Institusi: Imparsial

  • Kapolri Junjung Tinggi HAM, Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama Turun

    Kapolri Junjung Tinggi HAM, Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama Turun

    loading…

    Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo disebut menjunjung tinggi HAM sehingga kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia turun. Foto/istimewa

    JAKARTA – Imparsial menyatakan Polri menjadi salah satu institusi negara yang berperan dalam rangka menjaga Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia.

    Polri menjadi garda terdepan dalam menjaga konstitusi guna memastikan bahwa setiap warga negara dapat menikmati hak-hak mereka tanpa diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan

    “Dalam konteks ini, Polri memiliki peran krusial dalam mencegah, menangani, dan memediasi konflik tersebut dengan tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM),” kata Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra, Jakarta, Kamis (12/12/2024).

    Terkait hal tersebut, Ardi mengungkapkan, di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, terdapat sejumlah capaian positif dalam konteks pemenuhan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia. “Hal tersebut tercermin melalui penurunan jumlah kasus atau insiden pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam tiga tahun belakangan ini,” ujar Ardi.

    Imparsial mencatat pada 2021 terdapat 28 kasus, kemudian 2022 sebanyak 23 kasus, di 2023 sebanyak 18 kasus, tahun 2024 hingga November terdapat 20 kasus. Meski begitu, Ardi menuturkan harus tetap ada perbaikan terus-menerus kedepannya untuk semakin memantapkan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

    Dalam hal ini, Imparsial juga memaparkan bahwa, terdapat beberapa inisiatif lain yang juga progresif yang dilakukan oleh Polri belakangan ini. Diantaranya adalah fasilitasi dialog antar-kelompok agama atau kepercayaan.

    “Beberapa kasus yang mengarah pada terjadinya konflik agama berhasil diredam melalui fasilitasi dialog oleh pihak kepolisian. Misalnya, seperti yang dilakukan oleh Polres Tulang Bawang, Lampung pada 2021 menyusul adanya kelompok warga yang melakukan penolakan rumah ibadah, atau tindakan tegas terhadap anggota Polri yang lalai dalam mencegah terjadinya pelanggaran kebebasan beragama sebagaimana yang terjadi terhadap Kapolres Kulonprogo pada tahun 2023,” paparnya.

    Selain itu, Polri dalam tiga tahun belakangan ini juga membentuk unit keamanan berbasis kerukunan di beberapa daerah di Indonesia. Pembentukan unit itu memang masih terbatas hanya pada daerah-daerah yang memiliki tingkat kerawanan konflik berbasis agama atau keyakinan.

    “Unit ini bertugas untuk memantau potensi konflik serta mengedepankan pendekatan preventif secara persuasi. Di beberapa daerah Polri juga melakukan sosialisasi kerukunan antar umat beragama melalui program safari Jumat,” ucapnya.

    Imparsial berpandangan, penting bagi Polri ke depan untuk merumuskan sebuah kebijakan internal yang dapat menjadi panduan bagi anggota Polri dalam pencegahan dan penanganan kasus kebebasan beragama atau berkeyakinan yang berbasis pada prinsip dan norma hak asasi manusia.

    “Mengingat dalam waktu dekat ini umat Kristiani di Indonesia akan merayakan ibadah Natal, semoga Polri mampu menjaga dan melindungi hak-hak warga negaranya untuk beribadah dengan aman dan tenang,” tutupnya.

    (cip)

  • Polri Disuruh Ganti Pistolnya dengan Senjata Listrik atau Taser, Bagaimana Menurutmu?

    Polri Disuruh Ganti Pistolnya dengan Senjata Listrik atau Taser, Bagaimana Menurutmu?

    ERA.id – Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra mengatakan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo perlu merealisasikan ide penggunaan kamera badan di tubuh polisi ketika bertugas.

    “Guna mencegah pelanggaran, termasuk penggunaan kekuatan berlebihan,” ucap Ardi di Jakarta, Selasa (10/12/2024).

    Kendati reformasi polisi pasca-1998 telah menghasilkan sejumlah capaian positif, seperti pemisahan TNI/Polri dan pembentukan lembaga pengawas, yakni Kompolnas RI, sejumlah agenda reformasi yang tersisa belum terlaksana.

    Salah satu agenda tersebut, lanjut dia, adalah mengentaskan kultur kekerasan di tubuh kepolisian.

    Belum lama ini, masyarakat dikejutkan dengan berbagai kekerasan yang melibatkan anggota kepolisian, mulai dari kasus polisi menembak polisi, hingga polisi menembak warga sipil.

    “Menjelang hari HAM saja, Imparsial mencatat ada dua peristiwa excessive use of force (penggunaan kekuatan yang berlebihan) yang menjadi perhatian publik, yaitu kasus penembakan di Semarang dan di Lampung Timur,” ucap Ardi.

    Kedua peristiwa tersebut menimbulkan tewasnya dua warga sipil. Makanya, menurut Ardi, pimpinan Polri harus mengubah kultur kekerasan itu.

    “Pada titik ini, dalam jangka pendek, Kapolri harus menindak tegas dan mengusut pidana para pelaku secara transparan dan akuntabel,” ucap dia.

    Selain itu, Ardi juga menyampaikan bahwa Kapolri harus melakukan evaluasi terhadap seluruh izin penggunaan senjata api oleh anggota Polri. Evaluasi tersebut dapat berupa tes mental dan psikologi ulang yang dilakukan secara berkala kepada seluruh anggota kepolisian tanpa terkecuali.

    “Hasil tes mental dan psikologi yang dilakukan tersebut harus dijadikan dasar apakah anggota kepolisian tersebut diperkenankan menggunakan senjata api atau tidak,” ujar Ardi.

    Kemudian, dalam jangka panjang, untuk mencegah terulangnya fatalitas akibat penggunaan senjata api, Ardi menilai Polri perlu memikirkan pengurangan penggunaan senjata api dan menggantikannya dengan senjata kejut listrik (taser) yang lebih tidak memastikan.

  • Larangan Penggunaan Cadar dan Ranah Privat Warga Negara

    Larangan Penggunaan Cadar dan Ranah Privat Warga Negara

    JAKARTA, (VOI.id) – Menteri Agama Fachrul Razi mewacanakan pelarangan penggunaan cadar bagi aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan kantor instansi pemerintah dengan alasan untuk keamanan. Cadar ini biasanya dipakai oleh perempuan beragama Islam.

    Menurutnya, kebijakan ini sama dengan larangan memakai helm di lingkungan kantor pemerintah untuk tujuan agar mengenali tamu yang datang. Dengan begitu, tindakan yang tidak diinginkan bisa dihindari.

    “Betulkan, dari segi keamanan, kalau ada orang bertamu ke saya enggak menunjukkan muka, enggak mau saya. Keluar Anda,” kata Fachrul kepada wartawan usai rapat koordinasi menteri di Kemenko PMK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis 31 Oktober.

    Kalau disebut larangan ini bertentangan dengan aturan agama, Fachrul memastikan hal itu tidak terjadi. Sebab, kata dia, tak ada anjuran di dalam Alquran dan hadis terkait penggunaan cadar. Apalagi, cadar bukanlah ukuran ketakwaan seseorang. 

    Selain cadar, Fachrul juga melarang ASN menggunakan celana di atas mata kaki atau yang biasa disebut celana cingkrang. Alasannya, celana seperti ini tak sesuai aturan berseragam di lingkungan instansi pemerintah. 

    “Masalah celana cingkrang, itu tidak bisa dilarang dari aspek agama karena memang agama tidak melarang. Tapi dari aturan pegawai bisa. Misalnya ditegur, ‘celana kok tinggi begitu? Kamu enggak lihat aturan negara gimana? Kalau enggak bisa ikuti, keluar kamu’.”

    Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Tjahjo Kumolo mempersilakan Kemenag memberlakukan aturan ini. Sebab, setiap kementerian punya aturan internal masing-masing. Namun, kebijakan ini perlu dikaji lebih dalam ketika akan diterapkan.

    “Kami menunggu saja karena masing-masing instansi punya kewenangan untuk mengatur sesuai dengan ke-Indonesiaan yang ada,” ujar Tjahjo.

    Ilustrasi (Pixabay)

    Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan kebijakan ini tak bertentangan dengan aturan agama Islam serta hak asasi manusia.

    Dia menerangkan, kebijakan itu harus dilihat dari sisi upaya pembinaan ASN dan usaha membangun relasi sosial yang lebih baik. Serta, agar ASN patuh terhadap kode etik pegawai yang berlaku.

    “Hal ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang bercadar tapi juga mereka yang berpakaian tidak sopan yang tidak sesuai dengan norma agama, susila, dan kebudayaan bangsa Indonesia,” ujarnya.

    Dari segi agama, Abdul menerangkan, sebagian besar ulama berpendapat jika cadar tak wajib digunakan. “Perempuan boleh menampakkan muka dan telapak tangan,” kata dia sambil menambahkan agar pemahaman orang bercadar adalah teroris dan radikal dihapuskan.

    Mendapat penolakan

    Sejumlah elemen menolak aturan ini. Di antaranya adalah partai yang berbasis agama, yaitu PKB dan PKS. Menurut mereka, tak ada hubungan gaya berpakaian seseorang dengan tindak lakunya, termasuk aktivitas gerakan radikal yang mengarah ke terorisme.

    “Daripada ngurusin yang tampak, mending Menag itu ngurusin yang subtansial saja deh,” kata Ketua DPP PKB Yaqut Cholil Qoumas sambil menambahkan, radikalisme dan terorisme bukan soal apa yang dipakai, tapi masalah ideologi. Karenanya dia minta Menag melakukan kajian korelasi cadar dengan tindakan terorisme.

    Wakil Ketua Komisi II DPR RI ini menambahkan, selama ini banyak perempuan bercadar yang memiliki pemikiran lebih moderat dan jauh dari perilaku radikalisme. Ditambahkannya, cadar atau nikab merupakan bagian dari budaya Arab yang sudah membaur dengan budaya di Indonesia.

    “Kalau memang secara ideologi itu berkaitan, nah baru keluarkan peraturan itu. Nah kalau enggak berhubungan bagaimana? Karena banyak orang yang pakai cadar itu moderat juga cara berpikirnya, bukan radikal,” ujar Gus Yaqut, sapaannya.

    Argumennya ini bukan untuk menentang wacana Menag, tapi dia ingin Fahcrul mempelajari lebih dalam mengenai ideologi radikal dan terorisme sebelum mengeluarkan larangan penggunaan nikab di lingkungan instansi pemerintahan.

    Selanjutnya, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera juga kurang setuju dengan wacana Fachrul yang sudah masuk ke ranah privasi seseorang ini, karena melarang seseorang menggunakan pakaian. Sebab, kata dia, negara tak punya urusan mengatur gaya berpakaian sesorang.

    “Itu ruang privat, kalau ruang privat itu paling enak jangan terlalu diintervensi oleh negara. Karena negara bagaimanapun mengatur di ruang publik,” kata Mardani yang juga menyarankan agar Kemenag membangun dialog dan literasi untuk melawan paham radikal ketimbang mencampuri urusan privat warga negaranya yang belum tentu terbukti memiliki paham radikal.

    “Saya menggarisbawahi cara terbaik melawan radikalisme itu ya dengan dialog dan literasi sama penegakkan hukum. Bukan buat memperlebar dan memperluas front-nya gitu.”

    Gedung DPR (Foto: Istimewa)

    Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan rencana kebijakan Menteri Agama itu perlu dikaji kembali dengan alasan menghormati kebebasan beragama dan berkeyakinan. “Karena kan tidak ada korelasi cara dia berpakaian dengan cara dia bekerja,” kata Gufron saat dihubungi lewat sambungan telepon.

    “Saya kira tak perlu dibuat pelarangan secara eksplisit. Karena itu melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan,” imbuhnya.

    Lebih jauh, Gufron meminta stigma pengguna cadar dan celana cingkrang sebagai teroris dan pendukung khilafah dihapuskan. Dia takut, stigma ini akan membahayakan masa depan seperti stigma komunisme di Indonesia puluhan tahun lalu.

    “Terlepas dari perbedaan pandangan sikap, keyakinan seseorang itu sesuatu yang harus dihormati negara dan pemerintah. Jadi kebijakan itu menurut saya tidak diperlukan karena tak ada korelasi cara berpakaian dan kinerja,” tutupnya.

  • Imparsial Apresiasi Polri, Pelanggaran Kebebasan Beragama Turun 3 Tahun Terakhir

    Imparsial Apresiasi Polri, Pelanggaran Kebebasan Beragama Turun 3 Tahun Terakhir

    Jakarta

    Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengapresiasi capaian Polri mengatasi kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Imparsial mencatat, dalam tiga tahun terakhir kasus pelanggaran kebebasan beragama menurun.

    “Bahwa dalam tiga tahun terakhir, khususnya pada masa Kapolri Listyo Sigit Prabowo terdapat sejumlah capaian positif yang dilakukan Polri dalam konteks pemenuhan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia. Hal tersebut tercermin melalui penurunan jumlah kasus atau insiden pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam tiga tahun belakangan ini,” kata Ardi, dalam keterangannya, Rabu (11/12/2024).

    Ardi menyampaikan Polri memiliki peran krusial dalam mencegah, menangani hingga memediasi konflik yang menjunjung tinggi prinsip HAM. Dia menerangkan pada tahun 2021 terdapat 28 kasus, tahun 2022 sebanyak 23 kasus, tahun 2023 sebanyak 18 kasus dan tahun 2024 hingga bulan November terdapat 20 kasus.

    “Namun demikian, tentunya penurunan secara kuantitas ini tidak dapat disimpulkan bahwa pemenuhan KBB (Kebebasan beragama atau berkeyakinan) di Indonesia sudah berhasil, karena setiap kasus atau peristiwa menunjukkan ada hak warga negara yang dilanggar dan menjadi korban,” jelasnya.

    Ardi juga mencatat ada inisiatif Polri yang dilakukan secara progresif antara lain memfasilitasi dialog antarkelompok agama atau kepercayaan. Menurutnya, beberapa kasus yang berpotensi konflik agama berhasil diredam melalui fasilitasi dialog oleh Polisi.

    “Misalnya, seperti yang dilakukan oleh Polres Tulang Bawang, Lampung pada tahun 2021 menyusul adanya kelompok warga yang melakukan penolakan rumah ibadah, atau tindakan tegas terhadap anggota Polri yang lalai dalam mencegah terjadinya pelanggaran kebebasan beragama sebagaimana yang terjadi terhadap Kapolres Kulonprogo pada tahun 2023,” katanya.

    “Unit ini bertugas untuk memantau potensi konflik serta mengedepankan pendekatan preventif secara persuasi. Di beberapa daerah Polri juga melakukan sosialisasi kerukunan antar umat beragama melalui program safari Jumat,” katanya.

    Terlepas dari itu, Imparsial memberi catatan ke Polri terkait penanganan kasus berbasis agama. Terutama penanganan yang cenderung berorientasi pada Kamtibmas yang mengabaikan pemenuhan HAM.

    Ardi menilai Polri perlu merumuskan kebijakan internal yang bisa dijadikan panduan anggota Polri dalam pencegahan dan penanganan kasus kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) yang berbasis prinsip dan norma HAM.

    (idn/imk)

  • Pemerintah susun kembali UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

    Pemerintah susun kembali UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

    Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyampaikan pidato pada puncak peringatan Hari HAM Sedunia Ke-76 di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Selasa (10/12/2024) malam. (ANTARA/Fath Putra Mulya)

    Menko: Pemerintah susun kembali UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Rabu, 11 Desember 2024 – 06:55 WIB

    Elshinta.com – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia akan menyusun kembali Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka menghadirkan dasar hukum penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

    Yusril menyampaikan pernyataan itu dalam momentum puncak peringatan Hari HAM Sedunia Ke-76 yang diselenggarakan Kementerian HAM di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Selasa (10/12) malam.

    “Pemerintahan baru, di bawah pimpinan Presiden Prabowo Subianto, akan meneruskan upaya untuk menyusun kembali Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa yang lalu, tanpa mengenal batas waktu surut ke belakang,” kata dia.

    Menurut Yusril, undang-undang yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi itu lahir dari hasil pembelajaran dari pengalaman Afrika Selatan. Yusril bercerita, ia dengan sejumlah tokoh HAM dan pejabat Kementerian Hukum dan HAM ketika itu datang ke Afrika Selatan untuk mempelajari pengalaman negara itu menyelesaikan kasus HAM.

    “Dengan diilhami pengalaman-pengalaman Afrika Selatan, kita berhasil membentuk Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi itu. Walaupun dalam perjalanan belakangan, seluruh undang-undang itu dibatalkan oleh MK,” kata dia.

    Akibat pembatalan itu, imbuh Yusril, cukup banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang tidak dapat diselesaikan. Hingga kemudian Presiden Ketujuh RI Joko Widodo meneken peraturan terkait penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.

    Terlepas dari itu, Menko menegaskan bahwa pemerintahan baru berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Dia pun mengajak semua pihak untuk menyelesaikan persoalan HAM di masa lalu sambil menatap masa depan.

    “Semoga peringatan malam ini menggugah kesadaran kita bersama akan pentingnya persoalan-persoalan HAM yang menjadi agenda Pemerintah baru sekarang untuk kita majukan di masa depan,” katanya.

    Diketahui bahwa MK membatalkan keberlakuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi melalui Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006. MK menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    MK, dalam pertimbangannya, menilai bahwa rumusan norma maupun kemungkinan pelaksanaan norma yang ada di dalam UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak memiliki kepastian hukum untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang diharapkan.

    Putusan MK itu dibacakan dalam sidang pleno Kamis, 7 Desember 2006 yang dipimpin Ketua MK ketika itu Jimly Asshiddiqie. Sementara itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna (sekarang Ketua Majelis Kehormatan MK) mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).

    Menurut Palguna, permohonan uji materi yang diajukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65), dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim ORBA (LPR-KROB) itu seharusnya tidak dapat diterima.

    Sumber : Antara

  • Imparsial Anggap Ribuan Pasukan Dikirim ke Papua Selama 2024 Ilegal

    Imparsial Anggap Ribuan Pasukan Dikirim ke Papua Selama 2024 Ilegal

    Imparsial Anggap Ribuan Pasukan Dikirim ke Papua Selama 2024 Ilegal
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com

    Imparsial
    menyebut bahwa pemerintah mengirim ribuan pasukan ilegal ke Tanah
    Papua
    sepanjang 2024.
    Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menegaskan bahwa status Daerah Operasi Militer (DOM) Papua resmi dicabut setelah Reformasi.
    “Kami mencatat sepanjang tahun 2024 ini Pemerintah setidaknya telah mengirimkan 3.187 pasukan non-organik ke tanah Papua. Hal ini belum ditambah dengan jumlah pasukan yang tidak diketahui jumlah pastinya,” ujar Ardi pada Selasa (10/12/2024).
    “Penting diingat, pengiriman pasukan ini merupakan tindakan ilegal yang bertentangan dengan Pasal 7 ayat (3) UU
    TNI
    ,” lanjut dia.
    Dalam beleid itu, ditegaskan bahwa operasi militer selain perang hanya dapat dilakukan setelah adanya kebijakan dan keputusan politik negara, yaitu kebijakan politik pemerintah bersama dengan DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR.
    Sementara ini, selama ini tidak ada satu pun kebijakan atau keputusan politik untuk mengirimkan pasukan TNI ke Tanah Papua.
    Imparsial menilai, pengiriman pasukan secara ilegal dan penebalan personel merupakan bukti nyata ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Papua.
    Memperkuat pengaruh militer di wilayah yang rentan konflik dianggap tak selaras dengan janji mengutamakan dialog dan pendekatan damai.
    “Akibatnya korban terus berjatuhan karena kontak senjata selalu terjadi di pemukiman warga,” ujar Ardi.
    “Berdasarkan hasil pemantauan Imparsial sepanjang tahun 2024 setidaknya telah terjadi 18 peristiwa kekerasan konflik bersenjata di Papua,” imbuhnya.
    Kontak senjata ini sedikitnya telah menewaskan 9 orang anggota TNI dan Polri serta 4 masyarakat sipil.
    Sejumlah anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dan warga setempat juga luka-luka.
    Imparsial juga menyoroti potensi konflik di Papua yang semakin mengkhawatirkan akibat pemekaran wilayah dan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti program Food Estate di Merauke.
    “Imparsial memandang program Food Estate yang diikuti dengan penambahan dan pembentukan lima batalyon Infanteri Penyangga Daerah Rawan (Yonif PDR) di tanah Papua tidak hanya penyimpangan peran TNI tetapi juga berpotensi memperparah spiral kekerasan,” jelas Ardi.
    “Konflik antara TNI dengan masyarakat yang menimbulkan pelanggaran HAM sangat mungkin terjadi, apalagi berdasarkan keterangan Menteri Pertanian yang menyatakan bahwa pembukaan lahan sejuta hektar dikendalikan langsung oleh Pangdam XVII/Cenderawasih,” lanjutnya.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MK diminta transparan dan imparsial tangani 115 gugatan Pilkada 

    MK diminta transparan dan imparsial tangani 115 gugatan Pilkada 

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Anggota Komisi II DPR RI Indrajaya meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menangani sebanyak 115 perkara gugatan terkait Pilkada Serentak 2024 secara profesional, transparan, dan imparsial.

    Dia mengatakan semua pihak yang mengajukan gugatan perselisihan Pilkada harus diterima dengan baik oleh MK. Para pasangan calon mempunyai hak untuk mengajukan gugatan ke MK jika tidak menerima hasil Pilkada yang telah diumumkan KPU di daerah masing-masing.

    “Kalau ada yang tidak puas dengan hasil pilkada, silahkan tempuh jalur hukum ke MK, karena itu dijamin oleh konstitusi,” kata Indrajaya di Jakarta, Senin.

    Menurut dia, MK harus imparsial dalam menerima gugatan perselisihan tersebut dengan cara tidak pilih kasih dalam menangani perkara. Pasalnya semua pasangan calon memiliki hak yang sama dan setara di mata hukum.

    Dalam menangani perselisihan Pilkada, dia mengatakan jangan ada perkara yang ditutup-tutupi. Menurut dia, masyarakat berhak mengetahui proses penanganan perselisihan Pilkada secara transparan.

    Di samping itu, dia meminta agar jangan ada hakim MK yang bermain mata dengan pihak yang berperkara. Hakim MK harus bekerja secara profesional dan menjaga integritas dalam menangani perselisihan Pilkada.

    Untuk itu, dia juga mengajak para pendukung pasangan calon untuk menahan diri dan tidak terprovokasi serta menaati aturan yang telah ditetapkan. Karena gugatan ke MK tersebut merupakan sarana jika ada ketidakpuasan atas hasil Pilkada.

    “Kalau soal perselisihan hasil Pilkada, mereka bisa mengajukan gugatan ke MK dengan batasan waktu yang telah ditentukan,” katanya.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Imam Budilaksono
    Copyright © ANTARA 2024

  • Terima 115 Gugatan Pilkada, MK Diharap Jaga Integritas

    Terima 115 Gugatan Pilkada, MK Diharap Jaga Integritas

    Jakarta (beritajatim.com) – Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima 115 gugatan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024. Rinciannya, sebanyak 86 terkait pemilihan calon bupati dan wakil bupati, dan 29 permohonan terkait pemilihan calon wali kota dan wakil wali kota.

    Anggota Komisi II Fraksi PKB DPR RI Indrajaya mengingatkan agar tidak ada hakim MK yang bermain mata dengan pihak yang berperkara. Hakim MK harus bekerja secara profesional dan menjaga integritas dalam menangani perselisihan pilkada.

    “Integritas harus dijaga. Jangan ada lagi hakim MK yang tersangkut kasus suap penanganan perkara pilkada,” tegasnya.

    Indrajaya mengatakan, semua pihak yang mengajukan gugatan persilisihan pilkada harus diterima dengan baik oleh MK. Para pasangan calon mempunyai hak itu mengajukan gugatan ke MK, jika mereka tidak menerima hasil pilkada yang telah diumumkan KPU di daerah masing-masing.

    “Kalau ada yang tidak puas dengan hasil pilkada, silahkan tempuh jalur hukum ke MK, karena itu dijamin oleh konstitusi,” katanya.

    Di lain sisi, menurutnya, MK harus imparsial dalam menerima gugatan perselisihan pilkada. Tidak pilih kasih dalam menangani perkara pilkada. Semua pasangan calon memiliki hak yang sama dan setara di mata hukum.

    Selalin itu, lanjutnya, dalam menangani perkara gugatan pilkada MK juga transparan. “MK harus transparan dalam setiap perkara. Jangan ada perkara yang ditutup-tutupi. Masyarakat berhak mengetahui proses penanganan perselisihan pilkada,” ujarnya.

    Indrajaya pun mengajak para pendukung pasangan calon untuk menahan diri dan tidak terprovokasi. Mereka harus mentaati aturan yang telah ditetapkan. Jika mereka tidak puas, karena dinilai ada kecurangan, mereka bisa melaporkan kepada pihak terkait.

    “Kalau soal perselisihan hasil pilkada, mereka bisa mengajukan gugatan ke MK dengan batasan waktu yang telah ditentukan,” kata Indrajaya. [hen/but]

  • Amnesty Internasional Catat 579 Warga Alami Kekerasan Polisi

    Amnesty Internasional Catat 579 Warga Alami Kekerasan Polisi

    Bisnis.com, JAKARTA – Amnesty International mencatat bahwa 579 warga sipil mengalami tindakan represif atau kekerasan dari aparat kepolisian.

    Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengemukakan bahwa pihak Kepolisian selalu menilai aksi yang dilakukan oleh masyarakat dianggap sebagai ancaman, sehingga tidak sedikit oknum Polisi yang memilih jalan kekerasan dan tindakan represif kepada masyarakat.

    “Setelah melakukan investigasi mendalam selama 3 bulan atas unjuk rasa damai yang terjadi di 14 kota pada 22 sampai 29 Agustus lalu, Amnesty International menyimpulkan adanya kebijakan polisi di balik berulangnyakekerasan yang sistematis dan meluas,” ujarnya di Jakarta, Senin (9/12/2024). 

    Selama kurun waktu itu, setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi. Rinciannya, sebanyak 344 orang mengalami penangkapan dan penahanan semena-mena, 152 orang luka-luka akibat serangan fisik, termasuk penembakan meriam air.

    Usman menambahkan sedikitnya 17 orang terpapar gas air mata kimia yang berbahaya serta 65 lainnya mengalami kekerasan berlapis termasuk kekerasan fisik dan penahanan inkomunikado dan seorang lagi dilaporkan sempat hilang sementara. 

    “Seluruh kekerasan tersebut terjadi saat polisi menghadapi unjuk rasa menolak revisi UU Pilkada beberapa waktu lalu,” imbuhnya. 

    Selain itu, Usman juga membeberkan tidak adanya hukuman atas pelanggaran HAM yang telah dilakukan oknum Polisi menjadi penyebab tindakan kekerasan dan represif kepolisian selalu terulang ke masyarakat.

    “Jadi kan selama ini tuh tidak pernah ada pertanggungjawaban atas kasus-kasus pelanggaran HAM akibat kekerasan polisi, sehingga tidak ada efek jera,” katanya.

    Ditambah lagi, menurut Usman, komitmen Polisi untuk melindungi hak masyarakat dalam kebebasan berekspresi juga semakin menipis. 

    “Minimnya komitmen negara untuk melindungi hak warga, termasuk berekspresi dan berkumpul secara damai,” ujarnya.

    Penggunaan Senjata Api

    Selain itu, Usman Hamid meminta agar berbagai desakan untuk mengevaluasi penggunaan senjata api oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) harus sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.

    Usman mengatakan bahwa Polri juga perlu mempertanggungjawabkan kebijakan penggunaan kekuatan maupun senjata api sesuai hukum yang berlaku, termasuk bagi siapa pun yang terlibat pidana melalui sistem peradilan umum berdasarkan bukti yang cukup. Walaupun begitu, penegakan hukum harus tanpa hukuman mati.

    “Sehingga (penggunaan kekuatan) hanya digunakan dalam situasi yang benar-benar diperlukan,” kata Usman. 

    Dia juga meminta DPR RI menggunakan hak-hak konstitusionalnya berupa hak angket atau interpelasi demi menyelidiki tanggung jawab kebijakan strategis polisi karena masih ada kasus penyalahgunaan kekuatan yang tidak perlu.

    “Mendesak DPR RI memanggil Kapolri guna dimintai tanggung jawab atas maraknya kekerasan polisi di masyarakat, khususnya yang merefleksikan pola kebijakan represif, bukan perilaku orang per orang,” katanya. 

    Usman mengatakan bahwa adanya kekerasan terhadap masyarakat oleh aparat adalah lubang hitam pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Maraknya kasus kekerasan, menurut dia, juga disebabkan kuatnya persepsi bahwa warga yang mengkritik pemerintah adalah ancaman.

    Selain itu, ia juga mendesak kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Nasional HAM agar mengusut secara resmi, menyeluruh, efektif, imparsial, terhadap kasus-kasus kekerasan yang timbul.

    “Dan tuntaskan kasus-kasus penggunaan kekuatan berlebihan, termasuk senjata mematikan,” katanya.

    Sebelumnya, berbagai pihak mengusulkan agar Polri mengevaluasi penggunaan senjata api agar tidak disalahgunakan oleh anggotanya.

    Usulan itu muncul setelah adanya kasus polisi tembak polisi di Solok Selatan, Sumatera Barat, dan kasus polisi tembak siswa SMK di Semarang, Jawa Tengah.

  • Tembak Mati Pelajar Semarang di Luar Tugas, Aipda Robig Zaenudin Terbukti Langgar Hak Asasi Manusia

    Tembak Mati Pelajar Semarang di Luar Tugas, Aipda Robig Zaenudin Terbukti Langgar Hak Asasi Manusia

    TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG – Anggota Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polrestabes Semarang Aipda Robig Zaenudin (38) melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atas perbuatannya menembak tiga pelajar SMK N 4 Semarang, GRO (17) atau Gamma, SA dan AD.

    Hal itu disampaikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) selepas melakukan pemantauan lapangan dan meminta keterangan sejumlah pihak atas peristiwa penembakan tersebut.

    “Tindakan RZ (Robig Zaenudin) telah memenuhi unsur-unsur adanya pelanggaran HAM berdasarkan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Hak Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” kata Koordinator Subkomisi Pemantauan, Uli Parulian Sihombing dalam keterangan tertulis, Jumat (6/11/2024).

    Uli merinci, pelanggaran HAM yang dimaksud yakni pembunuhan di luar proses hukum (extra judicial killing).

    Adapun unsur-unsur extra judicial killing yakni adanya pembunuhan dan penembakan yang dilakukan Robig yang mengakibatkan hilangnya nyawa GRO, dan luka-luka yang dialami S dan A. 

    Penembakan ini dilakukan di depan minimarket Candi Penataran Kota Semarang Kota,  24 November 2024,  sekitar pukul 00.19 WIB.

    Sosok Gamma Rizkynata Oktafandy, pelajar SMKN 4 Semarang yang tewas diduga karena tembakan oknum polisi mendapat ucapan duka dari teman-teman paskibra korban. (Tribunjateng / Iwan Arifianto.)

    Pembunuhan dilakukan oleh aparat negara karena Robig tercatat sebagai anggota Satresnarkoba Polrestabes Semarang, dan aparat penegak hukum.

    Selain itu, tidak dalam pembelaan diri (self-defense), Robig juga sedang tidak sedang menjalankan tugas dan tidak dalam posisi terancam atas lewatnya sepeda motor yang dikendarai oleh tiga korban tersebut.

    “Tidak dalam menjalankan perintah undang-undang, RZ tidak sedang menjalankan perintah undang-undang untuk menembak tiga korban
    tersebut,” bebernya.

    Uli melanjutkan, tiga korban yaitu  GRO, S, dan A statusnya adalah anak dengan usia di bawah 18 tahun. 

    Sedangkan RZ sebagai anggota Polri.

    Menurutnya, seharusnya tidak melakukan penembakan terhadap anak-anak tersebut dan kepolisian dilarang untuk menggunakan senjata api ketika berhadapan dengan anak-anak.

    “Kemudian RZ menghilangkan hak hidup dari korban GRO,” katanya.

    Berdasarkan hal tersebut, Kata Uli, Komnas HAM merekomendasikan kepada Kapolda Jawa Tengah untuk melakukan penegakan hukum secara adil, transparan, dan imparsial, baik etika, disiplin, dan pidana kepada  RZ. 

    Melakukan evaluasi secara berkala atas penggunaan senjata api oleh anggota kepolisian di lingkungan Polda Jawa Tengah, termasuk assessment psikologi secara berkala.

    Memberikan evaluasi pemahaman dan atau pengetahuan anggota polisi di lingkup Polda Jawa Tengah mengenai Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, khususnya untuk polisi tingkat Bintara.

    “Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk memberikan perlindungan saksi dan korban, termasuk pemulihan bagi keluarga korban atas peristiwa tersebut,” bebernya.

    Tribun telah berupaya mengkonfirmasi ke Kabid Humas Polda Jateng Kombes Artanto.

    Namun, hingga berita ini ditulis belum ada respon. (Iwn)