Institusi: Dewan Pers

  • Mematut Wartawan Indonesia

    Mematut Wartawan Indonesia

    loading…

    Jamalul Insan, Anggota Dewan Pers 2019-2022. Foto/Dok

    Jamalul Insan
    Anggota Dewan Pers 2019-2022

    DI SEJUMLAH grup perbincangan WhatsApp komunitas wartawan dan pers beberapa hari lalu ramai mengomentasi sebuah flyer iklan penawaran untuk bergabung menjadi wartawan. Lengkapnya berbunyi, “Mari bergabung bagi yang berminat menjadi wartawan resmi di https://……. dapat mendaftar dengan syarat foto KTP, pas foto, bayar iuran Rp100.000 setahun sekali.

    Fasilitas yang diperoleh berupa kartu pers, surat tugas, nama tercantum di boks redaksi, dan mendapat akun penulis di situs tersebut. Mengomentari iklan ini, umumnya mempertanyakan “koq sebegitu mudahnya untuk menjadi wartawan – profesi yang konon dianggap memikul beban mendidik publik.

    Membandingkan pengalaman para wartawan senior di media cetak dan elektronik, bagaimana sulitnya untuk meraih sebutan reporter – setelah lulus menjalani calon reporter (carep), apalagi nama masuk dalam boks redaksi. Begitupun reporter di televisi untuk dapat menyebutkan namanya sebagai pereportase di akhir berita, harus menempuh beberapa tahun. Tidak ada yang ujug-ujug muncul dengan mudah tanpa proses yang harus dilalui.

    Tidak dapat disangkal, penawaran dalam iklan tersebut menambah deretan cerita panjang kawan-kawan wartawan di sejumlah daerah. Bahwa dalam beberapa tahun terakhir makin banyak “wartawan tiban” yang muncul tiba-tiba dan sekonyong-konyong tanpa jejak yang jelas.

    Mulai dari seorang bekas penambal ban, pemilik toko kelontong, penjaga parkir, loper koran, kenek angkutan umum tiba-tiba mengaku jadi wartawan, bahkan tidak tanggung-tanggung menjabat pemimpin redaksi. Ini realitas yang terjadi.

    Pembajak Kemerdekaan Pers
    Saat ini banyak orang dan kelompok yang hanya mau mengambil ‘berkah’ reformasi – yakni kemudahan membuat media tanpa harus memiliki SIUP (surat izin usaha penerbitan pers), namun tanpa mau menjalankan kewajiban yang menyertainya. Banyak ditemukan media dibuat oleh orang-orang yang jauh dari kompetensinya, sehingga dalam kerjanya sama sekali tidak mencerminkan sebagai sebuah kerja jurnalistik.

    Sistem Pers Indonesia dibangun di atas sistem yang kuat dengan adanya Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang memberikan kewenangan terhadap masyarakat pers untuk mengurus dirinya sendiri, tanpa intervensi. Sayangnya, kebebasan yang diberikan terhadap pers cenderung dipergunakan oleh para pelaku jurnalisme kepentingan.

    Sejak reformasi, pertumbuhan media yang bak jamur di musim penghujan tidak berbanding lurus dengan kualitas pers yang baik dan kuat. Banyak media yang mengklaim sebagai media pers hanya menjamu kepentingan kelompok tertentu atau hanya sekadar menjadi penampung rilis-rilis lembaga atau instansi pemerintah, bahkan digunakan untuk menyerang dan menekan pihak tertentu.

    Dengan demikian, media kita tumbuh tanpa memiliki kultur skeptis dan kritis. Padahal, wartawan memegang peranan penting dalam menciptakan masyarakat yang terinformasi dan kritis. Sayangnya, tidak sedikit individu yang mengaku sebagai wartawan tetapi tidak menjalankan tugas sesuai Kode Etik Jurnalistik, sehingga menimbulkan berbagai persoalan, mulai dari penyebaran informasi yang tidak akurat hingga pelanggaran hukum.

  • Kades Kohod Arsin Gugat Media, Tuduh Sebar Hoaks
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        12 Februari 2025

    Kades Kohod Arsin Gugat Media, Tuduh Sebar Hoaks Megapolitan 12 Februari 2025

    Kades Kohod Arsin Gugat Media, Tuduh Sebar Hoaks
    Editor
    TANGERANG, KOMPAS.com
    – Kepala Desa (Kades) Kohod telah melaporkan beberapa media ke Dewan Pers atas dugaan pemeberitaan menyeret namanya yang dianggap fitnah dan hoaks.
    Kuasa hukum
    Kades Kohod Arsin
    , Yuniar berujar, tak menyebutkan sejumlah media yang dilaporkan ke Dewan Pers karena dianggap berita bohong itu.
    “Saya lupa jumlahnya, nanti saya coba tanya lagi ke tim. Tapi lebih dari satu. Yang jelas, dari pemberitaannya itu fitnah dan hoaks,” ujar Yuniar kepada Kompas.com, Rabu (12/2/2025).
    Yuniar mengatakan, laporan ini dibuat karena kliennya merasa dirugikan oleh pemberitaan yang beredar.
    Menurutnya, Arsin tidak diberi kesempatan untuk melakukan klarifikasi sebelum berita-berita tersebut dipublikasikan.
    “Klien kami memahami, dunia medsos hari ini kan hakim paling tinggi. Jadi kalau diklarifikasi, sepertinya tidak akan berpengaruh juga,” ujar Yuniar.
    “Maka, beliau cenderung diam. Diam bukan berarti pasrah, tapi tidak mau memperumit,” sambung Yuniar.
    Meski demikian, Yuniar memastikan bahwa Arsin tetap mengikuti semua proses hukum yang sedang berjalan terkait kasus yang menyeret namanya.
    “Proses hukum sudah berjalan, dan di ruang-ruang itu beliau ikuti dan penuhi,” ucapnya.
    Selain melaporkan media ke Dewan Pers, Yuniar mengaku pihaknya belum membawa kasus ini ke ranah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
    “Untuk laporan ITE-nya, maksudnya ke person-person belum. Tetapi, kami duga itu kan media, ya, media online. Itu sudah kami laporkan ke Dewan Pers,” jelasnya.
    Hingga kini, tim dari Kades Kohod Aris masih mengumpulkan bukti tambahan sebelum memutuskan langkah hukum selanjutnya.
    Pihaknya ingin memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil memiliki dasar yang kuat.
    (Reporter: Intan Afrida Rafni | Editor: Akhdi Martin Pratama)
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kapolres Pamekasan: Wartawan Tidak Bisa Dipidana, Selama…

    Kapolres Pamekasan: Wartawan Tidak Bisa Dipidana, Selama…

    Pamekasan (beritajatim.com) – Kapolres Pamekasan, AKBP Hendra Eko Triyulianto menegaskan jika wartawan atau jurnalis tidak dapat dipidana, selama mereka melaksanakan tugas sesuai dengan Undang-undang (UU) dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

    Hal tersebut disampaikan dalam Workshop dan Kerjasama Literasi Media Antara Diskominfo Pamekasan, bersama Dewan Pers dan Wartawan Pamekasan, di Mandhapa Aghung Ronggosukowati, Jl Pamong Praja Nomor 1 Pamekasan, Rabu (12/2/2025).

    Workshop tersebut dihadiri Wakil Ketua Dewan Pers, Muhamad Agung Dharmajaya bersama Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers, Totok Suryanto, jajaran Forkopimda Pamekasan, Camat, Kades/Lurah, perwakilan organisasi wartawan, serta sejumlah undangan lainnya.

    Dalam kesempatan tersebut, Kapolres AKBP Hendra Eko Triyulianto menyampaikan beberapa regulasi yang menjadi dasar penting, di antaranya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, termasuk Memorandum of Understanding (MoU) antara Polri bersama Dewan Pers.

    “Dalam ketentuan Pasal 8 ada poin yang memberikan perlindungan mendasar, menyeluruh dan profesional terhadap profesi wartawan. Artinya wartawan tidak dapat dipidana selama melaksanakan kegiatan (tugas) sesuai undang-undang dan kode etik jurnalistik,” kata Kapolres Pamekasan, AKBP Hendra Eko Triyulianto.

    Termasuk juga adanya potensi kriminalisasi terhadap wartawan juga bisa terjadi seiring dengan adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). “Oleh karena itu, kami memastikan jurnalis yang sedang melaksanakan tugas jurnalistik tidak akan pernah bisa dipidana,” ungkapnya.

    “Tentunya selama rekan-rekan wartawan melaksanakan tugas sesuai undang-undang dan kode etik jurnalistik, termasuk peraturan turunan seperti peraturan Dewan Pers, dan berbagai regulasi lainnya,” sambung AKBP Hendra Eko Triyulianto.

    Selain itu, pihaknya juga menceritakan seputar wartawan ‘abal-abal’ yang terkadang menjalankan tugas jauh diluar etika profesi. “Mereka ini merupakan oknum yang menggunakan pola kerja jurnalistik (media) demi keuntungan pribadi, bisa dengan cara ancaman menulis berita seputar kasus dan bahkan memeras sumber berita,” jelasnya.

    “Selain itu juga ada banyak modus yang biasa mereka praktikan saat melaksanakan tugas di lapangan. Bahkan kami pernah mendapatkan oknum wartawan yang masuk ke Mapolres tanpa mengenakan helm, ya tolong lah, pakai helm,” imbuhnya, menyindir.

    Tidak hanya itu, pihaknya juga menyampaikan beberapa poin penting seputar kewajiban pers. Di antaranya berbadan hukum dan harus memberikan hak jawab, hingga kewajiban melakukan cek dan ricek dalam penyebaran informasi.

    “Melalui kesempatan ini kami juga ingin menyampaikan bahwa kami siap dikoreksi, dan sekaligus minta tolong untuk bersama-sama memberikan solusi guna mewujudkan kondisi kamtibmas di Pamekasan,” pungkasnya. [pin/beq]

  • Dewan Pers Ingatkan Profesionalitas dengan Taat KEJ

    Dewan Pers Ingatkan Profesionalitas dengan Taat KEJ

    Pamekasan (beritajatim.com) – Dewan Pers mengingatkan agar para insan pers harus selalu bersikap profesional dan proporsional dengan selalu menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

    Hal tersebut disampaikan Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers, Totok Suryanto dalam Workshop dan Kerjasama Literasi Media Antara Diskominfo Pamekasan, bersama Dewan Pers dan Wartawan Pamekasan, di Mandhapa Aghung Ronggosukowati, Jl Pamong Praja Nomor 1 Pamekasan, Rabu (12/2/2025).

    “Selama ini sering kami sampaikan dalam berbagai kesempatan, dan perlu kami kembali ingatkan, jangan jangan sampai pers menjadi tidak profesional dan meninggalkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dalam menyampaikan informasi kepada publik,” kata Totok Suryanto.

    Dalam kesempatan pihaknya juga menyampaikan beberapa poin dalam KEJ, di mana seorang wartawan harus selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

    “Dalam Kode Etik Jurnalistik, menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Dan posisi wartawan itu harus berada di tengah, serta selalu menjunjung asas keadilan,” ungkapnya.

    Lebih lanjut disampaikan jika selama ini pihaknya selalu mendapatkan pengaduan dari publik seputar prilaku oknum wartawan yang tidak bertanggungjawab. “Terlepas dari berbagai persoalan ini, wartawan profesional itu jauh lebih banyak dibanding wartawan tidak profesional,” tegasnya.

    “Tidak kalah penting juga perlu kami tegaskan, jika wartawan atau jurnalis itu bekerja untuk kemuliaan jurnalistik, dan lebih mengedepankan pada kepentingan rakyat,” pungkasnya. [pin/but]

  • Di Hadapan Dewan Pers dan Wartawan, Pj Bupati Pamekasan: Kami Tidak Anti Kritik

    Di Hadapan Dewan Pers dan Wartawan, Pj Bupati Pamekasan: Kami Tidak Anti Kritik

    Pamekasan (beritajatim.com) – Pj Bupati Pamekasan, Masrukin menegaskan institusi yang dipimpinnya tidak anti kritik dan selalu berharap kritik konstruktif demi pengembangan pembangunan di wilayah setempat.

    Hal tersebut disampaikan dalam Workshop dan Kerjasama Literasi Media Antara Diskominfo Pamekasan, bersama Dewan Pers dan Wartawan Pamekasan, di Mandhapa Aghung Ronggosukowati, Jl Pamong Praja Nomor 1 Pamekasan, Rabu (12/2/2025).

    “Alhamdulillah saat ini kita ditakdirkan silahturahmi dalam keadaan sehat, insya’ Allah penuh barokah dan rizki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, termasuk kehadiran jajaran Dewan Pers Nasional di Pamekasan. Hal ini menunjukkan Pamekasan penuh dengan dinamika,” kata Masrukin.

    Hadir dalam kegiatan ini, Wakil Ketua Dewan Pers, Muhamad Agung Dharmajaya dan Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers, Totok Suryanto.

    Kegiatan tersebut diharapkan dapat memberikan edukasi dan penambahan wawasan bagi semua pihak, khususnya bagi para stakeholder di Pamekasan. Mulai dari perwakilan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pamekasan, Camat, Kepala Desa atau Lurah se-Pamekasan.

    “Seperti diketahui, saat ini dunia literasi khususnya di Pamekasan sudah berkembang cepat. Sehingga perlu adanya sinergi yang tidak bisa diputus untuk mengembangkan literasi dan jurnalistik,” lanjut Pj Bupati.

    Melalui kesempatan tersebut, pihaknya juga sangat bertatap melalui kegiatan tersebut dapat memberikan edukasi bagi semua pihak untuk memahami seputar karakteristik dunia pers. “Karena itu sangat penting kita membangun sinergi, tapi kalau tidak dibangun simbiosis mutualisme nantinya bisa bias, salah paham, viral dan pada akhirnya tidak valid,” imbuhnya.

    “Sebagai bagian dari masyarakat, kami tidak bisa menyendiri. Sebab kami meyakini jika arus informasi saat ini tidak bisa dibendung dengan apa pun, sehingga dibutuhkan kebijaksanaan dari penerima informasi seiring dengan derasnya informasi. Terlebih di era seperti saat ini sudah ada istilah; No Viral No Justice,” sambung Masrukin.

    Maka dari itu pihaknya sangat mengapresiasi atas kehadiran Dewan Pers Nasional, sekaligus diharapkan dapat memberikan informasi positif bagi jajarannya. “Memang kami selalu ingin informasi yang positif, tapi kita tidak kebal dan tidak menolak atas berbagai masukan kritis, sehingga media memiliki peran sentral dalam memicu ini,” jelasnya.

    “Kehadiran Dewan Pers ini tentunya sangat berarti bagi kami, sehingga dapat memberikan edukasi penting bagi kami termasuk bagi rekan-rekan media. Sebab selama ini kami selalu terbuka atas berbagai kritik, dan selama ini kami selalu welcome,” imbuhnya.

    Tidak hanya itu, pihaknya juga mengakui jika selama ini angka ujian di bawah kepemimpinannya berkisar di angka 10 persen, selebihnya merupakan kritikan. “Kritik ini ada yang membangun, dan ada juga kritik dengan tujuan lain, apalagi kritik ini tidak bisa kita larang,” tegasnya.

    “Dengan adanya workshop ini, dapat terjalin sinergi dan dapat memperkuat kemitraan. Kami ingin menciptakan hubungan baik, profesional dan proporsional, dan pasca ini kita harapkan ada perubahan komunikasi antara kita,” pungkasnya. [pin/ian]

  • Kebijakan Efisiensi Prabowo: TVRI dan RRI Rumahkan Kontributor

    Kebijakan Efisiensi Prabowo: TVRI dan RRI Rumahkan Kontributor

    Jakarta (beritajatim.com) – Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menuai polemik.

    Salah satu imbasnya adalah pemutusan hubungan kerja terhadap 15 kontributor TVRI Sulawesi Tengah (Sulteng). Keputusan ini memicu kritik tajam dari berbagai organisasi pers yang tergabung dalam Rumah Jurnalis.

    Ketua AJI Palu, Agung Sumandjaya, menilai langkah perampingan tenaga kontributor TVRI Sulteng sangat memprihatinkan. “Seharusnya lembaga penyiaran publik yang berfungsi untuk menyediakan informasi kepada masyarakat tidak menjadi sasaran efisiensi anggaran, apalagi jika menyangkut gaji para jurnalis,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Senin (10/2/2025) dilansir suara.com jaringan beritajatim.com.

    Efisiensi Anggaran Dinilai Berdampak Pada Hak Ekonomi Jurnalis
    Agung juga menyoroti kebijakan efisiensi anggaran yang lebih difokuskan untuk mendukung program unggulan Prabowo, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Menurutnya, kebijakan tersebut tidak seharusnya mengorbankan kesejahteraan jurnalis yang bekerja sebagai kontributor.

    “Kalau orang tuanya tidak mendapat penghasilan, bagaimana anak-anak mereka bisa mendapatkan makanan bergizi? Ini sangat ironis,” tegasnya.

    Kebebasan Pers Dikhawatirkan Tercederai
    Mitha Meinansi, Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulteng, menyatakan bahwa kebijakan pemerintah ini secara tidak langsung mencederai marwah kemerdekaan pers.

    “Sangat tidak adil jika lembaga seperti TVRI dan RRI terkena dampak efisiensi anggaran, sementara lembaga seperti DPR RI tidak merasakan dampaknya. Kebebasan pers bisa terancam karena jurnalis tidak lagi bisa bekerja sesuai dengan amanat UU Nomor 40 Tahun 1999,” ujarnya dengan nada tegas

    Direktur Utama TVRI Bantah PHK Massal
    Menanggapi kabar tersebut, Direktur Utama TVRI, Iman Brotoseno, membantah adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal terhadap karyawan TVRI. “Mana bisa ASN di-PHK?” katanya dalam keterangan resmi.

    Menurut Iman, penghentian pemakaian jasa kontributor bersifat sementara dan merupakan kebijakan masing-masing TVRI Daerah. “Kontributor itu sifatnya freelance, kalau beritanya ditayangkan, baru dibayar dari anggaran daerah,” jelasnya dikutip dari antara..

    Ia juga menegaskan bahwa kebijakan efisiensi tidak menyentuh ASN-PNS atau PPPK. Namun, ada pekerja outsourcing seperti satpam, cleaning service, dan pengemudi yang terkena dampak. “Meski begitu, kru produksi tetap aman dari kebijakan ini,” tambahnya.

    RRI Ikut Merasakan Dampaknya
    Selain TVRI, RRI juga melakukan pengurangan tenaga kontrak secara massal di seluruh Indonesia. Bahkan, akun Instagram resmi @RRI_Semarang mengumumkan penonaktifan sementara pemancar AM 801 Khz dan FM 88,2 Mhz mulai 10 Februari 2025, dengan pendengar dialihkan ke kanal streaming RRI Digital.

    Dengan kondisi ini, koalisi pers berharap pemerintah mempertimbangkan ulang kebijakan efisiensi anggaran yang dapat merugikan sektor informasi publik. “Kami minta pemerintah mengedepankan kebijakan yang tidak mematikan semangat jurnalis dalam memberikan informasi yang berkualitas kepada masyarakat,” pungkas Agung Sumandjaya. (ted)

    Pernyataan Sikap

    Koalisi organisasi pers Sulteng yang tergabung dalam Rumah Jurnalis dan terdiri dari IJTI Sulteng, AJI Palu, PFI Palu dan AMSI Sulteng menyatakan sikap:

    1. Mendesak Pemerintah mengkaji kembali kebijakan efisiensi anggaran khusus bagi gaji para jurnalis berstatus kontributor, penyiar maupun pegawai kontrak lainnya di lembaga penyiaran publik;

    2. Mendorong agar lembaga penyiaran publik di daerah membuka ruang dialog guna mewujudkan keadilan serta menunjang pemenuhan hak-hak pekerja;

    3. Meminta agar hak-hak para pekerja kontributor, penyiar maupun pegawai kontrak yang dirumahkan diselesaikan sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan;

    4. Meminta agar efisiensi anggaran tidak diterapkan secara diskriminatif pada lembaga penyiaran publik, sehingga hak jurnalis untuk menjalankan tugas jurnalistik dan mewujudkan kebebasan pers tetap terlindungi;

    5. Menuntut Pemerintah Pusat dan DPR RI untuk lebih transparan dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan efisiensi anggaran, agar tidak merugikan pekerja di sektor vital seperti jurnalisme dan penyiaran publik;

    6. Mengajak seluruh elemen pers di Indonesia untuk bersolidaritas dan bersuara menolak kebijakan yang melemahkan keberlanjutan kerja jurnalistik di lembaga penyiaran publik;

    5. Mendorong Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers untuk ikut serta dalam upaya perlindungan jurnalis serta memastikan kebijakan efisiensi tidak bertentangan dengan prinsip kemerdekaan pers;

    6. Jika tuntutan ini tidak diindahkan, Koalisi Organisasi Pers Sulteng akan menggalang aksi solidaritas dan langkah advokasi lebih lanjut guna memperjuangkan hak-hak jurnalis dan pekerja di lembaga penyiaran publik.

     

  • HPN 2025 Dirayakan dengan Keprihatinan, Dunia Pers Hadapi Tantangan Besar

    HPN 2025 Dirayakan dengan Keprihatinan, Dunia Pers Hadapi Tantangan Besar

    PIKIRAN RAKYAT – Puncak Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2025 di Riau berlangsung meriah dengan kehadiran berbagai tokoh penting dari dunia pers, pemerintahan, dan masyarakat, Minggu (9/2/2025).

    Acara ini dihadiri oleh Kapolri yang diwakili oleh Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Sandi Nugroho, Pj Gubernur Provinsi Riau, Kapolda Riau Irjen Pol Mohammad Iqbal, Ketua DPRD dan pimpinan DPRD Provinsi Riau, tamu luar negeri, tokoh pers nasional, dan konstituen Dewan Pers.

    Hadir pula para tokoh pers nasional serta pengurus PWI Pusat dan daerah seperti Ketua Dewan Kehormatan Sasongko Tedjo, Ketua Dewan Penasehat PWI Ilham Bintang, Tribuana Said,Timbo Siahaan, Ketua PWI Riau Raja Isyam Aswar serta para Ketua PWI Daerah.

    Kondisi pers di Indonesia tidak baik-baik saja

    Ketua Umum PWI Pusat, Zulmansyah Sekedang, dalam sambutannya di Pekanbaru, menyampaikan bahwa kondisi pers di Indonesia saat ini tidak sedang baik-baik saja, begitu juga dengan PWI yang tengah menghadapi tantangan besar.

    “Tahun ini, perayaan HPN dirayakan dengan rasa prihatin. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini perayaan HPN tidak hanya digelar di Riau, tetapi juga di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dan Solo, Jawa Tengah. Realitas ini pahit akibat terjadinya perbedaan prinsip dalam penegakan integritas, yang membuat PWI tidak sedang baik-baik saja,” ujar Zulmansyah.

    Zulmansyah juga memohon maaf kepada seluruh insan pers yang terganggu oleh perpecahan dalam tubuh PWI. “Sejak PWI lahir pada 9 Februari 1946 dengan peristiwa heroik, ironisnya kali ini dirayakan dalam suasana yang berbeda prinsip,” katanya.

    Hal itu, lanjut dia, menandakan peringatan kali ini terasa sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

    Dalam pidatonya yang disampaikan melalui video, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menyampaikan bahwa Hari Pers Nasional adalah momen untuk merayakan keberanian, integritas, dan semangat juang insan pers Indonesia.

    “Pers bukan hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga penggerak perubahan. Di tengah gejolak zaman, pers harus tetap menjadi penjaga demokrasi,” kata Meutya Hafid.

    Ia juga menyampaikan selamat Hari Pers Nasional 2025 kepada seluruh insan pers di Indonesia. Marthen Selamet Susanto, Ketua Panitia HPN Riau 2025, menyampaikan apresiasi atas kerja keras dan kolaborasi semua pihak yang mendukung acara ini.

    “Peringatan HPN tahun ini bukan hanya untuk memperingati hari lahirnya PWI, tetapi juga untuk mempererat wawasan dan silaturahmi antara insan pers dan masyarakat. Dengan hadirnya lebih dari 1.500 orang, acara ini menjadi bukti bahwa kita semua berkomitmen untuk memajukan dunia pers di Indonesia,” ujar Marthen.

    Ia juga mengungkapkan rasa terima kasih kepada sponsor, panitia, serta semua pihak yang telah mendukung kelancaran acara ini.

    Semangat kolaborasi

    Marthen Selamet Susanto menutup sambutannya dengan mengingatkan pentingnya semangat kolaborasi untuk dunia pers yang lebih baik.

    “Acara ini merupakan hasil kerja keras kita semua. Tidak hanya sebagai ajang untuk memperingati HPN, tetapi juga untuk menguatkan kebersamaan di antara insan pers seluruh Indonesia. Semoga peringatan kali ini memberikan pesan kuat bahwa kita harus tetap bersatu dan mengedepankan integritas dalam setiap langkah kita,” tutupnya.

    Selama rangkaian peringatan HPN, berbagai acara penting telah digelar, termasuk Road to HPN di Jakarta dan seminar-seminar mengenai perkembangan dunia pers.

    “Kami berharap seluruh rangkaian acara ini dapat memberikan manfaat dan pengalaman berkesan bagi kita semua,” ujar Marthen.

    Pada acara yang berlangsung khidmat tersebut, Nurcholis Basyari, Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat, membacakan doa untuk keselamatan dan kesuksesan dunia pers Indonesia.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • PWI Soroti Tantangan Pers di Indonesia dan Ajak Insan Pers Bersatu

    PWI Soroti Tantangan Pers di Indonesia dan Ajak Insan Pers Bersatu

    PIKIRAN RAKYAT – Puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2025 di Riau berlangsung meriah dengan kehadiran tokoh-tokoh penting dari dunia pers, pemerintahan, dan masyarakat. Acara ini dihadiri oleh Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Sandi Nugroho, PJ Gubernur Riau, Kapolda Riau Irjen Pol Mohammad Iqbal, Ketua dan pimpinan DPRD Riau, tamu luar negeri, tokoh pers nasional, serta konstituen Dewan Pers.

    Hadir pula pengurus PWI Pusat dan daerah, termasuk Ketua Dewan Kehormatan Sasongko Tedjo, Ketua Dewan Penasehat PWI Ilham Bintang, Tribuana Said, Timbo Siahaan, Ketua PWI Riau Raja Isyam Aswar, serta para Ketua PWI Daerah.

    Suasana puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2025 di Riau.

    Dalam pidatonya yang disampaikan melalui video, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menekankan bahwa Hari Pers Nasional adalah momen untuk merayakan keberanian, integritas, dan semangat juang insan pers Indonesia.

    “Pers bukan hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga penggerak perubahan. Di tengah gejolak zaman, pers harus tetap menjadi penjaga demokrasi,” ujar Meutya Hafid. Ia juga mengucapkan selamat HPN 2025 kepada seluruh insan pers di Indonesia.

    Sementara itu, Ketua Umum PWI Pusat, Zulmansyah Sekedang, dalam sambutannya di Pekanbaru, menyoroti kondisi pers di Indonesia yang tengah menghadapi tantangan besar.

    “Tahun ini, perayaan HPN dirayakan dengan rasa prihatin. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini perayaan HPN tidak hanya digelar di Riau, tetapi juga di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dan Solo, Jawa Tengah. Realitas ini pahit akibat terjadinya perbedaan prinsip dalam penegakan integritas, yang membuat PWI tidak sedang baik-baik saja,” ujar Zulmansyah.

    Ia juga meminta maaf kepada insan pers yang merasa terganggu oleh konflik internal di PWI.

    “Sejak PWI lahir pada 9 Februari 1946 dengan peristiwa heroik, ironisnya kali ini dirayakan dalam suasana yang berbeda prinsip,” tambahnya.

    Semua pihak diapresiasi

    Ketua Panitia HPN Riau 2025, Marthen Selamet Susanto, mengapresiasi kerja keras semua pihak dalam mendukung acara ini.

    “Peringatan HPN tahun ini bukan hanya untuk memperingati hari lahirnya PWI, tetapi juga untuk mempererat wawasan dan silaturahmi antara insan pers dan masyarakat. Dengan hadirnya lebih dari 1.500 orang, acara ini menjadi bukti bahwa kita semua berkomitmen untuk memajukan dunia pers di Indonesia,” ujarnya.

    Ia juga mengucapkan terima kasih kepada sponsor, panitia, serta semua pihak yang mendukung kelancaran acara.

    Dalam penutupannya, Marthen mengingatkan pentingnya kolaborasi dalam dunia pers.

    “Acara ini merupakan hasil kerja keras kita semua. Tidak hanya sebagai ajang untuk memperingati HPN, tetapi juga untuk menguatkan kebersamaan di antara insan pers seluruh Indonesia. Semoga peringatan kali ini memberikan pesan kuat bahwa kita harus tetap bersatu dan mengedepankan integritas dalam setiap langkah kita,” tutupnya.

    Selama rangkaian HPN, telah digelar berbagai acara penting, termasuk Road to HPN di Jakarta dan seminar tentang perkembangan dunia pers.

    “Kami berharap seluruh rangkaian acara ini dapat memberikan manfaat dan pengalaman berkesan bagi kita semua,” tambah Marthen.

    Pada acara yang berlangsung khidmat, Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat, Nurcholis Basyari, membacakan doa untuk keselamatan dan kesuksesan dunia pers Indonesia.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • HPN sebagai momentum refleksi UU Pers dan relevansinya kini

    HPN sebagai momentum refleksi UU Pers dan relevansinya kini

    Jakarta (ANTARA) – Di tengah derasnya arus informasi digital dan dinamika politik yang terus berubah, peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun ini membawa refleksi yang lebih tajam, terutama dalam menyoroti keberadaan dan relevansi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

    Undang-Undang Pers, selama ini dianggap sebagai sebuah tonggak penting dalam sejarah perjalanan demokrasi Indonesia.

    Lahir di tengah semangat reformasi, UU ini menjadi simbol pembebasan pers dari belenggu kekuasaan yang selama masa Orde Baru terbatas ruang gerak jurnalismenya secara lebih kritis.

    Namun, seiring waktu, undang-undang ini menghadapi tantangan baru yang memunculkan pertanyaan, di antaranya tentang relevansi UU Pers, keberimbangannya, dan apakah benar-benar menguntungkan bagi kebebasan pers serta kehidupan berdemokrasi di Indonesia.

    Meski begitu, upaya mendorong revisi atas UU Pers agar semakin relevan juga harus berhati-hati dan jangan sampai menjadi pedang bermata dua.

    Sebab, meski perlu penyempurnaan, Lukas Luwarso, mantan Sekretaris Eksekutif Dewan Pers, pernah menyatakan kekhawatirannya terhadap agenda revisi UU Pers yang didominasi oleh pemerintah dan politisi.

    Ia menekankan bahwa proses revisi sebaiknya dipimpin oleh Dewan Pers untuk memastikan bahwa UU Pers yang baru dapat melindungi kebebasan pers dan tidak menjadi alat kontrol pemerintah.

    Padahal, jika disadari secara mendalam, UU Pers saat ini memang benar-benar membutuhkan harmonisasi. Misalnya saja, dari sisi bahwa salah satu kekuatan utama UU Pers terletak pada jaminan kebebasan pers yang tegas. Pasal 4 menegaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

    Tidak ada lagi kewajiban sensor atau pembredelan, sesuatu yang dulu menjadi mimpi, sekaligus realitas buruk bagi para jurnalis.

    Dalam konteks ini, UU Pers memberikan perlindungan penting bagi kebebasan berekspresi dan akses masyarakat terhadap informasi.

    Dengan payung hukum ini, media massa memiliki ruang untuk mengkritisi kebijakan pemerintah, mengungkap skandal, dan menyuarakan suara-suara yang selama ini terpinggirkan.

    Namun, di balik jaminan kebebasan itu, muncul problematika lain yang tidak kalah penting. UU Pers menempatkan Dewan Pers sebagai lembaga independen yang bertugas mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas kehidupan pers nasional.

    Dewan Pers diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pers melalui mekanisme hak jawab dan hak koreksi.

    Di atas kertas, ini terlihat sebagai langkah maju yang menghindarkan kriminalisasi jurnalis, namun, dalam praktiknya, tidak semua pihak bisa menghormati mekanisme ini.

    Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendokumentasikan 89 kasus serangan terhadap jurnalis dan media sepanjang 2023. Jumlah ini menjadi yang tertinggi dalam 10 tahun atau sejak 2014, sehingga menjadi alarm bahaya bagi masa depan kebebasan pers di Indonesia.

    Masih banyak kasus di mana jurnalis dipidanakan dengan pasal-pasal di luar UU Pers, seperti pasal pencemaran nama baik dalam KUHP atau UU ITE. Ini menunjukkan masih adanya ketidakseimbangan dalam implementasi hukum yang merugikan kebebasan pers.

    Mella Ismelina Farma Rahayu (2005), dalam kajiannya tentang Kebebasan Pers dalam Konteks KUHP (Pidana), menyatakan bahwa idealnya, di negara demokrasi yang menjamin kebebasan pers dan kebebasan-kebebasan dasar lainnya, karya jurnalistik tidak harus menyebabkan wartawan masuk penjara, melainkan hanya dikenai sanksi denda.

    Sanksi denda itupun lazimnya dikenakan secara proporsional, sesuai dengan kemungkinan kemampuan finansial pihak perusahaan pers.

    Persoalan lain yang muncul adalah soal akuntabilitas dan profesionalisme media itu sendiri.

    UU Pers memang mensyaratkan perusahaan pers untuk berbadan hukum dan mendorong penerapan Kode Etik Jurnalistik.

    Namun, regulasi ini sering kali tidak diikuti dengan pengawasan yang efektif. Di era digital, banyak media daring bermunculan, tanpa standar profesional yang jelas.

    Fenomena clickbait, penyebaran hoaks, dan berita-berita sensasional menjadi bagian dari realitas sehari-hari.

    Sayangnya, UU Pers belum cukup responsif terhadap dinamika ini. Tidak ada mekanisme yang jelas untuk menindak media yang menyebarkan disinformasi, tanpa harus mengorbankan kebebasan pers.

    Platfom digital

    UU Pers juga masih memiliki kecenderungan terfokus pada media arus utama dan kurang memperhatikan perkembangan media digital serta jurnalisme warga.

    Saat UU ini disusun, internet dan platform digital memang masih belum menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.

    Kini, dengan maraknya media sosial dan platform daring, batas antara jurnalis profesional dan warga biasa menjadi kabur.

    Setiap orang bisa menjadi penyebar informasi, tapi tidak semua memahami etika jurnalistik. Ini menimbulkan tantangan baru yang belum terakomodasi dalam kerangka hukum yang ada.

    Misalnya, bagaimana tanggung jawab platform digital dalam menyebarkan berita palsu? Apakah jurnalisme warga juga harus tunduk pada regulasi yang sama dengan media konvensional?

    Dari sisi perlindungan terhadap jurnalis, UU Pers memberikan dasar yang cukup kuat, tetapi belum sepenuhnya efektif dalam melindungi para pekerja media dari ancaman fisik, intimidasi, atau kekerasan saat menjalankan tugas.

    Kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis di lapangan masih sering terjadi, terutama ketika meliput isu-isu sensitif, seperti korupsi, pelanggaran HAM, atau konflik agraria.

    Dalam banyak kasus, aparat penegak hukum kerap terlibat sebagai pelaku intimidasi. Ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum yang tertulis dalam UU Pers tidak cukup jika tidak ada komitmen politik dan budaya hukum yang mendukung di lapangan.

    Ada juga soal independensi media yang perlu dikritisi. UU Pers memang mendorong kemerdekaan pers dari intervensi pemerintah, tetapi tidak cukup memperhatikan pengaruh pemilik modal terhadap independensi redaksi.

    Banyak media besar di Indonesia, saham atau modalnya dimiliki oleh konglomerasi yang memiliki kepentingan politik atau bisnis tertentu.

    Akibatnya, pemberitaan sering kali bias, memihak, atau, bahkan, menjadi alat propaganda terselubung. UU Pers belum memiliki mekanisme yang cukup kuat untuk mengatasi konflik kepentingan ini.

    Transparansi kepemilikan media dan regulasi yang mengatur konsentrasi kepemilikan media seharusnya menjadi bagian dari pembaruan undang-undang ini.

    Penyempurnaan

    Lalu, bagaimana seharusnya UU Pers disempurnakan agar bisa lebih adaptif dan relevan?

    Ke depan, sepertinya memang perlu ada harmonisasi regulasi antara UU Pers dengan UU lain, seperti KUHP dan UU ITE, agar jurnalis tidak lagi dikriminalisasi dengan pasal-pasal karet.

    Penyelesaian sengketa pers harus sepenuhnya menjadi domain Dewan Pers, tanpa campur tangan pidana, kecuali dalam kasus-kasus yang sangat spesifik, seperti fitnah atau ujaran kebencian yang jelas-jelas melanggar hukum.

    Kemudian, UU Pers perlu memperluas cakupannya untuk mengatur dinamika media digital dan jurnalisme warga.

    Ini tidak berarti membatasi kebebasan berekspresi di internet, tetapi memberikan kerangka etika yang jelas dan mendorong literasi media di kalangan masyarakat.

    Platform digital, seperti media sosial, juga harus diminta turut mengawasi dan bertanggung jawab atas penyebaran berita palsu tanpa mengorbankan prinsip kebebasan informasi.

    Selanjutnya, aspek perlindungan terhadap jurnalis harus diperkuat dengan mekanisme yang lebih jelas dan efektif, termasuk perlindungan dari kekerasan fisik dan intimidasi.

    Negara harus mampu menjamin keamanan jurnalis sebagai bagian dari komitmen terhadap kebebasan pers.

    Hal yang tidak kalah penting, transparansi kepemilikan media harus diatur secara ketat. Ini penting untuk mencegah konsentrasi kepemilikan media yang bisa merusak pluralisme informasi dan mengancam independensi redaksi. Masyarakat berhak tahu siapa yang memiliki dan mengendalikan media yang mereka konsumsi.

    Akhirnya, UU Pers harus dilihat bukan hanya sebagai alat hukum, tetapi sebagai fondasi bagi kehidupan berdemokrasi yang sehat. Pers yang bebas, bertanggung jawab, dan profesional adalah pilar penting demokrasi.

    Sebab, tanpa pers yang kuat, masyarakat bisa kehilangan salah satu instrumen penting untuk mengawasi kekuasaan dan memperjuangkan kebenaran.

    Maka, dengan menyempurnakan UU Pers, sesuai dengan tantangan zaman secara tepat, bukan melulu hanya menjaga kebebasan pers, tetapi juga memperkuat demokrasi itu sendiri.

    Ini semata untuk meningkatkan kualitas kehidupan berdemokrasi, memperkuat partisipasi warga negara dan menjamin hak asasi manusia, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

    Copyright © ANTARA 2025

  • Menggali Tantangan dan Peluang Jurnalisme di Era Digital

    Menggali Tantangan dan Peluang Jurnalisme di Era Digital

    PIKIRAN RAKYAT – Hari Pers Nasional (HPN) menjadi momen penting yang diperingati setiap tahun untuk menghargai kontribusi besar dunia pers dalam menjaga demokrasi, informasi, dan hak masyarakat.

    Di tengah tantangan era digital yang terus berkembang, peran pers semakin relevan, baik dalam menyediakan informasi yang akurat maupun dalam mengawal kebebasan berekspresi.

    Dalam rangka memperingati HPN 2025, Panitia HPN Riau menyelenggarakan Sarasehan Nasional Media Massa dengan tema bertajuk Preservasi Jurnalisme Sebagai Pilar Demokrasi Digital.

    Sarasehan ini dihadiri oleh pembicara-pembicara terkemuka di dunia pers Indonesia, antara lain Agus Sudibyo, Ketua Dewan Pengawas TVRI; Nurjaman Mochtar, Sekretaris Dewan Pakar PWI Pusat; Dhimam Abror, Ketua Dewan Pakar PWI Pusat; dan Hilman Hidayat, Ketua PWI Jawa Barat.

    Diskusi dipandu oleh Djoko Tetuko, Ketua Dewan Kehormatan PWI Jatim di salah satu hotel di Pekanbaru, Sabtu 8 Februari 2025.

    Selain pembicara hadir pula tokoh pers nasional seperti Tribuana Said, Ilham Bintang, Atal S. Depari, Asro Kamal Rokan, Dar Edi Yoga, Musrifah dan lainnya.

    Acara ini berlangsung dengan menghadirkan sejumlah tokoh penting di dunia jurnalisme untuk membahas tantangan dan peluang jurnalisme dalam menghadapi disrupsi digital yang semakin pesat.

    Masa depan jurnalisme di era digital

    Ketua PWI Jawa Barat Hilman Hidayat mengungkapkan kekhawatirannya terkait masa depan jurnalisme di era digital.

    Dia menegaskan dalam kondisi saat ini, banyak media online yang menghadapi serangan siber, dari berbagai pihak yang tidak terpikirkan sebelumnya.

    “Tugas kita merawat marwah dari jurnalisme apakah jurnalisme di era digital masih cerah atau makin suram? Tapi jika melihat data yang saya kumpulkan kok makin suram,” ujar Hilman.

    Berdasarkan pengalaman, kata dia, sebanyak 40 ribu konten kreator dan wartawan yang memproduksi 15 ribu berita per hari. Telah banyak yang mendapat serangan dari hacker.

    “Ada hal yang membahayakan kita untuk membangun paham jurnalisme. Paham jurnalisme yakni menyebarkan informasi berdasarkan data dan fakta secara objektif. Sementara dari pengalaman kami ada ribuan berita yang di-hack oleh pihak-pihak tertentu dalam sebulan, serangan terhadap media online bisa mencapai ratusan mulai dari kepala desa sampai yang berseragam,” ujarnya.

    Belanja iklan di Indonesia

    Sementara itu, Agus Sudibyo, Ketua Dewan Pengawas TVRI dan mantan anggota Dewan Pers, dalam pemaparannya mengungkapkan fakta mengejutkan mengenai belanja iklan di Indonesia pada 2024 yang diperkirakan mencapai Rp107,291 triliun, dengan dominasi iklan digital sebesar 44,1%.

    “Data belanja iklan Indonesia 2024 total Rp 107.291 triliun dimana iklan digital sebesar 44,1%, media online 17,3%, televisi 15,5%, media sosial 11,6%, retail media network 7,2%, dan media cetak 4,3%,” ujar Agus Sudibyo dalam pemaparannya.

    Ia juga mencatat perusahaan besar seperti Google dan Facebook menguasai 75-80% dari total belanja iklan digital nasional, sementara media nasional hanya memperoleh sisanya.

    “Di tengah fenomena ini, kita perlu mempertanyakan, ke mana arah jurnalisme pers? Sementara saya yakin meskipun tantangannya besar, kebutuhan akan informasi berkualitas dan bertanggung jawab justru semakin besar,” ujar Agus.

    Agus melanjutkan dengan membahas konsekuensi dari fenomena ini di mana Google dan Facebook menguasai sekitar 75-80% dari total belanja iklan digital nasional, semakin menunjukkan bahwa media sosial dan platform digital menjadi kekuatan utama dalam perekonomian iklan di Indonesia, yang secara tidak langsung telah menantang eksistensi media mainstream.

    Di balik fenomena tersebut, Agus juga menyoroti sebuah hal yang lebih mendalam, yaitu kebutuhan masyarakat terhadap informasi berkualitas dan bertanggung jawab yang semakin besar.

    Meskipun media sosial terus berkembang dan semakin mendominasi, Agus menegaskan bahwa media sosial tidak dapat sepenuhnya menggantikan fungsi media tradisional dalam menyediakan informasi yang akurat dan terverifikasi.

    Agus pun memperingatkan tentang fenomena berita hoaks yang marak di media sosial, yang sering kali memecah belah masyarakat dan merusak integritas demokrasi.

    “Tentu, kita tidak perlu terlalu khawatir karena di tengah disrupsi ini, tetap ada kebutuhan yang kuat akan informasi berkualitas dan jurnalisme yang bertanggung jawab. Media sosial tidak bisa sepenuhnya menggantikan kebutuhan masyarakat akan informasi yang mendalam dan berbasis fakta. Secara global, ada kekhawatiran yang sama, yakni media sosial justru semakin memperburuk perpecahan di antara masyarakat, baik dalam hal agama, dan politik,” ujar Agus.

    Agus juga menyinggung pentingnya model distribusi konten yang adaptif. Ia menegaskan bahwa saat ini sangat tidak masuk akal jika ada media yang tidak menggunakan media sosial sebagai saluran distribusi konten.

    Media sosial menjadi platform penting untuk menjangkau audiens yang lebih luas, dan media tradisional harus mampu memanfaatkan media sosial sebagai alat distribusi yang efektif tanpa kehilangan kualitas dan integritas informasi.

    Imperialisme digital

    Terakhir, Agus menutup komentarnya dengan menyinggung fenomena yang disebutnya sebagai ‘imperialisme digital’ yang menggambarkan dominasi beberapa perusahaan teknologi besar dalam menguasai pasar digital global.

    “Digitalisasi adalah fenomena global yang dihadapi semua negara, tetapi surplus dari hasil digitalisasi ini hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan besar, terutama yang berasal dari satu atau dua negara saja,” katanya.

    Secara keseluruhan, Agus Sudibyo menegaskan bahwa meskipun media tradisional menghadapi tantangan berat di tengah disrupsi digital, jurnalisme yang berbasis pada etika, kualitas, dan tanggung jawab tetap memiliki peran yang tak tergantikan.

    Oleh karena itu, industri media harus terus beradaptasi dengan perubahan teknologi dan dinamika pasar, tetapi tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar jurnalisme yang sehat dan bermanfaat bagi masyarakat.

    Era kecerdasan buatan

    Nurjaman Mochtar, Sekretaris Dewan Pakar PWI Pusat, membahas peran jurnalis di era kecerdasan buatan (AI).

    Menurut Nurjaman, 80% sumber berita konvensional kini berasal dari media sosial, dan semakin banyak instansi yang membuat konten berita sendiri melalui portal dan media sosial mereka.

    Ke depan perusahaan atau instansi sumber berita akan membuat konten masing-masing serta menyimpannya di portal dan sosial media masing-masing, sebab dengan AI membuat narasi atau video berita bukan hal yang sulit lagi.

    “Peran media mainstream ke depannya jangan-jangan hanya berfokus pada verifikasi konten dan pertanggungjawaban terhadap Dewan Pers,” ujar Nurjaman yang juga pernah Ketua Forum Pemred.

    Tantangan ini, menurutnya, menuntut wartawan untuk lebih kritis dan adaptif terhadap perubahan teknologi.

    Dhimam Abror, Ketua Dewan Pakar PWI Pusat, menekankan pentingnya preservasi jurnalisme sebagai sarana untuk memperkuat demokrasi.

    Menurut Dhimam, ruang digital saat ini telah menjadi tempat yang sangat strategis untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi, terutama dalam memberikan informasi yang mendorong masyarakat untuk berpikir kritis.

    Dhimam juga mengungkapkan bahwa media baru, yang lebih interaktif dan mudah diakses, telah membuka ruang bagi lebih banyak partisipasi masyarakat dalam proses komunikasi dan pemberitaan. Oleh karena itu, media harus tetap mempertahankan independensinya, akuntabilitas, dan keberagaman dalam menyampaikan informasi.

    “Ruang digital kini memungkinkan masyarakat untuk berpikir lebih kritis terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, terutama dalam ranah politik. Tetapi, kita harus memastikan kualitas informasi yang beredar tetap terjaga,” ujar Dhimam.

    Menurut Dhimam, media baru yang lebih interaktif membuka peluang bagi masyarakat untuk lebih terlibat dalam proses demokrasi, tetapi hanya jika media tetap menjaga prinsip independensi dan keberagaman dalam menyampaikan informasi.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News