Institusi: HIPMI

  • Menteri PKP Peringatkan Pengusaha soal KUR Perumahan: Awas Masuk Penjara!

    Menteri PKP Peringatkan Pengusaha soal KUR Perumahan: Awas Masuk Penjara!

    GELORA.CO -Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) Maruarar Sirait memperingatkan anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) agar serius dalam proyek fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) Perumahan.

    Hal itu disampaikan Ara, sapaan Maruarar Sirait, dalam acara Sosialisasi Kredit Program Perumahan di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Minggu, 7 September 2025.

    Ara menegaskan bahwa KUR Perumahan merupakan program Presiden Prabowo Subianto yang berpihak kepada UMKM. 

    “KUR Perumahan baru sekali ini ada sepanjang Indonesia merdeka,” kata Ara.

    Ara menyampaikan dalam program KUR Perumahan dibagi menjadi supply yang di dalamnya ada kontraktor, developer hingga toko bangunan dengan pemberian dana dari pemerintah ratusan triliun.

    “Terus terang ada juga orang yang melakukan korupsi di bidang KUR dan sudah ditangkap. Saya doain tidak ada anggota HIPMI yang ditangkap karena korupsi KUR,” kata Ara.

    “Karena, pengusaha nggak semua bener, ada yang bener ada yang pura-pura bener,” sambungnya.

    Ia lantas mewanti-wanti para pengusaha untuk tidak ikut dalam program ini jika memiliki niat tidak baik. Sebab pihaknya telah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk mengawal ketat program KUR Perumahan.

    “Kalau punya niat yang nggak baik, jangan ikut-ikutan karena ini untuk rakyat untuk naik kelas untuk menggerakkan ekonomi pertumbuhan ekonomi dan bisa membuat orang banyak bekerja,” kata Ara.

    “Jadi kalau ada yang punya niat nggak baik, jangan. Karena pasti masuk penjara,” tutupnya

  • Maruarar Sirait Berdoa Tidak Dipanggil Jaksa dan KPK

    Maruarar Sirait Berdoa Tidak Dipanggil Jaksa dan KPK

    GELORA.CO -Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) Maruarar Sirait berkelakar saat menjadi pembicara di acara Sosialisasi Kredit Program Perumahan, bertemakan “Momentum Emas Pengusaha Muda Raih Modal Hingga 20 Milliar Rupiah”, di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Minggu 7 September 2025.

    Politikus Gerindra yang karib disapa Ara ini mengatakan, salah satu doa dalam acara tersebut adalah tidak adanya laporan kinerja pejabat maupun pengusaha kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung.

    “Saya senang tadi ada kata-kata paling senang itu kalau selesai kerja saya kerja cari dapat untung tidak dipanggil Jaksa dan KPK. Itu paling bagus tadi doanya, juga saya dengar paling senang itu kalau utang piutangnya ya (terbayar),” kata Ara dalam mengawali sambutannya.

    Ia lantas menanyakan Ketua Umum BP HIPMI Akbar Himawan Buchari tentang usahanya di tengah situasi global yang tidak menentu saat ini. 

    “Gimana bisnis kamu selama jadi ketua umum? makin menanjak atau makin menurun? Sehingga mau tahu makin bagus berarti bisa dua periode sudah kalau begitu satu beliau saja ya. Tapi memang bagus kan Nah itu paling bagus organisasi maju bisnisnya maju,” demikian Ara.

  • Jadi Tulang Punggung Ekonomi, Ini Jurus Agar UMKM Bisa Tembus Pasar Global – Page 3

    Jadi Tulang Punggung Ekonomi, Ini Jurus Agar UMKM Bisa Tembus Pasar Global – Page 3

    Sebelumnya, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Akbar Himawan Buchari, menilai pemerintah perlu memberikan dukungan nyata kepada pengusaha kecil (UMKM). Salah satu caranya adalah dengan melonggarkan aturan pajak agar stabilitas ekonomi tetap terjaga.

    Saat ini pemerintah, pengusaha, dan masyarakat harus berada pada satu visi yang sama yaitu menjaga stabilitas ekonomi nasional. Karena itu, kebijakan yang dianggap membebani rakyat perlu ditinjau lebih serius.

    “Pengetatan pajak menjadi dilematis. Di satu sisi, pemerintah butuh penerimaan untuk membiayai negara. Tapi di sisi lain, masih banyak pelaku UMKM yang membutuhkan dukungan agar usahanya bisa bertahan,” ujar Akbar, Selasa (2/9/2025).

    Akbar berharap pemerintah memperpanjang tarif Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5 persen untuk UMKM yang akan berakhir pada akhir tahun ini. Menurutnya, kebijakan tersebut penting untuk menjaga keadilan bagi wajib pajak yang taat aturan.

    “Kami berharap pemerintah melonggarkan aturan ini sampai ekonomi stabil. Lagipula, pengusaha UMKM selalu taat aturan. Jangan sampai aturan ini justru mengikis fundamental UMKM,” tegasnya.

     

  • Ironi Nadiem Makarim: Antara Jejak Inovasi dan Bayang-bayang Korupsi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        5 September 2025

    Ironi Nadiem Makarim: Antara Jejak Inovasi dan Bayang-bayang Korupsi Nasional 5 September 2025

    Ironi Nadiem Makarim: Antara Jejak Inovasi dan Bayang-bayang Korupsi
    Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com – Instagram: @ikhsan_tualeka

    Kekuasaan bisa mengangkat setinggi-tingginya, tetapi juga menjatuhkan sedalam-dalamnya
    .”
    PADA
    satu dekade lalu, nama Nadiem Anwar Makarim identik dengan optimisme baru. Ia mendirikan Gojek, aplikasi yang mengubah wajah transportasi Indonesia.
    Dari sekadar gagasan sederhana tentang ojek berbasis aplikasi, Gojek berkembang menjadi unicorn pertama di negeri ini, bahkan menembus status decacorn.
    Nadiem dielu-elukan sebagai
    game changer
    . Ia anak muda yang berani bermimpi besar, membuktikan bahwa inovasi lahir dari dalam negeri bisa menembus panggung global.
    Di balik layar, jutaan pengemudi ojek menemukan penghidupan baru, mereduksi angka pengangguran dan masyarakat merasakan kemudahan dalam keseharian.
    Pada 2019, perjalanan itu mencapai puncak simbolis: Presiden Joko Widodo memintanya meninggalkan kursi CEO dan masuk ke kabinet sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
    Publik bersorak. Ada yang menyabut dengan penuh optimistis. Inilah saatnya profesional muda membawa angin segar dan perubahan ke birokrasi.
    Namun, lima tahun berselang, jalan cerita berbelok. Kamis (4/9), Kejaksaan Agung menetapkan Nadiem sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek, proyek bernilai fantastis, Rp 9,9 triliun.
    Keputusan mengganti spesifikasi dari laptop berbasis Windows menjadi Chromebook kini dituding sarat kepentingan, punya ‘Mens Rea’ korupsi.
    Kisah Nadiem memperlihatkan ironi yang dalam. Dari pengusaha muda penuh inspirasi, ia kini harus menghadapi proses hukum sebagai tersangka korupsi.
    Di dunia bisnis, reputasinya nyaris tak bercela. Namun, di dunia birokrasi, ia tersandung. Perbedaan yang menunjukkan jurang antara logika korporasi dan logika negara atau pemerintahan.
    Bisnis berorientasi pada hasil cepat, efisiensi, dan kepuasan pengguna. Sementara birokrasi negara berjalan dengan aturan ketat, prosedur panjang, dan risiko politik yang besar.
    Seperti diingatkan Mahfud MD, “Korupsi itu bukan hanya soal keserakahan, tetapi juga kelemahan sistem yang memberi peluang.”
    Nadiem mungkin datang dengan niat membangun, tetapi kelemahan sistem dan dinamika politik bisa menyeret siapa saja.
    Nadiem juga bukan satu-satunya dari lingkaran Jokowi yang kini masuk pusaran kasus hukum. Immanuel Ebenezer, Silfester Matutina yang berstatus buron, bahkan nama mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, yang sudah bolak-balik memenuhi pemeriksaan KPK, dan mungkin akan menyusul Nadiem sebagai tersangka.
    Lord Acton sudah lama mengingatkan: “
    Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely
    .” Selama berkuasa, hukum sering tampak jauh.
    Namun begitu kursi dilepaskan, jejaring melemah, dan proses hukum datang tanpa ampun. Inilah yang disebut para ilmuwan politik sebagai
    political cycle:
    perlindungan hukum yang semu, hanya bertahan selama ada kuasa atau punya kekuasaan.
    Kasus ini juga menjadi refleksi bagi para profesional yang dipanggil masuk pemerintahan. Keberhasilan di sektor swasta tidak serta-merta menjadi jaminan bisa sukses dan aman di birokrasi.
    Guy Peters mengingatkan, birokrasi publik tunduk pada
    accountability
    berlapis: kepada hukum, lembaga audit, parlemen, publik, bahkan media.
    Sementara di bisnis, orientasi utamanya jelas: konsumen dan keuntungan. Celah inilah yang sering membuat profesional kebingungan.
    Amartya Sen menambahkan bahwa korupsi adalah “governance failure”—bukan sekadar kelemahan moral individu. Sistem yang rapuh bisa menyeret siapa saja, bahkan mereka yang berangkat dengan idealisme dan reputasi baik.
    Ironi Nadiem seharusnya tidak hanya dilihat sebagai tragedi personal, melainkan juga sebagai cermin kelemahan sistem.
    Reformasi pendidikan tidak bisa dipisahkan dari reformasi tata kelola. Laptop, kurikulum, hingga digitalisasi hanyalah instrumen; tanpa tata kelola yang bersih, instrumen itu kehilangan makna.
    Publik pun perlu menahan diri dari penghakiman instan. Status tersangka bukanlah vonis. Biarkan pengadilan yang menguji bukti. Yang lebih penting, masyarakat menuntut perbaikan sistem agar kasus serupa tidak berulang.
    Perjalanan Nadiem adalah kisah tentang dua wajah Indonesia: inovasi yang membanggakan dan korupsi yang membayangi. Dari anak muda inspiratif yang menembus batas global, ia kini menjadi mantan pejabat yang berstatus tersangka kasus korupsi.
    Ironi ini mengajarkan bahwa prestasi masa lalu tidak selalu menjamin kebebasan dan imunitas dari risiko di masa kini.
    Kasus ini juga menjadi cermin yang menohok kita semua. Bahwa negeri ini masih harus terus berjuang untuk keluar dari jerat korupsi yang seakan abadi.
    Sehebat apa pun gagasan, secemerlang apa pun visi, dan sehebat apa pun teknologi, semuanya bisa runtuh jika tata kelola pemerintahan masih lemah. Nadiem, dengan segala prestasi globalnya, tetap tidak kebal terhadap jebakan sistem.
    Bagi para profesional muda, kisah ini adalah pengingat keras. Memasuki dunia pemerintahan bukan hanya tentang membawa visi besar atau strategi korporasi. Ia juga tentang mengarungi lautan birokrasi yang penuh aturan, kepentingan, bahkan jebakan hukum.
    Idealismenya bisa menjadi cahaya, tetapi tanpa kewaspadaan, cahaya itu bisa meredup di tengah gelombang kekuasaan.
    Sekali lagi, kita jangan melihat kasus ini hanya sebagai tragedi personal. Kita perlu melihat akar masalah yang lebih dalam: lemahnya tata kelola, politik yang cair dengan kepentingan, dan sistem pengawasan yang belum kokoh.
    Sebab, tanpa perbaikan sistemik, kasus serupa akan terus berulang, hanya berganti nama, wajah dan momentum politik.
    Akhirnya, ironi terbesar dalam kisah Nadiem bukanlah penetapan status tersangkanya semata, melainkan hilangnya harapan publik yang dulu sempat menyala.
    Dari simbol inovasi, ia kini menjadi simbol peringatan: bahwa kekuasaan bisa mengangkat setinggi-tingginya, tetapi juga bisa menjatuhkan sedalam-dalamnya.
    Dawam Rahardjo pernah berkata, “Kekuasaan bukanlah panggung untuk menumpuk kuasa, melainkan ladang untuk menanam kebajikan.”
    Pesan itu kini terasa relevan. Sebab, pada akhirnya, jejak inovasi bisa memudar bila dibayangi korupsi. Dan hanya kebajikan yang akan bertahan dalam ingatan sejarah bangsa, dari generasi ke generasi.
    Menegaskan bahwa kekuasaan itu fana. Ia datang dan pergi, meninggalkan jejak yang tak pernah bisa dihapus begitu saja.
    Jejak itulah yang akan dikenang sejarah. Dan sejarah selalu memilih untuk mengingat bukan sekadar siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana kuasa itu digunakan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pesta Ekstasi di Hotel Mewah, 5 Pengurus dan Anggota HIPMI Lampung Tidak Ditahan hanya Direhabilitasi

    Pesta Ekstasi di Hotel Mewah, 5 Pengurus dan Anggota HIPMI Lampung Tidak Ditahan hanya Direhabilitasi

    Liputan6.com, Jakarta Lima pengurus dan anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Lampung positif mengonsumsi ekstasi. Mereka ditangkap saat pesta ekstasi di tempat karaoke hotel bintang lima, Bandar Lampung. Kelimanya akhirnya diputuskan menjalani rehabilitasi rawat jalan.

    Kelima orang itu masing-masing RG (34) selaku bendahara umum, SA (35) wakil ketua bidang 1, MR (35) wakil ketua bidang 3, serta WL (34) dan SP (35) yang tercatat sebagai anggota BPD HIPMI Lampung.

    “Sudah ditetapkan, mereka bukan pemakai aktif sehingga diputuskan rawat jalan dan wajib lapor selama dua bulan,” kata Kepala Seksi Intelijen Bidang Pemberantasan BNNP Lampung, Aryo Harry Wibowo, Selasa (02/09/2025).

    Aryo menjelaskan keputusan tersebut merupakan hasil asesmen terpadu yang melibatkan penyidik Polda Lampung, kejaksaan, hingga tim medis BNNP. Barang bukti yang ditemukan hanya tujuh butir pil ekstasi, jumlah yang berada di bawah ketentuan minimal delapan butir sebagaimana diatur dalam surat edaran Mahkamah Agung untuk menetapkan tersangka.

    “Sudah sesuai ketentuan hukum. Mereka siangnya rawat jalan dan malamnya pulang, dengan kewajiban laporan satu hingga dua kali dalam seminggu selama dua bulan,” ujar Aryo.

    Dari hasil pemeriksaan, tujuh butir ekstasi yang disita merupakan sisa dari 20 butir yang sebelumnya dibeli seharga Rp7 juta. Pemesanan dilakukan oleh SP melalui seorang kurir berinisial RBT dengan sistem bayar di tempat.

    “Setelah transaksi, RBT langsung pergi meninggalkan lokasi karaoke, dan ekstasi diletakkan di atas meja untuk dipakai,” kata Aryo.

    Dalam penggerebekan yang dilakukan Kamis malam, 28 Agustus 2025, BNNP Lampung mendapati kelima pengurus HIPMI itu sedang berpesta narkoba bersama lima pemandu lagu wanita. Saat ini, kata Aryo, petugas masih memburu RBT yang diduga sebagai pemasok ekstasi dan telah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

  • Kebijakan Deregulasi Masih Dibutuhkan Pelaku Usaha

    Kebijakan Deregulasi Masih Dibutuhkan Pelaku Usaha

    Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan Pengusaha Muda Indonesia atau Hipmi menilai kebijakan deregulasi aturan masih dibutuhkan hingga saat ini supaya dapat berkontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi.

    Sekjen Hipmi Anggawira mengatakan regulasi yang berlapis-lapis membuat biaya usaha membengkak, dengan demikian deregulasi dapat menekan biaya administrasi dan birokrasi.

    Dia juga meyakini deregulasi mampu mempercepat investasi, izin usaha yang lebih cepat dan kepastian hukum mendorong investasi masuk hingga mendorong efisiensi. 

    Tak hanya itu, persaingan usaha meningkat karena tidak ada hambatan regulasi yang bersifat protektif dan diskriminatif.

    Dia mencontohkan sebelumnya paket kebijakan deregulasi era Presiden Jokowi (2015–2016) memotong banyak prosedur perizinan, yang saat itu dipandang dunia usaha cukup efektif dalam meningkatkan peringkat Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia.

    “Deregulasi saat ini sangat diperlukan karena ekonomi global penuh tekanan yakni perlambatan ekonomi China, disrupsi rantai pasok dan krisis energi, sehingga pengusaha membutuhkan kemudahan berusaha untuk menjaga daya saing,” ujarnya kepada Bisnis dikutip, Selasa (2/9/2025).

    Terlebih, lanjutnya, Indonesia saat ini menuju industrialisasi. Menurutnya agar target hilirisasi, transisi energi, dan investasi digital tercapai, aturan tidak boleh menghambat inovasi.

    Selain itu, deregulasi juga dibutuhkan karena tumpang tindih regulasi masih tinggi di pusat dan daerah meski Online Single Submission (OSS) sudah berjalan.

    Dia pun memaparkan sejumlah bentuk deregulasi yang diharapkan adalah simplifikasi perizinan adalah satu pintu yang benar-benar terintegrasi, tanpa pintu belakang yang bertele-tele di kementerian/daerah. Kemudian berkaitan dengan harmonisasi pusat – daerah karena banyak regulasi daerah yang tidak sinkron dengan aturan pusat.

    Selanjutnya, pengusaha membutuhkan deregulasi yang menjamin kepastian hukum investasi. Bukan hanya pemangkasan izin, tapi juga kepastian kontrak, perpajakan, dan tata ruang.

    “Regulasi harus berbasis risiko atau risk-based regulation. Perusahaan yang berisiko rendah cukup dengan notifikasi atau registrasi, bukan izin panjang,” imbuhnya.

    Dia optimistis deregulasi langsung berhubungan dengan peringkat daya saing global. Negara yang progresif dalam deregulasi seperti Vietnam mampu menarik investasi manufaktur skala besar karena kemudahan berusaha.

    Bagi Indonesia, tekannya, deregulasi adalah syarat mutlak untuk mencapai target investasi asing lebih besar dari US$100 miliar per tahun.

    Namun sayangnya, kendala deregulasi di Indonesia adalah resistensi birokrasi, over-regulasi sektoral, di mana etiap kementerian cenderung membuat aturan sendiri, menambah keruwetan.

    Selain itu juga ketidakpastian hukum yang berdampak terhadap sering terjadinya perubahan aturan. Imbasnya, investor kesulitan merencanakan bisnis jangka panjang.

    “Meski sudah ada OSS ada di lapangan, banyak pelaku usaha terutama UMKM masih bingung prosedurnya,” imbuhnya.

    Dia mengajukan sejumlah usulan mengatasi kendala deregulasi, di antaranya melalui digitalisasi total perizinan dengan integrasi pusat dan daerah. Hal ini mewajibkan penggunaan dan penguatan OSS.

    Dia juga menyarankan moratorium aturan baru, kecuali yang benar-benar mendukung investasi atau perlindungan publik.

    Tak hanya itu, dibutuhkan menyisir dan memangkas ribuan aturan yang tidak relevan lagi. Penguatan lembaga koordinasi deregulasi di bawah Presiden agar tiap kementerian/daerah tidak jalan sendiri.

    “Dibutuhkan pula dialog reguler dengan dunia usaha. Setiap regulasi baru harus melalui uji konsultasi dengan asosiasi bisnis,” terangnya.

    Sementara itu, Ekonom dan Peneliti di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teuku Riefky menegaskan deregulasi ini sangat penting karena dibutuhkan para pelaku usaha.

    Menurutnya deregulasi yang dibutuhkan oleh para pelaku meliputi sistem peraturan perdagangan, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang masih harus disimplifikasi.

    Selain itu, dia juga menambahkan peraturan perizinan investasi yang masih kompleks, bukan hanya dari sisi deregulasi dan peraturan baru tetapi juga dari sisi penegakan, pasar gelap hingga premanisme mendesak diselesaikan 

    “Tentunya apabila deregulasi berjalan dengan baik, investasi meningkat, perdagangan meningkat, akan meningkatkan aktivitas ekonomi dan akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

    Menurutnya pentingnya deregulasi ini juga tidak sepenuhnya berkaitan dengan perang perang tetapi juga menyangkut aspek struktural produktivitas domestik.

  • Ketimpangan dan Sumbu Pendek Bangsa
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 September 2025

    Ketimpangan dan Sumbu Pendek Bangsa Nasional 3 September 2025

    Ketimpangan dan Sumbu Pendek Bangsa
    Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com – Instagram: @ikhsan_tualeka

    Ketimpangan yang terus melebar membuat bangsa ini rapuh. Percikan kecil saja bisa memicu ledakan sosial.

    KESENJANGAN
    di Indonesia bukan sekadar angka di laporan lembaga internasional. Ia nyata, hidup, dan terasa sehari-hari.
    Data Oxfam —konfederasi internasional yang berbasis di Inggris— beberapa tahun lalu menyebut, hanya 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari separuh kekayaan nasional.
    Sementara laporan Bank Dunia juga menegaskan bahwa Indonesia masih menghadapi tingkat ketimpangan tinggi, meskipun angka kemiskinan menurun.
    Senada, laporan Global Wealth Report 2018 yang mencatat, 1 persen orang terkaya Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional. Jika persentasenya dinaikkan menjadi 10 persen orang terkaya, akumulatif mereka menguasai 75,3 persen nilai kekayaan Indonesia.
    Terbaru, pada Maret 2024, data mereka menunjukkan rasio gini Indonesia berada pada angka 0,379—terendah dalam satu dekade.
    Namun, situasi ini sesungguhnya paradoks. Sebab, di tengah penurunan rasio gini, kelompok ultra kaya justru mencatat pertumbuhan kekayaan.
    Hal ini jauh lebih pesat dibanding pertumbuhan PDB nasional (163 persen berbanding 57 persen dalam 10 tahun terakhir). Dengan kata lain, jurang ketimpangan tetap melebar, hanya permukaannya saja yang terlihat sedikit lebih rata.
    Ketimpangan semakin memburuk, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan stabilitas sosial dan ekonomi jangka panjang. Sebab, pertumbuhan ekonomi kita belum benar-benar merata atau jauh dari inklusif.
    Namun, ketimpangan sebenarnya bukan hanya soal harta. Ia adalah soal rasa: rasa ditinggalkan, rasa tidak dihiraukan, dan rasa diperlakukan tidak adil.
    Ketika kesenjangan ekonomi berpadu dengan jarak sosial dan politik, lahirlah kondisi masyarakat yang rentan, mudah tersulut, dan bersumbu pendek.
    Elite politik dan ekonomi sering kali gagal membaca denyut ini. Minimnya empati memperlebar jarak antara mereka yang berkuasa dengan rakyat yang berjuang demi hidup sehari-hari.
    Dalam teori
    deprivasi relatif
    Ted Robert Gurr, konflik sosial sering lahir bukan dari kemiskinan absolut, melainkan dari perasaan adanya ketidakadilan—bahwa orang lain mendapatkan lebih, sementara dirinya tertinggal. Perasaan inilah yang membentuk bara sosial.
    Kondisi ini diperparah oleh ekosistem media sosial yang mempercepat sirkulasi emosi publik. Pesan marah, protes, atau kebencian dapat menyebar ribuan kali dalam hitungan jam, membentuk opini kolektif yang panas.
    Teori frustrasi-agresi dalam psikologi sosial menjelaskan, ketika aspirasi tidak terpenuhi, frustrasi akan mencari saluran, sering kali berupa tindakan agresif.
    Fenomena ini terlihat dalam sejumlah peristiwa di Indonesia. Gelombang demonstrasi mahasiswa dan ojek online di Jakarta baru-baru ini, misalnya, menunjukkan betapa cepat kemarahan publik meluas setelah kasus tragis terlindasnya ojek online oleh mobil aparat.
    Di kawasan timur Indonesia, ketimpangan dengan wilayah barat melahirkan luka politik yang lebih dalam. Di Papua, perasaan terpinggirkan yang berakar pada sejarah panjang ketidakadilan kerap memicu protes yang berujung ricuh.
    Di Ambon, kita pernah menyaksikan bagaimana sentimen agama yang diperparah ketimpangan ekonomi berubah menjadi konflik komunal pada akhir 1990-an.
    Bahkan hingga hari ini, sama dengan Papua, masih ada aspirasi untuk merdeka, atau setidaknya meminta referendum.
    Semua contoh ini menegaskan bahwa masih rapuhnya kohesi sosial kita ketika rasa adil tidak terpenuhi, atau diabaikan.
    Konflik di Indonesia bukan hanya vertikal—antara rakyat dan negara—tetapi juga horizontal, antarwarga sendiri.
     
    Ralf Dahrendorf sudah lama mengingatkan: dalam setiap masyarakat terdapat relasi kuasa yang timpang, dan ketika ketimpangan itu tidak dikelola dengan distribusi yang adil, ketegangan menjadi tak terelakkan, kapan saja bisa mengemuka.
    Indonesia dahulu dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi gotong royong dan toleransi. Namun kini, nilai-nilai itu tergerus oleh kesenjangan dan polarisasi. Jika sumbu sosial semakin pendek, percikan kecil saja bisa memicu ledakan.
    Dalam konteks ini, negara tidak boleh hanya hadir dengan jargon, melainkan dengan kebijakan nyata: distribusi pembangunan yang adil, perbaikan layanan publik, serta ruang partisipasi yang benar-benar adil dan terbuka kepada semua warga negara.
    Amartya Sen dalam gagasannya
    development as freedom
    menekankan, pembangunan sejati bukan hanya pertumbuhan angka ekonomi, melainkan pelebaran kebebasan dan kesempatan hidup yang setara bagi semua.
    Jika kebebasan dan keadilan ini gagal diwujudkan, ketimpangan akan terus menjadi sumber konflik laten.
    Generasi muda Indonesia saat ini adalah kelompok yang penuh energi. Energi karena bonus demografi ini bisa menjadi motor perubahan positif jika diberi ruang produktif.
    Namun, jika dibiarkan dalam ruang sempit ketidakadilan, ia bisa berubah menjadi api yang membakar.
    Tanda-tanda ketidakpuasan politik itu kini kian jelas. Fenomena tagar #IndonesiaGelap, slogan Kabur aja dulu, hingga masifnya bendera-bendera Jolly Roger menjelang 17 Agustus, sesungguhnya adalah ekspresi simbolik dari rakyat yang letih, frustrasi, dan kehilangan arah.
    Itu bukan sekadar ekspresi kultural, melainkan alarm keras, peringatan dini bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Kondisi mengkhawatirkan.
    Pada akhirnya, bangsa ini tidak akan runtuh karena kemiskinan, tetapi karena hilangnya rasa keadilan. Ketimpangan yang terus dibiarkan akan menjadi api dalam sekam—diam-diam membakar fondasi kebangsaan.
    Elite politik boleh saja bersembunyi di balik data statistik atau jargon stabilitas, tetapi rakyat membaca kenyataan dengan mata telanjang: harga-harga yang tak terjangkau, peluang yang terasa semakin sempit, dan kebijakan yang kerap lebih berpihak pada segelintir orang/oligarki.
    Kemarahan publik yang kini muncul dalam bentuk simbol-simbol perlawanan—dari tagar digital hingga bendera Jolly Roger di jalanan—seharusnya tidak diremehkan.
    Sekali lagi, itu adalah bahasa lain dari rakyat untuk mengatakan kepada elite bahwa kepercayaan telah menipis.
    Jika para pemimpin negeri ini masih menutup mata, sejarah telah berkali-kali menunjukkan: bangsa yang rapuh karena ketidakadilan akan diguncang oleh letupan yang lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan sebelumnya.
    Indonesia masih punya pilihan: menempuh jalan keadilan, atau membiarkan diri berjalan di atas sumbu pendek yang setiap saat bisa meletup dan menyala.
    Sebab, bangsa yang besar bukan diukur dari berapa lama ia bisa menahan ketegangan, melainkan seberapa cepat ia mampu mengubah ketidakadilan menjadi kesempatan. Mewujudkan kesejahteraan bagi semua, tak ada yang tertinggal.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pengusaha Usul Longgarkan Pajak demi Ringankan Beban Wong Cilik

    Pengusaha Usul Longgarkan Pajak demi Ringankan Beban Wong Cilik

    Jakarta

    Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Akbar Himawan Buchari menilai pemerintah perlu memberikan dukungan kepada wong cilik. Salah satunya dengan melonggarkan pajak untuk menstabilkan ekonomi.

    Saat ini, pemerintah, pengusaha, dan masyarakat harus benar-benar satu visi, yakni menstabilkan ekonomi nasional. Sebab itu, kebijakan yang dirasa memberatkan rakyat perlu mendapatkan perhatian serius.

    Menurutnya, pengetatan pajak menjadi dilematis. Di satu sisi, pemerintah butuh penerimaan untuk membiayai kebutuhan negara. Di sisi lain, masih banyak pengusaha UMKM yang membutuhkan dukungan pemerintah untuk menstabilkan bisnisnya.

    Akbar berharap pemerintah memperpanjang tarif Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5% bagi UMKM yang akan berakhir akhir tahun ini. Tujuannya, menebar keadilan bagi wajib pajak yang patuh aturan.

    “Kami berharap Pemerintah melonggarkan aturan ini sampai ekonomi stabil. Lagipula, pengusaha UMKM selalu taat aturan. Jangan sampai, aturan ini justru mengikis fundamental UMKM,” pinta Akbar dalam keterangan tertulis, Selasa (2/9/2025).

    Selain itu, dia juga berharap tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diturunkan dari 11% menjadi 10%. Langkah ini semata-mata untuk mengurangi beban masyarakat kecil sesuai dengan prioritas Presiden Prabowo Subianto yang ingin menyejahterakan rakyat kecil.

    Dengan kontribusi sekitar 54-55% dari total Produk Domestik Bruto (PDB), konsumsi rumah tangga harus dijaga sehingga pertumbuhan ekonomi nasional tetap terjaga.

    “Dengan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi saat ini, Pemerintah harus meringankan beban rakyat. Jangan sampai kelas menengah ke bawah justru takut membelanjakan uangnya,” pesan Akbar.

    Dia juga meminta agar pemerintah pusat berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah (Pemda) soal Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Meski tidak bisa membatalkan aturan tersebut, pemerintah pusat bisa memberi pandangan bahwa kebijakan itu tidak tepat saat ini.

    “Ada sejumlah daerah yang PBB-nya naik lebih dari 100%. Menurut saya, ini perlu dievaluasi dengan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat,” tutupnya.

    (ily/ara)

  • Pengusaha Minta Pemerintah Buka Dialog dengan Rakyat

    Pengusaha Minta Pemerintah Buka Dialog dengan Rakyat

    Jakarta

    Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Akbar Himawan Buchari berpesan agar seluruh pihak menahan diri.

    Akbar juga meminta pemerintah dan DPR membuka ruang dialog dengan masyarakat untuk menghindari meluasnya aksi unjuk rasa yang berujung anarkisme.

    Menurutnya, dengan pemerintah membuka ruang dialog bersama masyarakat, kekecewaan publik bisa terobati.

    “Dengan kerendahan hati, kami meminta agar penyelenggara negara membuka ruang dialog, duduk bersama dengan masyarakat,” ujar Akbar dalam keterangan tertulis, Minggu (31/8/2025).

    Akbar juga mengimbau agar seluruh elemen bangsa mengedepankan semangat nasionalisme demi mensejahterakan masyarakat.

    “Saat ini ekonomi dunia sedang tidak baik-baik saja. Pertahanan terbaik kita adalah penguatan ekonomi domestik. Sehingga kita semua harus bekerja sama,” katanya.

    Akbar turut menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya Affan Kurniawan yang terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob. Namun ia khawatir jika kondisi ini terus berlangsung, maka ekonomi nasional akan terkena dampaknya.

    “Tentu kita turut berduka atas meninggalnya Adinda Affan. Kita juga harus sadar bahwa ekonomi mulai terkena imbasnya,” ucap Akbar.

    Menurutnya, kondisi ekonomi saat ini memang mengkhawatirkan. Data Bank Indonesia (BI) mencatat aliran modal asing keluar dari pasar keuangan domestik mencapai Rp 250 miliar pada periode 25-28 Agustus 2025.

    Kabar tak sedap juga datang dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pada penutupan pekan ini, IHSG melemah 1,53% atau kehilangan 121 poin ke level 7.830,49. Bahkan dalam sehari, market cap bursa saham Indonesia menguap Rp 195 triliun.

    “Begitu juga dengan rupiah yang ikut melemah. Jika tidak segera disudahi, dampak terhadap ekonomi akan semakin parah,” pungkas Akbar.

    (rrd/rrd)

  • Noel, dari Ojol ke Wamenaker, lalu Jatuh di Tikungan Kekuasaan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        22 Agustus 2025

    Noel, dari Ojol ke Wamenaker, lalu Jatuh di Tikungan Kekuasaan Nasional 22 Agustus 2025

    Noel, dari Ojol ke Wamenaker, lalu Jatuh di Tikungan Kekuasaan
    Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com – Instagram: @ikhsan_tualeka
    KABAR
    penangkapan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer atau Noel oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terasa pahit. Bagi publik, mungkin ini sekadar cerita pejabat yang lagi-lagi terseret kasus hukum.
    Namun bagi saya, kabar itu punya makna berbeda: ironi hidup dari seorang yang pernah saya kenal —meski tak begitu dekat, sekaligus potret getir perjalanan seorang aktivis yang menembus kekuasaan, tapi tersandung di jalan berliku.
    Saya mengenal Noel ketika sama-sama terlibat atau menginisiasi Muda-Mudi Ahok, inisiatif anak mendorong Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) maju lewat jalur independen dalam perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017.
    Gerakan itu akhirnya bubar karena Ahok lebih memilih maju lewat jalur koalisi partai politik. Namun dari situ saya melihat Noel tampil dengan semangat berapi-api, berani ikut melawan arus politik mapan.
    Ia vokal, bahkan kadang kontroversial. Namun, di balik itu saya melihat idealisme yang kuat.
    Saya juga tahu, seperti juga aktivis lainnya di Ibu Kota, jalan hidup Noel tak pernah mudah. Jakarta adalah kota yang keras. Ia pernah jatuh, merasakan getirnya hidup sampai harus menjadi pengemudi ojek online untuk sekadar bertahan.
    Itu adalah fase hidup yang mestinya menumbuhkan empati lebih dalam, sekaligus mengingatkan betapa beratnya perjuangan menapaki jalan menuju posisi terhormat di negeri ini, menjadi pejabat negara.
    Ketika Noel akhirnya masuk atau mendapat tempat di lingkaran kekuasaan, menjabat Wakil Menteri Ketenagakerjaan, saya bayangkan itu sebagai buah perjalanan dan perjuangan panjang penuh liku.
    Dari seorang aktivis jalanan, yang sempat hidup pas-pasan, hingga akhirnya masuk kabinet. Namun, justru di situlah jebakan sesungguhnya. Jabatan membawa fasilitas, protokoler, dan kuasa yang kadang membuat orang lupa daratan.
    Kini Noel ditangkap KPK. Apakah benar ia melakukan pemerasan, ataukah ada operasi politik di balik OTT ini, akan kita lihat bersama. Prinsip praduga tak bersalah harus tetap dikedepankan.
    Apapun hasilnya nanti, kasus ini memberi pelajaran penting—bukan hanya untuk Noel, tetapi untuk seluruh aktivis yang kini berada di lingkaran kekuasaan, maupun yang bakal masuk kekuasaan.
    Banyak kita saksikan, aktivis yang setelah mendapat jabatan justru berubah. Mereka lupa akar perjuangan, lupa hari-hari sederhana yang dulu mereka jalani. Padahal, identitas aktivis bukan bisa dicopot atau dipakai sesuka hati.
    Menjadi aktivis itu sesungguhnya adalah panggilan moral, yang seharusnya tetap hidup dan melekat, meski sudah duduk di kursi empuk kekuasaan.
    Menjadi pejabat seharusnya tidak membuat seorang berlatar aktivis kehilangan orientasi. Justru pengalaman di jalanan, bersama rakyat kecil, mestinya menjadi kompas moral untuk memandu diri dalam menjalankan jabatan.
    Namun, justru yang seringkali terjadi adalah sebaliknya: jabatan malah menjauhkan mereka dari rakyat, membuat mereka larut dalam fasilitas, lupa darimana mereka berasal. Seakan mereka balas dendam atas kesulitan hidup di masa lalu.
    Noel mungkin hanya salah satu contoh. Kasusnya harus menjadi alarm keras bagi aktivis-aktivis lain. Jangan sampai mereka terseret pola yang sama: idealisme tinggi ketika di luar, tapi rapuh begitu berada di dalam.
    Di sisi lain, publik juga berhak mengkritisi KPK. Lembaga antirasuah ini lahir dengan harapan besar sebagai benteng melawan korupsi. Namun, kini kerap dipersepsikan lemah, tidak lagi sekuat dulu.
    Karena itu, setiap langkah dan upaya KPK harus benar-benar transparan dan akuntabel.
    OTT terhadap Noel harus dipastikan berjalan dalam koridor dan skema penegakan hukum yang jelas, sehingga tak dipersepsikan sebagai alat politik.
    Sesuatu yang beralasan, apalagi bila melihat ada pejabat sekelas menteri yang sudah bolak-balik diperiksa aparat penegak hukum malah mandek kasusnya. Kasus Firli Bahuri mantan Ketua KPK yang sudah jadi tersangka pun hilang ditelan bumi.
    Itu artinya, bila KPK hanya dianggap instrumen kekuasaan atau kompatriot oligarki untuk menyingkirkan lawan atau mengendalikan sekutu, kepercayaan publik akan semakin runtuh.
    Noel mungkin salah langkah, khilaf karena terlena, atau barangkali ia adalah korban. Namun, apapun kebenarannya nanti, kisah ini adalah pengingat pahit bahwa politik Indonesia masih penuh jebakan.
    Bahwa garis antara idealisme dan pragmatisme sangat tipis. Bahwa siapapun, bahkan seorang aktivis yang pernah hidup sederhana dan berjuang keras, bisa jatuh bila kehilangan pegangan moral.
    Saya tidak menulis ini untuk membela Noel. Saya ingin menekankan bahwa kasus ini adalah refleksi kolektif. Bagi publik, agar tidak cepat melupakan bahwa para pejabat kita adalah manusia dengan segala keterbatasannya.
    Bagi aktivis, agar tetap sadar dari mana mereka berasal, dan tidak membiarkan kekuasaan menggerus idealisme.
    Dan bagi KPK, dan aparat penegak hukum lainnya agar bekerja dengan penuh integritas, sehingga tidak dipersepsikan sebagai tangan kekuasaan dan oligarki.
    Noel mungkin akan dikenang dengan kontroversinya, dengan keberaniannya, juga dengan kejatuhannya.
    Namun, setidaknya kisahnya memberi kita pelajaran: bahwa perjuangan (aktivis) tidak berhenti di jalanan, dan ujian sesungguhnya justru datang ketika seseorang sudah diberi atau berada di dalam lingkaran kekuasaan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.