Seribu Warga Gaza, Seribu Tanya untuk Republik
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
PERNYATAAN
Presiden Prabowo Subianto untuk mengevakuasi seribu warga Palestina dari
Gaza
ke Indonesia menyentak ruang publik kita.
Di tengah dunia yang terbelah antara rasa kemanusiaan dan kepentingan geopolitik, inisiatif ini seperti suara baru dari belantara diplomasi Asia Tenggara.
Namun, dalam euforia menyambut langkah yang disebut-sebut sebagai “misi kemanusiaan”, ada pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di langit-langit republik ini: Untuk siapa evakuasi ini ditujukan? Apa landasan hukumnya?
Siapa yang bertanggung jawab atas proses pemindahan dan perlindungan para pengungsi? Dan, pertanyaan paling mendasar: apakah langkah ini benar-benar untuk menyelamatkan, atau sekadar simbolisme global yang tak berpijak pada realitas domestik?
Pernyataan Presiden Prabowo bahwa Indonesia siap mengevakuasi seribu warga Gaza—anak-anak, korban luka, serta warga yang mengalami trauma—adalah ekspresi dari simpati mendalam atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Palestina.
Sebagai bangsa yang sejak awal mendukung kemerdekaan Palestina, suara Indonesia memang tak boleh hilang dari arena kemanusiaan global.
Namun dalam politik internasional, bahkan empati pun tak pernah steril dari strategi. Di balik niat baik evakuasi ini, muncul pertanyaan: apakah langkah ini murni sebagai respons moral, atau bagian dari posisi diplomatik baru Indonesia yang ingin memainkan peran lebih besar di dunia Islam dan kawasan Timur Tengah?
Jika betul demikian, maka evakuasi ini harus dibingkai secara transparan sebagai bagian dari strategi politik luar negeri, bukan sekadar reaksi emosional terhadap penderitaan Gaza.
Dalam perspektif hukum internasional, pemindahan populasi dari wilayah konflik memerlukan legitimasi yang kokoh dan kehati-hatian luar biasa.
Pasal 49 Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 secara tegas menyatakan bahwa: “Pemindahan secara individual atau massal terhadap penduduk sipil dari wilayah yang diduduki ke wilayah negara pendudukan atau ke wilayah lain yang diduduki, dalam atau di luar wilayah itu, dilarang, terlepas dari motifnya.”
Namun, pasal yang sama memberikan pengecualian: “Evakuasi diperbolehkan jika keamanan penduduk atau alasan militer yang mendesak mengharuskannya.”
Lebih lanjut, Pasal 78 Protokol Tambahan I Tahun 1977 mengatur tentang perlindungan terhadap anak-anak dalam konflik bersenjata:
“Jika keadaan memerlukan, anak-anak dapat dievakuasi secara sementara dari wilayah yang terkena konflik ke wilayah lain yang lebih aman, dengan persetujuan dari pihak yang bertikai serta otoritas orangtua atau wali.”
Dari ketentuan ini, jelas bahwa evakuasi warga sipil, apalagi dalam jumlah besar, harus melalui prosedur yang ketat, mendapat persetujuan dari semua pihak yang bertikai, serta tidak boleh menjadi dalih untuk pemindahan permanen atau pelanggaran hak untuk kembali.
Jika Indonesia hendak mengevakuasi warga Palestina dari Gaza, maka koordinasi dengan Otoritas Palestina, negara-negara transit seperti Mesir, bahkan persetujuan tidak langsung dari Israel menjadi kebutuhan tak terelakkan.
Tanpa dasar hukum yang jelas, evakuasi dapat dianggap sebagai pelanggaran prinsip-prinsip dasar hukum humaniter internasional, atau lebih jauh lagi, mendukung—secara tak sengaja—narasi “pengosongan Gaza” yang diusung kelompok ekstrem kanan Israel.
Majelis Ulama Indonesia telah mengingatkan: jangan sampai evakuasi ini menjadi jalan sunyi menuju eksodus paksa, bukan penyelamatan sukarela.
Seribu warga Palestina yang terluka, trauma, atau yatim piatu bukan sekadar angka statistik. Mereka adalah individu dengan kebutuhan perlindungan hukum, pemulihan psikososial, akses kesehatan, pendidikan, dan jaminan hidup bermartabat.
Apakah negara kita siap?
Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 maupun Protokol 1967, sehingga tidak memiliki kewajiban hukum formal untuk memberikan status pengungsi, kecuali berdasarkan kebijakan domestik atau
goodwill
politik.
Di sisi lain, sistem hukum kita belum memiliki regulasi nasional yang secara komprehensif mengatur perlindungan pengungsi asing.
Akibatnya, status hukum para penyintas Gaza ini bisa menggantung: apakah mereka “pengungsi”, “pencari suaka”, atau “tamu negara”?
Tanpa kepastian, mereka berisiko menjadi warga bayangan: tak dapat bekerja, bersekolah, apalagi membangun hidup baru.
Ketiadaan kejelasan inilah yang berpotensi mencederai niat baik dari misi yang sedianya bersandar pada kemanusiaan.
Solidaritas terhadap Palestina adalah bagian dari narasi kemerdekaan Indonesia. Namun, dalam dunia hukum dan kebijakan publik, solidaritas harus dijalankan dengan sistem. Tidak bisa hanya bermodalkan niat dan pernyataan pers.
Jika Indonesia memang serius ingin memainkan peran strategis dalam isu kemanusiaan global, maka langkah awal yang paling logis adalah: membentuk regulasi nasional soal pengungsi dan pencari suaka, atau minimal menetapkan prosedur evakuasi internasional berbasis hukum.
Tanpa itu, evakuasi Gaza ini rawan menjadi headline sesaat, bukan laku institusional yang berkelanjutan.
Presiden Prabowo telah menjajaki dukungan dari negara-negara kunci di Timur Tengah—UEA, Turki, Qatar, Mesir, dan Yordania. Itu langkah diplomatik yang cerdas.
Namun pertanyaannya: apakah diplomasi ini dibarengi koordinasi dalam negeri yang matang? Apakah Kementerian Luar Negeri, Hukum dan HAM, Sosial, dan Kesehatan telah duduk satu meja menyusun rencana lintas sektoral?
Apa suara DPR dalam isu ini? Apakah ada alokasi anggaran? Siapa yang akan menanggung beban fiskal dan sosial dari rencana ini?
Pengalaman Indonesia dalam menampung pengungsi Rohingya harus menjadi cermin. Tanpa regulasi dan sistem yang mapan, para pengungsi hidup dalam ketidakpastian. Tanpa pekerjaan. Tanpa pendidikan. Tanpa masa depan.
Evakuasi Gaza tak boleh mengulang pola yang sama. Negara harus hadir sejak awal, bukan hanya saat pesawat mendarat. Kita butuh sistem perlindungan jangka panjang—bukan semata tempat singgah sementara yang minim harapan.
Evakuasi seribu warga Gaza bukan sekadar persoalan logistik atau niat baik. Ia adalah ujian menyeluruh atas cara republik ini memahami kemanusiaan, hukum, dan tata kelola negara.
Setiap langkah yang diambil pemerintah harus berpijak pada pertimbangan hukum, etika, dan kebijakan yang matang.
Publik berhak tahu. Sebab dari langit yang dihujani bom di Gaza, kini tanggung jawab berpindah ke pundak republik ini. Dan pertanyaan-pertanyaan mendasar itu tak bisa dihindari:
Apa dasar hukum dari rencana evakuasi ini? Apakah ia memiliki legitimasi dalam sistem hukum nasional dan sejalan dengan ketentuan hukum humaniter internasional?
Bagaimana status hukum seribu jiwa yang dibawa ke Indonesia? Apakah mereka akan disebut pengungsi, pencari suaka, atau sekadar tamu negara tanpa perlindungan hukum yang memadai?
Siapa yang akan menjamin hak-hak dasar mereka—akses terhadap perlindungan hukum, kesehatan, pendidikan, dan kehidupan yang layak?
Sampai kapan mereka akan tinggal di Indonesia? Adakah batas waktu atau skenario pemulangan yang terukur?
Apa jaminan bahwa mereka kelak dapat kembali ke Gaza ketika situasi memungkinkan? Apakah ada mekanisme yang melindungi hak untuk kembali sebagaimana ditegaskan dalam hukum internasional?
Terakhir, apakah semua ini telah melalui uji etika, kalkulasi diplomatik, serta pertimbangan risiko keamanan nasional yang menyeluruh?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk melemahkan niat baik pemerintah. Justru di sinilah pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan keberanian negara menjawab tantangan kemanusiaan dengan langkah terukur, bukan langkah gegabah.
Karena di balik setiap jiwa yang dievakuasi, ada harapan yang dibawa, ada luka yang dibungkus, dan ada masa depan yang harus dijaga. Di sinilah kemanusiaan diuji, dan di sinilah republik harus membuktikan: bahwa niat baik pun wajib dipertanggungjawabkan.
Langkah Prabowo bukan tanpa niat baik. Namun, dalam tata kelola negara, niat baik tidak cukup. Harus ada sistem hukum yang mengikat, kebijakan berpihak, dan kesiapan institusi yang solid.
Evakuasi Gaza adalah ujian bagi republik ini—apakah kita masih bisa berdiri atas nama kemanusiaan, atau hanya akan tercatat sebagai pemberi tumpangan dalam kisah panjang pengungsian dunia.
Karena di balik setiap anak Gaza yang datang, ada satu tanya yang akan hidup bersama mereka: benarkah republik ini siap menampung luka dunia, dengan tangan dan hati yang benar-benar terbuka?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Institusi: MUI
-

Reaksi Pakar: Evakuasi Gaza Bisa Jadi Bumerang Politik Jika Tanpa Dukungan Rakyat dan Infrastruktur – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar hukum dan politik Pieter Zulkifli menilai tanpa kesiapan infrastruktur dan dukungan publik, langkah itu justru bisa menjadi bumerang politik dan merugikan posisi diplomatik Indonesia.
Menurut dia, pemerintah harus lebih bijak membenahi ‘rumah sendiri’ sebelum menjadi pahlawan bagi dunia selama 1 dari 10 orang Indonesia masih hidup dalam kemiskinan ekstrem.
“Solidaritas yang tak terukur bisa menjadi pengkhianatan terhadap mandat konstitusi untuk mensejahterakan rakyat sendiri,” kata Pieter Zulkifli kepada Tribunnews, Sabtu (12/4/2025).
Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini juga menilai bila gagasan Presiden Prabowo itu memantik sejumlah pertanyaan kritis sekalipun terlihat mulia di permukaan.
Dia bahkan mempertanyakan seberapa realistis rencana tersebut dan bagaimana implikasi strategisnya bagi Indonesia.
Apalagi, Presiden Prabowo menyampaikan wacana utu dengan semangat kemanusiaan dan mengutip amanat konstitusi bahwa Indonesia harus aktif dalam menciptakan ketertiban dunia.
“Namun, niat baik saja tidak cukup. Realitas geopolitik Gaza jauh dari sederhana,” katanya.
Pieter Zulkifli mengingatkan bila wilayah Gaza dikepung ketat oleh Israel, baik dari sisi darat, laut, maupun udara, dengan kontrol perbatasan yang sebagian besar berada di tangan Mesir dan Israel.
Tanpa koordinasi dan kesepakatan diplomatik yang matang, maka evakuasi semacam itu sulit diwujudkan, bahkan terkesan utopis.
“Pertanyaannya, apakah Indonesia telah menjalin negosiasi konkret dengan otoritas terkait, terutama Mesir dan Israel? Jika tidak, gagasan ini berisiko jatuh ke dalam ranah retorika belaka. Bahkan negara-negara Arab sekalipun yang memiliki kedekatan budaya dan historis dengan Palestina, tidak serta merta bersedia menerima pengungsi Gaza,” ujarnya.
Tak hanya itu, Pieter Zulkifli menyatakan bila respons masyarakat terkait wacana ini terbelah. Ada yang mengapresiasi semangat solidaritas yang ditunjukkan Prabowo, namun tak sedikit pula yang mempertanyakan urgensi, relevansi, dan motif politik di baliknya.
Dia mencontohkan sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menolak secara tegas rencana tersebut.
Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri, Sudarnoto Abdul Hakim, menyebut bahwa relokasi massal warga Gaza justru dapat menjadi bentuk pengusiran halus dan membuka celah bagi Israel untuk menguasai sepenuhnya wilayah Gaza yang ditinggalkan penduduknya.
“Dalam perspektif ini, relokasi bukan lagi bentuk solidaritas, melainkan berpotensi menjadi bagian dari strategi pemutihan wilayah oleh kekuatan pendudukan sebuah praktik yang dalam hukum internasional bisa dikategorikan sebagai genosida,” katanya.
Dalam konteks kemanusiaan global, kata Pieter Zulkifli, gagasan tersebut memang terdengar mulia.
Namun, jika ditelusuri lebih jauh banyak aspek yang luput dari pertimbangan matang, baik secara diplomatik, legal, sosial, maupun politik domestik.
Dia mengatakan pertama-tama gagasan ini patut diuji dari sisi konstitusional dan legal.
Sebab, Indonesia bukanlah negara yang memiliki tradisi menerima pengungsi secara massal dari zona perang luar negeri, apalagi dalam skala ribuan orang.
“Hingga kini, pengelolaan pengungsi di Indonesia masih bersifat terbatas, lebih sebagai negara transit, bukan negara tujuan. Sistem hukum dan administrasi imigrasi Indonesia belum disiapkan untuk menampung eksodus pengungsi secara besar-besaran dan permanen,” kata dia.
EVAKUASI WARGA GAZA – Presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu.Presiden Prabowo menyatakan Indonesia siap menampung warga Gaza, Palestina, yang menjadi korban luka-luka imbas agresi militer Israel. Khususnya anak – anak yang menjadi yatim piatu, mereka yang alami trauma ataupun warga Gaza yang memang berkeinginan dievakuasi ke Indonesia. (DOK TRIBUNNEWS)
Pieter melanjutkan untuk kedua dalam dimensi geopolitik, evakuasi warga Gaza ke Indonesia dapat menimbulkan implikasi serius. Palestina dengan segala kerumitan sejarah dan politiknya bukan sekadar isu kemanusiaan.
Palestina disebutnya konflik multidimensional dengan pertaruhan kekuasaan global. Ketika Indonesia menawarkan diri sebagai negara penerima warga Gaza, maka posisi diplomatik Indonesia akan berubah drastis.
“Alih-alih menjadi juru damai netral, Indonesia dapat dianggap condong ke satu sisi dalam konflik yang sangat sensitif secara geopolitik,” ujarnya.
Dia mengatakan Indonesia selama ini dikenal sebagai pendukung kuat kemerdekaan Palestina di berbagai forum internasional, namun tetap menjaga posisi hati-hati dan tidak turut campur dalam urusan teritorial.
Sehingga, langkah evakuasi bisa menabrak prinsip non-intervensi dan memicu ketegangan baru, baik di kawasan Timur Tengah maupun dalam hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara besar.
Ketiga, kata dia, yang paling penting ialah gagasan evakuasi itu perlu ditakar dengan jujur dalam konteks domestik. Misalnya, sejauh mana negara Indonesia telah berhasil menyejahterakan rakyatnya sendiri.
Pieter Zulkifli menuturkan sentimen identitas, stigma terhadap pendatang, dan potensi konflik horizontal bisa muncul sewaktu-waktu.
Dia mengingatkan kembali bagaimana respons masyarakat terhadap pengungsi Rohingya yang mendarat di Aceh beberapa tahun lalu.
“Solidaritas warga memang menyentuh, namun di sisi lain, ada juga suara-suara penolakan karena kekhawatiran terhadap beban sosial dan ekonomi yang ditimbulkan,” katanya.
Dia juga menyinggung soal dimensi politis yang tak bisa diabaikan dari gagasan tersebut.
Kendati demikian, Pieter Zulkifli menyatakan Presiden Prabowo adalah seorang politisi ulung yang memahami pentingnya narasi besar dalam membangun legitimasi.
Dia mengamini di tengah transisi kekuasaan dan sorotan publik terhadap konfigurasi kabinet barunya, isu Palestina dapat menjadi panggung simbolik untuk menegaskan posisi moral dan memperkuat citra pemimpin berjiwa humanis di mata dunia.
Namun, jika tidak disertai kesiapan struktural dan dukungan masyarakat luas, niat baik itu bisa menjadi bumerang.
Di sisi lain, Pieter Zulkifli tak menampik kemanusiaan memang tak mengenal batas negara. Namun, kebijakan luar negeri tidak dapat dibangun semata atas dasar simpati dan moralitas.
“Ia menuntut ketelitian, rasionalitas, serta kesiapan institusional. Jika Prabowo benar-benar ingin menunjukkan komitmen pada rakyat Palestina, jalur yang lebih strategis adalah memperkuat diplomasi internasional, meningkatkan dukungan kemanusiaan konkret, seperti bantuan medis, logistik, dan pembangunan infrastruktur, serta menjadi pelopor gencatan senjata dan rekonsiliasi damai melalui forum-forum multilateral,” katanya.
Pieter Zulkifli menuturkan menjadi pemimpin yang peduli terhadap penderitaan sesama manusia adalah nilai luhur yang patut diapresiasi.
Tetapi, menjadi pemimpin yang bijak dan cermat dalam menakar kapasitas serta risiko adalah kualitas kenegarawanan yang sejati.
“Jangan sampai, dalam semangat menolong yang lain, kita justru mengabaikan tugas besar menyejahterakan rakyat sendiri yang masih menanti evakuasi dari kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan di negeri ini,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya Presiden Prabowo Subianto menyatakan Indonesia siap berperan lebih aktif untuk menyelesaikan konflik di Gaza dan kawasan Timur Tengah.
Presiden juga menyampaikan kesiapan Indonesia untuk membantu korban luka, anak-anak, dan warga sipil Palestina yang terdampak konflik.
Ia juga menginstruksikan Menteri Luar Negeri untuk segera berdiskusi dengan pihak Palestina dan pihak-pihak terkait guna membahas mekanisme tersebut.
Pernyataan tersebut disampaikan Prabowo di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, sebelum bertolak ke Abu Dhabi dalam rangkaian lawatan lima negara pada Rabu (9/4/2025) kemarin.
“Kami siap mengevakuasi mereka yang luka-luka, mereka yang kena trauma, anak-anak yatim piatu, siapa pun yang oleh pemerintah Palestina dan pihak-pihak yang terkait di situ, mereka ingin dievakuasi ke Indonesia,” jelas Presiden.
-
/data/photo/2025/04/12/67fa525ab6412.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Dugaan Aliran Sesat di Pulau Seram, MUI Minta Warga Tak Main Hakim Sendiri Regional 12 April 2025
Dugaan Aliran Sesat di Pulau Seram, MUI Minta Warga Tak Main Hakim Sendiri
Tim Redaksi
AMBON, KOMPAS.com
– Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Maluku angkat bicara soal munculnya sebuah kelompok tarekat yang diduga menyebarkan
aliran sesat
di
Kabupaten Seram Bagian Barat
.
Kelompok tersebut diduga telah menyebarkan ajarannya kepada warga di Dusun Limboro, Desa Luhu, Kecamatan Huamual.
Buntut dari aktivitas kelompok tersebut, warga yang merasa resah lantas melakukan aksi protes hingga mengusir paksa para pengikut kelompok tersebut dari dusun itu.
Warga bahkan sempat terlibat ketegangan dengan para pimpinan dan pengikut kelompok tersebut.
Terkait persoalan itu, Ketua MUI Maluku Abdullah Latuapo meminta warga jangan sampai terpengaruh dengan ajaran yang dianggap bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Ia juga meminta warga di Seram Bagian Barat, khususnya di Dusun Limboro, Kecamatan Huamual, tetap tenang dan dapat menahan diri.
“Saya mengimbau agar masyarakat jangan sampai main hakim sendiri, tolong masyarakat menahan diri, dan kalau mereka membawa ajaran sesat yang bertentangan dengan Islam, jangan sampai terpengaruh,” kata Abdullah kepada
Kompas.com
, Sabtu (12/4/2025).
Abdullah mengungkapkan, terkait masalah tersebut, pihaknya sampai saat ini masih menunggu laporan resmi dari MUI Seram Bagian Barat.
Menurut dia, apabila dari hasil kajian paham yang diajarkan kelompok tersebut bertentangan dengan nilai Islam dan masuk dalam kategori penodaan agama, maka sudah pasti akan dilaporkan secara hukum.
“Kalau bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, maka pasti dilaporkan ke polisi. Intinya, jangan sampai terjadi tindakan fisik, itu yang kita harapkan,” ujar dia.
Ia juga mengimbau kepada para pengikut ajaran tersebut agar dapat memahami Islam secara benar agar tidak tersesat.
“Lalu kepada para pengikut itu, saya imbau jangan sampai tersesat pada ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan prinsip Islam. Kita punya dasar Al-Qur’an dan Al-Hadits, itu yang menjadi sumber,” kata dia.
Sementara itu, Sekretaris MUI Kabupaten Seram Bagian Barat Syuaib Pattimura memastikan akan mengambil langkah hukum terhadap para pimpinan kelompok tersebut.
Menurut Syuaib, langkah hukum diambil karena dia meyakini paham keagamaan yang disebarkan kelompok tersebut sesat dan telah menodai ajaran Islam.
“Jadi kita akan laporkan mereka yang telah menyebarkan paham tersebut ke aparat kepolisian, itu sudah menjadi keputusan yang harus ditindaklanjuti,” kata dia.
Sebelumnya diberitakan, sebuah kelompok tarekat di Kabupaten Seram Bagian Barat disetop aktivitasnya oleh MUI setempat karena dinilai menyebarkan aliran sesat di wilayah itu.
Ajaran dan pemahaman kelompok tersebut dinilai menyimpang dari pokok ajaran Islam, seperti tidak menganjurkan pengikutnya untuk shalat lima waktu, puasa, dan membayar zakat.
Kelompok tersebut juga mempunyai kitab sendiri yang dinamakan Perisai Diri. Dalam kitab itu, mereka mengubah surat Al-Fatihah dan beberapa surat lainnya serta kalimat syahadat.
Mereka juga mengeklaim dapat menjamin para pengikutnya masuk ke surga dengan syarat membeli tiket seharga Rp 7 juta.
Ada pun aliran ini sempat berkembang di Kota Masohi, Maluku Tengah, pada 2002 lalu, namun disetop oleh MUI setempat.
Pemimpin kelompok tersebut, La Bandunga, juga ikut menjalani proses hukum hingga dijatuhi hukuman penjara.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Pelaporan Polisi, Klarifikasi dan Permintaan Maaf
PIKIRAN RAKYAT – Pengasuh Ponpes Roudlotul Fatihah Fuad Riyadi (Gus Fuad Plered) diduga menghina Guru Tua yakni Habib Idrus bin Salim Aljufri sekaligus pendiri organisasi Islam Alkhairaat.
Polemik berawal dari usulan gelar pahlawan nasional pada Guru Tua. Gus Fuad Plered menganggapnya tak memiliki nilai historis, dan sosoknya dinilai tidak memiliki kontribusi signifikan pada perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Fuad Riyadi melontarkan kata “monyet” dan “pengkhianat” yang oleh banyak pihak dialamatkan pada Guru Tua. Ia langsung mengklarifikasi ucapannya tersebut.
Awal kronologi dugaan penghinaan ini bermula dari sebuah perbincangan atau diskusi yang ditayangkan lewat channel YouTube pribadinya.
Kronologi Fuad Plered Diduga Hina Guru Tua
Maret 2025
Video perbincangannya yang diduga mengandung penghinaan beredar luas di media sosial.
Reaksi dan Kecaman
Pernyataan ini viral memicu gelombang protes dan kecaman keras dari keluarga besar Alkhairaat dan para pengikutnya, organisasi Nahdlatul Ulama (NU) Sulawesi Tengah, dan tokoh-tokoh masyarakat lain.
Pelaporan Polisi
Beberapa orang dan kelompok dari Alkhairaat melaporkan Fuad Riyadi ke Polda Sulawesi Tengah atas dugaan penghinaan dan ujaran kebencian.
Klarifikasi dan Permintaan Maaf
Fuad Plered memberi klarifikasi dan menyampaikan permintaan maaf atas ucapannya yang kontroversial. Namun dinilai tak cukup meredam kemarahan berbagai pihak.
Sanksi Adat
Dewan Adat setempat menjatuhkan sanksi adat padanya berupa denda penggantian hewan.
Desakan Proses Hukum
Pengurus Besar (PB) Alkhairaat mendesak pihak kepolisian tetap memproses hukum kasus ini meskipun Ia sudah meminta maaf dan menerima sanksi adat.
Pemeriksaan Saksi
Polda Sulawesi Tengah mulai mengusut kasus ini dan sudah memeriksa sejumlah saksi soal dugaan penghinaan.
Tuntutan Warga Alkhairaat
Ribuan warga Alkhairaat melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Sulawesi Tengah menuntut Fuad Riyadi segera ditangkap dan diadili. Mereka membawa berbagai spanduk dan menyuarakan “Bela Guru Tua harga mati!”.
Seruan PBNU dan MUI
Pengurus Besar NU (PBNU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta semua pihak menahan diri, tak terprovokasi dan menyerahkan penanganan kasus pada aparat penegak hukum.
“Ini kan sama-sama umat Islam, sesama umat Nabi Muhammad jadi harus bisa menahan diri. Jangan saling menjatuhkan dan saling menyerang,” ucap Ketua PBNU Ahmad Fahrurrozi di Jakarta pada Jumat, 11 April 2025.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
-

Prabowo Mau Evakuasi 1.000 Warga Gaza ke Indonesia, ‘Lebih Baik Urus Ribuan Rakyat yang Kena PHK!’
PIKIRAN RAKYAT – Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk mengevakuasi 1.000 warga Gaza ke Indonesia menuai reaksi keras dari publik. Di tengah kondisi ekonomi yang memburuk dan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), banyak pihak menilai langkah ini tidak tepat dan justru bertentangan dengan sikap Indonesia selama ini yang menolak relokasi warga Palestina dari tanahnya sendiri.
Rencana Evakuasi dan Latar Belakangnya
Isu relokasi warga Gaza ke negara ketiga pertama kali mencuat pada Januari 2024, ketika Israel penjajah dan Hamas mulai memasuki tahap awal proses perdamaian. Amerika Serikat, sebagai mediator utama, mendorong solusi jangka panjang dengan membangun kembali Gaza dan, sementara itu, merelokasi warganya demi alasan keamanan.
“Jika kita tidak menolong warga Gaza, jika kita tidak membuat hidup mereka lebih baik, jika kita tidak memberikan harapan, akan tetap ada pemberontakan,” ucap seorang pejabat AS kepada NBC.
Sejak saat itu, Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu tujuan relokasi. Namun, banyak pihak curiga bahwa relokasi ini hanyalah kedok Israel penjajah untuk mengusir permanen warga Palestina. Pemerintah Indonesia saat itu membantah keras terlibat dalam wacana tersebut.
“Indonesia tetap tegas dengan posisi: segala upaya untuk memindahkan warga Gaza tidak dapat diterima,” ujar Kementerian Luar Negeri.
Namun, pada 9 April 2025, Prabowo Subianto justru mengumumkan bahwa Indonesia siap menerima 1.000 warga Gaza “pada gelombang pertama”.
“Kami siap mengevakuasi mereka yang luka-luka, mereka yang kena trauma, anak-anak yatim piatu… kami siap akan kirim pesawat-pesawat untuk mengangkut mereka,” katanya.
Prabowo Subianto menyebut bahwa evakuasi hanya bersifat sementara, dengan catatan bahwa warga tersebut akan kembali ke Gaza setelah situasi membaik.
“Mereka di sini hanya sementara sampai mereka pulih sehat kembali… dan pada saat mereka pulih, mereka harus kembali ke daerah asal,” tuturnya.
Prabowo Subianto juga melakukan lawatan diplomatik ke UEA, Turki, Mesir, Qatar, dan Yordania untuk membicarakan rencana tersebut.
Kritik Pedas dari MUI dan Pengamat
Majelis Ulama Indonesia (MUI) langsung mempertanyakan tujuan Indonesia ikut dalam skema yang dinilai mendukung strategi Israel penjajah dan AS.
“Pertanyaannya, untuk apa Indonesia ikut-ikutan mendukung rencana Israel dan Amerika tersebut?” ujar Wakil Ketua Umum MUI, Buya Anwar Abbas.
Pengamat Timur Tengah, Smith Alhadar, menyebut bahwa Prabowo Subianto memanfaatkan situasi ketika AS dan Israel penjajah “putus asa” mencari negara tujuan bagi pengungsi Gaza, dan memakainya sebagai alat negosiasi dengan Presiden AS Donald Trump.
“Prabowo melihat ini kesempatan bagaimana bernegosiasi dengan Trump… yaitu dia mau menerima pengungsi Palestina,” katanya.
Smith Alhadar menilai, seharusnya Indonesia tidak perlu “menyerahkan masa depan Palestina” hanya demi tawar-menawar diplomatik.
“Kenapa harus tunduk pada Trump? Kenapa mempertaruhkan Palestina?” ucapnya.
Kontradiksi dengan Kepentingan Dalam Negeri
Langkah ini dinilai tidak peka terhadap situasi dalam negeri, di mana rakyat sedang menghadapi gelombang PHK, harga kebutuhan pokok naik, dan ekonomi yang melemah.
“Lebih baik pemerintah mengurus ribuan orang yang kena PHK itu bagaimana?” kata Tia Mariatul Kibtiah, pengamat Timur Tengah dari Universitas Bina Nusantara.
Menurut data UNHCR, saat ini masih ada lebih dari 12.000 pengungsi yang terkatung-katung di Indonesia tanpa kepastian. Selain itu, muncul pula gelombang penolakan terhadap pengungsi Rohingya karena alasan Indonesia tidak meratifikasi konvensi pengungsi PBB.
Smith Alhadar menilai rencana menerima pengungsi Gaza justru akan memunculkan pertanyaan besar.
“Kalau Indonesia menerima pengungsi Palestina, kenapa menolak Rohingya? Apa bedanya?” ujarnya.
Potensi Pelanggaran Konstitusi
Smith Alhadar menegaskan bahwa relokasi ini berpotensi melanggar konstitusi Indonesia, yang secara tegas menyatakan penolakan terhadap segala bentuk penjajahan.
“Kita itu punya konstitusi yang secara jelas mengamanatkan bahwa penjajahan di muka bumi ini harus dihapuskan. Sekarang, mana konstitusi yang kita pegang dari dulu?” tuturnya.
Kekhawatiran terbesar adalah jika warga Gaza tidak pernah bisa kembali karena Israel tidak memberikan jaminan tersebut. Ini akan menjadi preseden yang membahayakan perjuangan kemerdekaan Palestina.
“Sejak Israel berdiri tahun 1948, jutaan orang Palestina terusir. Tidak satu pun yang bisa kembali. Kenapa sekarang kita percaya mereka akan dikembalikan?” kata Smith Alhadar.
Solusi yang Lebih Masuk Akal
Tia menyarankan agar Indonesia lebih bijak dalam menunjukkan dukungan terhadap Palestina, seperti dengan mengirimkan tenaga medis dan bantuan kemanusiaan ke negara-negara penampung di sekitar Gaza, seperti Mesir dan Yordania.
“Tidak logis. Jarak Indonesia dan Gaza jauh. Untuk apa dirawat di sini?” ucapnya.
“Kalau memang mendukung kemerdekaan Palestina, bukan begini caranya. Negara-negara pendukung Palestina seharusnya bersatu, mendesak two-state solution,” tuturnya menambahkan, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari BBC.
‘Bukan untuk Relokasi, Kita hanya Membantu’
Di tengah kecaman terkait rencananya, Prabowo Subianto menegaskan bahwa rencana evakuasi 1.000 warga Palestina di Gaza yang terluka akibat serangan militer Israel penjajah bukan bertujuan untuk merelokasi mereka dari rumahnya.
Presiden menjelaskan rencana evakuasi itu hanya bersifat sementara. Jika situasi di Gaza kembali stabil, para penyintas perang yang dievakuasi itu nantinya akan dipulangkan kembali ke sana.
“Tidak, tidak, tidak. Kita ini untuk membantu,” kata Prabowo Subianto saat ditemui selepas menghadiri Antalya Diplomacy Forum di Kota Antalya, Turki, Jumat 11 April 2025 sore waktu setempat.
Dia mengatakan hal itu ketika menjawab pertanyaan wartawan apakah rencana evakuasi warga Palestina itu sebagai upaya merelokasi mereka ke luar Gaza. Presiden menekankan bahwa saat ini, rencana itu masih dikonsultasikan ke para pemimpin Palestina dan sejumlah pemimpin negara di kawasan Timur Tengah.
“Ya, itu tawaran kami untuk ikut serta membantu masalah kemanusiaan, penderitaan rakyat Palestina yang begitu dahsyat. Kami ingin berbuat sesuatu,” ucap Prabowo Subianto.
Akan tetapi, dia tidak menjelaskan siapa pemimpin Palestina yang akan ditemui, serta tempat dan waktunya. Dia juga belum membagikan hasil konsultasinya dengan Presiden Uni Emirat Arab (UAE) Sheikh Mohamed bin Zayed (MBZ) Al Nahyan saat keduanya bertemu di Abu Dhabi, dan dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan saat bertemu di Ankara dan Antalya.
Presiden melawat ke lima negara Timur Tengah sejak Rabu 9 April 2025, di antaranya untuk berdiskusi mengenai krisis kemanusiaan di Gaza dan berkonsultasi mengenai rencana Indonesia mengevakuasi rakyat Palestina yang saat ini menjadi penyintas genosida Israel penjajah. Kelima negara itu adalah UAE, Turki, Mesir, Qatar, dan Yordania.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
-

Prabowo Bantah Relokasi Permanen Warga Gaza ke Indonesia, Ini Rencana Sebenarnya
Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto membantah relokasi secara permanen warga Gaza ke Indonesia.
Dia menekankan bahwa rencana Indonesia hanya untuk membantu evakuasi sekitar 1.000 warga dari Gaza sebagai bentuk kepedulian terhadap krisis kemanusiaan yang terus berlangsung di wilayah tersebut.
Pernyataan ini disampaikan usai dirinya menjadi pembicara dalam sesi ADF Talk di Antalya Diplomacy Forum (ADF) 2025 pada Jumat (11/4/2025) waktu setempat.
“Iya, itu kan tawaran kami untuk ikut serta membantu dalam masalah kemanusiaan yang penderitaan rakyat Palestina begitu dahsyat. Kami ingin berbuat sesuatu,” katanya kepada wartawan.
Ketika ditanya apakah langkah ini merupakan relokasi permanen, Prabowo membantah anggapan tersebut.
“Oh tidak, tidak,” jawabnya singkat.
Terkait waktu pelaksanaan evakuasi, Prabowo mengatakan masih dalam tahap konsultasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk otoritas Palestina.
“Iya, ini saya sedang konsultasi. Nanti saya akan ketemu dengan pimpinan-pimpinan dari Palestina juga, untuk membahas bagaimana pelaksanaannya nanti,” pungkas Prabowo.
Wacana Prabowo untuk merelokasi warga Gaza, meskipun sementara, menuai kritik keras karena hal tersebut sejalan dengan keinginan pihak Zionis agar warga Palestina pergi dari tanahnya sehingga Israel bisa menduduki wilayah tersebut. Bahkan, kritik di antaranya datang dari pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Wakil Ketua Umum MUI Buya Anwar Abbas mengatakan bahwa pernyataan Prabowo itu justru bisa saja ditafsirkan sebagai dukungan terhadap AS dalam mengosongkan wilayah Gaza.
“Pertanyaannya untuk apa Indonesia ikut-ikutan mendukung rencana Israel dan Amerika tersebut? Bukankah Israel dan Donald Trump sudah menyampaikan keinginannya untuk mengosongkan Gaza?” kata Buya dalam keterangan tertulis, dikutip pada Jumat (11/4/2025).
Kemudian, Buya menilai bahwa jika rencana tersebut diwujudkan, maka Israel bisa lebih leluasa menduduki dan menguasai wilayah Gaza. Alhasil wilayah yang bertahun-tahun diperjuangkan itu bisa saja akan jatuh kepada Israel.
Sebagai contoh, wilayah yang dikuasai rakyat Palestina yang sudah dicaplok oleh Israel adalah kota Yerusalem. Bahkan, kota tersebut sudah dijadikan Ibu Kota Israel.
“Jadi belajar kepada sejarah, maka Indonesia dalam menghadapi manuver yang dilakukan oleh Israel tersebut harus cerdas. Jangan sampai negara kita dikadalin oleh Israel,” tutur Buya.
Oleh sebab itu, Buya meminta Prabowo agar tidak merealisasikan rencananya untuk mengevakuasi warga Gaza ke Indonesia. Sebab, Israel belum tentu akan menerima kembali warga yang sudah dievakuasi tersebut.
Dia juga menyarankan, apabila ingin membantu rakyat Palestina, maka lebih baik melalui bantuan untuk pengobatan, perawatan dan pasokan makanan langsung ke wilayah tersebut.
“Sebagai bangsa yang sudah kenyang dijajah selama 350 tahun, kita harus tahu yang namanya penjajah itu punya seribu satu cara dan tipu daya. Untuk itu kita sebagai bangsa jangan pula sampai tertipu oleh mulut manis mereka,” pungkasnya. (Anshary Madya Sukma)
-

Prabowo Bantah Turuti Kemauan Trump Soal Evakuasi Warga Gaza ke Indonesia – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Presiden RI, Prabowo Subianto membantah rencana evakuasi warga Gaza, Palestina, ke Indonesia untuk menuruti kemauan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Sebagaimana diketahui, Trump pernah menyebut wacana akan merelokasi 2 juta warga Gaza Palestina. Salah satu yang diminta menampung adalah Indonesia.
Menurut Prabowo, rencana evakuasi warga Gaza ke Indonesia bertujuan untuk membantu. Sebaliknya bukan demi menuruti kemauan Trump.
“Oh tidak tidak, untuk membantu,” ujar Prabowo kepada wartawan usai hadiri Antalya Diplomacy Forum, Turkiye pada Jumat (11/5/2025) malam waktu setempat.
Mantan Menteri Pertahanan itu mengatakan usulan evakuasi warga Gaza ditawarkan sendiri oleh Indonesia. Tujuannya untuk membantu penderitaan warga Palestina.
“Itu kan tawaran kita untuk ikut serta membantu masalah kemanusiaan yang penderitaan rakyat Palestina yang begitu dahsyat ya, kita ingin berbuat sesuatu,” jelasnya.
Namun begitu, Prabowo mengaku pihaknya masih belum tau kapan akan melakukan evakuasi warga Gaza ke Indonesia. Saat ini pihaknya masih sedang berkonsultasj terlebih dahulu dengan pimpinan Palestina.
“Saya sedang konsultasi, nanti saya akan ketemu dengan pimpinan-pimpinan dari Palestina juga gimana cara nanti pelaksanaannya,” pungkasnya.
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempertanyakan sikap Presiden Prabowo Subianto yang menyatakan siap mengevakuasi 1.000 warga Gaza Palestina ke Indonesia.
Padahal dukungan terhadap upaya evakuasi tersebut justru membantu Israel dan Amerika Serikat (AS) mencapai tujuannya yang sedari awal berencana mengosongkan Gaza.
“Pertanyaannya untuk apa Indonesia ikut-ikutan mendukung rencana Israel dan Amerika tersebut? Bukankah Israel dan Donald Trump sudah menyampaikan keinginannya untuk mengosongkan Gaza?” kata Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas, Rabu (9/4/2025).
Rencana pengosongan Gaza untuk tujuan relokasi ini semula diajukan oleh Presiden AS Donald Trump sebagai proposal perdamaian di Timur Tengah.
Namun rencana ini ditentang banyak pihak karena upaya relokasi hanya dijadikan tipu muslihat untuk menutupi upaya Israel menguasai wilayah Gaza.
Anwar Abbas memandang jika rencana relokasi diwujudkan, maka Israel justru lebih leluasa menduduki Gaza dan menempatkan warga negaranya ke daerah yang mereka kuasai.
Bila ini terjadi, cepat atau lambat wilayah Gaza akan dicaplok masuk ke dalam negara Israel yang selama ini dicita-citakan zionis.
Ia mengingatkan pemerintah Indonesia agar belajar dari sejarah, dan cerdas menerapkan strategi melawan manuver Israel. Sebab hal serupa pernah terjadi pada kota Yerussalem yang dulunya dikuasai rakyat Palestina, tapi kini kota itu diduduki Israel dan dijadikan ibu kota negeri zionis.
“Jadi belajar kepada sejarah, maka Indonesia dalam menghadapi manuver yang dilakukan oleh Israel tersebut harus cerdas. jangan sampai negara kita dikadalin oleh Israel,” ucapnya.
Anwar Abbas menegaskan, jika semangat kemanusiaan yang digaungkan Prabowo berkutat pada pengobatan dan perawatan rakyat Gaza yang terluka, maka hal itu harus dilakukan di Gaza, bukan tempat lain.
“Sebagai bangsa yang sudah kenyang dijajah selama 350 tahun, kita harus tahu yang namanya penjajah itu punya seribu satu cara dan tipu daya. Untuk itu kita sebagai bangsa jangan pula sampai tertipu oleh mulut manis mereka,” ungkap Anwar Abbas.
-

Stop Penghinaan Atas nama SARA
GELORA.CO – Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh mengajak masyarakat bisa menahan diri serta tidak terprovokasi oleh isu yang berkembang terkait pernyataan kontroversial yang disampaikan oleh Gus Fuad Plered baru-baru ini.
“Meski menimbulkan kegelisahan di tengah publik, saya mengimbau agar masyarakat tidak terpancing emosi atau narasi-narasi yang berpotensi memecah belah persatuan dan tetap menjaga ketenangan serta tidak terprovokasi,” tegas Asrorun Niam Sholeh, hari ini.
“Stop penghinaan atas nama SARA, jangan beri ruang untuk saling benci,” kata dia lagi.
Menurut dia, dalam situasi seperti ini, penting untuk mempercayakan sepenuhnya proses penanganan kepada aparat penegak hukum.
“Jangan main hakim sendiri, percayakan kepada penegak hukum. Jika main hakim sendiri justru berpotensi memperkeruh suasana dan merugikan banyak pihak,” tuturnya.
Dalam hal ini, lanjut dia, aparat penegak hukum diharapkan memiliki sensitivitas terhadap situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
Sebelumnya, polemik ini berawal dari usulan gelar pahlawan nasional kepada Guru Tua yakni Habib Idrus bin Salim Aljufri sekaligus pendiri Alkhairaat. Usulan tersebut direspons oleh Pengasuh Ponpes Roudlotul Fatihah Fuad Riyadi (Fuad Plered).
Fuad menganggap usulan gelar Pahlawan kepada Guru Tua tidak memiliki nilai historis serta sosoknya dinilai tidak memiliki kontribusi signifikan terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ia pun melontarkan kata “monyet” yang oleh banyak pihak kata tersebut dialamatkan kepada Guru Tua. Tak lama kemudian, Fuad langsung mengklarifikasi ucapannya tersebut. (ebs)
“Langkah-langkah penegakan hukum perlu segera diambil secara profesional dan transparan, guna memberikan rasa keadilan serta menenangkan keresahan publik,” ujarnya.
Selain itu, Asrorun Niam Sholeh berpesan agar aparat hukum perlu bergerak cepat mengambil langkah hukum atas dugaan tindak pidana SARA, agar masyarakat yang menjadi korban merasa memperoleh keadilan. Serta untuk memberikan efek jera terhadap setiap upaya provokasi yang berpotensi merusak harmoni dan persatuan.
“Kesan lamban dan pembiaran akan menjadi bensin yang bisa menyulut api kekerasan horisontal,” tambahnya.
Oleh karena itu, Asrorun Niam Sholeh mengajak semua elemen masyarakat untuk bersama-sama menjaga kondusifitas dan mencegah perpecahan.
“Mari jaga persatuan dengan mengedepankan akal sehat, hukum, dan rasa saling memaafkan, menghormati di tengah perbedaan, serta tidak menyebarluaskan konten provokatif yang dapat memperkeruh keadaan,” pungkasnya.
-

Upaya Indonesia Jaga Negara Palestina
PIKIRAN RAKYAT – Usai adanya kritikan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), pemerintah tetap menilai rencana Presiden RI Prabowo Subianto evakuasi 1.000 rakyat Gaza ke Indonesia adalah hal yang tepat untuk dilakukan.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung menegaskan, langkah ini merupakan bukti nyata dukungan Indonesia ke Palestina.
Proposal evakuasi, imbuhnya adalahs turunan dari semangat Prabowo sebagai bentuk kepedulian dan empati Pemerintah mewakili rakyat Indonesia.
“Gagasan itu bagian dari upaya Indonesia untuk tetap terlibat dalam ikut menyelesaikan persoalan menjaga keutuhan negara Palestina,” ujar Ahmad Doli, dalam keterangan tertulis di Jakarta, dikutip Sabtu, 12 April 2025.
Ke depannya, menurutnya, langkah utama yang perlu terus dilakukan adalah memastikan agar pemerintah Indonesia tetap proaktif dalam menjalin komunikasi dan konsolidasi dengan para pemimpin dunia, guna mendorong penghentian agresi yang dilakukan oleh pemerintah Israel terhadap rakyat Palestina, terutama yang saat ini terjadi di Gaza.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto melakukan kunjungan ke lima negara di Timur Tengah—Uni Emirat Arab, Turki, Mesir, Qatar, dan Jordania—untuk meminta dukungan terkait rencana Indonesia mengevakuasi 1.000 warga Palestina dari Gaza.
Ia menegaskan bahwa evakuasi tersebut akan dilakukan jika seluruh pihak yang terlibat, termasuk negara-negara yang mendukung rakyat Palestina, memberikan persetujuan.
Prabowo juga menekankan bahwa evakuasi ini bersifat sementara; warga Palestina yang dievakuasi akan kembali ke Gaza setelah kondisi di sana membaik dan mereka telah pulih secara fisik dan mental.
“Saya kira itu sikap pemerintah Indonesia. Untuk itu, saya harus konsultasi kepada pemimpin daerah tersebut,” kata Presiden Prabowo saat jumpa pers di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, sebelum berangkat ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Rabu, 9 April 2025 dini hari.
Fokus pada Anak-anak dan Sementara
Ahmad Doli dalam keterangan serupa, menambahkan, upaya tersebut dapat dilakukan sembari Indonesia terus menyalurkan bantuan kemanusiaan lainnya untuk rakyat Palestina.
Ahmad Doli juga menilai bahwa wacana evakuasi merupakan hal yang positif, asalkan tidak mengaburkan tujuan utama dan strategi jangka panjang dalam mempertahankan keberadaan negara Palestina.
Menurutnya, bila rencana tersebut dijalankan, maka sebaiknya bersifat sementara dan difokuskan kepada anak-anak yang telah kehilangan orang tuanya dan masih membutuhkan akses terhadap pendidikan, mengingat keselamatan mereka di wilayah konflik masih terancam.
Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa anak-anak tersebut dapat melanjutkan pendidikan di Indonesia untuk sementara waktu hingga situasi kembali stabil, dan setelah itu mereka bisa kembali ke tanah airnya untuk ikut menjaga negaranya. ***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
-

Rencana Indonesia Evakuasi Warga Gaza, Terkait Proposal Kontroversial Trump? – Halaman all
Indonesia berencana mengevakuasi warga Gaza untuk tujuan kemanusiaan, namun terkait dengan usulan kontroversial Trump.
Evakuasi bersifat sementara dan dengan persetujuan semua pihak.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Rencana Indonesia untuk mengevakuasi warga Gaza menuai perhatian dan pertanyaan mengenai keterkaitannya dengan usulan kontroversial Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mendorong pemindahan warga Palestina ke negara lain.
Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, sebelumnya menyatakan kesiapan Indonesia untuk membantu warga Gaza yang menjadi korban konflik, terutama bagi mereka yang membutuhkan perawatan medis dan perlindungan sementara.
Namun, langkah ini menimbulkan kekhawatiran terkait apakah itu akan sejalan dengan rencana kontroversial Trump.
Kritikan Terhadap Rencana Evakuasi
Pakar hubungan internasional, Radityo Dharmaputra dari Universitas Airlangga, menyebutkan bahwa pernyataan Prabowo dapat memberikan sinyal yang salah tentang posisi Indonesia terkait Palestina.
Menurutnya, rencana evakuasi ini bisa memberi kesan bahwa Indonesia mendukung ide Trump yang mengusulkan pemindahan warga Palestina dari Gaza ke negara lain.
Radityo mengatakan, “Ini bisa dianggap sebagai legitimasi terhadap usulan Trump. Jika ini diartikan sebagai langkah pemindahan permanen, bisa menimbulkan implikasi politik yang jauh lebih besar.”
Pernyataan Prabowo dan Komitmen Indonesia
Presiden Prabowo menegaskan bahwa evakuasi yang direncanakan Indonesia bersifat sementara dan khusus bagi warga Gaza yang membutuhkan bantuan, seperti korban luka atau anak-anak yatim.
“Kami siap menampung mereka yang membutuhkan perawatan medis, tetapi ini hanya bersifat sementara. Mereka akan kembali ke Gaza saat kondisi di sana membaik,” ujar Prabowo.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Sugiono, juga menjelaskan bahwa evakuasi ini masih dalam tahap konsultasi dengan pemerintah Palestina dan negara-negara di kawasan Timur Tengah.
“Rencana ini hanya akan dilaksanakan setelah ada persetujuan dari semua pihak terkait, termasuk rakyat Palestina,” ungkap Sugiono dalam wawancara yang diterima Tribunnews pada Jumat (11/4/2025).
Konsultasi dan Persetujuan Semua Pihak
Sugiono menekankan bahwa proses evakuasi ini harus mendapat persetujuan dari rakyat Palestina dan negara-negara kawasan.
“Jika ada yang tidak setuju, rencana ini bisa dibatalkan,” jelas Sugiono. Menurutnya, evakuasi hanya akan dilakukan secara sukarela dan tidak akan memaksa siapa pun.
Usulan Trump untuk Relokasi Warga Gaza
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump pada bulan Februari lalu mengusulkan untuk memindahkan warga Gaza yang mengungsi akibat invasi Israel ke negara lain, seperti Mesir atau Yordania.
Trump berpendapat bahwa Gaza adalah daerah yang tidak layak huni, dan relokasi akan memberi kesempatan bagi warga Palestina untuk hidup lebih baik.
“Saya merasa sangat berbeda tentang Gaza daripada banyak orang. Saya pikir mereka harus mendapatkan sebidang tanah yang bagus, segar, dan indah,” kata Trump saat bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Ruang Oval pada 4 Februari lalu.
Trump juga menyatakan bahwa ia yakin negara-negara seperti Mesir atau Yordania akan menerima warga Gaza untuk dijadikan tempat tinggal sementara.
“Jika kita dapat menemukan tanah yang tepat dan membangun tempat-tempat yang sangat bagus, itu akan jauh lebih baik daripada kembali ke Gaza,” tambah Trump.
Pro dan Kontra Rencana Evakuasi
Rencana evakuasi ini menuai beragam reaksi di Indonesia. Muhammadiyah, organisasi terbesar kedua di Indonesia, menyatakan dukungannya asalkan evakuasi ini bersifat sementara.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syafiq Mughni, mengatakan, “Kalau itu sifatnya sementara untuk kepentingan treatment dan perawatan kesehatan, tentunya bagus.”
Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan bahwa Indonesia harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam agenda negara-negara besar, terutama dalam hal pemindahan warga Gaza.
“Indonesia jangan sampai tertipu oleh manuver Israel yang ingin mengosongkan Gaza,” tegas Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas.
Dukungan dan Saran dari DPR
Di sisi lain, anggota DPR juga memberikan respons positif terhadap rencana ini, dengan syarat Indonesia dapat menyediakan fasilitas yang memadai bagi warga Gaza.
Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Akbarshah Laksono, mengingatkan pemerintah untuk mempersiapkan fasilitas pendidikan dan pelatihan kerja bagi warga Gaza yang dievakuasi.
“Hal-hal tersebut adalah bagian kecil dari yang harus disiapkan oleh pemerintah sebagai tuan rumah,” ujar Dave.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, menyambut baik rencana evakuasi ini sebagai bentuk empati dan kepedulian Indonesia terhadap rakyat Palestina.
“Rencana yang disampaikan Pak Prabowo adalah bentuk kepedulian dan empati pemerintah mewakili rakyat Indonesia,” kata Doli.
Komitmen Indonesia Terhadap Palestina
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam setiap langkah yang diambil.
Sebagai negara yang konsisten mendukung kemerdekaan Palestina, Indonesia memastikan bahwa setiap keputusan terkait rencana evakuasi warga Gaza akan melibatkan konsultasi dan persetujuan semua pihak terkait, termasuk rakyat Palestina dan negara-negara kawasan.
“Semua langkah ini harus dilakukan dengan kesepakatan bersama dan berdasarkan prinsip kemanusiaan,” pungkas Sugiono.
/data/photo/2024/07/25/66a2009c13293.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)