nomenklatur teknis mekanika reservoir dan mekanika fluida, reservoir migas itu selalu dalam kondisi 3 phasa, yaitu gas, minyak, dan air.

    Selanjutnya, Fluida 3 phasa yang ada di reservoir dialirkan (natural flow atau memakai artificial lift) ke sumur produksi melalui tubing, selanjutnya sampai ke kepala sumur wellhead. Di Wellhead biasanya dilengkapi metering, dan di sinilah fluida 3 phase itu dicatat laju alir gas, minyak, dan air.

    Selanjutnya, fluid 3 phasa ini masuk ke separator untuk dipisahkan minyaknya dari gas dan air. Lalu, minyak mengalir ke stasiun pengumpul minyak (tank storage). Dari stasiun pengumpul ini dilengkapi metering juga.  

    Kemudian di-lifting untuk dijual melalui pipa atau kapal tanker kepada Pertamina Kilang atau trader minyak lainnya.

    “Produksi minyak dari reservoir sampai di metering wellhead inilah yang disebut sebagai produksi minyak,” imbuh Hadi.

    Hadi menyebut, bahwa data produksi minyak dari SKK Migas memang mencapai 579.000 bph per semester I/2025. Namun, Bahlil mengungkapkan realisasi produksi itu mencapai 602.000 bph.

    Menurut Hadi, Bahlil memasukkan selisihnya yakni sekitar 23.000 boepd berupa LPG ke dalam pencatatan minyak dan kondesat.

    “Seharusnya LPG masuk pencatatan regime gas sesuai dalam Nomenklatur UU APBN 2025. Jika sistem dan fasilitasnya sederhana, produksi minyak most likely akan sama dengan lifting minyak,” jelas Hadi.

    Hadi pun mengingatkan agar pemerintah memverifikasi dulu data di SKK Migas sebelum membuat laporan. Menurutnya, jika pemerintah ingin membuat definisi atau aturan baru pencatatan, harus sinkron dengan regulasi atau UU terkait subyek yang dimaksud.

    “Supaya data yang disampaikan oleh Kementerian ESDM dan Kemenkeu [Kementerian Keuangan] bisa sinkron. Tidak membingungkan,” ucap Hadi.

    Rekonsiliasi Data Belum Sinkron

    Sementara itu, Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat perbedaan data produksi minyak dari Kementerian ESDM dan SKK Migas itu sebatas rekonsiliasi data yang belum sinkron.

    “Terkait capaian angka produksi atau lifting pada suatu waktu tertentu, misal, pada bulan Juni saja, itu wajar dan sudah pernah terjadi jika angkanya melebihi target,” ucapnya.

    Kendati demikian, Pri Agung tak begitu mempermasalahkan. Sebab, yang menjadi perhitungan dalam APBN adalah lifting minyak. Ini khususnya untuk periode 1 tahun.

    Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan data yang lebih akurat terkait lifting minyak pada sisa tahun ini.

    “Dalam periode 1 tahun itu kadang ada lonjakan angka produksi di periode tertentu, misal ketika suatu sumur atau proyek baru on stream atau baru selesai di workover [perawatan]. Tapi seiring waktu kemudian produksi mulai lebih stabil, dan dalam konteks ini ada potensi ada penurunan,” ucap Pri Agung.

    Dia menjelaskan, volume minyak yang tercatat di ‘lift’ atau dijual. Oleh karena itu, lifting bisa lebih tinggi atau lebih rendah dari angka produksi.

    Pri Agung mengatakan, semua hasil produksi nantinya akan menjadi lifting, tapi bisa langsung, bisa juga tidak langsung karena disimpan dulu sampai ada yang membelinya.

    “Kalau untuk kepentingan APBN, yang dipakai angka lifting. Semakin tinggi produksi, semakin akan memperbesar volume minyak yang bisa dijual [dijadikan lifting]. Begitu saja prinsipnya,” jelasnya.

  • Potensi Impor LNG dari AS Kompetitif dengan Harga Gas Domestik

    Potensi Impor LNG dari AS Kompetitif dengan Harga Gas Domestik

    Bisnis.com, JAKARTA — Pakar ekonomi energi dan pertambangan menyoroti kondisi keseimbangan pasokan gas nasional yang dinilai membutuhkan tambahan volume untuk memenuhi permintaan gas domestik. Salah satu solusi yang ditawarkan yakni impor Liquefied Natural Gas (LNG) dari Amerika Serikat. 

    Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, saat ini konsumsi sebagian besar pengguna gas yang berada di wilayah Indonesia bagian barat meningkat, sementara produksi gas di wilayah tersebut menurun. 

    Dalam catatannya, defisit pasokan gas pada wilayah Indonesia bagian barat diproyeksikan meningkat dari sekitar 189 MMSCFD pada 2025 menjadi sekitar 803 MMSCFD pada 2035.

    “Surplus produksi gas di wilayah Indonesia bagian timur belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan untuk menutup defisit di wilayah barat karena terkendala infrastruktur distribusi yang belum cukup tersedia,” kata Komaidi dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (10/8/2025).

    Kendati demikian, pasokan LNG domestik yang relatif tidak terkendala infrastruktur distribusi telah terikat kontrak ekspor jangka panjang. Tak heran jika belakangan ini pemenuhan kebutuhan LNG domestik dilakukan dengan mengalihkan sebagian kargo ekspor. Namun, dalam pelaksanaannya menghadapi sejumlah tantangan terutama dari sisi biaya. 

    “Impor LNG dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah pasokan gas domestik tersebut sampai dengan produksi dan infrastruktur gas domestik dapat memenuhi kebutuhan gas pada seluruh wilayah di Indonesia,” jelasnya. 

    Komaidi merujuk pada beberapa data, bahwa harga LNG impor dari Amerika Serikat, Qatar, Malaysia, dan Rusia yang diperdagangkan di pasar Asia relatif kompetitif dengan harga LNG domestik. 

    Adapun, rata-rata harga LNG Free on Board (FOB) selama periode 2024 dari Amerika Serikat, Qatar, Malaysia, dan Rusia masing-masing sekitar US$7 per MMBTU, US$7 per MMBTU, US$9 per MMBTU, dan US$11 per MMBTU.

    Sementara pada periode 2024 harga LNG dari Amerika Serikat, Qatar, Malaysia, dan Rusia sampai pada titik serah di pasar Asia masing-masing sekitar US$10,5 per MMBTU, US$11,5 per MMBTU, US$11,5 per MMBTU, dan US$12,5 per MMBTU. 

    Jika mengacu pada formula harga LNG domestik yang ditetapkan 17,4% x ICP dan rata-rata ICP 2024 sebesar US$78,14 per barel, maka rata-rata harga LNG domestik selama periode 2024 adalah sekitar US$13,59 per MMBTU. 

    Artinya, dari data tersebut, harga LNG impor dari Amerika Serikat, Qatar, Malaysia, dan Rusia dapat dikatakan relatif kompetitif dengan harga LNG domestik.

    “Dari empat negara yang potensial menjadi sumber impor LNG tersebut, Amerika Serikat berpotensi dapat memberikan harga LNG yang lebih kompetitif,” jelasnya. 

    Berdasarkan data, rata-rata harga LNG FoB dari Amerika Serikat selama periode Januari – April 2025 adalah sekitar US$7,73 per MMBTU. 

    Biaya pengangkutan sampai ke wilayah Asia termasuk Indonesia diperkirakan antara US$2,09 – US$4,75 per MMBTU, namun tergantung kapasitas LNG yang diangkut dan armada yang digunakan. 

    Dengan menambahkan biaya pengangkutan tersebut, rata-rata harga LNG impor dari Amerika Serikat sampai di wilayah Asia adalah sekitar US$9,82 – US$12,48 per MMBTU. “Harga tersebut relatif kompetitif dengan harga LNG domestik pada periode yang sama yang berada pada kisaran US$12,51 per MMBTU,” katanya.

  • Investasi PSN Hulu Migas Bisa Tembus Rp 494 Triliun, Tapi Regulasi Harus Jelas – Page 3

    Investasi PSN Hulu Migas Bisa Tembus Rp 494 Triliun, Tapi Regulasi Harus Jelas – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – ReforMiner Institute mencatat potensi investasi dari Proyek Strategis Nasional (PSN) di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) bisa tembus Rp 494 triliun. Namun aspek regulasi perlu dipastikan bisa mendukung hal tersebut.

    Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notogegoro menyampaikan Rp 494 triliun ini bisa didapat dari 4 proyek yang sudah ditetapkan sebagai PSN. Diantaranya, Asap Kido Merah – Genting Oil Kasuri; Ekspansi Tangguh Tahap 2 (UCC) – British Petroleum (BP); Indonesia Deepwater Development & Geng North – ENI, dan Abadi Masela – Inpex.

    “Jika dapat direalisasikan sesuai rencana, investasi PSN hulu migas tersebut akan memberikan dampak positif terhadap kinerja indikator makro ekonomi nasional,” kata Komaidi dalam keterangannya, Kamis (10/7/2025).

    Dia memberikan simulasi dampak ekonomi dari potensi investasi tersebut. Pertama, jika investasi dilakukan dalam 5 tahun, dan kedua, jika investasi dilakukan dalam 8 tahun.

    Pada hitungan pertama, dampaknya bisa meningkatkan PDB nasional sekitar 0,51%, meningkatkan ekspor sekitar 1,9%, meningkatkan pendapatan pemerintah sekitar 6,29%, meningkatkan penerimaan pajak sekitar 0,52%, meningkatkan surplus neraca pembayaran sekitar 0,70%, dan meningkatkan penguatan nilai tukar Rupiah sekitar 0,69%.

    Sementara, pada hitungan kedua, bisa berdampak pada peningkatan PDB nasional sekitar 0,32%, (2) meningkatkan ekspor sekitar 1,20%, (3) meningkatkan pendapatan pemerintah sekitar 3,93%, (4) meningkatkan penerimaan pajak sekitar 0,32%, (5) meningkatkan surplus neraca pembayaran sekitar 0,44%, dan (6) meningkatkan penguatan nilai tukar rupiah sekitar 0,43%.

     

  • Plus Minus Rencana RI Impor Energi Rp251 Triliun dari AS

    Plus Minus Rencana RI Impor Energi Rp251 Triliun dari AS

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menyiapkan anggaran senilai US$15,5 miliar atau setara Rp251,24 triliun (asumsi kurs Rp16.209 per US$) untuk belanja impor LPG, LNG, dan minyak mentah dari Amerika Serikat (AS). Rencana ini dinilai menguntungkan sekaligus dapat menjadi tantangan. 

    Adapun, rencana impor energi dari Negeri Paman Sam itu merupakan salah satu upaya negosiasi RI untuk menurunkan tarif resiprokal 32% yang akan dikenakan Presiden AS Donald Trump. Dalam negosiasi itu, Indonesia secara total berencana untuk membelanjakan US$34 miliar atau setara Rp551,1 triliun untuk impor dari AS.

    Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai langkah Indonesia untuk meningkatkan impor energi dari AS merupakan pilihan rasional. Menurutnya, selama ini RI memang mengimpor LPG dan minyak mentah dalam jumlah besar. Untuk itu, mengalihkan impor ke AS tak menjadi masalah besar.

    “Jadi akan positif saja bagi kita, setidaknya netral saja karena toh kalau bukan dari AS kita juga masih tetap harus mengimpornya dalam besaran nominal yang kurang lebih juga akan setara, tergantung fluktuasi harga migas dan kurs US$ juga,” tutur Pri Agung kepada Bisnis, Senin (7/7/2025).

    Pri Agung pun menuturkan, karena menjadi bagian dari paket negosiasi, sebaiknya pemerintah juga mendorong investasi migas di AS. Apalagi, AS memiliki kekuatan dalam pengembangkan teknologi, eksplorasi, dan produksi migas.

    Oleh karena itu, investasi di sektor hulu maupun hilir migas di AS cukup potensial. Menurutnya, PT Pertamina (Persero) sangat berpeluang untuk bisa mengakuisisi lapangan atau proyek yang sudah masuk tahap eksplorasi maupun produksi di AS.

    “Hulu migas AS, khususnya pengembangan dan produksi shale oil shale gas itu para pemainnya banyak dari perusahaan migas AS kelas independen, yang secara skala ukuran korporasi sebenarnya jauh di bawah Pertamina,” imbuh Pri Agung.

    Pri Agung pun berpendapat, jika Pertamina berinvestasi di AS, maka akan mendukung ekspansi perusahaan pelat merah itu di ranah global. Di samping itu, upaya itu juga dapat mendukung lifting migas nasional dan ketahanan energi RI.

    “Hasil produksi migasnya kan bisa dibawa, seperti impor dari AS, tetapi itu dari produksi kita sendiri,” katanya.

    Lebih lanjut, Pri Agung menuturkan bahwa kebijakan tarif Trump memang bagian dari upaya AS untuk ekspansi pasar LNG ke Asia Pasifik. Hal ini pun berpotensi memperketat persaingan dan keekonomian LNG global.

    Selain itu, kata Pri Agung, proyek-proyek pengembangan lapangan LNG di Indonesia akan mendapatkan persaingan yang lebih ketat untuk bisa mendapatkan pasar.

    “Monetisasi pengembangan lapangan-lapangan gas di Indonesia skala besar bisa terkena dampaknya, bisa makin mundur atau batal, jika tidak segera mendapatkan market,” ucap Pri Agung.

    Kendati demikian, secara umum tentu juga ada peluang di dalam tantangan tersebut. Menurut Pri Agung, market gas domestik RI yang terus naik mestinya harus dimaksimalkan dengan percepatan pengembangan infrastruktur.

    “Kalau bisa sekalian menggandeng AS di situ atau bahkan langsung ke sisi hulunya, mengajak industri migas AS untuk masuk sebagai investor di dalam memonetisasi lapangan-lapangan gas di kita, tentu akan positif,” kata Pri Agung.

  • Reforminer Institute: Hulu Migas Mulai Tunjukkan Sinyal Positif Investasi

    Reforminer Institute: Hulu Migas Mulai Tunjukkan Sinyal Positif Investasi

    Bisnis.com, JAKARTA — Research Institute for Mining and Energy Economics (Reforminer Institute) menilai kembalinya perusahaan minyak dan gas raksasa dunia seperti Chevron dan TotalEnergies ke sektor hulu migas Indonesia dinilai menjadi sinyal positif bagi iklim investasi nasional.

    Namun, langkah tersebut belum cukup untuk mendorong lonjakan produksi jangka pendek menuju target ambisius 1 juta barel per hari (bph).

    Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai bahwa kehadiran kembali International Oil Companies (IOCs) sekelas Chevron dan Total di Indonesia membuka peluang ditemukannya cadangan migas dalam skala besar, termasuk ladang dengan potensi minyak di atas 500 juta barel dan gas di atas 3 TCF (trillion cubic feet). 

    Selain itu, proyek-proyek Enhanced Oil Recovery (EOR) berskala besar serta pengembangan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) atau Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) juga menjadi lebih realistis untuk direalisasikan.

    “Ini akan menjadi sinyal yang kemudian akan menarik perusahaan sekelas IOCs lainnya untuk kembali berinvestasi di hulu migas kita,” katanya kepada Bisnis dikutip Sabtu (5/7/2025).

    Meski demikian, dia menekankan bahwa potensi besar Indonesia belum cukup untuk menjamin keberlanjutan investasi. Menurutnya, kendala utama justru terletak pada pendekatan pengelolaan sektor hulu yang masih bersifat mikro-manajerial. 

    Pemerintah dinilai terlalu berfokus pada hitung-hitungan biaya dan penerimaan negara justru membuat proyek hulu kehilangan daya tarik dari sisi keekonomian dan birokrasi yang memakan waktu dan menambah ketidakpastian 

    “Semestinya kan titik beratnya lebih ke arah investasi untuk menggerakkan perekonomian dalam arti luas dan produksi migas bisa meningkat untuk ketahanan energi,” katanya. 

    Di sisi lain, terkait dengan meningkatnya ekskalasi perang di Timur Tengah agak terlalu dini untuk melihat dampak langsung ke ICP dan fiskal RI, mengingat perhitungannya dilakukan secara tahunan.

    Kekhawatiran penutupan Selat Hormuz, Pri Amenilai ancaman tersebut masih lebih bersifat psy war atau psychological warfare ketimbang risiko nyata. Menurutnya, secara ekonomi, semua negara termasuk Iran dan China memiliki kepentingan untuk menjaga agar jalur transportasi minyak utama itu tetap terbuka.

    Namun dia tak menampik bahwa sentimen tersebut sudah cukup membuat harga minyak naik, karena kekhawatiran atas 20% suplai global yang melewati selat tersebut 

    “Akan naik sampai berapa? Ya semua akan tergantung pd bgmn ekskalasi perang itu, apakah akan melibatkan sebatas Iran-Israel-AS atau meluas,” ucapnya. 

    Menurutnya, apabila skala terbatas dia meyakini secara perlahan harga akan kembali turun ke fundamentalnya di kisaran US$60 per barel hingga US$70 per barel. Sementara jika skala perang meluas, maka tidak dapat diprediksi ambang batas kenaikannya.

    Dia menilai para perusahaan internasional di sektor migas punya fokus strategi sendiri dalam fundamental acuan harga. Mereka tidak akan secara langsung bereaksi tetapi menunggu dan fokus pada portofolio investasi yang sudah ada.

    Meski harga minyak dunia atau Indonesian Crude Price (ICP) sempat meningkat, Pri mengingatkan bahwa periode kenaikan ini masih terlalu singkat untuk berdampak nyata terhadap keekonomian proyek hulu migas nasional.