Jawaban TNI dan Pemerintah atas Kekhawatiran Prajurit Jadi Penyidik dalam RUU Ketahanan Siber
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Isu keterlibatan TNI sebagai penyidik tindak pidana siber mencuat setelah beredarnya draf Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS).
Koalisi masyarakat sipil pertama kali mengungkapkan bahwa dalam draf RUU tersebut terdapat pasal yang mengatur peran TNI sebagai penyidik.
Temuan itu lantas menuai kritik karena dinilai berpotensi memperluas kewenangan militer ke ranah penegakan hukum sipil.
Lantas, bagaimana posisi penyidik TNI dalam RUU KKS?
Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa keberadaan penyidik TNI dalam RUU KKS semata-mata ditujukan untuk menangani kasus pidana yang melibatkan anggota militer.
“Ya kalau perkara koneksitas, kalau pelakunya TNI, penyidiknya siapa kan enggak perlu disebut dong. Kalau pelakunya (kejahatan siber) bukan anggota TNI, tidak mungkin disidik,” kata Supratman saat ditemui di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (8/10/2025).
Supratman juga menegaskan, penyusunan RUU ini tidak dilakukan oleh Kementerian Hukum saja, melainkan melalui pembahasan bersama sejumlah kementerian dan lembaga terkait.
“Masih proses harmonisasi atau pembahasan antar kementerian, jadi draf itu tidak berasal dari Kementerian Hukum. Sekarang kita lagi melakukan proses harmonisasi,” ujarnya.
Senada, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI (Mar) Freddy Ardianzah menegaskan bahwa peran TNI dalam RUU KKS hanya sebatas menjaga kedaulatan dan pertahanan ruang siber nasional, bukan menegakkan hukum terhadap masyarakat sipil.
“Ranahnya siber TNI jelas ya, jadi kita menjaga kedaulatan ruang siber dari sisi pertahanannya. Jadi, kita enggak ada nanti, misalnya memeriksa terkait dengan sipil,” beber Freddy ditemui di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (9/10/2025).
Freddy menambahkan, TNI tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap warga sipil sebagaimana dikhawatirkan sejumlah pihak.
Sebelumnya, koalisi masyarakat sipil menyoroti potensi perluasan kewenangan militer di ranah siber.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Raksha Initiatives, Centra Initiative, Imparsial, dan De Jure menilai bahwa pelibatan TNI sebagai penyidik pidana siber, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) huruf d draf RUU KKS, berpotensi mengancam Hak Asasi Manusia (HAM).
“Pelibatan TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber justru akan semakin mengancam hak asasi manusia dan negara hukum,” kata Koalisi dalam siaran pers, Sabtu (4/10/2025).
Koalisi menilai, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan serta kedaulatan negara, bukan menegakkan hukum.
Koalisi sipil mengkhawatirkan bahwa pelibatan TNI dalam RUU KKS akan melemahkan supremasi sipil.
Mereka menilai, penegakan hukum pidana seharusnya menjadi ranah lembaga sipil seperti kepolisian dan kejaksaan, bukan militer.
“Keterlibatan militer dalam proses penyidikan perkara pidana—termasuk pidana keamanan dan ketahanan siber—tidak hanya bertentangan dengan konstitusi dan UU TNI, tetapi juga mengancam kebebasan sipil dan demokrasi,” ucap Koalisi.
Koalisi juga menilai, jika pasal tersebut tetap dipertahankan, hal itu bisa membuka ruang bagi praktik militerisasi di ruang siber.
Dalam pandangan koalisi, rumusan yang melibatkan TNI dalam penegakan hukum siber menunjukkan adanya langkah sistematis menuju militerisasi ruang siber.
Mereka menyoroti bahwa sejak revisi Undang-Undang TNI yang menambahkan tugas operasi militer selain perang, aspek pertahanan siber semakin luas tanpa kejelasan batasan antara ancaman pertahanan dan ancaman hukum.
Menurut mereka, tugas pertahanan siber semestinya fokus pada tindakan defensif, baik aktif maupun pasif, untuk melindungi aset dan sistem pertahanan negara, bukan untuk melakukan penegakan hukum.
Koalisi juga menyinggung soal akuntabilitas hukum jika TNI dilibatkan dalam penyidikan kasus siber.
Hingga kini, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer belum direvisi.
Hal itu berarti, anggota TNI yang diduga melanggar hukum, termasuk di bidang keamanan siber, masih akan diadili di peradilan militer.
“Akibatnya, setiap pelanggaran pidana, baik pidana militer maupun pidana umum, termasuk pidana keamanan dan ketahanan siber, yang dilakukan oleh anggota TNI, penuntutannya harus melalui peradilan militer,” tulis Koalisi.
Koalisi menilai kondisi ini berpotensi meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan atau
abuse of power
karena belum ada mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang memadai di luar sistem militer.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Institusi: Imparsial
-
/data/photo/2024/10/05/6700e07695eb8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Koalisi Sipil: RUU KKS Ancam HAM karena Libatkan TNI sebagai Penyidik Nasional 4 Oktober 2025
Koalisi Sipil: RUU KKS Ancam HAM karena Libatkan TNI sebagai Penyidik
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Koalisi Masyarakat Sipil menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) mengancam Hak Asasi Manusia (HAM) lantaran melibatkan TNI sebagai penyidik pidana siber, sebagaimana diatur di Pasal 56 ayat (1) huruf d.
Adapun koalisi itu terdiri dari Raksha Initiatives, Centra Initiative, Imparsial, dan De Jure.
“Pelibatan TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber justru akan semakin mengancam hak asasi manusia dan negara hukum,” kata Koalisi Masyarakat Sipil dalam siaran pers, Sabtu (4/10/2025).
Koalisi berpandangan, keterlibatan TNI dalam rumusan ini jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
TNI tidak memiliki tugas dan fungsi sebagai penegak hukum.
Mereka menilai, perumusan pasal ini kian menunjukkan semakin besarnya intervensi militer dalam kehidupan sipil, yang semakin menciderai prinsip civilian supremacy dalam sistem hukum negara demokratis, di mana proses penegakan hukum pidana merupakan ranah kekuasaan sipil, bukan militer.
“Keterlibatan militer dalam proses penyidikan perkara pidana—termasuk pidana keamanan dan ketahanan siber—tidak hanya bertentangan dengan konstitusi dan UU TNI, tetapi juga mengancam kebebasan sipil dan demokrasi,” ucap Koalisi.
Tak hanya itu, perumusan pasal pun menjadi indikasi semakin menguatnya upaya militerisasi ruang siber.
Menurut mereka, langkah-langkah sistematis tersebut terlihat semenjak revisi UU TNI, dengan penambahan tugas operasi militer selain perang yang berkaitan dengan penanganan ancaman pertahanan siber.
Penambahan tugas ini dinilai menjadi problematis dengan kondisi ketidakjelasan mengenai gradasi ancaman.
Ketidakjelasan ini akan memberikan ruang bagi militer untuk terlibat dalam semua tingkatan penanganan ancaman keamanan siber, tidak terbatas pada aspek yang berkaitan dengan ancaman perang siber (
cyber conflict)
.
“Selain itu, pertahanan siber (
cyber defense
) yang menjadi tugas dari TNI, fokus dan lingkupnya semestinya lebih menekankan pada tindakan defensif yang diambil untuk menghancurkan, meniadakan, atau mengurangi keefektifan ancaman siber terhadap pasukan dan aset (
active cyber defense
), atau sebaliknya dengan tindakan yang diambil untuk meminimalkan keefektifan ancaman siber terhadap pasukan dan aset (
passive cyber defense
),” jelasnya.
Koalisi juga menilai, keterlibatan TNI meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan (
abuse of power
).
Terlebih, keterlibatan ini belum disertai dengan mekanisme akuntabilitas yang memadai.
Sebab, hingga kini, UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer belum diperbarui.
UU ini memungkinkan anggota TNI diadili melalui Peradilan Militer saat melakukan pelanggaran.
“Akibatnya, setiap pelanggaran pidana, baik pidana militer maupun pidana umum, termasuk pidana keamanan dan ketahanan siber, yang dilakukan oleh anggota TNI, penuntutannya harus melalui peradilan militer,” tandasnya.
Sebagai informasi, pemerintah melalui Kementerian Hukum telah menyelesaikan proses penyusunan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS).
RUU itu akan diajukan ke DPR sebagai prioritas legislasi 2026.
Namun, sejumlah pasal dalam RUU dikritisi karena masih menunjukkan sejumlah permasalahan yang mengancam demokrasi dan negara hukum.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Koalisi Sipil Kritik Menhan soal TNI Jaga Gedung DPR: Tak Sejalan Tuntutan 17+8
Jakarta –
Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafri Sjamsuddin mengaku telah menyetujui TNI dikerahkan untuk menjaga gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta. Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik keputusan itu.
“Koalisi Masyarakat Sipil menilai pernyataan Menteri Pertahanan tidak sejalan dengan tuntutan rakyat yang tertuang dalam agenda tuntutan 17+8 yang menginginkan agar Pemerintah menghentikan keterlibatan TNI dalam pengamanan sipil dan mengembalikan TNI ke barak. Dengan demikian Menteri Pertahanan jelas-jelas melawan arus kehendak rakyat dan hal itu cermin dari Pejabat Pemerintahan yang tidak mendengarkan suara rakyat,” demikian pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil, Selasa (16/9/2025).
Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari IMPARSIAL, CENTRA INITIATIVE, Raksha Initiatives, HRWG, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), DEJURE, PBHI, Setara Institute, LBH Apik dan WALHI. Mereka menilai pernyataan Menhan itu bertentangan dengan UU TNI.
“Lebih dari itu, pelibatan TNI dalam pengamanan Gedung DPR RI sejatinya bukanlah tugas TNI. Konstitusi dan UU TNI telah mengatur bahwa TNI bertugas di bidang pertahanan negara, sedangkan urusan keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan ranah Kepolisian. Pelibatan TNI dalam pengamanan gedung DPR RI adalah bentuk penyimpangan dari fungsi dan tugas pokok TNI,” jelasnya.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai Gedung DPR/MPR bukan simbol kedautan negara. Mereka menegaskan bahwa DPR adalah simbol perwakilan rakyat.
“Selain itu Gedung DPR RI juga bukan merupakan simbol kedaulatan negara, melainkan simbol perwakilan rakyat. Karena itu, wajar apabila DPR RI menjadi objek kritik maupun aksi demonstrasi dari masyarakat ketika dianggap melakukan kekeliruan. Menempatkan TNI untuk menjaga DPR RI memberikan kesan mengancam dan mengintimidasi masyarakat yang ingin menyampaikan kritik dan aspirasinya,” tutur dia.
“Menteri Pertahanan seharusnya berfokus pada penguatan TNI dibidang pertahanan, bukan menyeret TNI ke dalam urusan keamanan dan ketertiban masyarakat yang bukan menjadi kewenangannya. Presiden harus melakukan koreksi terhadap tindakan yang dilakukan oleh Menteri Pertahanan tersebut yang tidak sejalan dengan Konstitusi dan UU TNI. Dengan tidak adanya koreksi dari Presiden, maka dapat dianggap Presiden terlibat dalam kekeliruan yang dilakukan oleh Menteri Pertahanan,” imbuhnya.
Koalisi Masyarakat Sipil berpandangan bahwa proses reformasi TNI masih memiliki banyak pekerjaan rumah, termasuk reformasi peradilan militer, restrukturisasi komando teritorial, dan penghapusan budaya kekerasan terhadap masyarakat sipil.
“Alih-alih memperluas tugas TNI ke ranah sipil, perhatian seharusnya diarahkan pada penyelesaian masalah internal reformasi TNI,” jelasnya.
Koalisi Sipil memberikan sejumlah tuntutan, berikut isinya:
1. Menolak rencana pelibatan TNI untuk melakukan pengamanan Gedung DPR RI.
2. Menghentikan segala bentuk pelibatan TNI dalam urusan keamanan dan ketertiban masyarakat.
3. Memprioritaskan agenda reformasi TNI agar benar-benar menjadi tentara profesional di bidang pertahanan.Kata Menhan soal TNI Jaga DPR
Kompleks gedung MPR/DPR/DPD masih dijaga sejumlah personel TNI dan kendaraan taktis atau rantis TNI setelah terjadi kericuhan di sejumlah titik pada akhir Agustus lalu. Sampai kapan gedung DPR akan dijaga personel dan rantis TNI?
Menteri Pertahanan (Menhan), Sjafrie Sjamsoeddin, mengatakan pihaknya sudah menyetujui gedung DPR akan dijaga oleh personel TNI. Sjafrie menilai penjagaan bakal berlangsung sampai keadaan kondusif.
“TNI akan menjaga simbol kedaulatan negara di DPR, jadi saya sudah menyetujui dan Panglima (TNI) akan menindaklanjuti bersama para Kepala Staf (TNI) bahwa instalasi DPR akan dijaga oleh TNI,” kata Sjafrie seusai rapat kerja dengan Komisi I DPR, Selasa (16/9).
Sjafrie mengatakan penjagaan ini akan dilakukan sampai suasana lebih kondusif. Mantan Pangdam Jaya itu menilai, jika diperlukan, TNI akan berada di tengah masyarakat.
“Sampai dengan tadi katanya kondusif, lebih kondusif lagi. Ya, terserah penilaian situasi, kalau memang diperlukan kita harus ada di tengah-tengah rakyat,” ungkap dia.
(lir/eva)
-

Pigai yakini penegakan hukum basis HAM diperkuat pada reformasi Polri
Jakarta (ANTARA) – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai meyakini penegakan hukum berbasis HAM akan diperkuat dalam reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang akan dilakukan dalam waktu dekat.
Menurutnya, hal tersebut seiring dengan sudah adanya Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
“Jadi pasti HAM menjadi salah satu yang dipertimbangkan dalam reformasi Polri,” kata Pigai saat ditemui di Jakarta, Selasa.
Maka dari itu dalam rencana reformasi Polri, dirinya menuturkan Kementerian HAM menjadi salah satu unit pendukung.
Pigai menegaskan sejak awal, Presiden Prabowo Subianto sudah bersikap untuk melakukan evaluasi terhadap institusi kepolisian dan akan dilakukan dalam waktu yang cepat.
Dikatakan bahwa reformasi dimaksud dilakukan untuk transformasi institusi kepolisian yang lebih progresif, profesional, kredibel, akuntabel, dan memberi rasa keadilan pada proses penegakan hukum di masa yang akan datang.
“Reformasi itu untuk hal baik supaya lebih profesional, progresif, dan imparsial dalam proses penyelidikan. Kemudian penguatan institusinya, instrumentalnya diperbaiki, dan peningkatan profesionalisme personel,” tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menyebutkan Presiden Prabowo Subianto sedang mempersiapkan Keputusan Presiden (Keppres) terkait pembentukan Komisi Reformasi Polri.
Komisi tersebut, kata dia, dibentuk guna merumuskan berbagai gagasan perubahan yang harus dilakukan terhadap tubuh Polri, untuk nantinya diserahkan kepada Presiden.
“Belum ada target kapan akan dibentuk, tapi memang keppres-nya sudah disiapkan dan mungkin akan segera dilantik ya sehari atau dua hari ini,” ujar Yusril saat ditemui di Jakarta, Selasa.
Nantinya, dijelaskan Menko bahwa komisi tersebut akan diberikan waktu selama beberapa bulan untuk menyelesaikan berbagai rumusan tentang reformasi Polri, yakni berupa pengkajian ulang terhadap kedudukan, ruang lingkup, tugas, dan kewenangan.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Ferry Irwandi Heran TNI Temukan Dugaan Pidana Lain: Siapa yang Saya Sakiti?
GELORA.CO – CEO Malaka Project Ferry Irwandi mengaku heran dengan TNI yang mengungkapkan dugaan pidana yang dilakukannya. Diketahui, pihak TNI mengaku menemukan dugaan tindak pidana lain yang dilakukan Ferry Irwandi.
Ferry heran, apa yang telah dilakukannya sehingga disebut-sebut menimbulkan ancaman serius.
“Dibilang ada tindakan ancaman serius, apa yang saya ancam ya?” kata Ferry dalam diskusi yang ditayangkan di kanal Imparsial di YouTube, dikutip Sabtu (13/9/2025).
Dia menyinggung soal Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra yang telah berbicara terkait kasusnya. Yusril sebelumnya menyebut, polemik antara Ferry Irwandi dengan TNI sebaiknya dianggap sudah selesai.
“Sampai seorang Pak Yusril Ihza Mahendra sudah ngomong, Pak Mahfud sudah ngomong, semua sudah ngomong, sudah lah ini. Mereka (TNI) masih berpikir kami menemukan tindak pidana lebih serius, setelah kemarin mentok,” ujar Ferry.
Ferry juga mengaku tidak tahu siapa yang telah disakiti olehnya. “Mereka ini kenapa? Siapa yang saya sakiti,” katanya.
Sebelumnya, TNI memandang ada pernyataan Ferry di ruang publik yang diduga berisi upaya provokatif.
“Intinya, ada dugaan pernyataannya di ruang publik, baik melalui media sosial maupun wawancara, yang berisi upaya-upaya provokatif, fitnah, kebencian, serta disinformasi yang dimanipulasi dengan framing untuk menciptakan persepsi dan citra negatif,” kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Freddy Ardianzah saat dihubungi, Rabu (10/9/2025).
Dia menambahkan, perbuatan yang dilakukan Ferry tidak hanya mendiskreditkan TNI, tetapi juga meresahkan masyarakat. Hal itu dianggap bisa mengadu domba masyarakat dengan aparat.
“Berpotensi memecah belah persatuan, mengadu domba antara masyarakat dengan aparat, maupun antara aparat TNI dengan Polri,” ujarnya
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5331989/original/022769800_1756453823-bang6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Lembaga HAM Bentuk Tim Independen Pencari Fakta Demo Ricuh – Page 3
Liputan6.com, Jakarta – Enam lembaga hak asasi manusia (HAM) membentuk Tim Independen LNHAM untuk Pencari Fakta peristiwa demontrasi berujung ricuh pada periode Agustus hingga September 2025.
LPSK, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman, dan Komisi Nasional Disabilitas memastikan suara korban tidak terabaikan.
“Tim ini tidak hanya berfokus pada pencarian fakta, tetapi juga menempatkan kondisi korban dan keluarganya sebagai prioritas utama. Melalui kerja sama enam lembaga HAM ini, tim menghimpun data, informasi, serta pengalaman langsung dari para korban, untuk kemudian dianalisis secara menyeluruh,” kata Wakil Ketua LPSK, Sri Suparyati, dalam keterangan tertulis, Sabtu (13/9/2025).
Tim yang dibentuk berdasarkan mandat undang-undang masing-masing lembaga ini akan bekerja objektif, imparsial, dan partisipatif. yang bertujuan mendorong kebenaran, penegakan hukum, pemulihan korban, serta pencegahan agar pelanggaran serupa tidak berulang.
Dia menekankan, tidak sebatas mencatat korban jiwa dan luka-luka, tapi juga menilai trauma psikologis, kerugian sosial-ekonomi, sampai kerusakan fasilitas umum.
“Bahwa ruang lingkup kerja Tim Independen ini mencakup pemantauan peristiwa unjuk rasa dan kerusuhan. Tim akan menilai dampak peristiwa, termasuk korban jiwa, korban luka-luka, trauma psikologis, kerugian sosial-ekonomi serta kerusakan fasilitas umum,” ujar Sri Suparyati.
Menurut Sri, pembentukan tim independen ini dinilai menjadi langkah penting untuk memastikan suara korban tidak terabaikan. Tim ini tidak hanya berfokus pada pencarian fakta, tetapi juga menempatkan kondisi korban dan keluarganya sebagai prioritas utama.
Melalui kerja sama enam lembaga HAM, tim akan menghimpun data, informasi, serta pengalaman langsung dari para korban untuk kemudian dianalisis secara menyeluruh.
“Ini yang perlu kami suarakan, agar peristiwa-peristiwa seperti ini menjadi prioritas pemerintah supaya tidak terulang kembali, serta agar tuntutan masyarakat bisa ditindaklanjuti. Yang perlu digarisbawahi adalah tim ini bukan hanya untuk pencarian fakta, tapi juga mengedepankan kondisi korban,” tegas Sri Suparyati.
-

Tim Pencari Fakta Komnas HAM cs Langsung Selidiki Demo Ricuh Agustus
Jakarta –
Tim Pencari Fakta mulai bergerak untuk menyelidiki kericuhan demonstrasi yang terjadi pada akhir Agustus 2025 yang lalu. Tim ini nantinya akan mendorong pengungkapan kasus hingga penegakan hukum terkait peristiwa yang ada.
“Tim independen Lembaga Nasional HAM atau LN HAM untuk pencarian fakta ini dibentuk untuk bekerja secara objektif, imparsial, dan partisipatif yang bertujuan untuk mendorong kebenaran, penegakan hukum, pemulihan korban, serta pencegahan agar pelanggaran serupa tidak berulang,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Sondang Frishka dalam konferensi pers di gedung Komnas HAM, Jakarta, Jumat (12/9/2025).
Sondang menyampaikan tim ini dibentuk karena peristiwa Agustus lalu menimbulkan 10 korban jiwa, satu di antaranya perempuan. Selain itu, terdapat korban luka-luka hingga kerusakan fasilitas umum.
Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menambahkan, Tim Independen Lembaga Nasional HAM (LN HAM) ini terdiri dari enam lembaga. Di antaranya, Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Pelindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Lembaga Pelindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND).
Hingga saat ini tim ini sudah mulai bekerja dan menyelidiki peristiwa tersebut. Tim akan terus bekerja untuk mencari fakta di balik demo ricuh Agustus-September 2025.
“Dan juga laporan yang komprehensif berdasarkan kewenangan masing-masing, di mana keenam lembaga ini selama lebih dari sepekan juga sudah melakukan upaya-upaya sesuai dengan kewenangan lembaga masing-masing, baik itu turun ke lapangan maupun berkoordinasi dengan para pihak,” ucap Anis.
(wnv/idh)
-
/data/photo/2025/09/01/68b532b0d19d2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Menko Polkam Ad Interim Dipersoalkan, Prabowo Diminta Segera Tunjuk Pejabat Definitif Nasional 12 September 2025
Menko Polkam Ad Interim Dipersoalkan, Prabowo Diminta Segera Tunjuk Pejabat Definitif
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Keputusan Presiden RI Prabowo Subianto untuk menunjuk Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) ad interim menuai sorotan.
Prabowo pun diminta untuk tidak terlalu lama menjadikan Sjafrie sebagai Menko Polkam ad interim demi menghindari penumpukan kewenangan di tangan Sjafrie.
“Jadi penting untuk Presiden untuk tidak terlalu lama membuat ad interim antara Menhan dan Menko Polkam karena itu dua wilayah yang berbeda fungsinya,” ucap peneliti senior Imparsial Al Araf saat dihubungi melalui telepon, Rabu (10/9/2025).
Keberadaan Sjafrie dalam berbagai jabatan ini juga dinilai menjadi contoh nyata jabatan yang tidak sehat dalam kehidupan demokrasi dan pemerintahan yang baik.
Al Araf menyebutkan, sistem demokrasi justru mendorong adanya diferensiasi fungsi dan tugas kerja.
Sementara, selain Menhan dan Menko Polkam, Sjafrie juga menjabat sebagai Ketua Harian Dewan Pertahanan Nasional (DPN) dan Ketua Tim Pengarah Penertiban Kawasan Hutan.
Oleh karena itu, Al Araf meminta Presiden Prabowo untuk segera menunjuk sosok yang menjabat sebagai Menko Polkam.
“Sehingga Presiden harus segera mengevaluasi dan mencari Menko Polkam siapa yang ingin ditunjuk oleh Presiden. Ini harus dilakukan, kalau tidak kita akan menjadi negara yang berbahaya dalam konteks ini (wewenang yang luas di satu orang),” imbuhnya.
Menurut Al Araf, seharusnya jabatan Menko Polkam diisi oleh sosok yang berbeda dengan Menhan yang fokusnya di bidang pertahanan.
Apalagi, tugas Menko Polkam lebih luas, karena harus memahami situasi politik dan keamanan yang ada di Indonesia.
“Bisa berlatar belakang militer, bisa berlatar belakang polisi, bisa berlatar belakang sipil juga. Tapi yang benar-benar memahami situasi dan kondisi politik keamanan yang ada,” ujar Al Araf.
Hingga kini, sosok Menko Polkam definitif masih tanda tanya.
Bahkan, Presiden Prabowo meminta publik untuk menunggu siapa yang akan ditunjuknya menjadi Menko Polkam.
Prabowo berseloroh bahwa pengisi pos menteri tersebut akan diumumkan pada waktunya agar awak media bersemangat.
“Ya nanti tunggu, tunggu waktunya biar kalian ada semangat,” kata Prabowo seusai meninjau Sekolah Rakyat di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, Kamis (11/9/2025).
Prabowo tidak mau berkomentar lebih jauh soal pengisian kabinet tersebut karena ia sedang dalam rangka peninjauan Sekolah Rakyat.
“(Sedang meninjau) Sekolah Rakyat, nanya (soal) Menko Polkam,” kata Prabowo.
Diketahui, penunjukan Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Menko Polkam ad interim berdasarkan surat nomor B-10/M/D-3/AN.00.03/09/2025 tertanggal 8 September 2025.
Sjafrie menjadi Menko Polkam ad interim menggantikan Budi Gunawan yang dicopot lewat
reshuffle
kabinet pada Senin (8/9/2025) lalu.
Sjafrie mengungkapkan, ia ditugaskan Prabowo untuk melanjutkan pekerjaan Budi Gunawan agar Kemenko Polkam dapat bekerja dengan lancar.
“Arahan yang diberikan kepada saya adalah melanjutkan tugas pokok dari Kementerian Koordinator Polkam. Dan saya diberi kewenangan untuk mengambil langkah-langkah yang efisien, efektif, agar supaya semua pekerjaan bisa berjalan lancar,” kata Sjafrie ditemui di Gedung Kemenko Polkam, Jakarta, Selasa (9/9/2025).
Salah satu fokusnya sebagai Menko Polkam adalah revitalisasi organisasi agar koordinasi dan sinkronisasi dengan kementerian/lembaga lain lebih optimal.
Oleh karena itu, peran para deputi di Kemenko Polkam menjadi sangat penting dalam menjalankan tugas kementeriannya.
“Saya menggarisbawahi bahwa peran tugas dan fungsi para deputi Kementerian Koordinator Polkam akan saya tingkatkan dan para deputi yang akan menjalankan tugasnya sehari-hari baik di dalam menjalankan tugas koordinasi dan juga menjalankan tugas sinkronisasi dengan kementerian dan lembaga,” ujar Sjafrie.
Sjafrie mengaku akan menjabat sebagai Menko Polkam selama beberapa bulan sambil memangku jabatan-jabatan lainnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Yusril soal Usulan Bentuk TGPF Kericuhan: Penyelidikan Aparat Sudah Tepat
Jakarta –
Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, buka suara soal usulan pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) mengusut rentetan kericuhan di sejumlah daerah. Yusril menilai pembentukan TGPF memerlukan waktu, sementara proses penyelidikan kasus itu sudah berjalan tepat.
“Jadi kalau menuntut TPGF itu kan masih perlu waktu, menyusun orang-orangnya lagi, menunggu mereka bekerja untuk mengumpulkan fakta-fakta, sekarang juga fakta-faktanya sudah jelas, langkah hukum sudah diambil dan proses sudah berjalan,” kata Yusril kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (11/9/2025).
Oleh karena itu, Yusril menilai lebih baik penyelidikan dilakukan aparat penegak hukum. Menurutnya, TGPF bisa dibentuk jika pemerintah dinilai tidak bekerja mengusut kejadian ini.
“Jadi saya kira dari pada menunggu lama pembentukan TPGF saya kira lebih baik kita menggunakan aparat penegak hukum yang ada sekarang, lebih cepat bekerjanya dari pada kita berlama-lama. Kecuali misalnya negara diam tidak berbuat apa-apa, baru dibentuk TPGF,” ujarnya.
Menurutnya, langkah yang dilakukan aparat penegak hukum sudah tepat. Mantan Mensesneg itu sudah turun langsung memantau proses penyelidikan di dua polda yakni Jakarta dan Makassar.
“Sudah dilakukan langkah-langkah hukum yang tepat ya sekarang, pelaku pelakunya juga sudah ditahan, sudah dilakukan juga pemeriksaan. Langkah penyelidikan sudah dilakukan dengan tepat oleh seluruh aparat penegak hukum,” ujarnya.
“Saya sudah melakukan pengecekan di dua polda, Polda Metro Jaya dan Polda (Sulsel) Makassar. Dan dapat memastikan bahwa sudah diambil satu langkah tegas terhadap mereka yang terlibat di dalam aksi unjuk rasa yang berakhir dengan kericuhan beberapa waktu lalu,” lanjutnya.
Pembentukan TGPF sebelumnya diusulkan Koalisi Masyarakat Sipil. Mereka menduga ada keterlibatan militer dalam kerusuhan ini.
Koalisi Masyarakat Sipil gabungan Imparsial, HRWG, Koalisi Perempuan Indonesia, Walhi, Centra Initiative, De Jure, Raksha Initiatives, PBHI hingga Setara Institute. Dalam pernyataannya, Koalisi menilai mestinya kegiatan menyampaikan pendapat tidak diwarnai dengan tindakan represif hingga jatuhnya korban.
“Lebih jauh, merespons dugaan-dugaan tersebut di atas, kami mendesak pemerintah segera membentuk Tim Pencari Fakta independen, untuk mengurai masalah ini secara terang benderang, guna memastikan akuntabilitas atas peristiwa yang terjadi,” tegas Koalisi Masyarakat Sipil dalam pernyataannya, Senin (8/9).
Halaman 2 dari 2
(eva/rfs)
